easter-japanese

(1)-(2) “Para bhikkhu, bagi seorang yang bermoral, seorang yang perilakunya bermoral, tidak ada kehendak yang perlu dikerahkan: ‘Semoga ketidak-menyesalan muncul padaku.’ Adalah sewajarnya1 bahwa ketidak-menyesalan muncul pada seorang yang bermoral, seorang yang perilakunya bermoral.

(3) “Bagi seorang yang tanpa penyesalan tidak ada kehendak yang perlu dikerahkan: ‘Semoga kegembiraan muncul padaku.’ Adalah sewajarnya bahwa kegembiraan muncul pada seorang yang tanpa penyesalan.

(4) “Bagi seorang yang bergembira tidak ada kehendak yang perlu dikerahkan: ‘Semoga sukacita muncul padaku.’ Adalah sewajarnya bahwa sukacita muncul pada seoarang yang bergembira. [3]

(5) “Bagi seorang yang bersukacita tidak ada kehendak yang perlu dikerahkan: ‘Semoga jasmaniku menjadi tenang.’ Adalah sewajarnya bahwa jasmani seorang yang bersukacita menjadi tenang.

(6) “Bagi seorang yang tenang dalam jasmani tidak ada kehendak yang perlu dikerahkan: ‘Semoga aku merasakan kenikmatan.’ Adalah sewajarnya bahwa seorang yang tenang dalam jasmani merasakan kenikmatan.

(7) “Bagi seorang yang merasakan kenikmatan tidak ada kehendak yang perlu dikerahkan: ‘Semoga pikiranku terkonsentrasi.’ Adalah sewajarnya bahwa pikiran seorang yang merasakan kenikmatan menjadi terkonsentrasi.

(8) “Bagi seorang yang terkonsentrasi tidak ada kehendak yang perlu dikerahkan: ‘Semoga aku mengetahui dan melihat segala sesuatu sebagaimana adanya.’ Adalah sewajarnya bahwa seorang yang terkonsentrasi mengetahui dan melihat segala sesuatu sebagaimana adanya.

(9) “Bagi seorang yang mengetahui dan melihat segala sesuatu sebagaimana adanya tidak ada kehendak yang perlu dikerahkan: ‘Semoga aku menjadi kecewa dan bosan.’ Adalah sewajarnya bahwa seorang yang mengetahui dan melihat segala sesuatu sebagaimana adanya menjadi kecewa dan bosan.

(10) “Bagi seorang yang kecewa dan bosan tidak ada kehendak yang perlu dikerahkan: ‘Semoga aku merealisasikan pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan.’ Adalah sewajarnya bahwa seorang yang kecewa dan bosan merealisasikan pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan.

“Demikianlah, para bhikkhu, (9)-(10) pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan adalah tujuan dan manfaat dari kekecewaan dan kebosanan; (8) kekecewaan dan kebosanan adalah tujuan dan manfaat dari pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya; (7) pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya adalah tujuan dan manfaat dari konsentrasi; (6) konsentrasi adalah tujuan dan manfaat dari kenikmatan; (5) kenikmatan adalah tujuan dan manfaat dari ketenangan; (4) ketenangan adalah tujuan dan manfaat dari sukacita; (3) sukacita adalah tujuan dan manfaat dari kegembiraan; (2) kegembiraan adalah tujuan dan manfaat dari ketidak-menyesalan; (1) ketidak-menyesalan adalah tujuan dan manfaat dari perilaku bermoral.

“Demikianlah, para bhikkhu, satu tahap [4] mengalir menuju tahap berikutnya, satu tahap mengisi tahap berikutnya, untuk pergi dari pantai sini ke pantai seberang.”2


Catatan Kaki
  1. Dhammatā esā. Mp: “Ini adalah sifat dari segala sesuatu, urutan sebab-akibat” (dhammasabhāvo eso kāraṇaniyamo ayaṃ). Intinya, tentu saja, bukanlah bahwa seseorang tidak perlu berkehendak sama sekali, melainkan bahwa menegakkan masing-masing faktor sebelumnya berfungsi sebagai kondisi pendukung yang alami bagi tiap-tiap faktor berikutnya. Dengan demikian usaha yang diperlukan untuk membangkitkan faktor berikutnya jauh lebih kecil daripada yang diperlukan jika kondisi pendukungnya belum ditegakkan. ↩︎

  2. Iti kho, bhikkhave, dhammā dhamme abhisandenti, dhammā dhamme paripūrenti apārā pāraṃ gamanāyā. Mp: “Untuk pergi dari pantai sini ke pantai seberang: Untuk pergi dari ‘pantai sini’, lingkaran kehidupan dengan tiga alamnya, menuju ‘pantai seberang,’ nibbāna” (orimatīrabhūtā tebhūmakavaṭṭā nibbānapāraṃ gamanatthāya). Tampaknya inti dalam mengungkapkan hal ini dalam konteks dhammā, yang saya terjemahkan “tahap,” adalah untuk menunjukkan bahwa proses pengembangan ini berkembang sesuai prinsip-prinsip alami karena satu tahap mengkondisikan munculnya tahap berikutnya sepanjang perjalanan dari awal sang jalan hingga puncaknya. Dengan demikian rangkaian ini merupakan sebuah versi “positif” dari kemunculan bergantungan. Kita mendapati versi positif ini dalam Upanisā Sutta (SN 12:23, II 29-32). Baca tulisan saya tentang sutta ini, Bodhi 1980. ↩︎