easter-japanese

“Para bhikkhu, misalkan sebatang tangkai padi atau gandum yang arahnya terbalik ditekankan pada tangan atau kaki. Adalah tidak mungkin bahwa tangkai itu dapat menembus tangan atau kaki dan mengeluarkan darah. Karena alasan apakah? Karena tangkai itu terbalik. Demikian pula, adalah tidak mungkin bahwa seorang bhikkhu dengan pikiran yang salah arah dapat menembus ketidak-tahuan, membangkitkan pengetahuan sejati, dan merealisasi nibbāna. Karena alasan apakah? Karena pikiran itu salah arah.”

“Para bhikkhu, misalkan sebatang tangkai padi atau gandum yang diarahkan dengan benar ditekankan pada tangan atau kaki. Adalah mungkin bahwa tangkai itu dapat menembus tangan atau kaki dan mengeluarkan darah. Karena alasan apakah? Karena tangkai itu diarahkan dengan benar. Demikian pula, adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu dengan pikiran yang diarahkan dengan benar dapat menembus ketidak-tahuan, membangkitkan pengetahuan sejati, dan merealisasi nibbāna. Karena alasan apakah? Karena pikiran itu diarahkan dengan benar.”

“Di sini, para bhikkhu, setelah dengan pikiranKu melingkupi pikiran seseorang yang berpikiran rusak, Aku memahami bahwa jika orang ini mati pada saat ini, maka ia akan masuk ke neraka seolah-olah dibawa ke sana.1 Karena alasan apakah? Karena pikirannya rusak.2 Adalah karena kerusakan pikiran maka dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, beberapa makhluk di sini terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan kelahiran yang buruk, di alam rendah, di neraka.”

“Di sini, para bhikkhu, setelah dengan pikiranKu melingkupi pikiran seseorang yang berpikiran tenang, Aku memahami bahwa jika [9] orang ini mati pada saat ini, maka ia akan masuk ke surga seolah-olah dibawa ke sana. Karena alasan apakah? Karena pikirannya tenang.3 Adalah karena ketenangan pikiran maka dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, beberapa makhluk di sini terlahir kembali di alam tujuan kelahiran yang baik, di alam surga.”

“Para bhikkhu, misalkan terdapat sebuah kolam dengan air yang kotor, keruh, dan berlumpur. Kemudian seseorang yang berpenglihatan baik berdiri di tepinya tidak dapat melihat kerang-kerang, kerikil dan koral, dan kawanan ikan yang berenang kesana-kemari dan beristirahat. Karena alasan apakah? Karena air itu kotor. Demikian pula, adalah tidak mungkin bagi seorang bhikkhu dengan pikiran yang kotor dapat mengetahui kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, atau kebaikan keduanya, atau merealisasi keluhuran melampaui manusia dalam hal pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia. Karena alasan apakah? Karena pikirannya kotor.”4

“Para bhikkhu, misalkan terdapat sebuah kolam dengan air yang bersih, tenang, dan jernih. Kemudian seseorang yang berpenglihatan baik berdiri di tepinya dapat melihat kerang-kerang, kerikil dan koral, dan kawanan ikan yang berenang kesana-kemari dan beristirahat. Karena alasan apakah? Karena air itu jernih. Demikian pula, adalah mungkin bagi seorang bhikkhu dengan pikiran yang jernih dapat mengetahui kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya, dan merealisasi keluhuran melampaui manusia dalam hal pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia.5 Karena alasan apakah? Karena pikirannya jernih.”

“Para bhikkhu, seperti halnya kayu cendana dinyatakan sebagai yang terbaik di antara pepohonan sehubungan dengan kelunakan dan kelenturannya, demikian pula Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang, ketika dikembangkan dan dilatih, dapat menjadi begitu lunak dan lentur selain daripada pikiran. Pikiran yang terkembang dan terlatih adalah lunak dan lentur.” [10]

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang begitu cepat berubah selain daripada pikiran.6 Tidaklah mudah memberikan perumpamaan untuk menggambarkan betapa cepatnya pikiran berubah.”

“Bercahaya, para bhikkhu, pikiran ini, tetapi dikotori oleh kekotoran dari luar.”7

“Bercahaya, para bhikkhu, pikiran ini, dan terbebaskan dari kekotoran dari luar.”


Catatan Kaki
  1. Yathābhataṃ nikkhitto. Saya menerjemahkan idiom ini dengan berdasarkan kemasan Mp: yathā āharitvā ṭhapito. ↩︎

  2. Mp: “Pikiran yang dirusak oleh kebencian” (dosena paduṭṭhacittaṃ). Sutta ini dan yang berikutnya dapat dilihat sebagai prosa penjelasan dari Dhp 1 dan 2. Walaupun Dhp 1 dan 2 menggunakan mano dan bukan citta, namun kata sifatnya sama: paduṭṭha dan pasanna↩︎

  3. Mp: “[Pikiran] yang tenang dengan keyakinan dan kepercayaan” (saddhāpasādena pasannaṃ). ↩︎

  4. Mp: “Keruh (āvilena): diselimuti oleh kelima rintangan.” Pada 5:193 §5 air keruh secara khusus diidentifikasikan sebagai keragu-raguan dan air jernih sebagai kebebasan dari keragu-raguan. ↩︎

  5. Uttariṃ manussadhammā alamariyañāṇadassanavisesaṃ. Saya mengikuti Mp, yang memperlakukan uttariṃ manussadhammā sebagai bentuk frasa ablatif kompleks yang relatif dengan alamariyañāṇadassanavisesaṃ. Mp mengatakan: “Manusia luar biasa: lebih unggul daripada moralitas manusia yang terdapat dalam sepuluh kamma bermanfaat. Sepuluh moralitas ini disebut ‘moralitas manusia’ karena dijalankan oleh orang-orang atas kehendak mereka sendiri – bahkan tanpa dorongan orang lain – setelah mereka tergerak di akhir ‘periode pedang’ (satthantarakappa; baca DN III 73.4). Hal-hal yang lebih unggul dari ini adalah jhāna-jhāna, pandangan terang, jalan, dan buah. Keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia: keluhuran [keunggulan] yang terdapat dalam pengetahuan dan penglihatan yang sesuai bagi para mulia atau mampu menghasilkan kondisi mulia. Pengetahuan itu sendiri disebut ‘pengetahuan’ dalam hal bahwa pengetahuan itu mengetahui, dan disebut ‘penglihatan’ karena melihat. Ini adalah sebuah sebutan bagi pengetahuan mata dewa, pengetahuan pandangan terang, pengetahuan jalan, pengetahuan buah, dan pengetahuan peninjauan.” ↩︎

  6. Mp, menggunakan model pikiran dari Abhidhamma, menganggap hal ini merujuk pada kecepatan luar biasa yang dengannya pikiran muncul dan lenyap. Tetapi pada Vin I 150,7-14, dalam suatu paragraf tentang kondisi-kondisi yang memperbolehkan seorang bhikkhu memotong masa vassa-nya, dikatakan bahwa jika seorang perempuan mencoba menggoda seorang bhikkhu pada masa vassa, maka ia boleh meninggalkan vassa setelah merenungkan: “Sang Bhagavā berkata bahwa pikiran cepat berubah, dan di sini terdapat rintangan bagi kehidupan selibatku.” Dalam konteks ini, makna yang nyata bukanlah bahwa pikiran muncul dan lenyap dengan cepat melainkan bahwa seseorang boleh mendadak berubah pikiran, meninggalkan kehidupan selibat untuk menyerah pada pikatan perempuan. ↩︎

  7. Pabhassaram idaṃ bhikkhave cittaṃ. Makna yang tepat dari pernyataan ini telah menjadi persoalan pendapat yang telah menimbulkan interpretasi yang berlawanan. Mp mengidentifikasikan “pikiran bercahaya” sebagai bhavaṅgacitta, suatu konsep Abhidhamma yang menunjukkan jenis peristiwa pikiran yang muncul dalam ketiadaan kognisi aktif. Hal ini bersesuaian, secara kasar, dengan bawah sadar atau tidak sadar dalam psikologi modern. Kata bhavaṅga berarti “faktor kehidupan,” yaitu, faktor yang bertanggung jawab untuk memelihara kelangsungan identitas personal seumur hidup dan dari satu kehidupan ke kehidupan berikutnya. Akan tetapi, bhavaṅga bukanlah suatu kondisi kesadaran yang terus-menerus, atau suatu diri yang abadi. Ini adalah serangkaian tindakan pikiran dari momen ke momen yang silih berganti dengan proses kognitif aktif (cittavīthi), rangkaian kognisi ketika pikiran secara sadar mengenali suatu objek. Karenanya teks-teks kadang-kadang menggunakan ungkapan bhavaṅgasota, “arus bhavaṅga,” untuk menekankan sifat mengalir dari jenis proses pikiran ini. Terjadinya bhavaṅga ini paling jelas ketika dalam tidur mendalam tanpa mimpi, tetapi hal ini juga terjadi tidak terhitung banyaknya dalam kehidupan terjaga di antara proses-proses kognitif.

    Peristiwa yang paling penting dalam proses kognitif adalah javanacitta, peristiwa kesadaran yang ditentukan secara etika yang menghasilkan kamma. Javana dapat bermanfaat atau tidak bermanfaat. Adalah dalam tahap javana kekotoran-kekotoran tertidur dalam bawah sadar bhavaṅga, menyusup ke dalam aktivitas pikiran dan mengotori pikiran. Untuk pembahasan lebih lanjut tentang bhavaṅga, baca CMA 122-29, di mana hal ini diterjemahkan sebagai “rangkaian-kehidupan.” Harvey (1995: 166-79) memiliki suatu penjelasan menarik tentang hubungan antara bhavaṅga dan apa yang ia sebut “pikiran yang bersinar terang.”

    Mp menjelaskan: “Bhavaṅgacitta disebut bercahaya, yaitu, murni (parisuddha), karena tanpa kekotoran (nirupakkilesatāya). Ini dikotori oleh kekotoran-kekotoran yang datang dari luar – melalui nafsu, dan seterusnya – yang muncul kemudian [setelah bhavaṅga] pada momen javana. Bagaimanakah? Dengan cara yang mana orang tua – atau penahbis dan guru – yang berperilaku baik dan bermoral dikritik dan dicela karena ketidak-disiplinan anak-anak atau murid-muridnya yang berperilaku buruk, [seperti yang akan dikatakan oleh orang-orang]: ‘Mereka tidak menghukum, tidak melatih, dan tidak mengajari anak-anak atau murid-murid mereka.’ Orang tua, atau penahbis dan guru yang berperilaku baik, adalah bagaikan bhavaṅgacitta, sedangkan celaan yang dijatuhkan kepada orang tua karena anak-anak mereka [atau kepada penahbis atau kepada guru karena murid-murid mereka] adalah bagaikan bhavaṅgacitta yang murni secara alami yang dikotori pada momen javana oleh kekotoran-kekotoran yang datang dari luar yang muncul dalam kondisi-kondisi pikiran yang berhubungan dengan keserakahan, dan seterusnya, yang menyebabkan nafsu, kebencian, dan delusi menjangkitinya.”

    Walaupun saya mengutip Mp sepenuhnya di sini, namun saya mendapati bahwa penjelasan ini tidak memuaskan dalam sedikitnya dua landasan. Yang pertama adalah bahwa konsep bhavaṅgacitta, dan gagasan proses kognitif yang bersesuaian, tidak terdapat dalam Nikāya-nikāya namun muncul pertama kali pada periode belakangan ketika Abhidhamma mulai terbentuk. Bahkan kata bhavaṅga, walaupun penting dalam sistem Abhidhamma Theravāda, hanya muncul dalam buku terakhir Abhidhamma Piṭaka, yaitu Paṭṭhāna. Kata ini lebih banyak terdapat dalam komentar-komentar Abhidhamma.

    Alasan ke dua di mana saya mendapati bahwa penjelasan Mp tidak memuaskan adalah bahwa teks hanya menyebutkan “pikiran ini bercahaya,” tanpa kualifikasi. Ini menyiratkan bahwa kecerahan itu adalah intrinsik pada pikiran itu sendiri, dan bukan pada jenis peristiwa pikiran itu. Terlebih lagi, jika bhavaṅga bercahaya, maka seharusnya tetap demikian; menjadi membingungkan jika dikatakan dikotori oleh javana-javana. Interpretasi paling sederhana dari pernyataan ini, sejauh yang bisa saya lihat, adalah bahwa kecerahan itu adalah karakteristik bawaan dari pikiran, dilihat dalam kapasitasnya untuk menerangi bidang objektifnya. Kecerahan ini, walaupun menjadi sifatnya, secara fungsional terhalangi karena pikiran “dikotori oleh kekotoran-kekotoran yang datang dari luar” (āgantukehi upakkilesehi upakkiliṭṭhaṃ). Kekotoran-kekotoran disebut “datang dari luar” karena, tidak seperti kecerahan, kekotoran-kekotoran itu tidak intrinsik pada pikiran itu sendiri. Tentu saja, seperti yang ditegaskan dalam 10:61 dan 10:62, tidak ada “titik awal” bagi ketidak-tahuan dan ketagihan (dan kekotoran-kekotoran lainnya). Tetapi kekotoran-kekotoran ini dapat dilenyapkan melalui latihan pikiran. Dengan pelenyapannya, kecerahan intrinsik pikiran muncul – atau, lebih tepat lagi, menjadi terwujud. Pernyataan persis di bawah tentang siswa mulia yang memahami bahwa pikiran adalah bercahaya menyiratkan bahwa pandangan terang ke dalam kecerahan intrinsik pikiran berfungsi sebagai landasan bagi latihan pikiran lebih lanjut, yang membebaskan pikiran dari kekotoran-kekotoran. Dengan pelenyapan kekotoran sepenuhnya, maka kecerahan intrinsik pikiran bersinar tanpa terhalangi.

    Pada 3:102, I 257,7 kata pabhassara digunakan untuk menggambarkan pikiran (citta) yang telah mencapai konsentrasi (samādhi). Dengan demikian tampaknya bahwa adalah di dalam samādhi mendalam maka kecerahan intrinsik pikiran itu muncul, setidaknya untuk sementara. 5:23, III 16,29 – 17,2 mengatakan secara eksplisit bahwa pikiran yang terbebas dari lima rintangan adalah bercahaya (pabhassara) dan terkonsentrasi dengan benar pada hancurnya noda-noda. Baca juga MN III 243,11-12, di mana adalah keseimbangan (upekkhā), yang diduga adalah jhāna ke empat, yang digambarkan sebagai bercahaya. ↩︎