easter-japanese

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Savatthi di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kalian tentang kemunculan bergantungan. Dengarkan dan perhatikanlah, Aku akan berbicara.” – “Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Dan apakah, para bhikkhu, kemunculan bergantungan? Dengan ketidaktahuan sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan kehendak [muncul];1 dengan bentukan-bentukan kehendak sebagai kondisi, kesadaran; dengan kesadaran sebagai kondisi, nama-dan-bentuk; dengan nama-dan-bentuk sebagai kondisi, enam landasan indria; dengan enam landasan indria sebagai kondisi, kontak; dengan kontak sebagai kondisi, perasaan; dengan perasaan sebagai kondisi, ketagihan; dengan ketagihan sebagai kondisi, kemelekatan; dengan kemelekatan sebagai kondisi, penjelmaan; dengan penjelmaan sebagai kondisi, kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, penuaan-dan-kematian, kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan muncul. Demikianlah asal-mula dari keseluruhan kumpulan penderitaan. Ini, para bhikkhu, disebut kemunculan bergantungan.

“Tetapi dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketidaktahuan maka lenyap pula bentukan-bentukan kehendak; [2] dengan lenyapnya bentukan-bentukan kehendak, lenyap pula kesadaran; dengan lenyapnya kesadaran, lenyap pula nama-dan-bentuk; dengan lenyapnya nama-dan-bentuk, lenyap pula enam landasan indria; dengan lenyapnya enam landasan indria, lenyap pula kontak; dengan lenyapnya kontak, lenyap pula perasaan; dengan lenyapnya perasaan, lenyap pula ketagihan; dengan lenyapnya ketagihan, lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, lenyap pula penuaan-dan-kematian, kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan.”

Ini adalah apa yang dibabarkan oleh Sang Bhagavā. Dengan gembira, para bhikkhu itu senang mendengar ajaran Sang Bhagavā.

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang kemunculan bergantungan dan Aku akan menganalisisnya untuk kalian. Dengarkanlah dan perhatikanlah, Aku akan berbicara.”

“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Dan apakah, para bhikkhu, kemunculan bergantungan? Dengan ketidaktahuan sebagai kondisi, bentukan-bentukan kehendak [muncul]; dengan bentukan-bentukan kehendak sebagai kondisi, kesadaran … (seperti sutta sebelumnya) … Demikianlah asal-mula dari keseluruhan kumpulan penderitaan.

“Dan apakah, para bhikkhu, penuaan-dan-kematian? Penuaan atas berbagai makhluk dalam berbagai golongan makhluk, bertambah tua, gigi tanggal, rambut memutih, kulit keriput, vitalitas menurun, indria-indria melemah: ini disebut penuaan. [3] Meninggal-dunia-nya berbagai makhluk dari berbagai golongan makhluk, binasa, hancur, lenyap, mortalitas, kematian, berakhirnya waktu kehidupan, hancurnya kelompok-kelompok unsur kehidupan, terbaringnya jasad: ini disebut kematian.2 Demikianlah penuaan ini dan kematian ini bersama-sama disebut penuaan-dan-kematian.

“Dan apakah, para bhikkhu, kelahiran? Lahirnya berbagai makhluk menjadi berbagai golongan makhluk, terlahirkan, masuk [ke dalam rahim], produksi, terwujudnya kelompok-kelompok unsur kehidupan, perolehan landasan-landasan indria. Ini disebut kelahiran.3

“Dan apakah, para bhikkhu, penjelmaan? Ada tiga jenis penjelmaan: penjelmaan di alam indria, penjelmaan di alam berbentuk, penjelmaan di alam tanpa bentuk. Ini disebut penjelmaan.4

“Dan apakah para bhikkhu, kemelekatan? Ada empat jenis kemelekatan: kemelekatan pada kenikmatan indria, kemelekatan pada pandangan-pandangan, kemelekatan pada ritual dan upacara, kemelekatan pada doktrin diri. Ini disebut kemelekatan.5

“Dan apakah, para bhikkhu, ketagihan? Ada enam kelompok ketagihan: ketagihan pada bentuk-bentuk, ketagihan pada suara-suara, ketagihan pada bau-bauan, ketagihan pada rasa kecapan, ketagihan pada objek-objek sentuhan, ketagihan pada fenomena pikiran. Ini disebut ketagihan.

“Dan apakah, para bhikkhu, perasaan? Ada enam kelompok perasaan ini: perasaan yang muncul dari kontak-mata, perasaan yang muncul dari kontak-telinga, perasaan yang muncul dari kontak-hidung, perasaan yang muncul dari kontak-lidah, perasaan yang muncul dari kontak-badan, perasaan yang muncul dari kontak-pikiran. Ini disebut perasaan.

“Dan apakah, para bhikkhu, kontak? Ada enam kelompok kontak: kontak-mata, kontak-hidung, kontak-lidah, kontak-badan, kontak-pikiran. Ini disebut kontak.

“Dan apakah, para bhikkhu, enam landasan indria? Landasan mata, landasan telinga, landasan hidung, landasan lidah, landasan badan, landasan pikiran. Ini disebut enam landasan indria.

“Dan apakah, para bhikkhu, nama-dan-bentuk? Perasaan, persepsi, kehendak, kontak, perhatian: ini disebut nama. Empat [4] unsur utama dan bentuk yang diturunkan dari empat unsur utama: ini disebut bentuk. Demikianlah nama ini dan bentuk ini bersama-sama disebut nama-dan-bentuk.6

“Dan apakah, para bhikkhu, kesadaran? Ada enam kelompok kesadaran: kesadaran-mata, kesadaran-telinga, kesadaran-hidung, kesadaran-lidah, kesadaran-badan, kesadaran-pikiran. Ini disebut kesadaran.

“Dan apakah, para bhikkhu, bentukan-bentukan kehendak? Ada tiga jenis bentukan kehendak: bentukan kehendak jasmani, bentukan kehendak ucapan, bentukan kehendak pikiran. Ini disebut bentukan kehendak.7

“Dan apakah, para bhikkhu, ketidaktahuan? Tidak mengetahui penderitaan, tidak mengetahui asal-mula penderitaan, tidak mengetahui lenyapnya penderitaan, tidak mengetahui jalan menuju lenyapnya penderitaan. Ini disebut ketidaktahuan.8

“Demikianlah, para bhikkhu, dengan ketidaktahuan sebagai kondisi, bentukan kehendak [muncul]; dengan bentukan kehendak sebagai kondisi, kesadaran … Demikianlah asal-mula dari keseluruhan kumpulan penderitaan. Tetapi dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketidaktahuan maka lenyap pula bentukan-bentukan kehendak; dengan lenyapnya bentukan-bentukan kehendak, lenyap pula kesadaran … Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan.”9

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang jalan yang salah dan jalan yang benar. Dengarkanlah dan perhatikanlah, Aku akan berbicara.”

“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Dan apakah, para bhikkhu, jalan yang salah? Dengan ketidaktahuan sebagai kondisi, bentukan-bentukan kehendak [muncul]; dengan bentukan-bentukan kehendak sebagai kondisi, kesadaran … Demikianlah asal-mula dari keseluruhan kumpulan penderitaan. Ini, para bhikkhu, disebut jalan yang salah. [5]

“Dan apakah, para bhikkhu, jalan yang benar? Dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketidaktahuan maka lenyap pula bentukan-bentukan kehendak; dengan lenyapnya bentukan-bentukan kehendak, lenyap pula kesadaran … Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan. Ini, para bhikkhu, disebut jalan yang benar.”

Di Sāvatthī.10

“Para bhikkhu, sebelum pencerahanNya, ketika Beliau masih seorang Bodhisatta,11 belum tercerahkan sempurna, Vipassī berpikir, Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna:12 ‘Aduh, dunia ini telah jatuh dalam kesulitan, karena dilahirkan, menjadi tua, dan mati, meninggal dunia dan terlahir kembali, dan masih belum memahami jalan membebaskan diri dari penderitaan [yang dipimpin oleh] penuaan-dan-kematian. Kapankah suatu jalan membebaskan diri dari penderitaan [yang dipimpin] oleh penuaan-dan-kematian ini terlihat?’ … [6-9]

“‘Lenyapnya, lenyapnya’ – demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan segala sesuatu yang belum pernah terdengar sebelumnya muncullah dalam diri Bodhisatta Vipassī, penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.”

[10]

“Para bhikkhu, sebelum pencerahanKu, ketika Aku masih seorang Bodhisatta, belum tercerahkan sempurna, Aku berpikir, ‘Aduh, dunia ini telah jatuh dalam kesulitan, karena dilahirkan, menjadi tua, dan mati, meninggal dunia dan terlahir kembali, dan masih belum memahami jalan membebaskan diri dari penderitaan [yang dipimpin oleh] penuaan-dan-kematian. Kapankah suatu jalan membebaskan diri dari penderitaan [yang dipimpin] oleh penuaan-dan-kematian ini terlihat?’

“Kemudian, para bhikkhu, Aku berpikir: ‘Ketika ada apakah maka penuaan-dan-kematian muncul? Oleh apakah penuaan-dan-kematian dikondisikan?’ Kemudian, para bhikkhu, melalui perhatian seksama, terjadi dalam diriKu penembusan melalui kebijaksanaan:13 ‘Ketika ada kelahiran, maka penuaan-dan-kematian muncul; penuaan-dan-kematian memiliki kelahiran sebagai kondisinya.’14

“Kemudian, para bhikkhu, Aku berpikir: ‘Ketika ada apakah maka kelahiran muncul? Oleh apakah kelahiran dikondisikan?’ Kemudian, para bhikkhu, melalui perhatian seksama, terjadi dalam diriKu penembusan melalui kebijaksanaan: ‘Ketika ada penjelmaan, maka kelahiran muncul; kelahiran memiliki penjelmaan sebagai kondisinya.’

“Kemudian, para bhikkhu, Aku berpikir: ‘Ketika ada apakah maka penjelmaan muncul? Oleh apakah penjelmaan dikondisikan?’ Kemudian, para bhikkhu, melalui perhatian seksama, terjadi dalam diriKu penembusan melalui kebijaksanaan: ‘Ketika ada kemelekatan, maka penjelmaan muncul; penjelmaan memiliki kemelekatan sebagai kondisinya.’

“Kemudian, para bhikkhu, Aku berpikir: ‘Ketika ada apakah maka kemelekatan muncul? Oleh apakah kemelekatan dikondisikan?’ Kemudian, para bhikkhu, melalui perhatian seksama, terjadi dalam diriKu penembusan melalui kebijaksanaan: ‘Ketika ada ketagihan, maka kemelekatan muncul; kemelekatan memiliki ketagihan sebagai kondisinya.’

“Kemudian, para bhikkhu, Aku berpikir: ‘Ketika ada apakah maka ketagihan muncul? Oleh apakah ketagihan dikondisikan?’ Kemudian, para bhikkhu, melalui perhatian seksama, terjadi dalam diriKu penembusan melalui kebijaksanaan: ‘Ketika ada perasaan, maka ketagihan muncul; ketagihan memiliki perasaan sebagai kondisinya.’

“Kemudian, para bhikkhu, Aku berpikir: ‘Ketika ada apakah maka perasaan muncul? Oleh apakah perasaan dikondisikan?’ Kemudian, para bhikkhu, melalui perhatian seksama, terjadi dalam diriKu penembusan melalui kebijaksanaan: ‘Ketika ada kontak, maka perasaan muncul; perasaan memiliki kontak sebagai kondisinya.’

“Kemudian, para bhikkhu, Aku berpikir: ‘Ketika ada apakah maka kontak muncul? Oleh apakah kontak dikondisikan?’ Kemudian, para bhikkhu, melalui perhatian seksama, terjadi dalam diriKu penembusan melalui kebijaksanaan: ‘Ketika ada enam landasan indria, maka kontak muncul; kontak memiliki enam landasan indria sebagai kondisinya.’

“Kemudian, para bhikkhu, Aku berpikir: ‘Ketika ada apakah maka enam landasan indria muncul? Oleh apakah enam landasan indria dikondisikan?’ Kemudian, para bhikkhu, melalui perhatian seksama, terjadi dalam diriKu penembusan melalui kebijaksanaan: ‘Ketika ada nama-dan-bentuk, maka enam landasan indria muncul; enam landasan indria memiliki nama-dan-bentuk sebagai kondisinya.’

“Kemudian, para bhikkhu, Aku berpikir: ‘Ketika ada apakah maka nama-dan-bentuk muncul? Oleh apakah nama-dan-bentuk dikondisikan?’ Kemudian, para bhikkhu, melalui perhatian seksama, terjadi dalam diriKu penembusan melalui kebijaksanaan: ‘Ketika ada kesadaran, maka nama-dan-bentuk muncul; nama-dan-bentuk memiliki kesadaran sebagai kondisinya.’

“Kemudian, para bhikkhu, Aku berpikir: ‘Ketika ada apakah maka kesadaran muncul? Oleh apakah kesadaran dikondisikan?’ Kemudian, para bhikkhu, melalui perhatian seksama, terjadi dalam diriKu penembusan melalui kebijaksanaan: ‘Ketika ada bentukan-bentukan kehendak, maka kesadaran muncul; kesadaran memiliki bentukan-bentukan kehendak sebagai kondisinya.’15

“Kemudian, para bhikkhu, Aku berpikir: ‘Ketika ada apakah maka bentukan-bentukan kehendak muncul? Oleh apakah bentukan-bentukan kehendak dikondisikan?’ Kemudian, para bhikkhu, melalui perhatian seksama, terjadi dalam diriKu penembusan melalui kebijaksanaan: ‘Ketika ada ketidaktahuan, maka bentukan-bentukan kehendak muncul; bentukan-bentukan kehendak memiliki ketidaktahuan sebagai kondisinya.’

“Demikianlah dengan ketidaktahuan sebagai kondisi, bentukan-bentukan kehendak [muncul; dengan bentukan-bentukan kehendak sebagai kondisi, kesadaran … Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“‘Asal-mula, asal-mula’ – demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan segala sesuatu yang belum pernah terdengar sebelumnya muncullah dalam diriKu, penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.”16

“Kemudian, para bhikkhu, Aku berpikir: ‘Ketika tidak ada apakah maka penuaan-dan-kematian tidak muncul? Dengan lenyapnya apakah maka lenyapnya penuaan-dan-kematian terjadi?’ Kemudian, para bhikkhu, melalui perhatian seksama, terjadi dalam diriKu penembusan melalui kebijaksanaan: ‘Ketika tidak ada kelahiran, maka penuaan-dan-kematian tidak terjadi; dengan lenyapnya kelahiran maka lenyap pula penuaan-dan-kematian.’

“Kemudian, para bhikkhu, Aku berpikir: [11] ‘Ketika tidak ada apakah maka kelahiran tidak muncul? Dengan lenyapnya apakah maka lenyapnya kelahiran tercapai?’ Kemudian, para bhikkhu, melalui perhatian seksama, terjadi dalam diriKu penembusan melalui kebijaksanaan: ‘Ketika tidak ada penjelmaan, maka kelahiran tidak terjadi; dengan lenyapnya penjelmaan maka lenyap pula kelahiran.’ … ‘Ketika tidak ada kemelekatan, maka penjelmaan tidak terjadi; dengan lenyapnya kemelekatan maka lenyap pula penjelmaan.’ … ‘Ketika tidak ada ketagihan, maka kemelekatan tidak terjadi; dengan lenyapnya ketagihan, maka lenyap pula kemelekatan’ … ‘Ketika tidak ada perasaan, maka ketagihan tidak terjadi; dengan lenyapnya perasaan, maka lenyap pula ketagihan’ … ‘Ketika tidak ada kontak, maka perasaan tidak terjadi; dengan lenyapnya kontak, maka lenyap pula perasaan’ … ‘Ketika tidak ada enam landasan indria, maka kontak tidak terjadi; dengan lenyapnya enam landasan indria, maka lenyap pula kontak’ … ‘Ketika tidak ada nama-dan-bentuk, maka enam-landasan-indria tidak terjadi; dengan lenyapnya nama-dan-bentuk, maka lenyap pula enam-landasan-indria’ … ‘Ketika tidak ada kesadaran, maka nama-dan-bentuk tidak terjadi; dengan lenyapnya kesadaran, maka lenyap pula nama-dan-bentuk’ … ‘Ketika tidak ada bentukan-bentukan kehendak, maka kesadaran tidak terjadi; dengan lenyapnya bentukan-bentukan kehendak, maka lenyap pula kesadaran’ … ‘Ketika tidak ada ketidaktahuan, maka bentukan-bentukan kehendak tidak terjadi; dengan lenyapnya ketidaktahuan, maka lenyap pula bentukan-bentukan kehendak.’

“Demikianlah dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketidaktahuan maka lenyap pula bentukan-bentukan kehendak; dengan lenyapnya bentukan-bentukan kehendak, lenyap pula kesadaran … Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan.

“‘Lenyapnya, lenyapnya’ – demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan segala sesuatu yang belum pernah terdengar sebelumnya muncullah dalam diriKu, penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.”

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika …

“Para bhikkhu, terdapat empat jenis makanan ini untuk memelihara makhluk-makhluk yang telah terlahir dan untuk membantu mereka yang akan terlahir.17 Apakah empat ini? Makanan yang dapat dimakan, kasar atau halus; ke dua, kontak; ke tiga, kehendak pikiran; ke empat, kesadaran. Ini adalah empat jenis makanan untuk memelihara makhluk-makhluk yang telah terlahir dan untuk membantu mereka yang akan terlahir.18

“Para bhikkhu, empat jenis makanan ini memiliki apakah sebagai sumbernya, [12] apakah sebagai asal-mulanya, muncul dan dihasilkan dari apakah? Empat jenis makanan ini memiliki ketagihan sebagai sumbernya, ketagihan sebagai asal-mulanya; muncul dan dihasilkan dari ketagihan.19

“Dan ketagihan ini memiliki apakah sebagai sumbernya, apakah sebagai asal-mulanya, muncul dan dihasilkan dari apakah? Ketagihan memiliki perasaan sebagai sumbernya; perasaan sebagai asal-mula; muncul dan dihasilkan dari perasaan.

“Dan perasaan ini memiliki apakah sebagai sumbernya …? Perasaan memiliki kontak sebagai sumbernya … Dan kontak ini memiliki apakah sebagai sumbernya? Kontak memiliki enam landasan indria sebagai sumbernya … Dan enam landasan indria ini memiliki apakah sebagai sumbernya …? Enam landasan indria memiliki nama-dan-bentuk sebagai sumbernya … Dan nama-dan-bentuk ini memiliki apakah sebagai sumbernya …? Nama-dan-bentuk memiliki kesadaran sebagai sumbernya … Dan kesadaran ini memiliki apakah sebagai sumbernya …? Kesadaran memiliki bentukan-bentukan kehendak sebagai sumbernya … Dan bentukan-bentukan kehendak ini memiliki apakah sebagai sumbernya, apakah sebagai asal-mulanya, muncul dan dihasilkan dari apakah? Bentukan-bentukan kehendak memiliki ketidaktahuan sebagai sumbernya; ketidaktahuan sebagai asal-mula; muncul dan dihasilkan dari ketidaktahuan.

Demikianlah, para bhikkhu dengan ketidak-tahuan sebagai kondisi, bentukan-bentukan kehendak [muncul]; dengan bentukan-bentukan kehendak sebagai kondisi, kesadaran … Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini. Tetapi dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketidaktahuan maka lenyap pula bentukan-bentukan kehendak; dengan lenyapnya bentukan-bentukan kehendak, lenyap pula kesadaran … Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.”

Di Sāvatthī. [13] “Para bhikkhu, terdapat empat jenis makanan ini untuk memelihara makhluk-makhluk yang telah terlahir dan untuk membantu mereka yang akan terlahir. Apakah empat ini? Makanan yang dapat dimakan, kasar atau halus; ke dua, kontak; ke tiga, kehendak pikiran; ke empat, kesadaran. Ini adalah empat jenis makanan untuk memelihara makhluk-makhluk yang telah terlahir dan untuk membantu mereka yang akan terlahir.”20

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Moḷiyaphagguna berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, siapakah yang mengonsumsi makanan kesadaran?”21

“Bukan pertanyaan yang benar,” Sang Bhagavā menjawab. “Aku tidak mengatakan ‘Seseorang mengonsumsi.’22 Jika Aku mengatakan, ‘Seseorang mengonsumsi,’ dalam hal ini maka pertanyaan yang benar adalah: ‘Yang Mulia, siapakah yang mengonsumsi?’ Tetapi Aku tidak mengatakan demikian. Karena Aku tidak mengatakan demikian, jika seseorang bertanya kepadaKu, ‘Yang Mulia, untuk [kondisi] apakah makanan kesadaran?”23 maka ini adalah pertanyaan yang benar. Atas pertanyaan yang benar ini jawabannya adalah: ‘Makanan kesadaran adalah kondisi untuk menghasilkan penjelmaan mendatang.24 Ketika apa yang menjelma muncul, maka enam landasan indria [juga muncul];25 dengan enam landasan indria sebagai kondisi, maka kontak.’”

“Yang Mulia, siapakah yang membuat kontak?”

“Bukan pertanyaan yang benar,” Sang Bhagavā menjawab. “Aku tidak mengatakan ‘Seseorang membuat kontak.’ Jika Aku mengatakan, ‘Seseorang membuat kontak,’ dalam hal ini maka pertanyaan yang benar adalah: ‘Yang Mulia, siapakah yang membuat kontak?’ Tetapi Aku tidak mengatakan demikian. Karena Aku tidak mengatakan demikian, jika seseorang bertanya kepadaKu, ‘Yang Mulia, dengan apakah sebagai kondisi maka kontak [terjadi]?’ maka ini adalah pertanyaan yang benar. Atas pertanyaan yang benar ini maka jawabannya yang benar adalah: ‘Dengan enam landasan indria sebagai kondisi, maka kontak [muncul]; dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan.’”

“Yang Mulia, siapakah yang merasakan?”

“Bukan pertanyaan yang benar,” Sang Bhagavā menjawab. “Aku tidak mengatakan ‘Seseorang merasakan.’ Jika Aku mengatakan, ‘Seseorang merasakan,’ dalam hal ini maka pertanyaan yang benar adalah: ‘Yang Mulia, siapakah yang merasakan?’ Tetapi Aku tidak mengatakan demikian. Karena Aku tidak mengatakan demikian, jika seseorang bertanya kepadaKu, ‘Yang Mulia, dengan apakah sebagai kondisi maka perasaan [muncul]?’ maka ini adalah pertanyaan yang benar. Atas pertanyaan yang benar ini maka jawabannya yang benar adalah: ‘Dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan [muncul]; dengan perasaan sebagai kondisi, maka ketagihan.’”

“Yang Mulia, siapakah yang ketagihan?”

“Bukan pertanyaan yang benar,” Sang Bhagavā menjawab. “Aku tidak mengatakan ‘Seseorang ketagihan.’ [14] Jika Aku mengatakan, ‘Seseorang ketagihan,’ dalam hal ini maka pertanyaan yang benar adalah: ‘Yang Mulia, siapakah yang ketagihan?’ Tetapi Aku tidak mengatakan demikian. Karena Aku tidak mengatakan demikian, jika seseorang bertanya kepadaKu, ‘Yang Mulia, dengan apakah sebagai kondisi maka ketagihan [muncul]?’ maka ini adalah pertanyaan yang benar. Atas pertanyaan yang benar ini maka jawabannya yang benar adalah: ‘Dengan perasaan sebagai kondisi, maka ketagihan [muncul]; dengan ketagihan sebagai kondisi, maka kemelekatan; dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka penjelmaan …26 Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.’

“Tetapi Phagguna, dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya enam landasan kontak maka lenyap pula kontak; dengan lenyapnya kontak, maka lenyap pula perasaan; dengan lenyapnya perasaan, maka lenyap pula ketagihan; dengan lenyapnya ketagihan, maka lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, maka lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan-dan-kematian, kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.”

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, para petapa dan brahmana itu tidak memahami penuaan-dan-kematian, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya;27 yang tidak memahami kelahiran … penjelmaan … kemelekatan … ketagihan … perasaan … kontak … enam landasan indria … nama-dan-bentuk … kesadaran … bentukan-bentukan kehendak, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya: [15] mereka ini tidak Kuanggap sebagai petapa di antara para petapa atau brahmana di antara para brahmana, dan para mulia ini tidak, dengan merealisasikannya untuk mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini juga masuk dan berdiam dalam tujuan pertapaan atau tujuan kebrahmanaan.28

“Tetapi, para bhikkhu, para petapa dan brahmana itu yang memahami penuaan-dan-kematian, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya; yang memahami kelahiran … bentukan-bentukan kehendak, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya: mereka ini Kuanggap sebagai petapa di antara para petapa atau brahmana di antara para brahmana, dan para mulia ini, dengan merealisasikannya untuk mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini juga masuk dan berdiam dalam tujuan pertapaan dan tujuan kebrahmanaan.”

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang tidak memahami hal-hal ini, asal-mula dari hal-hal ini, lenyapnya hal-hal ini, dan jalan menuju lenyapnya hal-hal ini: apakah hal-hal tersebut yang tidak mereka pahami, asal-mula apakah yang mereka tidak pahami, lenyapnya apakah yang tidak mereka pahami, dan jalan menuju lenyapnya apakah yang tidak mereka pahami?

“Mereka tidak memahami penuaan-dan-kematian, asal mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya. Mereka tidak memahami kelahiran … penjelmaan … kemelekatan … ketagihan … perasaan … kontak … enam landasan indria … nama-dan-bentuk … kesadaran … bentukan-bentukan kehendak, asal mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya. Ini adalah hal-hal yang tidak mereka pahami, yang asal-mulanya tidak mereka pahami, [16] yang lenyapnya tidak mereka pahami, dan yang jalan menuju lenyapnya tidak mereka pahami.

“Mereka ini tidak Kuanggap sebagai petapa di antara para petapa atau brahmana di antara para brahmana, dan para mulia ini tidak, dengan merealisasikannya untuk mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini juga masuk dan berdiam dalam tujuan pertapaan atau tujuan kebrahmanaan.

“Tetapi, para bhikkhu, sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang memahami hal-hal ini, asal-mula dari hal-hal ini, lenyapnya hal-hal ini, dan jalan menuju lenyapnya hal-hal ini: apakah hal-hal tersebut yang mereka pahami, asal-mula apakah yang mereka pahami, lenyapnya apakah yang mereka pahami, dan jalan menuju lenyapnya apakah yang mereka pahami?

“Mereka memahami penuaan-dan-kematian, asal mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya. Mereka memahami kelahiran … bentukan-bentukan kehendak, asal mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya. Ini adalah hal-hal yang mereka pahami, yang asal-mulanya mereka pahami, yang lenyapnya mereka pahami, dan yang jalan menuju lenyapnya mereka pahami.

“Mereka ini Kuanggap sebagai petapa di antara para petapa atau brahmana di antara para brahmana, dan para mulia ini, dengan merealisasikannya untuk mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini juga masuk dan berdiam dalam tujuan pertapaan dan tujuan kebrahmanaan.”

Di Sāvatthī. [17] Yang Mulia Kaccānagotta mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk d satu sisi, dan berkata kepada Beliau: “Yang Mulia, dikatakan, ‘pandangan benar, pandangan benar.’ Dalam cara bagaimanakah, Yang Mulia, pandangan benar itu?”

“Dunia ini, Kaccāna, sebagian besar bergantung pada dualitas – pada gagasan ke-ada-an dan gagasan ke-tiada-an.29 Tetapi bagi seorang yang melihat asal-mula dunia ini sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, tidak ada gagasan ke-tiada-an sehubungan dengan dunia ini. Dan bagi seorang yang melihat lenyapnya dunia sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, tidak ada gagasan ke-ada-an sehubungan dengan dunia.30

“Dunia ini, Kaccāna, sebagian besar terbelenggu oleh pekerjaan, kemelekatan, dan ketaatan.31 Tetapi orang ini [dengan pandangan benar] tidak menjadi terlibat dan melekat pada pekerjaan dan kemelekatan, sudut pandangan, ketaatan, kecenderungan tersembunyi; ia tidak menganut pandangan ‘diriku’.32 Ia tidak bingung atau ragu bahwa apa yang muncul hanyalah munculnya penderitaan, apa yang lenyap hanyalah lenyapnya penderitaan. Pengetahuannya tentang ini tidak bergantung pada yang lain. Dalam cara inilah, Kaccāna, pandangan benar itu.33

“‘Semua ada’: Kaccāna, ini adalah satu ekstrim. ‘Semua tidak ada’: ini adalah ekstrim ke dua. Tanpa berbelok ke arah salah satu dari ekstrim-ekstrim ini, Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma di tengah: ‘Dengan ketidak-tahuan sebagai kondisi, bentukan-bentukan kehendak [muncul]; dengan bentukan-bentukan kehendak sebagai kondisi, kesadaran … Demikianlah asal-mula dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini. Tetapi dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketidaktahuan, maka lenyap pula bentukan-bentukan kehendak; dengan lenyapnya bentukan-bentukan kehendak, maka lenyap pula kesadaran … Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.” [18]

Di Sāvatthī. Seorang bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau: “Yang Mulia, dikatakan, ‘pembabar Dhamma, pembabar Dhamma.’ Bagaimanakah, Yang Mulia, seorang pembabar Dhamma itu?”

“Bhikkhu, jika seseorang mengajarkan Dhamma untuk tujuan kejijikan terhadap penuaan-dan-kematian, untuk peluruhan dan lenyapnya, maka orang itu layak disebut seorang bhikkhu yang merupakan seorang pembabar Dhamma. Jika seseorang berlatih untuk tujuan kejijikan pada penuaan-dan-kematian, untuk peluruhan dan lenyapnya, maka ia layak disebut seorang bhikkhu yang berlatih sesuai Dhamma.34 Jika, melalui kejijikan terhadap penuaan-dan-kematian, melalui peluruhan dan lenyapnya, ia terbebas melalui ketidak-melekatan, maka ia layak disebut seorang bhikkhu yang telah mencapai Nibbāna dalam kehidupan ini.35

“Bhikkhu, jika seseorang mengajarkan Dhamma untuk tujuan kejijikan terhadap kelahiran … untuk tujuan kejijikan terhadap ketidaktahuan, maka ia layak disebut seorang bhikkhu yang merupakan seorang pembabar Dhamma. Jika seseorang berlatih untuk tujuan kejijikan terhadap ketidaktahuan, untuk peluruhan dan lenyapnya, maka ia layak disebut seorang bhikkhu yang berlatih sesuai Dhamma. Jika, melalui kejijikan terhadap ketidaktahuan, melalui peluruhan dan lenyapnya, ia terbebas melalui ketidak-melekatan, maka ia layak disebut seorang bhikkhu yang telah mencapai Nibbāna dalam kehidupan ini.”

Demikianlah yang kudengar. Suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. [19] Kemudian, pada pagi hari, Sang Bhagavā merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahNya, memasuki Rājagaha untuk menerima dana makanan. Dari kejauhan petapa telanjang Kassapa melihat Sang Bhagavā. Setelah melihat Beliau, ia mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Setelah mengakhiri ramah-tamah ini, ia berdiri di satu sisi dan berkata kepada Beliau: “Kami ingin bertanya kepada Guru Gotama mengenai hal tertentu, jika Beliau bersedia menjawab pertanyaan kami.”

“Ini bukan saat yang tepat untuk bertanya, Kassapa. Kami sedang memasuki rumah demi rumah.”36

Untuk ke dua dan ke tiga kalinya petapa telanjang Kassapa berkata kepada Sang Bhagavā: “Kami ingin bertanya kepada Guru Gotama mengenai hal tertentu, jika Beliau bersedia menjawab pertanyaan kami.”

“Ini bukan saat yang tepat untuk bertanya, Kassapa. Kami sedang memasuki rumah demi rumah.”

Kemudian petapa telanjang Kassapa berkata kepada Sang Bhagavā: “Kami tidak mengajukan banyak pertanyaan kepada Guru Gotama.”

“Kalau begitu tanyalah apa yang ingin engkau tanyakan, Kassapa.”

“Bagaimanakah, Guru Gotama: apakah penderitaan dibuat oleh diri sendiri?”

“Tidak demikian, Kassapa,” Sang Bhagavā berkata.

“Kalau begitu, Guru Gotama, apakah penderitaan dibuat oleh orang lain?”

“Tidak demikian, Kassapa,” Sang Bhagavā berkata.

“Kalau begitu, Guru Gotama: apakah penderitaan dibuat oleh diri sendiri dan orang lain?”

“Tidak demikian, Kassapa,” Sang Bhagavā berkata. [20]

“Kalau begitu, Guru Gotama, apakah penderitaan muncul secara kebetulan dan tidak dibuat oleh diri sendiri atau orang lain?”37

“Tidak demikian, Kassapa,” Sang Bhagavā berkata.

“Kalau begitu, bagaimanakah, Guru Gotama: apakah tidak ada penderitaan?”

“Bukan tidak ada penderitaan, Kassapa; ada penderitaan.”

“Kalau begitu Guru Gotama tidak mengetahui dan melihat penderitaan?”

“Bukan Aku tidak mengetahui dan tidak melihat penderitaan, Kassapa. Aku mengetahui penderitaan, Aku melihat penderitaan.”

“Ketika Engkau ditanya: ‘Bagaimanakah, Guru Gotama, apakah penderitaan dibuat oleh diri sendiri?’ atau ‘Apakah dibuat oleh orang lain?’ atau ‘Apakah dibuat oleh keduanya?’ atau ‘Apakah dibuat oleh bukan keduanya?’ dalam setiap pertanyaan Engkau mengatakan: ‘Tidak demikian, Kassapa.’ Ketika Engkau ditanya: ‘Bagaimanakah, Guru Gotama: apakah tidak ada penderitaan?’ Engkau mengatakan: ‘Bukan tidak ada penderitaan, Kassapa; ada penderitaan.’ Ketika ditanya: ‘Kalau begitu, Guru Gotama tidak mengetahui dan melihat penderitaan?” Engkau mengatakan: ‘Bukan Aku tidak mengetahui dan melihat penderitaan, Kassapa. Aku mengetahui penderitaan, Aku melihat penderitaan.’ Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā menjelaskan penderitaan kepadaku. Mohon Bhagavā mengajarkan aku mengenai penderitaan.”38

“Kassapa, [jika seseorang berpikir,] ‘Seorang yang melakukan adalah orang yang sama dengan yang mengalami [akibat],’ [maka ia yakin] sehubungan dengan keberadaannya sejak awal: ‘Penderitaan dibuat oleh dirinya sendiri.’ Ketika ia meyakini demikian, ini berarti pandangan keabadian.39 Tetapi, Kassapa, [jika seseorang berpikir,] ‘Yang melakukan adalah seseorang, yang mengalami [akibat] adalah orang lain,’ [maka ia yakin] sehubungan dengan seseorang yang didera oleh perasaan: ‘Penderitaan dibuat oleh orang lain. Ketika ia meyakini demikian, ini berarti pandangan pemusnahan.40 Tanpa berbelok ke arah salah satu dari ekstrim-ekstrim ini, Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma yang di tengah:41 ‘Dengan ketidaktahuan sebagai kondisi, bentukan-bentukan kehendak [muncul]; dengan bentukan-bentukan kehendak sebagai kondisi, kesadaran … Demikianlah asal-mula dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini. [21] Tetapi dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketidaktahuan, maka lenyap pula bentukan-bentukan kehendak; dengan lenyapnya bentukan-bentukan kehendak, maka lenyap pula kesadaran … Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.’”

Ketika hal ini dikatakan, petapa telanjang Kassapa berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Yang Mulia! Menakjubkan, Yang Mulia! Dhamma telah dijelaskan dalam banyak cara oleh Sang Bhagavā, bagaikan menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Sang Bhagavā, dan pada Dhamma, dan pada Bhikkhu Saṅgha. Semoga aku menerima pelepasan keduniawian di bawah Sang Bhagavā, bolehkah aku menerima penahbisan yang lebih tinggi?”42

“Kassapa, seseorang yang sebelumnya berasal dari sekte lain yang ingin melepaskan keduniawian dan penahbisan yang lebih tinggi dalam Dhamma dan Disiplin ini harus menjalani masa percobaan selama empat bulan. Pada akhir dari empat bulan, jika para bhikkhu merasa puas terhadapnya, mereka boleh, jika mereka menginginkan, memberikan penahbisan yang lebih tinggi menjadi seorang bhikkhu kepadanya. Namun Aku mengenali perbedaan-perbedaan individual.”43

“Jika, Yang Mulia, seseorang yang sebelumnya berasal dari sekte lain yang ingin melepaskan keduniawian dan penahbisan yang lebih tinggi dalam Dhamma dan Disiplin ini harus menjalani masa percobaan selama empat bulan, dan jika pada akhir dari empat bulan para bhikkhu, merasa puas terhadapnya, mereka boleh, jika mereka menginginkan, memberikan penahbisan yang lebih tinggi menjadi seorang bhikkhu kepadanya, maka aku bahkan bersedia menjalani masa percobaan selama empat tahun. Pada akhir dari empat tahun, jika para bhikkhu merasa puas terhadapku, mereka boleh, jika mereka menginginkan, memberikan penahbisan yang lebih tinggi menjadi seorang bhikkhu kepadaku.”

Kemudian petapa telanjang Kassapa menerima pelepasan keduniawian dari Sang Bhagavā, dan ia menerima penahbisan yang lebih tinggi. Dan segera, tidak lama setelah penahbisannya, dengan berdiam sendirian, mengasingkan diri, rajin, tekun, dan teguh, Yang Mulia Kassapa, [22] dengan mengalami oleh dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, masuk dan berdiam dalam tujuan kehidupan suci yang sempurna yang dicari oleh orang-orang baik yang meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Ia mengetahui secara langsung: “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi bagi kondisi makhluk ini.” Dan Yang Mulia Kassapa menjadi salah satu di antara para Arahant.44

Di Sāvatthī. Pengembara Timbaruka mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Setelah mengakhiri ramah-tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Beliau: “Bagaimanakah, Guru Gotama, apakah kesenangan dan kesakitan dibuat oleh diri sendiri?”45

“Tidak demikian, Timbaruka,” Sang Bhagavā berkata.

“Kalau begitu, Guru Gotama, apakah kesenangan dan kesakitan dibuat oleh orang lain?”

“Tidak demikian, Timbaruka,” Sang Bhagavā berkata.

“Kalau begitu, bagaimana ini, Guru Gotama: apakah kesenangan dan kesakitan dibuat oleh diri sendiri dan orang lain?”

“Tidak demikian, Timbaruka,” Sang Bhagavā berkata.

“Kalau begitu, Guru Gotama, apakah kesenangan dan kesakitan muncul secara kebetulan dan tidak dibuat oleh diri sendiri atau orang lain?”

“Tidak demikian, Timbaruka,” Sang Bhagavā berkata.

“Kalau begitu, bagaimanakah, Guru Gotama: apakah tidak ada kesenangan dan kesakitan?”

“Bukan tidak ada kesenangan dan kesakitan, Timbaruka, ada kesenangan dan kesakitan.”

“Kalau begitu, Guru Gotama tidak mengetahui dan tidak melihat kesenangan dan kesakitan?”

“Bukan Aku tidak mengetahui dan tidak melihat kesenangan dan kesakitan. Aku mengetahui kesenangan dan kesakitan, Aku melihat kesenangan dan kesakitan.”

“Ketika Engkau ditanya: ‘Bagaimanakah, Guru Gotama: apakah kesenangan dan kesakitan dibuat oleh diri sendiri?’ atau ‘Apakah dibuat oleh orang lain?’ [23] atau ‘Apakah dibuat oleh keduanya?’ atau ‘Apakah dibuat oleh bukan keduanya?’ dalam setiap pertanyaan Engkau mengatakan: ‘Tidak demikian, Timbaruka.’ Ketika Engkau ditanya: ‘Bagaimanakah, Guru Gotama: apakah tidak ada kesenangan dan kesakitan?’ Engkau mengatakan: ‘Bukan tidak ada kesenangan dan kesakitan, Timbaruka; ada kesenangan dan kesakitan.’ Ketika ditanya: ‘Kalau begitu, Guru Gotama tidak mengetahui dan tidak melihat kesenangan dan kesakitan?” Engkau mengatakan: ‘Bukan Aku tidak mengetahui dan tidak melihat kesenangan dan kesakitan, Timbaruka. Aku mengetahui kesenangan dan kesakitan, Aku melihat kesenangan dan kesakitan.’ Yang Mulia, mohon Sang Bhagavā menjelaskan kesenangan dan kesakitan kepadaku. Mohon Sang Bhagavā mengajarkan aku mengenai kesenangan dan kesakitan.”

“Timbaruka, [jika seseorang berpikir,] ‘Perasaan dan orang yang merasakan adalah sama.’ [maka ia yakin] sehubungan dengan keberadaannya sejak awal: ‘Kesenangan dan kesakitan dibuat oleh dirinya sendiri.’ Aku tidak mengatakan demikian.46 Tetapi, Timbaruka, [jika seseorang berpikir,] ‘Perasaan adalah satu hal dan orang yang merasakan adalah hal lainnya,’ [maka ia yakin] sehubungan dengan seseorang yang didera oleh perasaan: ‘Kesenangan dan kesakitan dibuat oleh orang lain.’ Aku juga tidak mengatakan demikian.47 Tanpa berbelok ke arah salah satu dari ekstrim-ekstrim ini, Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma yang di tengah: ‘Dengan ketidaktahuan sebagai kondisi, bentukan-bentukan kehendak [muncul]; dengan bentukan-bentukan kehendak sebagai kondisi, kesadaran … Demikianlah asal-mula dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini. Tetapi dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketidaktahuan, maka lenyap pula bentukan-bentukan kehendak; dengan lenyapnya bentukan-bentukan kehendak, maka lenyap pula kesadaran … Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.”

Ketika hal ini dikatakan, petapa telanjang Timbaruka berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Guru Gotama! … Aku berlindung pada Sang Bhagavā, dan pada Dhamma, dan pada Bhikkhu Saṅgha. Sejak hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, bagi si dungu, yang terhalang oleh ketidaktahuan dan terbelenggu oleh ketagihan, [24] jasmani ini berasal-mula demikian. Jadi ada jasmani ini dan nama-dan-bentuk eksternal: demikianlah pasangan ini. Dengan bergantung pada pasangan ini ada kontak. Ada enam landasan indria, yang padanya kontak terjadi – atau melalui salah satu di antaranya – si dungu mengalami kesenangan dan kesakitan.48

“Para bhikkhu, bagi orang bijaksana, yang terhalang oleh ketidaktahuan dan terbelenggu oleh ketagihan, jasmani ini berasal-mula demikian. Jadi ada jasmani ini dan nama-dan-bentuk eksternal: demikianlah pasangan ini. Dengan bergantung pada pasangan ini ada kontak. Ada enam landasan indria, yang padanya kontak terjadi – atau melalui salah satu di antaranya – si bijaksana mengalami kesenangan dan kesakitan. Apakah, para bhikkhu, perbedaannya di sini, apakah kesenjangannya, apakah pertentangan antara si bijaksana dan si dungu?”

“Yang Mulia, ajaran kami berakar dalam Sang Bhagavā, dituntun oleh Sang Bhagavā, dilindungi oleh Sang Bhagavā. Baik sekali jika Sang Bhagavā sudi menjelaskan makna dari pernyataan ini.49 Setelah mendengarkan dari Beliau, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Kalau begitu, dengarkanlah dan perhatikanlah, para bhikkhu, Aku akan berbicara.”

“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, bagi si dungu, yang terhalang oleh ketidaktahuan dan terbelenggu oleh ketagihan, jasmani ini berasal-mula demikian. Bagi si dungu, ketidaktahuan itu belum dilepaskan dan ketagihan itu belum dihancurkan sepenuhnya. Karena alasan apakah? Karena si dungu belum menjalani kehidupan suci untuk sepenuhnya menghancurkan penderitaan. Oleh karena itu, dengan hancurnya jasmani, si dungu mengembara menuju jasmani [lainnya]. Dengan mengembara menuju jasmani [lainnya], ia belum terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian; belum terbebas dari kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan; belum terbebas dari penderitaan, Aku katakan.

“Para bhikkhu, bagi si bijaksana, yang terhalang oleh ketidaktahuan dan terbelenggu oleh ketagihan, jasmani ini berasal-mula demikian. Bagi si bijaksana, ketidaktahuan itu telah dilepaskan dan ketagihan itu telah dihancurkan sepenuhnya. Karena alasan apakah? Karena si bijaksana telah menjalani kehidupan suci [25] untuk sepenuhnya menghancurkan penderitaan. Oleh karena itu, dengan hancurnya jasmani, si bijaksana tidak mengembara menuju jasmani [lainnya]. Dengan tidak mengembara menuju jasmani [lainnya], ia terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian; terbebas dari kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan; terbebas dari penderitaan, Aku katakan.

“Ini, para bhikkhu, adalah perbedaan, kesenjangan, pertentangan antara si bijaksana dan si dungu, yaitu, dalam hal menjalani kehidupan suci.”50

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang asal-mula yang bergantungan dan fenomena yang muncul bergantungan. Dengarkanlah dan perhatikanlah, Aku akan menjelaskan.”

“Baiklah, Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Dan apakah, para bhikkhu, asal-mula yang bergantungan? ‘Dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan-dan-kematian [muncul]’: apakah Tathāgata muncul atau tidak muncul, unsur itu tetap ada, kestabilan Dhamma, jalan pasti Dhamma, kondisionalitas spesifik.51 Sang Tathāgata tercerahkan pada hal ini dan menembus hal ini.52 Setelah melakukan demikian, Beliau menjelaskannya, mengajarkannya, mengumumkannya, menegakkannya, mengungkapkannya, menganalisisnya, menguraikannya. Dan Beliau mengatakan: ‘Lihat! Dengan kelahiran sebagai kondisi, para bhikkhu, maka penuaan-dan-kematian.’53

“Dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran’ … ‘Dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka penjelmaan’ … ‘Dengan ketagihan sebagai kondisi, maka kemelekatan’ … ‘Dengan perasaan sebagai kondisi, maka ketagihan’ … ‘Dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan’ … ‘Dengan enam landasan indria sebagai kondisi, maka kontak’ … ‘Dengan nama-dan-bentuk sebagai kondisi, maka enam landasan indria’ … ‘Dengan kesadaran sebagai kondisi, maka nama-dan-bentuk’ … ‘Dengan bentukan-bentukan kehendak sebagai kondisi, maka kesadaran’ … ‘Dengan ketidaktahuan sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan kehendak’: apakah Tathāgata muncul atau tidak muncul, unsur itu tetap ada, kestabilan Dhamma, kondisionalitas spesifik. Sang Tathāgata tercerahkan pada hal ini dan [26] menembus hal ini. Setelah melakukan demikian, Beliau menjelaskannya, mengajarkannya, mengumumkannya, menegakkannya, mengungkapkannya, menganalisisnya, menguraikannya. Dan Beliau mengatakan: ‘Lihat! Dengan ketidaktahuan sebagai kondisi, para bhikkhu, maka bentukan-bentukan kehendak.’

“Demikianlah para bhikkhu, kenyataan dalam hal ini, ketidak-salahan, yang bukan sebaliknya, kondisionalitas spesifik: ini disebut asal-mula yang bergantungan.54

“Dan apakah, para bhikkhu, fenomena yang muncul bergantungan? Penuaan-dan-kematian, para bhikkhu, adalah tidak kekal, terkondisi, muncul bergantungan, tunduk pada kehancuran, pelenyapan, peluruhan, dan penghentian. Kelahiran adalah tidak kekal … Penjelmaan adalah tidak kekal … Kemelekatan adalah tidak kekal … Ketagihan adalah tidak kekal … Perasaan adalah tidak kekal … Kontak adalah tidak kekal … Enam landasan indria adalah tidak kekal … Nama-dan-bentuk adalah tidak kekal … Kesadaran adalah tidak kekal … Bentukan-bentukan kehendak adalah tidak kekal … Ketidaktahuan adalah tidak kekal, terkondisi, muncul bergantungan, tunduk pada kehancuran, pelenyapan, peluruhan, dan penghentian. Ini, para bhikkhu, disebut fenomena yang muncul bergantungan.

“Ketika, para bhikkhu, seorang siswa mulia telah melihat dengan jelas dengan kebijaksanaan yang benar55 sebagaimana adanya asal-mula yang saling bergantungan ini dan fenomena yang muncul bergantungan ini, tidaklah mungkin ia kembali ke masa lalu, dengan berpikir: “Apakah aku ada di masa lalu? Apakah aku tidak ada di masa lalu? Apakah aku di masa lalu? Bagaimanakah aku di masa lalu? Setelah menjadi apa, selanjutnya menjadi apakah aku di masa lalu?’ Atau ia maju ke masa depan, dengan berpikir: ‘Akankah aku ada di masa depan? Akankah aku tidak ada [27] di masa depan? Apakah aku di masa depan? Bagaimanakah aku di masa depan? Setelah menjadi apa, selanjutnya akan menjadi apakah aku di masa depan?’ Atau ia bingung sehubungan dengan masa sekarang sebagai berikut: “Apakah aku ada? Apakah aku tidak ada? Apakah aku? Bagaimanakah aku? Makhluk ini – dari manakah datangnya, dan kemanakah perginya?”56

“Karena alasan apakah [apakah ini tidak mungkin]? Karena, para bhikkhu, siswa mulia itu telah melihat dengan jelas dengan kebijaksanaan benar sebagaimana adanya asal-mula yang saling bergantungan ini dan fenomena yang muncul bergantungan ini.”

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, dengan memiliki sepuluh kekuatan dan empat landasan keyakinan-diri, Sang Tathāgata mengaku sebagai sapi pemimpin dari kelompoknya, mengaumkan auman singa dalam kelompoknya, dan memutar Roda-Brahma sebagai berikut:57 [28] ‘Demikianlah bentuk, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah perasaan, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah persepsi, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah bentukan-bentukan kehendak, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah kesadaran, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya.58 Demikianlah dengan adanya ini, maka itu muncul; dengan timbulnya ini maka timbullah itu. Ketika ini tidak ada, maka itu tidak muncul; dengan lenyapnya ini, maka lenyap pula itu.59 Yaitu, dengan ketidaktahuan sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan kehendak [muncul]; dengan bentukan-bentukan kehendak sebagai kondisi, maka kesadaran … Demikianlah asal mula dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini. Tetapi dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketidaktahuan, maka lenyap pula bentukan-bentukan kehendak; dengan lenyapnya bentukan-bentukan kehendak, maka lenyap pula kesadaran … Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.”

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, dengan memiliki sepuluh kekuatan dan empat landasan keyakinan-diri, Sang Tathāgata mengaku sebagai sapi pemimpin dari kelompoknya, mengaumkan auman singa dalam kelompoknya, dan memutar Roda-Brahma sebagai berikut: ‘Demikianlah bentuk … (seperti pada §21) … Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.’

“Para bhikkhu, Dhamma telah dengan sempurna dibabarkan olehKu, telah diuraikan, diungkapkan, dinyatakan, dibuka jahitan tambalannya.60 Ketika, para bhikkhu, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna demikian olehKu, diuraikan, diungkapkan, dinyatakan, dibuka jahitannya, ini cukup bagi para pengikutnya yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan untuk membangkitkan usaha sebagai berikut: ‘Aku bertekad, biarpun kulitku, uratku, dan tulangku yang tersisa, dan biarpun daging dan darahku mengering dalam tubuhku, namun aku tidak akan mengendurkan usahaku selama aku belum mencapai apa yang dapat dicapai melalui kekuatan manusia, melalui usaha manusia, melalui daya-upaya manusia.’61 [29]

“Para bhikkhu, orang malas berdiam dalam penderitaan, dikotori oleh kondisi buruk yang tidak bermanfaat, dan besar sekali kebaikan pribadi yang ia abaikan.62 Tetapi orang yang bersemangat berdiam dengan bahagia, jauh dari kondisi buruk yang tidak bermanfaat, dan besar sekali kebaikan pribadi yang ia peroleh. Yang tertinggi tidak dicapai oleh mereka yang rendah; melainkan, yang tertinggi hanya dicapai oleh mereka yang tinggi.63 Para bhikkhu, kehidupan suci ini adalah minuman berkrim; Sang Guru ada saat ini.64 Oleh karena itu, para bhikkhu, bangkitkanlah semangat untuk mencapai apa yang belum dicapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan, [dengan pemikiran]: ‘Dalam cara-cara demikian pelepasan keduniawian ini tidak akan menjadi mandul, namun berbuah banyak dan subur; dan ketika kami menggunakan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan [yang dipersembahkan kepada kami oleh orang lain], pelayanan ini yang mereka berikan kepada kami akan menghasilkan buah dan manfaat besar bagi mereka.’65 Demikianlah, para bhikkhu, kalian harus berlatih.

“Dengan mempertimbangkan kebaikan kalian, para bhikkhu, cukuplah berusaha demi tujuan dengan tekun; dengan mempertimbangkan kebaikan makhluk lain, cukuplah berusaha demi tujuan dengan tekun; dengan mempertimbangkan kebaikan keduanya, cukuplah berusaha demi tujuan dengan tekun.”66

Di Sāvatthī.67 “Para bhikkhu, Aku mengatakan bahwa penghancuran noda-noda adalah bagi orang yang mengetahui dan melihat, bukan bagi orang yang tidak mengetahui dan tidak melihat. Bagi orang yang mengetahui apakah, bagi orang yang melihat apakah, maka penghancuran noda-noda terjadi? ‘Demikianlah bentuk, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah perasaan … demikianlah persepsi … demikianlah bentukan-bentukan kehendak … demikianlah kesadaran, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya’: adalah bagi orang yang mengetahui demikian, bagi orang yang melihat demikian, maka penghancuran noda-noda terjadi. [30]

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa pengetahuan penghancuran sehubungan dengan kehancuran memiliki penyebab terdekat; bukan tanpa penyebab terdekat. Dan apakah penyebab terdekat bagi pengetahuan penghancuran? Ini harus dijawab: kebebasan.68

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa kebebasan juga memiliki penyebab terdekat; bukan tanpa penyebab terdekat. Dan apakah penyebab terdekat bagi kebebasan? Ini harus dijawab: kebosanan.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa kebosanan juga memiliki penyebab terdekat; bukan tanpa penyebab terdekat. Dan apakah penyebab terdekat bagi kebosanan? Ini harus dijawab: kejijikan.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa kejijikan juga memiliki penyebab terdekat; bukan tanpa penyebab terdekat. Dan apakah penyebab terdekat bagi kejijikan? Ini harus dijawab: pengetahuan dan penglihatan atas segala sesuatu sebagaimana adanya.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa pengetahuan dan penglihatan atas segala sesuatu sebagaimana adanya juga memiliki penyebab terdekat; bukan tanpa penyebab terdekat. Dan apakah penyebab terdekat bagi pengetahuan dan penglihatan atas segala sesuatu sebagaimana adanya? Ini harus dijawab: konsentrasi.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa konsentrasi juga memiliki penyebab terdekat; bukan tanpa penyebab terdekat. Dan apakah penyebab terdekat bagi konsentrasi? Ini harus dijawab: kebahagiaan.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa kebahagiaan juga memiliki penyebab terdekat; bukan tanpa penyebab terdekat. Dan apakah penyebab terdekat bagi kebahagiaan? Ini harus dijawab: ketenangan.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa ketenangan juga memiliki penyebab terdekat; bukan tanpa penyebab terdekat. Dan apakah penyebab terdekat bagi ketenangan? Ini harus dijawab: sukacita.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa sukacita juga memiliki penyebab terdekat; bukan tanpa penyebab terdekat. Dan apakah penyebab terdekat bagi sukacita? Ini harus dijawab: kegembiraan.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa kegembiraan juga memiliki penyebab terdekat; bukan tanpa penyebab terdekat. Dan apakah penyebab terdekat bagi kegembiraan? Ini harus dijawab: keyakinan.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa keyakinan juga memiliki penyebab terdekat; bukan tanpa penyebab terdekat. [31] Dan apakah penyebab terdekat bagi keyakinan? Ini harus dijawab: penderitaan.69

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa penderitaan juga memiliki penyebab terdekat; bukan tanpa penyebab terdekat. Dan apakah penyebab terdekat bagi penderitaan? Ini harus dijawab: kelahiran.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa kelahiran juga memiliki penyebab terdekat; bukan tanpa penyebab terdekat. Dan apakah penyebab terdekat bagi kelahiran? Ini harus dijawab: penjelmaan.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa penjelmaan juga memiliki penyebab terdekat; bukan tanpa penyebab terdekat. Dan apakah penyebab terdekat bagi penjelmaan? Ini harus dijawab: kemelekatan.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa kemelekatan juga memiliki penyebab terdekat; bukan tanpa penyebab terdekat. Dan apakah penyebab terdekat bagi kemelekatan? Ini harus dijawab: ketagihan.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa ketagihan juga memiliki penyebab terdekat; bukan tanpa penyebab terdekat. Dan apakah penyebab terdekat bagi ketagihan? Ini harus dijawab: perasaan.

“Bagi perasaan, ini harus dijawab: kontak. bagi kontak: enam landasan indria. Bagi enam landasan indria: nama-dan-bentuk. Bagi nama-dan-bentuk: kesadaran. Bagi kesadaran: bentukan-bentukan kehendak.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa bentukan-bentukan kehendak juga memiliki penyebab terdekat; bukan tanpa penyebab terdekat. Dan apakah penyebab terdekat bagi bentukan-bentukan kehendak? Ini harus dijawab: ketidaktahuan.

“Demikianlah, para bhikkhu, dengan ketidaktahuan sebagai penyebab terdekat, maka bentukan-bentukan kehendak [muncul]; dengan bentukan-bentukan kehendak sebagai penyebab terdekat, maka kesadaran; dengan kesadaran sebagai penyebab terdekat, maka nama-dan-bentuk; dengan nama-dan-bentuk sebagai penyebab terdekat, maka enam landasan indria; dengan enam landasan indria sebagai penyebab terdekat, maka kontak; dengan kontak sebagai penyebab terdekat, maka perasaan; dengan perasaan sebagai penyebab terdekat, maka ketagihan; dengan ketagihan sebagai penyebab terdekat, maka kemelekatan; dengan kemelekatan sebagai penyebab terdekat, maka penjelmaan; dengan penjelmaan sebagai penyebab terdekat, maka kelahiran; dengan kelahiran sebagai penyebab terdekat, maka penderitaan; dengan penderitaan sebagai penyebab terdekat, maka keyakinan; dengan keyakinan sebagai penyebab terdekat, maka kegembiraan; dengan kegembiraan sebagai penyebab terdekat, maka sukacita; dengan sukacita sebagai penyebab terdekat, maka ketenangan; dengan ketenangan sebagai penyebab terdekat, maka kebahagiaan; dengan kebahagiaan sebagai penyebab terdekat, maka konsentrasi; dengan konsentrasi sebagai penyebab terdekat, maka pengetahuan dan penglihatan atas segala sesuatu sebagaimana adanya; [32] dengan pengetahuan dan penglihatan atas segala sesuatu sebagaimana adanya sebagai penyebab terdekat, maka kejijikan; dengan kejijikan sebagai penyebab terdekat, maka kebosanan; dengan kebosanan sebagai penyebab terdekat, maka kebebasan; dengan kebebasan sebagai penyebab terdekat, maka pengetahuan penghancuran.

“Bagaikan, para bhikkhu, ketika hujan lebat turun di puncak gunung, airnya mengalir turun sepanjang lereng dan memenuhi celah, selokan, dan sungai; kemudian memenuhi kolam-kolam; kemudian memenuhi danau-danau; kemudian memenuhi sungai-sungai kecil; kemudian memenuhi sungai-sungai besar; dan kemudian memenuhi samudra;70 demikian pula, dengan ketidaktahuan sebagai penyebab terdekat, maka bentukan-bentukan kehendak [muncul]; dengan bentukan-bentukan kehendak sebagai penyebab terdekat, maka kesadaran … dengan kebebasan sebagai penyebab terdekat, maka pengetahuan penghancuran.”

Di Rājagaha di Hutan Bambu.

(i)

Pada suatu pagi, Yang Mulia Sāriputta merapikan jubah dan, membawa mangkuk dan jubahnya, memasuki Rājagaha untuk menerima dana makanan. Kemudian ia berpikir: “Masih terlalu pagi untuk menerima dana makanan di Rājagaha. Aku akan pergi ke taman tempat para pengembara sekte lain.”

Kemudian Yang Mulia Sāriputta [33] pergi ke taman para pengembara sekte lain. Ia bertukar sapa dengan para pengembara itu dan, setelah mengakhiri ramah-tamah itu, ia duduk di satu sisi. Para pengembara berkata kepadanya:

“Sahabat Sāriputta, beberapa petapa dan brahmana pendukung doktrin kamma, berpendapat bahwa penderitaan dibuat oleh diri sendiri; beberapa petapa dan brahmana pendukung doktrin kamma, berpendapat bahwa penderitaan dibuat oleh orang lain; beberapa petapa dan brahmana pendukung doktrin kamma, berpendapat bahwa penderitaan dibuat oleh diri sendiri dan orang lain; beberapa petapa dan brahmana pendukung doktrin kamma, berpendapat bahwa penderitaan terjadi secara kebetulan dan bukan dibuat oleh diri sendiri atau orang lain.71 Sekarang, Sahabat Sāriputta, apakah yang dikatakan oleh Petapa Gotama sehubungan dengan hal ini? Apakah yang Beliau ajarkan? Bagaimanakah kami harus menjawab jika kami harus mengulangi apa yang telah dikatakan oleh Petapa Gotama dan tidak salah mewakiliNya dengan apa yang berlawanan dengan fakta? Dan bagaimanakah kami harus menjelaskan sesuai dengan Dhamma sehingga tidak ada konsekuensi logis atas pernyataan kami yang dapat dijadikan dasar bagi kritikan?”72

“Sahabat-sahabat, Sang Bhagavā telah mengatakan bahwa penderitaan adalah muncul bergantungan. Bergantung pada apakah? Bergantung pada kontak. Jika seseorang berkata seperti demikian maka ia mengatakan apa yang telah dikatakan oleh Sang Bhagavā dan tidak salah mewakiliNya dengan apa yang berlawanan dengan fakta; ia menjelaskan sesuai dengan Dhamma, dan tidak ada konsekuensi logis atas pernyataannya yang dapat dijadikan dasar bagi kritikan.

“Sehubungan dengan hal ini, para sahabat, dalam hal para petapa dan brahmana, yang mendukung doktrin kamma, yang berpendapat bahwa penderitaan dibuat oleh diri sendiri, itu dikondisikan oleh kontak.73 Juga, dalam hal para petapa dan brahmana, yang mendukung doktrin kamma, yang berpendapat bahwa penderitaan dibuat oleh orang lain, itu juga dikondisikan oleh kontak. Juga, dalam hal para petapa dan brahmana, yang mendukung doktrin kamma, yang berpendapat bahwa penderitaan dibuat oleh diri sendiri dan orang lain, itu juga dikondisikan oleh kontak. [34] Juga, dalam hal para petapa dan brahmana, yang mendukung doktrin kamma, yang berpendapat bahwa penderitaan terjadi secara kebetulan dan bukan dibuat oleh diri sendiri atau orang lain, itu juga dikondisikan oleh kontak.

“Sehubungan dengan hal ini, para sahabat, dalam hal para petapa dan brahmana, yang mendukung doktrin kamma, yang berpendapat bahwa penderitaan dibuat oleh diri sendiri, adalah tidak mungkin bahwa mereka akan mengalami [apa pun] tanpa kontak. Juga, dalam hal para petapa dan brahmana, yang mendukung doktrin kamma, yang berpendapat bahwa penderitaan dibuat oleh orang lain, adalah tidak mungkin bahwa mereka akan mengalami [apa pun] tanpa kontak. Juga, dalam hal para petapa dan brahmana, yang mendukung doktrin kamma, yang berpendapat bahwa penderitaan dibuat oleh diri sendiri dan orang lain, adalah tidak mungkin bahwa mereka akan mengalami [apa pun] tanpa kontak. Juga, dalam hal para petapa dan brahmana, yang mendukung doktrin kamma, yang berpendapat bahwa penderitaan terjadi secara kebetulan dan bukan dibuat oleh diri sendiri atau orang lain, adalah tidak mungkin bahwa mereka akan mengalami [apa pun] tanpa kontak.

(ii)

Yang Mulia Ānanda mendengarkan percakapan antara Yang Mulia Sāriputta dengan para pengembara sekte lain. Kemudian ketika ia berjalan untuk menerima dana makanan di Rājagaha dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan ia mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan melaporkan seluruh percakapan antara Yang Mulia Sāriputta dan para pengembara sekte lain tersebut. [Sang Bhagavā berkata:]

“Bagus, bagus, Ānanda! Siapa pun yang menjawab dengan benar akan menjawab seperti yang telah dilakukan oleh Sāriputta, Aku telah mengatakan, Ānanda, bahwa penderitaan adalah muncul bergantungan. Bergantung pada apakah? Bergantung pada kontak. Jika seseorang mengatakan demikian maka ia telah mengatakan apa yang telah dikatakan olehKu dan tidak salah mewakiliKu dengan apa yang berlawanan dengan fakta; ia menjelaskan sesuai dengan Dhamma, dan tidak ada konsekuensi logis atas pernyataannya yang dapat dijadikan dasar bagi kritikan.

“Sehubungan dengan hal ini, Ānanda, dalam hal para petapa dan brahmana, yang mendukung doktrin kamma, yang berpendapat bahwa penderitaan dibuat oleh diri sendiri … [35] … dan mereka yang berpendapat bahwa penderitaan terjadi secara kebetulan, dan bukan dibuat oleh diri sendiri atau orang lain, itu juga dikondisikan oleh kontak.

“Sehubungan dengan hal ini, Ānanda, dalam hal para petapa dan brahmana, yang mendukung doktrin kamma, yang berpendapat bahwa penderitaan dibuat oleh diri sendiri … dan mereka yang berpendapat bahwa penderitaan terjadi secara kebetulan, dan bukan dibuat oleh diri sendiri atau orang lain, adalah tidak mungkin bahwa mereka akan mengalami [apa pun] tanpa kontak.

“Pada suatu ketika, Ānanda, Aku sedang menetap di sini di Rājagaha, di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Kemudian, pada suatu pagi, Aku merapikan jubah dan, membawa mangkuk dan jubah, Aku memasuki Rājagaha untuk menerima dana makanan. Kemudian Aku berpikir: ‘Masih terlalu pagi untuk menerima dana makanan di Rājagaha. Aku akan pergi ke taman tempat para pengembara sekte lain.’ Kemudian Aku pergi ke taman para pengembara sekte lain. Aku bertukar sapa dengan para pengembara itu dan, setelah mengakhiri ramah-tamah itu, Aku duduk di satu sisi. Kemudian para pengembara berkata kepadaKu: … (para pengembara itu mengajukan pertanyaan yang persis sama dengan yang diajukan kepada Sāriputta dan menerima jawaban yang identik) [36] …tidaklah mungkin bahwa mereka akan mengalami [apa pun] tanpa kontak.”

“Menakjubkan, Yang Mulia! Mengagumkan, Yang Mulia! Bagaimana keseluruhan makna ini dapat dinyatakan dalam satu kalimat tunggal! Dapatkah makna yang sama ini dinyatakan secara terperinci dengan cara yang mendalam dan halus dalam pengertiannya?”74

“Baiklah, Ānanda, pikirkanlah persoalan ini oleh dirimu sendiri.”

“Yang Mulia, jika mereka bertanya kepadaku: ‘Sahabat Ānanda, apakah sumber dari penuaan-dan-kematian, apakah asal-mulanya, dari apakah dimunculkan dan dihasilkan?’ – jika ditanya seperti ini, aku akan menjawab sebagai berikut: ‘Sahabat, penuaan-dan-kematian memiliki kelahiran sebagai sumbernya, kelahiran sebagai asal-mulanya, muncul dan dihasilkan dari kelahiran.’ Jika ditanya demikian, aku akan menjawab seperti itu. [37]

“Yang Mulia, jika mereka bertanya kepadaku: ‘Sahabat Ānanda, apakah sumber dari kelahiran, apakah asal-mulanya, dari apakah dimunculkan dan dihasilkan?’ – jika ditanya seperti ini, aku akan menjawab sebagai berikut: ‘Sahabat, kelahiran memiliki penjelmaan sebagai sumbernya, penjelmaan sebagai asal-mulanya, muncul dan dihasilkan dari penjelmaan … Penjelmaan memiliki kemelekatan sebagai sumbernya … Kemelekatan memiliki ketagihan sebagai sumbernya … Ketagihan memiliki perasaan sebagai sumbernya … Perasaan memiliki kontak sebagai sumbernya … Kontak memiliki enam landasan indria sebagai sumbernya, enam landasan indria sebagai asal-mulanya, muncul dan dihasilkan dari enam landasan indria. Tetapi dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya enam landasan indria maka lenyap pula kontak; dengan lenyapnya kontak, maka lenyap pula perasaan; dengan lenyapnya perasaan, maka lenyap pula ketagihan; dengan lenyapnya ketagihan, maka lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, maka lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan-dan-kematian, kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.’ Jika ditanya demikian, aku akan menjawab seperti itu.”

Di Sāvatthī.

(i)

Pada suatu malam, Yang Mulia Bhūmija bangun dari meditasinya dan mendatangi Yang Mulia Sāriputta.75 [38] Ia saling bertukar sapa dengan Yang Mulia Sāriputta dan, setelah mengakhiri ramah-tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata kepadanya:

“Sahabat Sāriputta, beberapa petapa dan brahmana pendukung doktrin kamma, berpendapat bahwa kesenangan dan kesakitan dibuat oleh diri sendiri; beberapa petapa dan brahmana pendukung doktrin kamma, berpendapat bahwa kesenangan dan kesakitan dibuat oleh orang lain; beberapa petapa dan brahmana pendukung doktrin kamma, berpendapat bahwa kesenangan dan kesakitan dibuat oleh diri sendiri dan orang lain; beberapa petapa dan brahmana pendukung doktrin kamma, berpendapat bahwa kesenangan dan kesakitan terjadi secara kebetulan dan bukan dibuat oleh diri sendiri atau orang lain.76 Sekarang, Sahabat Sāriputta, apakah yang dikatakan oleh Sang Bhagavā sehubungan dengan hal ini? Apakah yang Beliau ajarkan? Bagaimanakah kami harus menjawab jika kami harus mengulangi apa yang telah dikatakan oleh Sang Bhagavā dan tidak salah mewakiliNya dengan apa yang berlawanan dengan fakta? Dan bagaimanakah kami harus menjelaskan sesuai dengan Dhamma sehingga tidak ada konsekuensi logis atas pernyataan kami yang dapat dijadikan dasar bagi kritikan?”

“Sahabat, Sang Bhagavā telah mengatakan bahwa kesenangan dan kesakitan adalah muncul bergantungan. Bergantung pada apakah? Bergantung pada kontak. Jika seseorang berkata seperti demikian maka ia mengatakan apa yang telah dikatakan oleh Sang Bhagavā dan tidak salah mewakiliNya dengan apa yang berlawanan dengan fakta; ia menjelaskan sesuai dengan Dhamma, dan tidak ada konsekuensi logis atas pernyataannya yang dapat dijadikan dasar bagi kritikan.

“Sehubungan dengan hal ini, sahabat, dalam hal para petapa dan brahmana, yang mendukung doktrin kamma, yang berpendapat bahwa kesenangan dan kesakitan dibuat oleh diri sendiri, dan mereka yang berpendapat bahwa kesenangan dan kesakitan dibuat oleh orang lain, dan mereka yang berpendapat bahwa kesenangan dan kesakitan dibuat oleh diri sendiri dan orang lain, dan mereka yang berpendapat bahwa kesenangan dan kesakitan terjadi secara kebetulan dan bukan dibuat oleh diri sendiri atau orang lain – dalam tiap-tiap kasus, itu dikondisikan oleh kontak.

“Sehubungan dengan hal ini, sahabat, dalam hal para petapa dan brahmana, yang mendukung doktrin kamma, yang berpendapat bahwa kesenangan dan kesakitan dibuat oleh diri sendiri, dan mereka yang berpendapat bahwa penderitaan dibuat oleh orang lain, dan mereka yang berpendapat bahwa penderitaan dibuat oleh diri sendiri dan orang lain, dan mereka yang berpendapat bahwa penderitaan terjadi secara kebetulan dan bukan dibuat oleh diri sendiri atau orang lain – dalam tiap-tiap kasus adalah tidak mungkin bahwa mereka akan mengalami [apa pun] tanpa kontak.”

(ii)

Yang Mulia Ānanda mendengarkan percakapan antara Yang Mulia Sāriputta dengan Yang Mulia Bhūmija. Kemudian ia mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan melaporkan seluruh percakapan antara Yang Mulia Sāriputta dan Yang Mulia Bhūmija. [Sang Bhagavā berkata:]

“Bagus, bagus, Ānanda! Siapa pun yang menjawab dengan benar akan menjawab seperti yang telah dilakukan oleh Sāriputta, Aku telah mengatakan, Ānanda, bahwa kesenangan dan kesakitan adalah muncul bergantungan. Bergantung pada apakah? Bergantung pada kontak. Jika seseorang mengatakan demikian maka ia telah mengatakan apa yang telah dikatakan olehKu dan tidak salah mewakiliKu dengan apa yang berlawanan dengan fakta; ia menjelaskan sesuai dengan Dhamma, dan tidak ada konsekuensi logis atas pernyataannya yang dapat dijadikan dasar bagi kritikan.

“Sehubungan dengan hal ini, Ānanda, dalam hal para petapa dan brahmana, yang mendukung doktrin kamma, yang berpendapat bahwa kesenangan dan kesakitan dibuat oleh diri sendiri … dan mereka yang berpendapat bahwa kesenangan dan kesakitan terjadi secara kebetulan … dalam tiap-tiap kasus, itu dikondisikan oleh kontak.

“Sehubungan dengan hal ini, Ānanda, dalam hal para petapa dan brahmana, yang mendukung doktrin kamma, yang berpendapat bahwa kesenangan dan kesakitan dibuat oleh diri sendiri … dan mereka yang berpendapat bahwa kesenangan dan kesakitan terjadi secara kebetulan … dalam tiap-tiap kasus adalah tidak mungkin bahwa mereka akan mengalami [apa pun] tanpa kontak.

(iii)

“Ānanda, ketika ada jasmani, karena kehendak jasmani maka kesenangan dan kesakitan muncul [40] secara internal; ketika ada ucapan, karena kehendak ucapan, maka kesenangan dan kesakitan muncul secara internal; ketika ada pikiran, karena kehendak pikiran, maka kesenangan dan kesakitan muncul secara internal – dan dengan ketidaktahuan sebagai kondisi.77

“Apakah melalui inisiatif seseorang, Ānanda, ia menghasilkan bentukan kehendak jasmani yang dengan dikondisikan olehnya maka kesenangan dan kesakitan muncul secara internal; atau atas dorongan orang lain ia menghasilkan bentukan kehendak jasmani yang dengan dikondisikan olehnya maka kesenangan dan kesakitan muncul secara internal. Apakah secara disengaja, Ānanda, seseorang menghasilkan bentukan kehendak jasmani yang dengan dikondisikan olehnya maka kesenangan dan kesakitan muncul secara internal; atau secara tidak sengaja ia menghasilkan bentukan kehendak jasmani yang dengan dikondisikan olehnya maka kesenangan dan kesakitan muncul secara internal.78

“Apakah melalui inisiatif seseorang, Ānanda, ia menghasilkan bentukan kehendak ucapan yang dengan dikondisikan olehnya maka kesenangan dan kesakitan muncul secara internal; atau atas dorongan orang lain ia menghasilkan bentukan kehendak ucapan yang dengan dikondisikan olehnya maka kesenangan dan kesakitan muncul secara internal. Apakah secara disengaja, Ānanda, seseorang menghasilkan bentukan kehendak ucapan yang dengan dikondisikan olehnya maka kesenangan dan kesakitan muncul secara internal; atau secara tidak sengaja ia menghasilkan bentukan kehendak ucapan yang dengan dikondisikan olehnya maka kesenangan dan kesakitan muncul secara internal.

“Apakah melalui inisiatif seseorang, Ānanda, ia menghasilkan bentukan kehendak pikiran79 yang dengan dikondisikan olehnya maka kesenangan dan kesakitan muncul secara internal; atau atas dorongan orang lain ia menghasilkan bentukan kehendak pikiran yang dengan dikondisikan olehnya maka kesenangan dan kesakitan muncul secara internal. Apakah secara disengaja, Ānanda, seseorang menghasilkan bentukan kehendak pikiran yang dengan dikondisikan olehnya maka kesenangan dan kesakitan muncul secara internal; atau secara tidak sengaja ia menghasilkan bentukan kehendak pikiran yang dengan dikondisikan olehnya maka kesenangan dan kesakitan muncul secara internal.

“Ketidaktahuan terbentuk dalam kondisi-kondisi ini.80 Tetapi dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketidaktahuan bahwa jasmani tidak ada yang dengan dikondisikan olehnya maka kesenangan dan kesakitan muncul secara internal; bahwa ucapan tidak ada yang dengan dikondisikan olehnya maka kesenangan dan kesakitan muncul secara internal; bahwa pikiran tidak ada yang dengan dikondisikan olehnya [41] maka kesenangan dan kesakitan muncul secara internal.81 Lahan itu tidak ada, tempat itu tidak ada, landasan itu tidak ada, dasar itu tidak ada yang dengan dikondisikan olehnya maka kesenangan dan kesakitan muncul secara internal.82

Di Sāvatthī. Yang Mulia Upavāṇa mendekati Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi dan berkata kepada Beliau:83

“Yang Mulia, beberapa petapa dan brahmana berpendapat bahwa penderitaan dibuat oleh diri sendiri; beberapa petapa dan brahmana berpendapat bahwa penderitaan dibuat oleh orang lain; beberapa petapa dan brahmana berpendapat bahwa penderitaan dibuat oleh diri sendiri dan orang lain; beberapa petapa dan brahmana berpendapat bahwa penderitaan terjadi secara kebetulan dan bukan dibuat oleh diri sendiri atau orang lain. Sekarang, Yang Mulia, apakah yang dikatakan oleh Sang Bhagavā sehubungan dengan hal ini? Apakah yang Beliau ajarkan? Bagaimanakah kami harus menjawab jika kami harus mengulangi apa yang telah dikatakan oleh Sang Bhagavā dan tidak salah mewakiliNya dengan apa yang berlawanan dengan fakta? Dan bagaimanakah kami harus menjelaskan sesuai dengan Dhamma sehingga tidak ada konsekuensi logis atas jawaban kami yang dapat dijadikan dasar bagi kritikan?”

“Upavāṇa, Aku telah mengatakan bahwa penderitaan adalah muncul bergantungan. Bergantung pada apakah? Bergantung pada kontak. Jika seseorang berkata seperti demikian maka ia mengatakan apa yang telah dikatakan olehKu dan tidak salah mewakiliKu dengan apa yang berlawanan dengan fakta; ia menjelaskan sesuai dengan Dhamma, dan tidak ada konsekuensi logis atas pernyataannya yang dapat dijadikan dasar bagi kritikan.

“Sehubungan dengan hal ini, Upavāṇa, dalam hal para petapa dan brahmana, yang berpendapat bahwa penderitaan dibuat oleh diri sendiri, dan mereka yang berpendapat bahwa penderitaan dibuat oleh orang lain, dan mereka yang berpendapat bahwa penderitaan dibuat oleh diri sendiri dan orang lain, dan mereka yang berpendapat bahwa penderitaan terjadi secara kebetulan dan bukan dibuat oleh diri sendiri atau orang lain – dalam setiap kasus, itu adalah dikondisikan oleh kontak. [42]

“Sehubungan dengan hal ini, Upavāṇa, dalam hal para petapa dan brahmana, yang berpendapat bahwa penderitaan dibuat oleh diri sendiri, dan mereka yang berpendapat bahwa penderitaan dibuat oleh orang lain, dan mereka yang berpendapat bahwa penderitaan dibuat oleh diri sendiri dan orang lain, dan mereka yang berpendapat bahwa penderitaan terjadi secara kebetulan dan bukan dibuat oleh diri sendiri atau orang lain – dalam tiap-tiap kasus adalah tidak mungkin bahwa mereka akan mengalami [apa pun] tanpa kontak.”

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, dengan ketidaktahuan sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan kehendak [muncul]; dengan bentukan-bentukan kehendak sebagai kondisi, maka kesadaran … Demikianlah asal-mula dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Dan apakah, para bhikkhu, penuaan-dan-kematian? Penuaan atas berbagai makhluk … (seperti pada §2) … demikianlah penuaan ini dan kematian ini bersama-sama disebut penuaan-dan-kematian. Dengan munculnya kelahiran, maka muncul pula penuaan-dan-kematian; dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan-dan-kematian. Hanya Jalan Mulia Berunsur Delapan inilah yang merupakan jalan menuju lenyapnya penuaan-dan-kematian; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, konsentrasi benar.

“Dan apakah, para bhikkhu, kelahiran? … penjelmaan? … kemelekatan? … [43] … ketagihan? … perasaan? … kontak? … enam landasan indria? … nama-dan-bentuk? … kesadaran? … bentukan-bentukan kehendak? Ada tiga jenis bentukan kehendak ini: bentukan kehendak jasmani, bentukan kehendak ucapan, bentukan kehendak pikiran. Dengan munculnya ketidaktahuan, maka muncul pula bentukan-bentukan kehendak. Dengan lenyapnya ketidaktahuan, maka lenyap pula bentukan-bentukan kehendak. Hanya Jalan Mulia Berunsur Delapan inilah yang merupakan jalan menuju lenyapnya bentukan-bentukan kehendak; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

“Ketika, para bhikkhu, seorang siswa mulia memahami kondisi: memahami demikianlah asal-mula kondisi; memahami demikianlah lenyapnya kondisi; memahami demikianlah jalan menuju lenyapnya kondisi,84 maka ia disebut seorang siswa mulia yang sempurna dalam pandangan, sempurna dalam penglihatan, yang telah sampai pada Dhamma sejati ini, yang melihat Dhamma sejati ini, yang memiliki tiga pengetahuan, pengetahuan sejati seorang pelajar, yang telah memasuki arus Dhamma, seorang mulia dengan kebijaksanaan penembusan, seorang yang berdiri tegak di depan pintu Tanpa-kematian.”85

Di Sāvatthī. “Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu memahami penuaan-dan-kematian, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya. Ia memahami kelahiran … penjelmaan … kemelekatan [44] … ketagihan … perasaan … kontak … enam landasan indria … nama-dan-bentuk … kesadaran … bentukan-bentukan kehendak, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya.

“Dan apakah, para bhikkhu, penuaan-dan-kematian? … (seperti sutta sebelumnya) … Hanya Jalan Mulia Berunsur Delapan inilah yang merupakan jalan menuju lenyapnya bentukan-bentukan kehendak; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

“Ketika, para bhikkhu, seorang bhikkhu memahami demikianlah penuaan-dan-kematian: asal-mulanya; lenyapnya; jalan menuju lenyapnya; ketika ia memahami demikianlah kelahiran … penjelmaan …kemelekatan … ketagihan … perasaan … kontak … enam landasan indria … nama-dan-bentuk … [45] kesadaran … bentukan-bentukan kehendak, asal-mulanya; lenyapnya; jalan menuju lenyapnya, maka ia disebut seorang bhikkhu yang sempurna dalam pandangan, sempurna dalam penglihatan, yang telah sampai pada Dhamma sejati ini, yang melihat Dhamma sejati ini, yang memiliki tiga pengetahuan, pengetahuan sejati seorang pelajar, yang telah memasuki arus Dhamma, seorang mulia dengan kebijaksanaan penembusan, yang berdiri tegak di depan pintu Tanpa-kematian.”

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, para petapa atau brahmana itu yang tidak sepenuhnya memahami penuaan-dan-kematian, asal mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya,86 yang tidak sepenuhnya memahami kelahiran … penjelmaan … kemelekatan … ketagihan … perasaan … kontak … enam landasan indria … nama-dan-bentuk … kesadaran … bentukan-bentukan kehendak, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya: mereka ini tidak Kuanggap sebagai petapa di antara para petapa atau brahmana di antara para brahmana, dan para mulia ini tidak, dengan merealisasikannya untuk diri mereka sendiri melalui pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini juga masuk dan berdiam dalam tujuan pertapaan atau tujuan kebrahmanaan.

“Tetapi, para bhikkhu, para petapa atau brahmana itu yang sepenuhnya memahami penuaan-dan-kematian, asal mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya, yang sepenuhnya memahami kelahiran … bentukan-bentukan kehendak, [46] asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya: mereka ini Kuanggap sebagai petapa di antara para petapa atau brahmana di antara para brahmana, dan para mulia ini, dengan merealisasikannya untuk diri mereka sendiri melalui pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini juga masuk dan berdiam dalam tujuan pertapaan dan tujuan kebrahmanaan.”

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, para petapa atau brahmana itu yang tidak memahami penuaan-dan-kematian, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya: adalah tidak mungkin bahwa mereka akan berdiam melampaui penuaan-dan-kematian. Para petapa dan brahmana itu yang tidak memahami kelahiran … kemelekatan … ketagihan … perasaan … kontak … enam landasan indria … nama-dan-bentuk … kesadaran … bentukan-bentukan kehendak, asal-mulanya; lenyapnya; jalan menuju lenyapnya: adalah tidak mungkin bahwa mereka akan berdiam melampaui bentukan-bentukan kehendak.

“Tetapi, para bhikkhu, para petapa atau brahmana itu yang memahami penuaan-dan-kematian, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya: adalah mungkin bahwa mereka akan berdiam melampaui penuaan-dan-kematian. Para petapa dan brahmana itu yang memahami kelahiran … kemelekatan … ketagihan … perasaan … kontak … enam landasan indria … nama-dan-bentuk … kesadaran … bentukan-bentukan kehendak, asal-mulanya; lenyapnya; jalan menuju lenyapnya: adalah mungkin bahwa mereka akan berdiam melampaui bentukan-bentukan kehendak.”

[47]

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī … Di sana Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Sāriputta sebagai berikut: “Sāriputta dalam ‘Pertanyaan-pertanyaan Ajita’ dari Pārāyana dikatakan:87

‘Mereka yang telah memahami Dhamma, Dan banyak pelajar di sini: Mempertanyakan perilaku mereka, Sebagai yang bijaksana, jelaskanlah kepadaku, Yang Mulia.’88

Bagaimanakah makna dari pertanyaan ini, yang dinyatakan secara singkat, dipahami secara lengkap?”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Sāriputta diam. Untuk ke dua dan ke tiga kalinya Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Sāriputta sebagai berikut: “Sāriputta dalam ‘Pertanyaan-pertanyaan Ajita’ dari Pārāyana dikatakan … [48] Bagaimanakah makna dari pertanyaan ini, yang dinyatakan secara singkat, dipahami secara lengkap?” untuk ke dua dan ke tiga kalinya Yang Mulia Sāriputta diam.89

“Sāriputta, apakah engkau melihat: ‘Ini telah terjadi’? Sāriputta, apakah engkau melihat: ‘Ini telah terjadi’?”

“Yang Mulia, seseorang melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘Ini telah terjadi.’ Setelah melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘Ini telah terjadi,’ ia berlatih untuk tujuan kejijikan terhadap apa yang telah terjadi, untuk peluruhan dan pelenyapannya.90 Ia melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘Asal-mulanya muncul dengan itu sebagai makanan.’91 Setelah melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘Asal-mulanya muncul dengan itu sebagai makanan,’ ia berlatih untuk tujuan kejijikan terhadap asal-mulanya melalui makanan, untuk peluruhan dan pelenyapannya. Ia melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘Dengan lenyapnya makanan itu, apa yang telah terjadi juga mengalami pelenyapan.’ Setelah melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘Dengan lenyapnya makanan itu, apa yang telah terjadi juga mengalami pelenyapan,’ ia berlatih untuk tujuan kejijikan terhadap apa yang mengalami lenyapnya, untuk peluruhan dan pelenyapannya. Dengan cara demikianlah ia disebut seorang pelajar.

“Dan bagaimanakah, Yang Mulia, seseorang memahami Dhamma? Yang Mulia, seseorang melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘Ini telah terjadi.’ Setelah melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘Ini telah terjadi,’ melalui kejijikan terhadap apa yang telah terjadi, melalui peluruhan dan lenyapnya, ia terbebaskan melalui ketidak-melekatan. Ia melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘Asal-mulanya muncul dengan itu sebagai makanan.’ Setelah melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘Asal-mulanya muncul dengan itu sebagai makanan,’ melalui kejijikan terhadap asal-mula melalui makanan, melalui peluruhan dan lenyapnya, ia terbebaskan melalui ketidak-melekatan. Ia melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘Dengan lenyapnya makanan, apa yang telah terjadi juga mengalami pelenyapan.’ Setelah melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘Dengan lenyapnya makanan, apa yang telah terjadi juga mengalami pelenyapan,’ melalui kejijikan terhadap apa yang mengalami pelenyapan, melalui peluruhan [49] dan lenyapnya, ia terbebaskan melalui ketidak-melekatan.92 Dengan cara demikianlah seseorang memahami Dhamma.

“Demikianlah, Yang Mulia, ketika dikatakan dalam ‘Pertanyaan-pertanyaan Ajita’ dari Pārāyana:

‘Mereka yang telah memahami Dhamma, Dan banyak pelajar di sini: Mempertanyakan perilaku mereka, Sebagai yang bijaksana, jelaskanlah kepadaku, Yang Mulia.’ –

Demikianlah aku memahami secara lengkap makna dari apa yang dinyatakan secara ringkas.”

“Bagus, bagus, Sāriputta! … (Sang Buddha di sini mengulangi keseluruhan pernyataan Yang Mulia Sāriputta) [50] … demikianlah makna itu, yang dinyatakan secara ringkas, namun harus dipahami secara lengkap.”

Di Sāvatthī.

(i)

Bhikkhu Kaḷāra seorang Khattiya mendatangi Yang Mulia Sāriputta dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika mereka mengakhiri ramah-tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Sāriputta: “Sahabat Sāriputta, Bhikkhu Moliyaphagguna telah meninggalkan latihan dan kembali ke kehidupan rendah.”93

“Pasti Yang Mulia itu tidak menemukan penghiburan dalam Dhamma dan Disiplin ini.”

“Kalau begitu, apakah Yang Mulia Sāriputta telah mencapai penghiburan dalam Dhamma dan Disiplin ini?”

“Aku tidak mengalami kebingungan, sahabat.”

“Tetapi sehubungan dengan masa depan, sahabat?”

“Aku tidak ragu, sahabat.”

Kemudian Bhikkhu Kaḷāra sang Khattiya bangkit dari duduknya dan mendatangi Sang Bhagavā. Setelah mendekat, ia memberi hormat kepada Sang Bhagavā, duduk di satu sisi, [51] dan berkata kepada Beliau: “Yang Mulia, Yang Mulia Sāriputta telah menyatakan pengetahuan tertinggi sebagai berikut: ‘Aku memahami: Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi untuk kondisi makhluk ini.’”94

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada seorang bhikkhu: “Pergilah bhikkhu, beritahu Sāriputta atas namaKu bahwa Sang Guru memanggilnya.”

“Baik, Yang Mulia,” bhikkhu itu menjawab, dan ia pergi menuju Yang Mulia Sāriputta dan memberitahunya: “Sang Guru memanggilmu, Sahabat Sāriputta.”

“Baiklah, sahabat,” Yang Mulia Sāriputta menjawab, dan ia mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau duduk di satu sisi, kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Benarkah, Sāriputta, bahwa engkau telah menyatakan pengetahuan tertinggi sebagai berikut: ‘Aku memahami: Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi untuk kondisi makhluk ini’?”

“Yang Mulia, aku tidak menyatakan hal itu dalam kalimat seperti itu.”

“Dalam cara apa pun, Sāriputta, seseorang menyatakan pengetahuan tertinggi, apa pun yang ia nyatakan harus dipahami seperti itu.”

“Yang Mulia, tidakkah aku juga mengatakan: ‘Yang Mulia, aku tidak menyatakan hal itu dalam kalimat seperti itu.’?”

“Jika, Sāriputta, mereka bertanya kepadamu:95 ‘Sahabat Sāriputta, bagaimanakah engkau mengetahui, bagaimanakah engkau melihat, sehingga engkau menyatakan pengetahuan tertinggi sebagai berikut: ‘Aku memahami: Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi untuk kondisi makhluk ini’ – jika ditanya demikian, bagaimanakah jawabanmu?”

“Jika mereka menanyakan ini kepadaku, Yang Mulia, [52] aku akan menjawab sebagai berikut: ‘Dengan kehancuran sumber yang darinya kelahiran berasal, aku memahami: “Ketika [penyebab] dihancurkan, maka [akibat] juga hancur.” Setelah memahami ini, aku memahami: Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi untuk kondisi makhluk ini.’ Jika ditanya demikian, Yang Mulia, aku akan menjawab demikian.”96

“Tetapi, Sāriputta, jika mereka bertanya kepadamu: ‘Tetapi, Sahabat Sāriputta, apakah sumber dari kelahiran, apakah asal-mulanya, muncul dan dihasilkan dari apakah?’ – jika ditanya demikian, bagaimanakah jawabanmu?”

“Jika mereka menanyakan ini kepadaku, Yang Mulia, aku akan menjawab sebagai berikut: ‘Kelahiran, sahabat, memiliki penjelmaan sebagai sumbernya, penjelmaan sebagai asal-mulanya, muncul dan dihasilkan dari penjelmaan.’ Jika ditanya demikian, Yang Mulia, aku akan menjawab demikian.”

“Tetapi, Sāriputta, jika mereka bertanya kepadamu: ‘Tetapi, Sahabat Sāriputta, apakah sumber dari penjelmaan …?’ – jika ditanya demikian, bagaimanakah jawabanmu?”

“Jika mereka menanyakan ini kepadaku, Yang Mulia, aku akan menjawab sebagai berikut: ‘Penjelmaan, sahabat, memiliki kemelekatan sebagai sumbernya …”

“Tetapi, Sāriputta, jika mereka bertanya kepadamu: ‘Tetapi, Sahabat Sāriputta, apakah sumber dari kemelekatan …? Apakah sumber ketagihan, apakah asal-mulanya, muncul dan dihasilkan dari apakah?’ – jika ditanya demikian, bagaimanakah jawabanmu?” [53]

“Jika mereka menanyakan ini kepadaku, Yang Mulia, aku akan menjawab sebagai berikut: ‘Ketagihan, sahabat, memiliki perasaan sebagai sumbernya, perasaan sebagai asal-mulanya, muncul dan dihasilkan dari perasaan.’ Jika ditanya demikian, Yang Mulia, aku akan menjawab demikian.”

“Tetapi, Sāriputta, jika mereka bertanya kepadamu: ‘Sahabat Sāriputta, bagaimanakah engkau mengetahui, bagaimanakah engkau melihat, bahwa kegembiraan dalam perasaan tidak lagi hadir dalam dirimu?’ – jika ditanya demikian, bagaimanakah jawabanmu?”97

“Jika mereka menanyakan ini kepadaku, Yang Mulia, aku akan menjawab sebagai berikut: ‘Sahabat, ada tiga jenis perasaan ini. Apakah tiga ini? Perasaan menyenangkan, perasaan menyakitkan, perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan. Ketiga perasaan ini, sahabat, adalah tidak kekal; apa pun yang tidak kekal adalah penderitaan. Ketika ini dipahami, maka kegembiraan dalam perasaan tidak lagi hadir dalam diriku.’ Jika ditanya demikian, Yang Mulia, aku akan menjawab demikian.”

“Bagus, bagus, Sāriputta! Itu adalah cara lain dalam menjelaskan secara singkat hal yang sama: ‘Apa pun yang dirasakan adalah termasuk dalam penderitaan.’98 Tetapi Sāriputta, jika mereka bertanya kepadamu: ‘Sahabat Sāriputta, melalui pembebasan apakah engkau menyatakan pengetahuan tertinggi sebagai berikut: “Aku memahami: Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi untuk kondisi makhluk ini”?’ – jika ditanya demikian, bagaimanakah jawabanmu?”

“Jika mereka menanyakan ini kepadaku, Yang Mulia, aku akan menjawab sebagai berikut: [54] ’Sahabat-sahabat, melalui pembebasan internal, melalui penghancuran segala kemelekatan, aku berdiam dengan penuh perhatian sedemikian sehingga noda-noda tidak mengalir dalam diriku dan aku tidak merendahkan diriku.’ Jika ditanya demikian, Yang Mulia, aku akan menjawab demikian.”99

“Bagus, bagus, Sāriputta! Itu adalah cara lain dalam menjelaskan secara singkat hal yang sama: ‘Aku tidak mengalami kebingungan sehubungan dengan noda-noda yang dibicarakan oleh Sang Petapa; aku tidak ragu bahwa semua itu telah kutinggalkan.’”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan ini, Yang Sempurna bangkit dari dudukNya dan memasuki tempat kediamanNya.

(ii)

Kemudian, segera setelah Sang Bhagavā pergi, Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut:

“Teman-teman, pertanyaan pertama yang ditanyakan oleh Sang Bhagavā kepadaku belum terpikirkan olehku sebelumnya:100 karena itu aku enggan menjawab. Tetapi ketika Sang Bhagavā menyetujui jawabanku, aku berpikir: ‘Jika Sang Bhagavā menanyaiku sehubungan dengan persoalan itu dalam berbagai istilah dan berbagai metode sepanjang hari, maka selama sepanjang hari aku akan mampu menjawab pertanyaan Beliau dalam berbagai istilah dan berbagai metode. Jika Beliau menanyaiku sehubungan dengan persoalan itu dengan berbagai istilah dan berbagai metode sepanjang malam, selama sehari semalam, [55] selama dua hari dan dua malam, selama tiga, empat, lima, enam, atau tujuh hari tujuh malam - maka selama tujuh hari tujuh malam aku akan mampu menjawab pertanyaan Beliau dalam berbagai istilah dan berbagai metode.’”

Kemudian Bhikkhu Kaḷāra si Khattiya bangkit dari duduknya dan mendatangi Sang Bhagavā. Setelah mendekat, ia memberi hormat kepada Sang Bhagavā, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau: “Yang Mulia, Yang Mulia Sāriputta telah mengaumkan auman singa sebagai berikut: ‘Teman-teman, pertanyaan pertama yang ditanyakan oleh Sang Bhagavā kepadaku belum terpikirkan olehku sebelumnya: karena itu aku enggan menjawab. Tetapi ketika Sang Bhagavā menyetujui jawabanku, aku berpikir: ‘”Jika Sang Bhagavā menanyaiku sehubungan dengan persoalan itu dalam berbagai istilah dan berbagai metode hingga selama tujuh hari tujuh malam, [56] maka hingga selama tujuh hari tujuh malam aku akan mampu menjawab pertanyaan Beliau dalam berbagai istilah dan berbagai metode.”’”

“Bhikkhu, Yang Mulia Sāriputta telah dengan sempurna menembus unsur Dhamma melalui penembusan seksama yang dengannya, jika Aku menanyainya tentang persoalan itu dalam berbagai istilah dan berbagai metode hingga selama tujuh hari tujuh malam, maka selama tujuh hari tujuh malam ia akan mampu menjawab pertanyaanKu dalam berbagai istilah dan berbagai metode.”101

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian empat-puluh-empat kasus pengetahuan. Dengarkanlah dan perhatikanlah, Aku akan menjelaskan.”

“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, apakah empat-puluh-empat kasus pengetahuan? [57] Pengetahuan penuaan-dan-kematian, pengetahuan asal-mulanya, pengetahuan lenyapnya, pengetahuan jalan menuju lenyapnya, pengetahuan kelahiran … pengetahuan penjelmaan … pengetahuan kemelekatan … pengetahuan ketagihan … pengetahuan perasaan … pengetahuan kontak … pengetahuan enam landasan indria … pengetahuan nama-dan-bentuk … pengetahuan kesadaran … pengetahuan bentukan-bentukan kehendak, pengetahuan asal-mulanya, pengetahuan lenyapnya, pengetahuan jalan menuju lenyapnya. Ini, para bhikkhu, adalah empat puluh empat kasus pengetahuan.

“Dan apakah, para bhikkhu, penuaan-dan-kematian? … (definisi seperti pada §2) … Demikianlah penuaan ini dan kematian ini bersama-sama disebut penuaan-dan-kematian. Dengan munculnya kelahiran maka muncul pula penuaan-dan-kematian. Dengan lenyapnya kelahiran maka lenyap pula penuaan dan kematian. Jalan mulia berunsur delapan ini adalah jalan menuju lenyapnya penuaan-dan-kematian; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

“Ketika, para bhikkhu, seorang siswa mulia memahami penuaan-dan-kematian demikian, [58] asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya, ini adalah pengetahuan prinsip.102 Melalui prinsip ini yang terlihat, dipahami, segera dicapai, didalami103 ia menerapkan metode ini pada masa lampau dan masa depan sebagai berikut: ‘Para petapa dan brahmana mana pun di masa lampau yang secara langsung mengetahui penuaan-dan-kematian, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya, semua ini diketahui secara langsung dengan cara yang sama seperti Aku juga mengetahuinya sekarang. Para petapa dan brahmana manapun di masa depan yang secara langsung mengetahui penuaan-dan-kematian, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya, semua ini diketahui secara langsung dengan cara yang sama seperti Aku juga mengetahuinya sekarang.’ Ini adalah pengetahuan kesimpulan.104

“Ketika, para bhikkhu, seorang siswa mulia telah memurnikan dan menyucikan kedua jenis pengetahuan ini – pengetahuan prinsip dan pengetahuan kesimpulan – maka ia disebut seorang siswa mulia yang sempurna dalam pandangan, sempurna dalam penglihatan, yang telah sampai pada Dhamma sejati ini, yang melihat Dhamma sejati ini, yang memiliki pengetahuan seorang pelajar, pengetahuan sejati seorang pelajar, yang telah memasuki arus Dhamma, seorang mulia dengan kebijaksanaan penembusan, yang berdiri tegak di depan pintu Tanpa-kematian.

“Dan apakah, para bhikkhu, kelahiran? … Apakah bentukan-bentukan kehendak? (definisi seperti pada §2) [59] … Jalan Mulia Berunsur Delapan ini adalah jalan menuju lenyapnya bentukan-bentukan kehendak; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

“ketika, para bhikkhu, seorang siswa mulia memahami bentukan-bentukan kehendak demikian, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya, ini adalah pengetahuan prinsip yang terlihat, dipahami, seketika dicapai, didalami, ia menerapkan metode ini pada masa lampau dan masa depan … ini adalah pengetahuan kesimpulan.

“Ketika, para bhikkhu, seorang siswa mulia telah memurnikan dan menyucikan kedua jenis pengetahuan ini – pengetahuan prinsip dan pengetahuan kesimpulan – maka ia disebut seorang siswa mulia yang sempurna dalam pandangan … yang berdiri tegak di depan pintu Tanpa-kematian.”

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tujuh-puluh-tujuh kasus pengetahuan. Dengarkanlah dan perhatikanlah, Aku akan menjelaskan.” [60]

“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, apakah tujuh-puluh-tujuh kasus pengetahuan? Pengetahuan: ‘Penuaan-dan-kematian memiliki kelahiran sebagai kondisinya.’ Pengetahuan: ‘Ketika tidak ada kelahiran, maka tidak ada penuaan-dan-kematian.’ Pengetahuan: ‘Di masa lampau juga penuaan-dan-kematian memiliki kelahiran sebagai kondisinya.’ Pengetahuan: ‘Di masa lampau juga, jika tidak ada kelahiran, maka tidak ada penuaan-dan-kematian.’ Pengetahuan: ‘Di masa depan juga penuaan-dan-kematian akan memiliki kelahiran sebagai kondisinya.’ Pengetahuan: ‘Di masa depan juga, jika tidak akan ada kelahiran, maka tidak akan ada penuaan-dan-kematian.’ Pengetahuan: ‘Pengetahuan kestabilan Dhamma itu juga tunduk pada kehancuran, pelenyapan, peluruhan, dan penghentian.’105

“Pengetahuan: ‘Kelahiran memiliki penjelmaan sebagai kondisinya’ … Pengetahuan: ‘Bentukan-bentukan kehendak memiliki ketidak-tahuan sebagai kondisinya.’ Pengetahuan: ‘Ketika tidak ada ketidak-tahuan, maka tidak ada bentukan-bentukan kehendak.’ Pengetahuan: ‘Di masa lampau juga bentukan-bentukan kehendak memiliki ketidak-tahuan sebagai kondisinya.’ Pengetahuan: ‘Di masa lampau juga, jika tidak ada ketidak-tahuan, maka tidak ada bentukan-bentukan kehendak.’ Pengetahuan: ‘Di masa depan juga bentukan-bentukan kehendak akan memiliki ketidak-tahuan sebagai kondisinya.’ Pengetahuan: ‘Di masa depan juga, jika tidak ada ketidak-tahuan, maka tidak akan ada bentukan-bentukan kehendak.’ Pengetahuan: ‘Pengetahuan kestabilan Dhamma itu juga tunduk pada kehancuran, pelenyapan, peluruhan, dan penghentian.’

“Ini, para bhikkhu, disebut tujuh-puluh-tujuh kasus pengetahuan.”

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, dengan ketidaktahuan sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan kehendak [muncul]; dengan bentukan-bentukan kehendak sebagai kondisi, maka kesadaran … Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.”

Ketika Beliau mengatakan hal ini, seorang bhikkhu berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, apakah penuaan-dan-kematian, dan siapakah yang mengalami penuaan-dan-kematian?”

“Bukan pertanyaan yang benar,” Sang Bhagavā menjawab.106 [61] “Bhikkhu, apakah seseorang mengatakan, ‘Apakah penuaan-dan-kematian, dan siapakah yang mengalami penuaan-dan-kematian?’ atau apakah seseorang mengatakan, ‘Penuaan-dan-kematian adalah satu hal, yang mengalami penuaan-dan-kematian adalah hal lainnya’ – kedua pernyataan ini adalah sama dalam maknanya; hanya berbeda dalam kalimat. Jika ada pandangan, ‘Jiwa dan badan adalah sama,’ maka tidak ada menjalani kehidupan suci; dan jika ada pandangan, ‘Jiwa adalah satu hal, badan adalah hal lainnya,’ maka tidak ada menjalani kehidupan suci.107 Tanpa berbelok ke arah salah satu dari ekstrim-ekstrim ini, Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma yang di tengah: ‘Dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan-dan-kematian.’”

“Yang Mulia, apakah kelahiran, dan siapakah yang mengalami kelahiran?”

“Bukan pertanyaan yang benar,” Sang Bhagavā menjawab. “Bhikkhu, apakah seseorang mengatakan, ‘Apakah kelahiran, dan siapakah yang mengalami kelahiran?’ atau apakah seseorang mengatakan, ‘Kelahiran adalah satu hal, yang mengalami kelahiran adalah hal lainnya’ – kedua pernyataan ini adalah sama dalam maknanya; hanya berbeda dalam kalimat … Tanpa berbelok ke arah salah satu dari ekstrim-ekstrim ini, Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma yang di tengah: ‘Dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran.’”

“Yang Mulia, apakah penjelmaan, dan siapakah yang mengalami penjelmaan?”

“Bukan pertanyaan yang benar,” Sang Bhagavā menjawab. “Bhikkhu, apakah seseorang mengatakan, ‘Apakah penjelmaan, dan siapakah yang mengalami penjelmaan?’ atau apakah seseorang mengatakan, ‘Penjelmaan adalah satu hal, yang mengalami penjelmaan adalah hal lainnya’ – kedua pernyataan ini adalah sama dalam maknanya; hanya berbeda dalam kalimat … Tanpa berbelok ke arah salah satu dari ekstrim-ekstrim ini, Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma yang di tengah: ‘Dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka penjelmaan … Dengan ketagihan sebagai kondisi, maka kemelekatan … Dengan perasaan sebagai kondisi, maka ketagihan … Dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan … Dengan enam landasan indria sebagai kondisi, maka kontak … Dengan nama-dan-bentuk sebagai kondisi, maka enam landasan indria … [62] Dengan kesadaran sebagai kondisi, maka nama-dan-bentuk … Dengan bentukan-bentukan kehendak sebagai kondisi, maka kesadaran.’”

“Yang Mulia, apakah bentukan-bentukan kehendak, dan siapakah yang mengalami bentukan-bentukan kehendak?”

“Bukan pertanyaan yang benar,” Sang Bhagavā menjawab. “Bhikkhu, apakah seseorang mengatakan, ‘Apakah bentukan-bentukan kehendak, dan siapakah yang mengalami bentukan-bentukan kehendak?’ atau apakah seseorang mengatakan, ‘Bentukan-bentukan kehendak adalah satu hal, yang mengalami bentukan-bentukan kehendak adalah hal lainnya’ – kedua pernyataan ini adalah sama dalam maknanya; hanya berbeda dalam kalimat. Jika ada pandangan, ‘Jiwa dan badan adalah sama,’ maka tidak ada menjalani kehidupan suci; dan jika ada pandangan, ‘Jiwa adalah satu hal, badan adalah hal lainnya,’ maka tidak ada menjalani kehidupan suci. Tanpa berbelok ke arah salah satu dari ekstrim-ekstrim ini, Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma yang di tengah: ‘Dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan kehendak.’

“Tetapi dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketidaktahuan, segala jenis pemutar-balikan, manuver, dan kebimbangan yang mungkin ada108 - ‘Apakah penuaan-dan-kematian, dan siapakah yang mengalami penuaan-dan-kematian?’ atau ‘Penuaan-dan-kematian adalah satu hal, dan yang mengalami penuaan-dan-kematian adalah hal lainnya,’ atau ‘Jiwa dan badan adalah sama,’ atau ‘Jiwa adalah satu hal, badan adalah hal lainnya’ – semua ini ditinggalkan, dipotong pada akarnya, bagaikan tunggul pohon palem, dilenyapkan sehingga tidak dapat muncul kembali di masa depan.109

“Dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketidaktahuan, segala jenis pemutar-balikan, manuver, dan kebimbangan yang mungkin ada- ‘Apakah kelahiran, dan siapakah yang mengalami kelahiran?’ … [63] … ‘Apakah bentukan-bentukan kehendak, dan siapakah yang mengalami bentukan-bentukan kehendak?’ atau ‘Bentukan-bentukan kehendak adalah satu hal, dan yang mengalami bentukan-bentukan kehendak adalah hal lainnya,’ atau ‘Jiwa dan badan adalah sama,’ atau ‘Jiwa adalah satu hal, badan adalah hal lainnya’ – semua ini ditinggalkan, dipotong pada akarnya, bagaikan tunggul pohon palem, dilenyapkan sehingga tidak dapat muncul kembali di masa depan.”

(Sutta ini identik dengan sutta sebelumnya, hanya berbeda pada bahwa pembicaraan ditujukan kepada para bhikkhu secara kolektif, dan tidak ada lawan bicara yang mengajukan pertanyaan yang tidak sesuai. Sang Buddha hanya mengucapkan jenis pernyataan yang tidak benar olehNya sendiri.) [64]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, jasmani ini bukan milikmu, juga bukan milik orang lain.110 [65] Ini adalah kamma masa lalu, dilihat sebagai dihasilkan dan dibentuk oleh kehendak, sebagai sesuatu yang dirasakan.111 Sehubungan dengan hal ini, para bhikkhu, seorang siswa mulia yang terpelajar memperhatikan dengan seksama dan sungguh-sungguh pada kemunculan bergantungan sebagai berikut: ‘Jika ini ada, maka itu juga ada; dengan munculnya ini, maka muncullah itu. Jika ini tidak ada, maka itu tidak ada, dengan lenyapnya ini, maka lenyap pula itu. Yaitu, dengan ketidaktahuan sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan kehendak [muncul]; dengan bentukan-bentukan kehendak sebagai kondisi, maka kesadaran …. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini. Tetapi dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketidaktahuan, maka lenyap pula bentukan-bentukan kehendak; dengan lenyapnya bentukan-bentukan kehendak, maka lenyap pula kesadaran …. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.”

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, apa yang dikehendaki seseorang, dan apa yang direncanakan seseorang, dan kecenderungan pada apa pun yang dimiliki seseorang: ini menjadi dasar bagi pemeliharaan kesadaran. Ketika ada dasar maka ada penyokong bagi terbentuknya kesadaran. Ketika kesadaran terbentuk dan telah berkembang, maka ada produksi penjelmaan kembali di masa depan. Jika ada produksi penjelmaan kembali di masa depan, maka kelahiran, penuaan-dan-kematian, kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan di masa depan juga muncul. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.112

“Jika, para bhikkhu, seseorang tidak menghendaki, dan tidak merencanakan, tetapi masih memiliki kecenderungan pada sesuatu, maka ini menjadi dasar bagi pemeliharaan kesadaran. Jika ada dasar maka ada penyokong bagi terbentuknya kesadaran … Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.113

“Tetapi, para bhikkhu, jika seseorang tidak menghendaki, dan tidak merencanakan, dan tidak memiliki kecenderungan pada apa pun, maka tidak ada dasar bagi terbentuknya kesadaran. [66] Jika tidak ada dasar maka tidak ada penyokong bagi terbentuknya kesadaran. Jika kesadaran tidak terbentuk dan tidak berkembang, maka tidak ada produksi penjelmaan kembali di masa depan. Ketika tidak ada produksi penjelmaan kembali di masa depan, maka kelahiran, penuaan-dan-kematian, kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan di masa depan juga lenyap. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.”114

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, apa yang dikehendaki seseorang, dan apa yang direncanakan seseorang, dan kecenderungan pada apa pun yang dimiliki seseorang: ini menjadi dasar bagi pemeliharaan kesadaran. Jika ada dasar maka ada penyokong bagi terbentuknya kesadaran. Ketika kesadaran terbentuk dan telah berkembang, maka ada turunan nama-dan-bentuk.115 Dengan nama-dan-bentuk sebagai kondisi, maka enam landasan indria [muncul]; dengan enam landasan indria sebagai kondisi, maka kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan … ketagihan … kemelekatan … penjelmaan … kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan-dan-kematian, kesedihan, ratapan, kesakitan, kesenangan, dan keputus-asaan muncul. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Jika, para bhikkhu, seseorang tidak menghendaki, dan tidak merencanakan, tetapi masih memiliki kecenderungan pada sesuatu, ini menjadi dasar bagi pemeliharaan kesadaran. Jika ada dasar maka ada penyokong bagi terbentuknya kesadaran. Jika kesadaran terbentuk dan telah berkembang, maka ada penurunan nama-dan-bentuk. Dengan nama-dan-bentuk sebagai kondisi, maka enam landasan indria [muncul] … Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Tetapi, para bhikkhu, jika seseorang tidak menghendaki, dan tidak merencanakan, dan tidak memiliki kecenderungan pada apa pun, maka tidak ada dasar bagi terbentuknya kesadaran. Jika tidak ada dasar maka tidak ada penyokong bagi terbentuknya kesadaran. Jika kesadaran tidak terbentuk dan tidak berkembang, maka tidak ada penurunan nama-dan-bentuk. Dengan lenyapnya nama-dan-bentuk, maka lenyap pula enam landasan indria … Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.”

Di Sāvatthī. [67] “Para bhikkhu, apa yang dikehendaki seseorang, dan apa yang direncanakan seseorang, dan kecenderungan pada apa pun yang dimiliki seseorang: ini menjadi dasar bagi pemeliharaan kesadaran. Jika ada dasar maka ada penyokong bagi terbentuknya kesadaran. Jika kesadaran terbentuk dan telah berkembang, maka ada kecenderungan. Jika ada kecenderungan, maka ada datang dan pergi. Jika ada datang dan pergi, maka ada meninggal dunia dan terlahir kembali.116 Jika ada meninggal dunia dan terlahir kembali, maka kelahiran, penuaan-dan-kematian, kesedihan, ratapan, kesakitan, kesenangan, dan keputus-asaan di masa depan juga muncul. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Jika, para bhikkhu, seseorang tidak menghendaki, dan tidak merencanakan, tetapi masih memiliki kecenderungan pada sesuatu, ini menjadi dasar bagi pemeliharaan kesadaran. Jika ada dasar maka ada penyokong bagi terbentuknya kesadaran. … Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Tetapi, para bhikkhu, jika seseorang tidak menghendaki, dan tidak merencanakan, dan tidak memiliki kecenderungan pada apa pun, maka tidak ada dasar bagi terbentuknya kesadaran. Jika tidak ada dasar maka tidak ada penyokong bagi terbentuknya kesadaran. Jika kesadaran tidak terbentuk dan tidak berkembang, maka tidak ada datang dan pergi. Jika tidak ada datang dan pergi, maka tidak ada meninggal dunia dan terlahir kembali. Jika tidak ada meninggal dunia dan terlahir kembali, maka kelahiran, penuaan-dan-kematian, kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan di masa depan juga lenyap. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.”117

[68]

Di Sāvatthī. Perumah tangga Anāthapiṇḍika mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Perumah tangga, ketika lima permusuhan menakutkan telah disingkirkan dalam diri seorang siswa mulia, dan ia memiliki empat faktor Memasuki-Arus, dan ia telah melihat dengan jelas dan dengan sepenuhnya menembus metode mulia dengan kebijaksanaan, jika ia menginginkan maka ia dapat menyatakan sehubungan dengan dirinya: ‘Aku adalah seorang yang telah selesai dengan alam neraka, selesai dengan alam binatang, selesai dengan alam setan, selesai dengan alam sengsara, alam tujuan yang buruk, alam rendah. Aku adalah seorang Pemasuk-arus, tidak lagi mengarah menuju alam rendah, pasti dalam tujuan, dengan pencerahan sebagai tujuanku.’118

“Apakah lima permusuhan menakutkan yang telah disingkirkan? Perumah tangga, seorang yang membunuh menimbulkan, karena perilaku demikian, permusuhan menakutkan dalam kehidupan sekarang dan permusuhan menakutkan dalam kehidupan mendatang, dan ia mengalami kesakitan dan ketidaksenangan batin.119 Demikianlah bagi seorang yang menghindari diri dari pembunuhan, permusuhan menakutkan ini disingkirkan.

“Seorang yang mengambil apa yang tidak diberikan … [69] … yang terlibat dalam perbuatan seksual yang salah … yang berbohong … yang meminum anggur, alkohol, dan minuman keras yang menjadi landasan bagi kelengahan menimbulkan, karena perilaku demikian, permusuhan menakutkan dalam kehidupan sekarang dan permusuhan menakutkan dalam kehidupan mendatang, dan ia mengalami kesakitan dan ketidaksenangan batin. Demikianlah bagi seorang yang menghindari diri dari anggur, alkohol, dan minuman keras yang menjadi landasan bagi kelengahan, permusuhan menakutkan ini disingkirkan.

“Ini adalah lima permusuhan menakutkan yang telah disingkirkan.

“Apakah empat faktor Memasuki-Arus yang ia miliki?120 Di sini, perumah tangga, siswa mulia itu memiliki keyakinan kuat sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, Yang Sempurna menempuh Sang Jalan, Pengenal seluruh alam, Pemimpin terbaik bagi makhluk-makhluk yang harus dijinakkan, Guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci.’

“Ia memiliki keyakinan kuat dalam Dhamma sebagai berikut: ‘Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Bhagavā, terlihat langsung, seketika, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat dipraktikkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.’

“Ia memiliki keyakinan kuat dalam Saṅgha sebagai berikut: “Saṅgha siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang baik mempraktikkan jalan yang lurus, mempraktikkan jalan yang benar, mempraktikkan jalan yang seharusnya; yaitu empat pasang makhluk, delapan jenis individu – Saṅgha [70] siswa Sang Bhagavā ini layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, ladang kebajikan yang terbaik di alam semesta.’

“Ia memiliki moralitas yang disukai oleh para mulia – tidak rusak, tidak robek, tanpa noda, tanpa bercak, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak dicengkeram, menuntun ke arah konsentrasi.121

“Ini adalah empat faktor Memasuki-Arus yang ia miliki.

“Dan apakah metode mulia yang telah ia lihat dengan jelas dan dengan sepenuhnya ditembus dengan kebijaksanaan?122 Di sini, perumah tangga, siswa mulia itu memperhatikan dengan seksama dan sungguh-sungguh pada kemunculan bergantungan sebagai berikut: ‘Jika ini ada, maka itu juga ada; dengan munculnya ini, maka muncullah itu. Jika ini tidak ada, maka itu tidak ada, dengan lenyapnya ini, maka lenyap pula itu. Yaitu, dengan ketidaktahuan sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan kehendak [muncul]; dengan bentukan-bentukan kehendak sebagai kondisi, maka kesadaran …. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini. Tetapi dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketidaktahuan, maka lenyap pula bentukan-bentukan kehendak; dengan lenyapnya bentukan-bentukan kehendak, maka lenyap pula kesadaran …. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.’

“Inilah metode mulia yang telah dengan jelas ia lihat dan dengan sepenuhnya ditembus dengan kebijaksanaan.

“Jika, perumah tangga, lima permusuhan menakutkan ini telah disingkirkan dalam diri seorang siswa mulia, dan ia memiliki empat faktor Memasuki-Arus, dan ia telah melihat dengan jelas dan dengan sepenuhnya menembus metode mulia dengan kebijaksanaan, jika ia menginginkan maka ia dapat menyatakan sehubungan dengan dirinya: ‘Aku adalah seorang telah selesai dengan alam neraka, selesai dengan alam binatang, selesai dengan alam setan, selesai dengan alam sengsara, alam tujuan yang buruk, alam rendah. Aku adalah seorang Pemasuk-arus, tidak lagi mengarah menuju alam rendah, pasti dalam tujuan, dengan pencerahan sebagai tujuanku.’”

(Sutta ini identik dengan sutta sebelumnya dengan pengecualian bahwa sutta ini ditujukan kepada “sekelompok bhikkhu”) [71]

Di Sāvatthī. [72] “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang asal-mula dan lenyapnya penderitaan. Dengarkan dan perhatikanlah, Aku akan menjelaskan.”123

“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Dan apakah, para bhikkhu, asal-mula penderitaan? Dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, maka muncullah kesadaran-mata. Pertemuan dari ketiga ini adalah kontak. Dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan [muncul]; dengan perasaan sebagai kondisi, maka ketagihan. Ini adalah asal-mula penderitaan.

“Dengan bergantung pada telinga dan suara-suara … Dengan bergantung pada hidung dan bau-bauan … Dengan bergantung pada lidah dan rasa-kecapan … Dengan bergantung pada badan dan objek sentuhan … Dengan bergantung pada pikiran dan fenomena pikiran, maka muncullah kesadaran-pikiran. Pertemuan dari ketiga ini adalah kontak. Dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan [muncul]; dengan perasaan sebagai kondisi, maka ketagihan. Ini adalah asal-mula penderitaan.

“Dan apakah, para bhikkhu, lenyapnya penderitaan? Dengan bergantung pada mata dan bentuk, maka muncullah kesadaran-mata. Pertemuan dari ketiga ini adalah kontak. Dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan [muncul]; dengan perasaan sebagai kondisi, maka ketagihan. Tetapi dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketagihan yang sama itu, maka lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, maka lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, maka penuaan-dan-kematian, kesedihan, ratapan, kesakitan, kesenangan, dan keputus-asaan juga lenyap. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini. Ini adalah lenyapnya penderitaan.

“Dengan bergantung pada telinga dan suara-suara … Dengan bergantung pada pikiran dan fenomena pikiran, maka muncullah kesadaran-pikiran. Pertemuan dari ketiga ini adalah kontak. Dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan [muncul]; dengan perasaan sebagai kondisi, maka ketagihan. Tetapi dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketagihan yang sama itu, maka lenyap pula kemelekatan … lenyap pula penjelmaan … lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, maka penuaan-dan-kematian, [73] kesedihan, ratapan, kesakitan, kesenangan, dan keputus-asaan juga lenyap. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini. Ini adalah lenyapnya penderitaan.”

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang asal-mula dan lenyapnya penderitaan. Dengarkan dan perhatikanlah, Aku akan menjelaskan.”124

“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Dan apakah, para bhikkhu, asal-mula dunia? Dengan bergantung pada mata dan bentuk, maka muncullah kesadaran-mata. Pertemuan dari ketiga ini adalah kontak. Dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan [muncul]; dengan perasaan sebagai kondisi, maka ketagihan; dengan ketagihan sebagai kondisi, maka kemelekatan; dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka penjelmaan; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan-dan-kematian, kesedihan, ratapan, kesakitan, kesenangan, dan keputus-asaan muncul. Ini, para bhikkhu, adalah asal-mula dunia.

“Dengan bergantung pada telinga dan suara-suara … Dengan bergantung pada hidung dan bau-bauan … Dengan bergantung pada lidah dan rasa-kecapan … Dengan bergantung pada badan dan objek sentuhan … Dengan bergantung pada pikiran dan fenomena pikiran, maka muncullah kesadaran-pikiran. Pertemuan dari ketiga ini adalah kontak. Dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan [muncul]; dengan perasaan sebagai kondisi, maka ketagihan; dengan ketagihan sebagai kondisi, maka kemelekatan … penjelmaan … kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan-dan-kematian, kesedihan, ratapan, kesakitan, kesenangan, dan keputus-asaan muncul. Ini, para bhikkhu, adalah asal-mula dunia.

“Dan apakah, para bhikkhu, lenyapnya penderitaan? Dengan bergantung pada mata dan bentuk, maka muncullah kesadaran-mata. Pertemuan dari ketiga ini adalah kontak. Dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan [muncul]; dengan perasaan sebagai kondisi, maka ketagihan. Tetapi dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketagihan yang sama itu, maka lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, maka lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, maka penuaan-dan-kematian, kesedihan, ratapan, kesakitan, kesenangan, dan keputus-asaan juga lenyap. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini. Ini adalah lenyapnya penderitaan.

“Dengan bergantung pada telinga dan suara-suara … [74] …Dengan bergantung pada pikiran dan fenomena pikiran, maka muncullah kesadaran-pikiran. Pertemuan dari ketiga ini adalah kontak. Dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan [muncul]; dengan perasaan sebagai kondisi, maka ketagihan. Tetapi dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketagihan yang sama itu, maka lenyap pula kemelekatan … lenyap pula penjelmaan … lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, maka penuaan-dan-kematian, kesedihan, ratapan, kesakitan, kesenangan, dan keputus-asaan juga lenyap. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini. Ini, para bhikkhu, adalah lenyapnya penderitaan.”

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Ñātika di Aula Bata. Kemudian, ketika Sang Bhagavā sedang sendirian dalam keheningan, Beliau mengucapkan pembabaran Dhamma ini:125

“Dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, kesadaran-mata muncul. Pertemuan ketiga ini adalah kontak. Dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan [muncul]; dengan perasaan sebagai kondisi, maka ketagihan; dengan ketagihan sebagai kondisi, maka kemelekatan … Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Dengan bergantung pada telinga dan suara-suara … Dengan bergantung pada pikiran dan fenomena pikiran, maka kesadaran-pikiran muncul. Pertemuan ketiga ini adalah kontak. Dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan [muncul]; dengan perasaan sebagai kondisi, maka ketagihan; dengan ketagihan sebagai kondisi, maka kemelekatan … Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, kesadaran-mata muncul. Pertemuan ketiga ini adalah kontak. Dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan [muncul]; dengan perasaan sebagai kondisi, maka ketagihan. Tetapi dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketagihan yang sama ini, maka lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan … Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini. [75]

“Dengan bergantung pada telinga dan suara-suara … Dengan bergantung pada pikiran dan fenomena pikiran, kesadaran-pikiran muncul. Pertemuan ketiga ini adalah kontak. Dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan [muncul]; dengan perasaan sebagai kondisi, maka ketagihan. Tetapi dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketagihan yang sama ini, maka lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan … Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.”

Pada saat itu seorang bhikkhu berdiri mendengarkan Sang Bhagavā. Sang Bhagavā melihatnya berdiri di sana sambil mendengarkan dan berkata kepadanya: “Apakah engkau mendengarkan pembabaran Dhamma ini, bhikkhu?”

“Ya, Yang Mulia.”

“Pelajarilah pembabaran Dhamma itu, bhikkhu, kuasai dan ingatlah. Pembabaran Dhamma itu bermanfaat dan berhubungan dengan landasan kehidupan suci.”

Di Sāvatthī. Seorang brahmana mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka telah mengakhiri ramah-tamah ini, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Beliau:

“Bagaimanakah, Guru Gotama: apakah seorang yang melakukan sama dengan orang yang mengalami [akibatnya]?”126

“‘Seorang yang melakukan sama dengan orang yang mengalami [akibatnya]’; ini, brahmana, adalah satu ekstrim.” [76]

“Kalau begitu, Guru Gotama, apakah orang yang melakukan adalah satu hal, dan orang yang mengalami [akibatnya] adalah hal lainnya?”

“‘Orang yang melakukan adalah satu hal, dan orang yang mengalami [akibatnya] adalah hal lainnya’: ini, brahmana, adalah ekstrim yang ke dua. Tanpa berbelok ke arah salah satu dari ekstrim-ekstrim ini, Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma yang di tengah: ‘Dengan ketidaktahuan sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan kehendak [muncul]; dengan bentukan-bentukan kehendak sebagai kondisi, maka kesadaran … Demikianlah asal-mula dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini. Tetapi dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketidaktahuan, maka lenyap pula bentukan-bentukan kehendak; dengan lenyapnya bentukan-bentukan kehendak, maka lenyap pula kesadaran … Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.’”

Ketika hal ini dikatakan, brahmana itu berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Guru Gotama! … Aku berlindung pada Guru Gotama, dan Dhamma, dan Bhikkhu Saṅgha. Mulai hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai umat awam yang telah menyatakan berlindung seumur hidupku.”

Di Sāvatthī. Brahmana Jāṇussoṇi mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka mengakhiri ramah-tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Beliau:127

“Bagaimanakah, Guru Gotama: apakah semuanya ada?”

“‘Semua ada’: ini, brahmana, adalah satu ekstrim.”

“Kalau begitu, Guru Gotama, apakah semuanya tidak ada?”

“‘Semuanya tidak ada’: ini, brahmana adalah ekstrim ke dua. Tanpa berbelok ke arah salah satu dari ekstrim-ekstrim ini, Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma yang di tengah …”

Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Jāṇussoṇi berkata kepada Sang Bhagavā: [77] “Menakjubkan, Guru Gotama! … Mulai hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai umat awam yang telah menyatakan berlindung seumur hidupku.”

Di Sāvatthī. Seorang brahmana yang adalah juga seorang kosmologis128 mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau:

“Bagaimanakah, Guru Gotama: apakah semuanya ada?”

“‘Semua ada’: ini, brahmana, adalah kosmologi tertua.”129

“Kalau begitu, Guru Gotama, apakah semuanya tidak ada?”

“‘Semuanya tidak ada’: ini, brahmana adalah kosmologi ke dua.”

“Bagaimanakah, Guru Gotama, apakah segalanya adalah satu kesatuan?”130

“‘Segalanya adalah satu kesatuan’: ini, brahmana adalah kosmologi ke tiga.”

“Kalau begitu, Guru Gotama, apakah segalanya adalah banyak?”131

“‘Segalanya adalah banyak’: ini, brahmana adalah kosmologi ke empat.” Tanpa berbelok ke arah salah satu dari ekstrim-ekstrim ini, Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma yang di tengah …”

Ketika hal ini dikatakan, Brahmana itu berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Guru Gotama! … Mulai hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai umat awam yang telah menyatakan berlindung seumur hidupku.”

Di Sāvatthī. [78] “Para bhikkhu, siswa mulia yang terpelajar tidak berpikir: ‘Ketika ada apakah maka sesuatu ada? Dengan munculnya apakah maka sesuatu muncul? [Ketika ada apakah maka bentukan-bentukan kehendak muncul? Ketika ada apakah maka kesadaran muncul?]132 Ketika ada apakah maka nama-dan-bentuk muncul? … Ketika ada apakah maka penuaan-dan-kematian terjadi?’

“Melainkan, para bhikkhu, siswa mulia yang terpelajar telah memiliki pengetahuan mengenai hal ini yang bergantung pada hal lain: ‘Ketika ini ada, maka itu terjadi; dengan munculnya ini, maka muncul pula itu. [Ketika ada ketidaktahuan, maka bentukan-bentukan kehendak terjadi. Ketika ada bentukan-bentukan kehendak, maka kesadaran muncul.] Ketika ada kesadaran, maka nama-dan-bentuk muncul … Ketika ada kelahiran, maka penuaan-dan-kematian terjadi.’ Ia memahami sebagai berikut: ‘Dengan cara demikianlah dunia berasal-mula.’

“Para bhikkhu, siswa mulia yang terpelajar tidak berpikir: ‘Ketika tidak ada apakah maka sesuatu tidak terjadi? Dengan lenyapnya apakah maka sesuatu lenyap? [Ketika tidak ada apakah maka bentukan-bentukan kehendak tidak terjadi? Ketika tidak ada apakah maka kesadaran tidak muncul?] Ketika tidak ada apakah maka nama-dan-bentuk tidak muncul? … Ketika tidak ada apakah maka penuaan-dan-kematian tidak terjadi?’”

“Melainkan, para bhikkhu, siswa mulia yang terpelajar telah memiliki pengetahuan mengenai hal ini yang bergantung pada hal lain: ‘Ketika ini tidak ada, maka itu tidak muncul; dengan lenyapnya ini, maka itu juga lenyap. [Ketika tidak ada ketidaktahuan, maka bentukan-bentukan kehendak tidak muncul. Ketika tidak ada bentukan-bentukan kehendak, maka kesadaran tidak muncul.] Ketika tidak ada kesadaran, maka nama-dan-bentuk tidak muncul … Ketika tidak ada kelahiran, maka penuaan-dan-kematian tidak terjadi.’ Ia memahami sebagai berikut: ‘Dengan cara demikianlah dunia berasal-mula.’ [79]

“Para bhikkhu, ketika siswa mulia memahami demikian sebagaimana adanya asal-mula dan lenyapnya dunia, maka ia disebut seorang siswa mulia yang sempurna dalam pandangan, sempurna dalam penglihatan, yang telah sampai pada Dhamma sejati, yang melihat Dhamma sejati ini, yang memiliki pengetahuan seorang pelajar, pengetahuan sejati seorang pelajar, yang telah memasuki arus Dhamma, seorang mulia dengan kebijaksanaan penembusan, seorang yang berdiri tegak di depan pintu Tanpa-kematian.”

(Sutta ini identik dengan sutta sebelumnya dengan pengecualian bahwa kalimat yang berada dalam kurung yang tidak terdapat dalam beberapa edisi di sini jelas dimasukkan dalam semua edisi.) [80]

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu melakukan penyelidikan menyeluruh, dalam cara bagaimanakah ia menyelidiki secara menyeluruh untuk menghancurkan penderitaan sepenuhnya?”134

“Yang Mulia, ajaran kita berakar dalam Sang Bhagavā, dituntun oleh Sang Bhagavā, [81] dilindungi oleh Sang Bhagavā. Baik sekali jika Sang Bhagavā sudi menjelaskan makna dari pernyataan ini. Setelah mendengarkan dari Beliau, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Kalau begitu, dengarkan dan perhatikanlah, para bhikkhu, Aku akan menjelaskan.”

“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Di sini, para bhikkhu, ketika ia melakukan penyelidikan menyeluruh, seorang bhikkhu menyelidiki secara menyeluruh sebagai berikut: ‘Berbagai jenis penderitaan yang muncul di dunia [dipimpin oleh] penuaan-dan-kematian: apakah sumber penderitaan ini, apakah asal-mulanya, dari manakah ia timbul dan dihasilkan? Ketika ada apakah maka penuaan-dan-kematian terjadi? Ketika tidak ada apakah maka penuaan-dan-kematian tidak terjadi?’

“Ketika ia menyelidiki secara menyeluruh ia memahami sebagai berikut: ‘Berbagai jenis penderitaan yang muncul di dunia [dipimpin oleh] penuaan-dan-kematian: penderitaan ini memiliki kelahiran sebagai sumbernya, kelahiran sebagai asal-mulanya, timbul dan dihasilkan dari kelahiran. Ketika ada kelahiran, maka penuaan-dan-kematian terjadi; ketika tidak ada kelahiran, maka penuaan-dan-kematian tidak terjadi.’

“Ia memahami penuaan-dan-kematian, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju itu yang selaras dengan lenyapnya.135 Ia mempraktikkan jalan itu dan berperilaku sesuai itu. Ini adalah yang disebut seorang bhikkhu yang berlatih demi penghancuran penderitaan sepenuhnya, demi lenyapnya penuaan-dan-kematian.

“Kemudian, menyelidiki lebih jauh, ia secara menyeluruh menyelidiki sebagai berikut: ‘Apakah sumber kelahiran ini, apakah asal-mulanya, dari manakah ia timbul dan dihasilkan? … Apakah sumber penjelmaan ini? … kemelekatan ini? … ketagihan ini? … perasaan ini? … kontak ini? … enam landasan indria ini? … nama-dan-bentuk ini? … kesadaran ini? … Apakah sumber dari bentukan-bentukan kehendak ini, apakah asal-mulanya, dari manakah ia timbul dan dihasilkan? Ketika ada apakah maka bentukan-bentukan kehendak muncul? Ketika tidak ada apakah maka bentukan-bentukan kehendak tidak muncul?’

“Ketika ia menyelidiki secara menyeluruh ia memahami sebagai berikut: ‘Bentukan-bentukan kehendak ini memiliki ketidaktahuan sebagai sumbernya, ketidaktahuan sebagai asal-mulanya, timbul dan dihasilkan dari ketidaktahuan. [82] Ketika ada ketidaktahuan, maka bentukan-bentukan kehendak terjadi; ketika tidak ada ketidaktahuan, maka bentukan-bentukan kehendak tidak terjadi.’

“Ia memahami bentukan-bentukan kehendak, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju itu yang selaras dengan lenyapnya. Ia mempraktikkan jalan itu dan berperilaku sesuai itu. Ini adalah yang disebut seorang bhikkhu yang berlatih demi penghancuran penderitaan sepenuhnya, demi lenyapnya bentukan-bentukan kehendak.

“Para bhikkhu, jika seseorang yang tenggelam dalam ketidaktahuan menghasilkan bentukan kehendak yang baik, maka kesadaran bergerak ke arah yang baik; jika ia menghasilkan bentukan kehendak yang buruk, maka kesadaran bergerak ke arah yang buruk; jika ia menghasilkan bentukan kehendak yang netral, maka kesadaran bergerak ke arah yang netral.136 Tetapi jika seorang bhikkhu telah meninggalkan ketidaktahuan dan membangkitkan pengetahuan sejati, maka dengan meluruhnya ketidaktahuan dan bangkitnya pengetahuan sejati, ia tidak menghasilkan bentukan kehendak yang baik, atau bentukan kehendak yang buruk, atau bentukan kehendak yang netral. Karena ia tidak menghasilkan atau membentuk bentukan-bentukan kehendak, maka ia tidak melekat pada apa pun di dunia. Karena tidak melekat, maka ia tidak bergejolak.137 Karena tidak bergejolak, ia secara pribadi mencapai Nibbāna. Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi untuk kondisi makhluk ini.’

“Jika ia merasakan perasaan menyenangkan,138 ia memahami: ‘Ini tidak kekal’; ia memahami: ‘Ini tidak digenggam’; ia memahami: ‘Ini tidak untuk disenangi.’ Jika ia merasakan perasaan sakit, ia memahami: ‘Ini tidak kekal’; ia memahami: ‘Ini tidak digenggam’; ia memahami: ‘Ini tidak untuk disenangi.’ Jika ia merasakan perasaan yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan, ia memahami: ‘Ini tidak kekal’; ia memahami: ‘Ini tidak digenggam’; ia memahami: ‘Ini tidak untuk disenangi.’

“Jika ia merasakan perasaan menyenangkan, ia merasakannya dengan terlepas; jika ia merasakan perasaan yang menyakitkan, ia merasakannya dengan terlepas; jika ia merasakan perasaan yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan, ia merasakannya dengan terlepas. [83]

“Ketika ia merasakan perasaan yang berujung pada jasmani, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan yang berujung pada jasmani.’ Ketika ia merasakan perasaan yang berujung pada kehidupan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan yang berujung pada kehidupan.’139 Ia memahami: ‘Dengan hancurnya jasmani, yang mengikuti habisnya kehidupan, semua yang dirasakan, karena tidak disenangi, akan menjadi dingin di sini; hanya sisa-sisa jasmani yang tertinggal.’140

“Misalnya, para bhikkhu, seseorang memindahkan sebuah mangkuk tembikar yang panas dari tempat pengeringan tembikar dan meletakkannya di atas tanah yang lembut: panasnya akan memudar di sana dan pecahannya akan tertinggal. Demikian pula, ketika ia merasakan perasaan yang berujung pada jasmani … berujung pada kehidupan … Ia memahami: ‘Dengan hancurnya jasmani, yang mengikuti habisnya kehidupan, semua yang dirasakan, karena tidak disenangi, akan menjadi dingin di sini; hanya sisa-sisa jasmani yang tertinggal.’141

“Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu, dapatkah seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah hancur menghasilkan bentukan kehendak baik, atau bentukan kehendak buruk, atau bentukan kehendak netral?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Ketika sama sekali tidak ada bentukan-bentukan kehendak, dengan lenyapnya bentukan-bentukan kehendak, dapatkah kesadaran terlihat?”142

“Tidak, Yang Mulia.”

“Ketika sama sekali tidak ada kesadaran, dengan lenyapnya kesadaran, dapatkah nama-dan-bentuk terlihat?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Ketika sama sekali tidak ada nama-dan-bentuk … tidak ada enam landasan indria … [84] … tidak ada kontak … tidak ada perasaan … tidak ada keinginan … tidak ada kemelekatan … tidak ada penjelmaan … tidak ada kelahiran, dengan lenyapnya kelahiran, dapatkah penuaan-dan-kematian terlihat?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Bagus; bagus, para bhikkhu! Demikianlah sesungguhnya dan bukan sebaliknya! Yakinlah padaKu mengenai hal ini, para bhikkhu, pahamilah ini. Bebaskanlah diri kalian dari kebingungan dan keraguan pada hal ini. Hanya inilah akhir penderitaan.”143

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, ketika seseorang berdiam dengan merenungkan kepuasan dalam hal-hal yang dapat dilekati,144 maka ketagihan meningkat. Dengan ketagihan sebagai kondisi, maka kemelekatan [muncul]; dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka penjelmaan; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan-dan-kematian, kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan muncul. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Misalkan, para bhikkhu, [85] api besar sedang membakar, melahap sepuluh, dua puluh, tiga puluh, atau empat puluh tumpukan kayu, dan seseorang terus-menerus melemparkan rumput kering, kotoran sapi kering, dan kayu kering ke dalam api tersebut. Demikianlah, dengan ditopang oleh materi tersebut, diberi bahan bakar dari materi tersebut, api besar itu akan menyala dalam waktu yang lama. Demikian pula, ketika seseorang berdiam dengan merenungkan kepuasan dalam hal-hal yang dapat dilekati, maka ketagihan meningkat … Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Para bhikkhu, ketika seseorang berdiam dengan merenungkan bahaya dalam hal-hal yang dapat dilekati, maka ketagihan lenyap. Dengan lenyapnya ketagihan, maka lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, lenyap pula penjelmaan … lenyap pula kelahiran … lenyap pula penuaan-dan-kematian, kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.145

“Misalkan, para bhikkhu, api besar sedang membakar, melahap sepuluh, dua puluh, tiga puluh, atau empat puluh tumpukan kayu, dan seseorang tidak melemparkan rumput kering, kotoran sapi kering, atau kayu kering ke dalam api tersebut. Demikianlah, ketika bahan bakar yang telah ada sebelumnya habis, maka api besar itu, karena tidak lagi memperoleh bahan bakar, tanpa penopang, akan menjadi padam. Demikian pula, ketika seseorang berdiam dengan merenungkan bahaya dalam hal-hal yang dapat dilekati, maka ketagihan lenyap … Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.”146 [86]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, ketika seseorang berdiam dengan merenungkan kepuasan dalam hal-hal yang dapat membelenggu,147 maka ketagihan meningkat. Dengan ketagihan sebagai kondisi, maka kemelekatan [muncul]; dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka penjelmaan; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan-dan-kematian, kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan muncul. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Misalkan, para bhikkhu, sebuah lampu minyak yang menyala dengan bergantung pada minyak dan sumbu, dan seseorang terus-menerus menuangkan minyak ke dalamnya dan menaikkan sumbunya. Demikianlah, dengan ditopang oleh minyak, diberi bahan bakar, lampu minyak itu akan menyala dalam waktu yang lama. Demikian pula, ketika seseorang berdiam dengan merenungkan kepuasan dalam hal-hal yang dapat membelenggu, maka ketagihan meningkat … Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Para bhikkhu, ketika seseorang berdiam dengan merenungkan bahaya dalam hal-hal yang dapat membelenggu, maka ketagihan lenyap. Dengan lenyapnya ketagihan, maka lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan … lenyap pula kelahiran … lenyap pula penuaan-dan-kematian, kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Misalkan, para bhikkhu, sebuah lampu minyak yang menyala dengan bergantung pada minyak dan sumbu, dan seseorang tidak menuangkan minyak ke dalamnya atau menaikkan sumbunya. Demikianlah, ketika bahan bakar yang telah ada sebelumnya habis, maka lampu minyak itu, karena tidak lagi memperoleh bahan bakar, tanpa penopang, akan menjadi padam. Demikian pula, ketika seseorang berdiam dengan merenungkan bahaya dalam hal-hal yang dapat membelenggu, maka ketagihan lenyap … Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.” [87]

(Sutta ini identik dengan sutta sebelumnya dengan pengecualian bahwa bagian asal-mula dan lenyapnya dalam perumpamaan disebutkan terlebih dulu dan selanjutnya diikuti oleh penerapannya.)

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, ketika seseorang berdiam dengan merenungkan kepuasan dalam hal-hal yang dapat dilekati, maka ketagihan meningkat. Dengan ketagihan sebagai kondisi, maka kemelekatan [muncul] … Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Misalkan, para bhikkhu, ada sebatang pohon besar, dan semua akarnya yang bergantungan ke bawah dan ke sekeliling akan mengalirkan getah ke atas. Demikianlah, dengan ditopang oleh getah tersebut, dan diberi makan oleh getah itu, pohon besar itu akan bertahan lama. Demikian pula, ketika seseorang berdiam dengan merenungkan kepuasan dalam hal-hal yang dapat dilekati, maka ketagihan meningkat … Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.148 [88]

“Para bhikkhu, ketika seseorang berdiam dengan merenungkan bahaya dalam hal-hal yang dapat dilekati, maka ketagihan lenyap. Dengan lenyapnya ketagihan, maka lenyap pula kemelekatan … Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Misalkan, para bhikkhu, ada sebatang pohon besar, dan seseorang datang membawa sekop dan keranjang. Ia menebang pohon itu hingga ke akarnya, menggalinya, menarik keluar akarnya, hingga ke serabut akar dan serat yang halus. Ia memotong-motong pohon itu menjadi beberapa potong, mencincangnya, dan mengirisnya. Kemudian ia menjemur irisan-irisan itu di bawah sinar matahari dan tiupan angin, membakarnya dan mengumpulkan abunya. Setelah melakukan hal itu, ia kemudian menebarkan abu itu agar tertiup angin kencang atau menghanyutkannya dalam aliran sungai. Demikianlah pohon besar itu terpotong pada akarnya, dibuat seperti tunggul pohon palem, dihancurkan hingga tidak mungkin tumbuh lagi di masa depan.

“Demikian pula, para bhikkhu, ketika seseorang berdiam dengan merenungkan bahaya dalam hal-hal yang dapat dilekati, maka ketagihan lenyap … Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.”149

(Sutta ini identik dengan sutta sebelumnya dengan pengecualian bahwa bagian asal-mula dan lenyapnya dalam perumpamaan disebutkan terlebih dulu dan selanjutnya diikuti oleh penerapannya.) [89]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, ketika seseorang berdiam dengan merenungkan kepuasan dalam hal-hal yang dapat membelenggu, maka ketagihan meningkat. Dengan ketagihan sebagai kondisi, maka kemelekatan [muncul] … Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Misalkan, para bhikkhu, terdapat sebatang anak pohon, dan dari waktu ke waktu seseorang membersihkan tempat di sekeliling akarnya, dari waktu ke waktu menaburkan tanah subur, dari waktu ke waktu menyiramnya. Ditopang oleh perawatan itu, diberi makan, anak pohon itu akan tumbuh, semakin tinggi, dan semakin besar. Demikian pula, ketika seseorang berdiam dengan merenungkan kepuasan dalam hal-hal yang dapat membelenggu, maka ketagihan meningkat … Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Para bhikkhu, ketika seseorang berdiam dengan merenungkan bahaya dalam hal-hal yang dapat membelenggu, maka ketagihan lenyap. Dengan lenyapnya ketagihan, maka lenyap pula kemelekatan … Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini. [90]

“Misalkan, para bhikkhu, ada sebatang anak pohon. Kemudian seseorang datang membawa sekop dan keranjang. Ia menebang pohon itu hingga ke akarnya … (seperti pada §55) … ia kemudian menebarkan abu itu agar tertiup angin kencang atau menghanyutkannya dalam aliran sungai. Demikianlah anak pohon itu terpotong pada akarnya, dibuat seperti tunggul pohon palem, dihancurkan hingga tidak mungkin tumbuh lagi di masa depan.

“Demikian pula, para bhikkhu, ketika seseorang berdiam dengan merenungkan bahaya dalam hal-hal yang dapat membelenggu, maka ketagihan lenyap … Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.”

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, ketika seseorang berdiam dengan merenungkan kepuasan dalam hal-hal yang dapat membelenggu, maka ada penurunan nama-dan-bentuk.150 Dengan nama-dan-bentuk sebagai kondisi, maka enam landasan indria [muncul] … Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Misalkan, para bhikkhu, ada sebatang pohon besar, dan semua akarnya yang bergantungan ke bawah dan ke sekeliling akan mengalirkan getah ke atas. Demikianlah, dengan ditopang oleh getah tersebut, dan diberi makan oleh getah itu, pohon besar itu akan bertahan lama. Demikian pula, ketika seseorang berdiam dengan merenungkan kepuasan dalam hal-hal yang dapat membelenggu, maka ada penurunan nama-dan-bentuk … Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Para bhikkhu, ketika seseorang berdiam dengan merenungkan bahaya dalam hal-hal yang dapat membelenggu, maka tidak ada penurunan nama-dan-bentuk. [91] Dengan lenyapnya nama-dan-bentuk, maka lenyap pula enam landasan indria … Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Misalkan, para bhikkhu, ada sebatang pohon besar, dan seseorang datang membawa sekop dan keranjang. Ia menebang pohon itu hingga ke akarnya … ia kemudian menebarkan abu itu agar tertiup angin kencang atau menghanyutkannya dalam aliran sungai. Demikianlah pohon besar itu terpotong pada akarnya, dibuat seperti tunggul pohon palem, dihancurkan hingga tidak mungkin tumbuh lagi di masa depan.

“Demikian pula, ketika seseorang berdiam dengan merenungkan bahaya dalam hal-hal yang dapat membelenggu, maka tidak ada penurunan nama-dan-bentuk … Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.”

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, ketika seseorang berdiam dengan merenungkan kepuasan dalam hal-hal yang dapat membelenggu, maka ada penurunan kesadaran.151 Dengan kesadaran sebagai kondisi, maka nama-dan-bentuk [muncul] … Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Misalkan, para bhikkhu, ada sebatang pohon besar, dan semua akarnya yang bergantungan ke bawah dan ke sekeliling akan mengalirkan getah ke atas. Demikianlah, dengan ditopang oleh getah tersebut, dan diberi makan oleh getah itu, pohon besar itu akan bertahan lama. Demikian pula, ketika seseorang berdiam dengan merenungkan kepuasan dalam hal-hal yang dapat membelenggu, maka ada penurunan kesadaran … Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Para bhikkhu, ketika seseorang berdiam dengan merenungkan bahaya dalam hal-hal yang dapat membelenggu, maka tidak ada penurunan kesadaran. Dengan lenyapnya kesadaran, maka lenyap pula nama-dan-bentuk … Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Misalnya, para bhikkhu, ada sebatang pohon besar, dan seseorang datang membawa sekop dan keranjang. Ia menebang pohon itu hingga ke akarnya … ia kemudian menebarkan abu itu agar tertiup angin kencang atau menghanyutkannya dalam aliran sungai. Demikianlah pohon besar itu terpotong pada akarnya, dibuat seperti tunggul pohon palem, dihancurkan hingga tidak mungkin tumbuh lagi di masa depan.

“Demikian pula, ketika seseorang berdiam dengan merenungkan kepuasan dalam hal-hal yang dapat membelenggu, maka tidak ada penurunan kesadaran … Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.” [92]

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di antara penduduk Kuru, di mana terletak sebuah pemukiman penduduk Kuru bernama Kammāsadamma. Kemudian Yang Mulia Ānanda mendekati Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi dan berkata kepada Beliau:152

“Sungguh menakjubkan, Yang Mulia! Sungguh mengagumkan, Yang Mulia! Kemunculan bergantungan ini dan begitu mendalam maknanya, namun bagiku terlihat sangat jelas.”

“Tidak demikian, Ānanda! Tidak demikian, Ānanda! Kemunculan bergantungan ini dalam dan begitu mendalam maknanya. Adalah karena tidak memahami dan tidak menembus Dhamma ini, Ānanda, maka generasi ini telah menjadi bagaikan gulungan benang kusut, bagaikan bola benang, bagaikan jalinan buluh dan gelagah, dan tidak melampaui alam sengsara, alam tujuan yang buruk, alam rendah, saṃsāra.

“Ānanda, ketika seseorang berdiam dengan merenungkan kepuasan dalam hal-hal yang dapat dilekati, maka ketagihan meningkat. Dengan ketagihan sebagai kondisi, [93] maka kemelekatan [muncul] … Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Misalkan, Ānanda, ada sebatang pohon besar, dan semua akarnya yang bergantungan ke bawah dan ke sekeliling akan mengalirkan getah ke atas. Demikianlah, dengan ditopang oleh getah tersebut, dan diberi makan oleh getah itu, pohon besar itu akan bertahan lama. Demikian pula, ketika seseorang berdiam dengan merenungkan kepuasan dalam hal-hal yang dapat dilekati, maka ketagihan meningkat … Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Ketika, Ānanda, seseorang berdiam dengan merenungkan bahaya dalam hal-hal yang dapat dilekati, maka ketagihan lenyap. Dengan lenyapnya ketagihan maka lenyap pula kemelekatan … Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Misalkan, Ānanda, ada sebatang pohon besar, dan seseorang datang membawa sekop dan keranjang. Ia menebang pohon itu hingga ke akarnya … ia kemudian menebarkan abu itu agar tertiup angin kencang atau menghanyutkannya dalam aliran sungai. Demikianlah pohon besar itu terpotong pada akarnya, dibuat seperti tunggul pohon palem, dihancurkan hingga tidak mungkin tumbuh lagi di masa depan.

“Demikian pula, Ānanda, ketika seseorang berdiam dengan merenungkan bahaya dalam hal-hal yang dapat dilekati, maka ketagihan lenyap. Dengan lenyapnya ketagihan maka lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, maka lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan-dan-kematian, kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.”

[94]

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

“Para bhikkhu, kaum duniawi yang tidak terpelajar153 bisa saja mengalami kejijikan terhadap jasmani ini yang terdiri dari empat unsur utama; ia bisa saja menjadi bosan terhadapnya dan terbebaskan darinya. Karena alasan apakah? Karena pertumbuhan dan kemunduran terlihat dalam jasmani ini yang terdiri dari empat unsur utama, terlihat digunakan dan dibaringkan. Oleh karena itu, kaum duniawi yang tidak terpelajar bisa saja mengalami kejijikan terhadap jasmani ini yang terdiri dari empat unsur utama; ia bisa saja menjadi bosan terhadapnya dan terbebaskan darinya.

“Tetapi, para bhikkhu, sehubungan dengan apa yang disebut dengan ‘batin’ dan ‘pikiran’ dan ‘kesadaran’154 - kaum duniawi yang tidak terpelajar tidak bisa mengalami kejijikan terhadapnya; tidak bisa menjadi bosan terhadapnya dan terbebaskan darinya. Karena alasan apakah? Karena telah sejak lama digenggam olehnya, digemari, dan dicengkeram sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’155 Oleh karena itu, kaum duniawi yang tidak terpelajar tidak bisa mengalami kejijikan terhadapnya; tidak bisa menjadi bosan terhadapnya dan terbebaskan darinya.

“Adalah lebih baik, para bhikkhu, bagi kaum duniawi yang tidak terpelajar untuk menganggap jasmani yang terdiri dari empat unsur utama ini sebagai diri daripada batin. Karena alasan apakah? Karena jasmani yang terdiri dari empat unsur utama ini terlihat ada selama satu tahun, selama dua tahun, selama tiga, empat, lima atau sepuluh tahun, selama dua puluh, tiga puluh, empat puluh, atau lima puluh, selama seratus tahun, [95] atau bahkan lebih.156 Tetapi apa yang disebut dengan ‘batin’ dan ‘pikiran’ dan ‘kesadaran’ muncul sebagai sesuatu dan lenyap sebagai yang lainnya siang dan malam. Bagaikan seekor monyet yang berkeliaran di hutan berpegangan pada satu dahan, melepaskan dan memegang dahan lainnya, kemudian melepaskannya lagi dan memegang yang lainnya lagi, demikian pula apa yang disebut ‘batin’ dan ‘pikiran’ dan ‘kesadaran’ muncul sebagai sesuatu dan lenyap sebagai yang lainnya siang dan malam.157

“Sehubungan dengan hal ini, para bhikkhu, siswa mulia yang terpelajar memperhatikan dengan seksama dan penuh perhatian pada kemunculan bergantungan sebagai berikut:158 ‘Jika ini ada, maka muncul itu; dengan munculnya ini, maka muncul pula itu. Jika ini tidak ada, maka itu tidak muncul; dengan lenyapnya ini, maka lenyap pula itu. Yaitu, dengan ketidaktahuan sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan kehendak [muncul]; dengan bentukan-bentukan kehendak sebagai kondisi, maka kesadaran … Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini. Tetapi dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketidaktahuan, maka lenyap pula bentukan-bentukan kehendak; dengan lenyapnya bentukan-bentukan kehendak, maka lenyap pula kesadaran … Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Melihat demikian, para bhikkhu, siswa mulia yang terpelajar mengalami kejijikan terhadap bentuk, kejijikan terhadap perasaan, kejijikan terhadap persepsi, kejijikan terhadap bentukan-bentukan kehendak, kejijikan terhadap kesadaran. Karena mengalami kejijikan, ia menjadi bosan. Melalui kebosanan [batinnya] terbebaskan. Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Bebas.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi untuk kondisi makhluk ini’”

(Sutta ini identik dengan sutta sebelumnya dari bagian pembukaan hingga perumpamaan monyet. Kemudian menghilangkan bagian perumpamaan monyet dan dilanjutkan sebagai berikut:) [96]

“Sehubungan dengan hal ini, para bhikkhu, siswa mulia yang terpelajar memperhatikan dengan seksama dan penuh perhatian pada kemunculan bergantungan sebagai berikut: ‘Jika ini ada, maka muncul itu; dengan munculnya ini, maka muncul pula itu. Jika ini tidak ada, maka itu tidak muncul; dengan lenyapnya ini, maka lenyap pula itu.’ Para bhikkhu, dengan bergantung pada kontak yang dialami sebagai menyenangkan, maka muncullah perasaan menyenangkan. Dengan lenyapnya kontak tersebut yang dialami sebagai menyenangkan, maka perasaan yang berhubungan dengan itu – perasaan menyenangkan yang timbul bergantung pada kontak yang dialami sebagai menyenangkan – berhenti dan mereda. Dengan bergantung pada kontak yang dialami sebagai menyakitkan, maka muncullah perasaan menyakitkan. Dengan lenyapnya kontak tersebut yang dialami sebagai menyakitkan, maka perasaan yang berhubungan dengan itu – perasaan menyakitkan [97] yang timbul bergantung pada kontak yang dialami sebagai menyakitkan – berhenti dan mereda. Dengan bergantung pada kontak yang dialami sebagai bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, maka muncullah perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan. Dengan lenyapnya kontak tersebut yang dialami sebagai bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, maka perasaan yang berhubungan dengan itu – perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan yang timbul bergantung pada kontak yang dialami sebagai bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – berhenti dan mereda.

“Para bhikkhu, seperti halnya panas muncul dan api dihasilkan dari penggabungan dan gesekan dua batang kayu-api, tetapi dengan memisahkan dan mengesampingkan kayu-api tersebut159 maka panas yang dihasilkan berhenti dan mereda; demikian pula, dengan bergantung pada kontak yang dialami sebagai menyenangkan … kontak yang dialami sebagai menyakitkan … kontak yang dialami sebagai bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, maka muncullah perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan … Dengan lenyapnya kontak tersebut yang dialami sebagai bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, maka perasaan yang berhubungan dengan itu … lenyap dan hilang.

“Melihat demikian, para bhikkhu, siswa mulia yang terpelajar mengalami kejijikan terhadap bentuk, kejijikan terhadap perasaan, kejijikan terhadap persepsi, kejijikan terhadap bentukan-bentukan kehendak, kejijikan terhadap kesadaran. Karena mengalami kejijikan, ia menjadi bosan. Melalui kebosanan [batinnya] terbebaskan. Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Bebas.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi untuk kondisi makhluk ini’”

Di Sāvatthī.160 [98] “Para bhikkhu, terdapat empat jenis makanan ini untuk memelihara makhluk-makhluk yang telah terlahir dan untuk membantu mereka yang akan terlahir. Apakah empat ini? makanan yang dapat dimakan, kasar atau halus; ke dua, kontak; ke tiga, kehendak pikiran; ke empat, kesadaran. Ini adalah empat jenis makanan untuk memelihara makhluk-makhluk yang telah terlahir dan untuk membantu mereka yang akan terlahir.

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, makanan yang dapat dimakan itu seharusnya dilihat? Misalkan sepasang suami istri, dengan perbekalan terbatas menyeberangi gurun pasir. Mereka membawa putra tunggal mereka, yang sangat disayangi. Kemudian, di tengah-tengah gurun pasir, bekal mereka yang terbatas akan segera dimakan dan habis, sementara gurun itu masih harus diseberangi. Suami dan istri itu akan berpikir: ‘Bekal kami yang terbatas telah dimakan dan habis, sementara gurun masih harus diseberangi. Biarlah kami membunuh putra tunggal kami, yang tersayang, dan mempersiapkan daging kering yang telah dibumbui. Dengan memakan daging anak kami maka kami dapat menyeberangi gurun ini. Jangan sampai kami bertiga binasa!’

“Kemudian, para bhikkhu, suami dan istri itu membunuh putra tunggal mereka yang sangat mereka sayangi, menyiapkan daging kering, dan dengan memakan daging anak itu mereka menyeberangi gurun pasir tersebut. Sambil memakan daging anak mereka, mereka memukul dada mereka dan berteriak: ‘Di manakah engkau, putra tunggal kami? Di manakah engkau, putra tunggal kami?’

“Bagaimanakah menurut kalian, para bhikkhu? Apakah mereka memakan makanan itu demi kesenangan atau demi kenikmatan [99] atau demi kecantikan fisik?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Bukankah mereka memakan makanan itu hanya agar dapat menyeberangi gurun pasir itu?”

“Benar, Yang Mulia.”

“Dengan cara demikianlah, para bhikkhu, Aku mengatakan bagaimana seharusnya makanan yang dapat dimakan itu dilihat.161 Ketika makanan yang dapat dimakan dipahami sepenuhnya, maka nafsu pada lima utas kenikmatan indria juga dipahami sepenuhnya.162 Ketika nafsu akan lima utas kenikmatan indria dipahami sepenuhnya, maka tidak ada belenggu yang mengikat yang olehnya seorang siswa mulia dapat kembali lagi ke alam ini.163

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, makanan kontak seharusnya dilihat? Misalnya terdapat seekor sapi yang dikuliti. Jika ia berada di sebuah tembok, maka makhluk-makhluk di sekitar tembok akan menggigitnya. Jika ia berada di sebuah pohon, maka makhluk-makhluk di pohon akan menggigitnya. Jika ia berada di air, maka makhluk-makhluk di air akan menggigitnya. Jika ia berada di ruang terbuka, maka makhluk-makhluk di ruang terbuka akan menggigitnya. Di mana pun sapi tanpa kulit itu berada, maka makhluk-makhluk yang berada di sana akan menggigitnya.

“Dengan cara demikianlah, para bhikkhu, Aku mengatakan bagaimana seharusnya makanan kontak itu dilihat.164 Jika makanan kontak dipahami sepenuhnya, maka ketiga jenis perasaan juga dipahami sepenuhnya. Jika ketiga jenis perasaan dipahami sepenuhnya, Aku mengatakan, tidak ada lagi yang harus dilakukan oleh seorang siswa mulia.165

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, makanan kehendak pikiran seharusnya dilihat? Misalnya terdapat sebuah lubang arang membara sedalam tinggi orang dewasa, penuh dengan bara menyala tanpa api atau asap. Seseorang datang menginginkan kehidupan, tidak ingin mati, menginginkan kebahagiaan dan menolak penderitaan. Kemudian dua orang kuat mencengkeramnya di kedua lengannya dan menariknya ke arah lubang membara tersebut. Kehendak orang tersebut adalah pergi sejauh mungkin, keinginannya adalah pergi sejauh mungkin, harapannya adalah pergi sejauh mungkin [dari lubang membara tersebut]. [100] Karena alasan apakah? Karena ia mengetahui: ‘Aku akan terjatuh ke dalam lubang membara ini dan karenanya aku akan mati atau mengalami penderitaan yang mematikan.’

“Dengan cara demikianlah, para bhikkhu, Aku mengatakan bagaimana seharusnya makanan kehendak pikiran itu dilihat.166 Jika makanan kehendak pikiran dipahami sepenuhnya, maka ketiga jenis ketagihan juga dipahami sepenuhnya. Jika ketiga jenis ketagihan dipahami sepenuhnya, Aku mengatakan, tidak ada lagi yang harus dilakukan oleh seorang siswa mulia.167

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, makanan kesadaran seharusnya dilihat? Misalnya mereka hendak menangkap seorang penjahat, seorang kriminal, dan membawanya ke hadapan raja, dengan mengatakan: ‘Baginda, orang ini adalah seorang penjahat, seorang kriminal. Jatuhkanlah kepadanya hukuman apa pun yang engkau inginkan.’ Raja berkata kepada mereka: ‘Pergilah, pengawal, di pagi hari, pukul orang ini dengan seratus tombak.’ Maka di pagi hari mereka memukulnya dengan seratus tombak. Kemudian di siang hari raja bertanya: ‘Pengawal, bagaimana keadaan orang itu?’ – ‘Masih hidup, baginda.’ – ‘ Kalau begitu, pergilah, di siang hari, pukul orang itu dengan seratus tombak.’ Maka pada siang hari mereka memukulnya dengan seratus tombak. Kemudian di malam hari raja bertanya: ‘Pengawal, bagaimana keadaan orang itu?’ – ‘Masih hidup, baginda.’ – ‘ Kalau begitu, pergilah, dan di malam hari, pukul orang itu dengan seratus tombak.’ Maka pada malam hari mereka memukulnya dengan seratus tombak.

“Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Apakah orang itu, yang dipukul dengan tiga ratus tombak, mengalami kesakitan dan ketidak-senangan karenanya?”

“Yang Mulia, bahkan jika ia dipukul hanya dengan satu tombak, ia akan mengalami kesakitan dan ketidak-senangan karenanya, apalagi tiga ratus tombak.”

“Dengan cara demikianlah, para bhikkhu, Aku mengatakan bagaimana seharusnya makanan kesadaran itu dilihat.168 Jika makanan kesadaran dipahami sepenuhnya, maka nama-dan-bentuk juga dipahami sepenuhnya. Jika nama-dan-bentuk dipahami sepenuhnya, Aku mengatakan, tidak ada lagi yang harus dilakukan oleh seorang siswa mulia.”169 [101]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, terdapat empat jenis makanan ini untuk memelihara makhluk-makhluk yang telah terlahir dan untuk membantu mereka yang akan terlahir. Apakah empat ini? Makanan yang dapat dimakan, kasar atau halus; ke dua, kontak; ke tiga, kehendak pikiran; ke empat, kesadaran. Ini adalah empat jenis makanan untuk memelihara makhluk-makhluk yang telah terlahir dan untuk membantu mereka yang akan terlahir.

“Jika, para bhikkhu, ada nafsu pada makanan yang dapat dimakan, jika ada kesenangan, jika ada ketagihan, maka kesadaran muncul di sana dan berkembang.170 Ketika kesadaran muncul dan berkembang, maka ada penurunan nama-dan-bentuk.171 Ketika ada penurunan nama-dan-bentuk, maka ada pertumbuhan bentukan-bentukan kehendak.172 Ketika ada pertumbuhan bentukan-bentukan kehendak, maka ada produksi penjelmaan kembali di masa depan. Ketika ada produksi penjelmaan kembali di masa depan, maka ada kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan. Ketika ada kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan, Aku katakan bahwa itu disertai dengan dukacita, kesedihan, dan keputus-asaan.

“Jika, para bhikkhu, ada nafsu pada makanan kontak, atau pada makanan kehendak pikiran, atau pada makanan kesadaran, jika ada kesenangan, jika ada ketagihan, maka kesadaran muncul di sana dan berkembang. Ketika kesadaran muncul dan berkembang … Aku katakan bahwa itu disertai dengan dukacita, kesedihan, dan keputus-asaan.

“Misalkan, para bhikkhu, seorang seniman atau pelukis, menggunakan celupan pewarna atau pernis atau kunyit atau pewarna nila atau pewarna merah tua, [102] dapat menggambarkan sosok laki-laki atau perempuan lengkap dengan seluruh cirinya pada selembar kanvas atau papan atau dinding yang halus. Demikian pula, jika ada nafsu pada makanan yang dapat dimakan, atau pada makanan kontak, atau pada makanan kehendak pikiran, atau pada makanan kesadaran, jika ada kesenangan, jika ada ketagihan, maka kesadaran muncul di sana dan berkembang. Ketika kesadaran muncul dan berkembang … Aku katakan bahwa itu disertai dengan dukacita, kesedihan, dan keputus-asaan.173

“Jika, para bhikkhu, tidak ada nafsu pada makanan yang dapat dimakan, atau [103] pada makanan kontak, atau pada makanan kehendak pikiran, atau pada makanan kesadaran, jika tidak ada kesenangan, jika tidak ada ketagihan, maka kesadaran tidak muncul di sana dan berkembang. Ketika kesadaran tidak muncul dan berkembang, maka tidak ada penurunan nama-dan-bentuk. Ketika tidak ada penurunan nama-dan-bentuk, maka tidak ada pertumbuhan bentukan-bentukan kehendak. Ketika tidak ada pertumbuhan bentukan-bentukan kehendak, maka tidak ada produksi penjelmaan baru di masa depan. Ketika tidak ada produksi penjelmaan baru di masa depan, maka tidak ada kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan. Ketika tidak ada kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan, Aku katakan bahwa itu adalah tanpa dukacita, tanpa kesedihan, dan tanpa keputus-asaan.

“Misalkan, para bhikkhu, terdapat sebuah rumah beratap lancip, dengan jendela di sisi utara, selatan, dan timur. Ketika matahari terbit dan seberkas cahaya memasuki salah satu jendela, di manakah cahaya itu terlihat?”

“Pada dinding barat, Yang Mulia.”

“Jika tidak ada dinding barat, di manakah cahaya tersebut terlihat?”

“Di tanah, Yang Mulia.”

“Jika tidak ada tanah, di manakah cahaya tersebut terlihat?”

“Di air, Yang Mulia.”

“Jika tidak ada air, di manakah cahaya tersebut terlihat?”

“Tidak akan terlihat di mana pun, Yang Mulia.”

“Demikian pula, para bhikkhu, jika tidak ada nafsu pada makanan yang dapat dimakan … pada makanan kontak … pada makanan kehendak pikiran … pada makanan kesadaran … maka kesadaran tidak terbentuk di sana dan berkembang. Jika kesadaran tidak terbentuk dan berkembang … [104] … Aku mengatakan bahwa itu adalah tanpa dukacita, tanpa kesedihan, dan tanpa keputus-asaan.”174

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, sebelum pencerahanKu, ketika Aku masih seorang Bodhisatta, belum tercerahkan sempurna, Aku berpikir: ‘Aduh, dunia ini telah jatuh dalam kesulitan, karena dilahirkan, menjadi tua, dan mati, meninggal dunia dan terlahir kembali, dan masih belum memahami jalan membebaskan dari penderitaan [yang dipimpin oleh] penuaan-dan-kematian. Kapankah suatu jalan membebaskan diri dari penderitaan [yang dipimpin] oleh penuaan-dan-kematian in terlihat?’175

“Kemudian, para bhikkhu, Aku berpikir: ‘Ketika ada apakah maka penuaan-dan-kematian terjadi? Oleh apakah penuaan-dan-kematian dikondisikan?’ Kemudian, para bhikkhu, melalui perhatian seksama, terjadi dalam diriKu penembusan melalui kebijaksanaan: ‘Ketika ada kelahiran, maka penuaan-dan-kematian muncul; penuaan-dan-kematian memiliki kelahiran sebagai kondisinya.’

“Kemudian, para bhikkhu, Aku berpikir: ‘Ketika ada apakah maka kelahiran terjadi? … penjelmaan? … kemelekatan? … ketagihan? … perasaan? … kontak? … enam landasan indria? … nama-dan-bentuk? Oleh apakah nama-dan-bentuk dikondisikan?’ Kemudian, para bhikkhu, melalui perhatian seksama, terjadi dalam diriKu penembusan melalui kebijaksanaan: ‘Ketika ada kesadaran, maka nama-dan-bentuk muncul; nama-dan-bentuk memiliki kesadaran sebagai kondisinya.’

“Kemudian, para bhikkhu, Aku berpikir: ‘Ketika ada apakah maka kesadaran muncul? Oleh apakah kesadaran dikondisikan?’ Kemudian, para bhikkhu, melalui perhatian seksama, terjadi dalam diriKu penembusan melalui kebijaksanaan: ‘Ketika ada nama-dan-bentuk, maka kesadaran muncul; kesadaran memiliki nama-dan-bentuk sebagai kondisinya.’176

“Kemudian, para bhikkhu, Aku berpikir: ‘Kesadaran ini berbalik; tidak pergi lebih jauh dari nama-dan-bentuk.177 Sampai sejauh inilah seseorang dilahirkan dan menua dan mati, meninggal dunia dan terlahir kembali, yaitu, ketika ada kesadaran dengan nama-dan-bentuk sebagai kondisinya, dan nama-dan-bentuk dengan kesadaran sebagai kondisinya.178 Dengan nama-dan-bentuk sebagai kondisi, maka enam landasan indria; dengan enam landasan indria sebagai kondisi, maka kontak … [105] Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.’

“’Asal-mula, asal-mula’ – demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan segala sesuatu yang belum pernah terdengar sebelumnya muncullah dalam diriKu, penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.

“Kemudian, para bhikkhu, Aku berpikir: ‘Ketika tidak ada apakah maka penuaan-dan-kematian tidak terjadi? Dengan lenyapnya apakah maka lenyapnya penuaan-dan-kematian tercapai?’ Kemudian, para bhikkhu, melalui perhatian seksama, terjadi dalam diriKu penembusan melalui kebijaksanaan: ‘Ketika tidak ada kelahiran, maka penuaan-dan-kematian tidak terjadi; dengan lenyapnya kelahiran maka tercapailah lenyapnya penuaan-dan-kematian.’

“Aku berpikir: ‘Ketika tidak ada apakah maka kelahiran tidak terjadi? … penjelmaan? … kemelekatan? … ketagihan? … perasaan? … kontak? … enam landasan indria? … nama-dan-bentuk? Dengan lenyapnya apakah maka lenyapnya nama-dan-bentuk terjadi?’ Kemudian, para bhikkhu, melalui perhatian seksama, terjadi dalam diriKu penembusan melalui kebijaksanaan: ‘Ketika tidak ada kesadaran, maka nama-dan-bentuk tidak muncul; dengan lenyapnya kesadaran, maka lenyap pula nama-dan-bentuk.’

“Kemudian, para bhikkhu, Aku berpikir: ‘Ketika tidak ada apakah maka kesadaran tidak muncul? Dengan lenyapnya apakah maka lenyapnya kesadaran tercapai?’ Kemudian, para bhikkhu, melalui perhatian seksama, terjadi dalam diriKu penembusan oleh kebijaksanaan: ‘Ketika tidak ada nama-dan-bentuk, maka kesadaran tidak muncul; dengan lenyapnya nama-dan-bentuk maka tercapailah lenyapnya kesadaran.’

“Kemudian, para bhikkhu, Aku berpikir: ‘Aku telah menemukan jalan menuju pencerahan ini, yaitu, dengan lenyapnya nama-dan-bentuk maka lenyap pula kesadaran; dengan lenyapnya kesadaran maka lenyap pula nama-dan-bentuk; dengan lenyapnya nama-dan-bentuk, lenyap pula enam landasan indria; dengan lenyapnya enam landasan indria, lenyap pula kontak … Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.’179

“’Lenyapnya, lenyapnya’ – demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan segala sesuatu yang belum pernah terdengar sebelumnya muncullah dalam diriKu, penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.

“Misalkan, para bhikkhu, seseorang mengembara menembus hutan melihat jalan setapak tua, jalan tua yang dilalui oleh orang-orang di masa lalu. Ia mengikuti jalan itu dan melihat sebuah kota tua, sebuah ibu kota tua [106] yang pernah dihuni oleh orang-orang di masa lalu, dengan taman-taman, hutan-hutan, kolam-kolam, dan benteng, sebuah tempat yang indah. Kemudian orang itu memberitahukan kepada raja atau menteri kerajaan: ‘Baginda, sewaktu aku mengembara menembus hutan aku melihat sebuah jalan setapak tua, jalan tua yang dilalui oleh orang-orang di masa lalu. Aku mengikuti jalan itu dan melihat sebuah kota tua, sebuah ibu kota tua yang pernah dihuni oleh orang-orang di masa lalu, dengan taman-taman, hutan-hutan, kolam-kolam, dan benteng, sebuah tempat yang indah. Perbaruilah kota itu, Baginda!’ Kemudian raja atau menteri kerajaan memperbarui kota itu, dan beberapa waktu kemudian kota itu menjadi berhasil dan makmur, berpenduduk banyak, dipenuhi dengan orang-orang, mengalami pertumbuhan dan pengembangan.

“Demikian pula, para bhikkhu, Aku melihat jalan setapak tua, jalan tua yang dilalui oleh mereka Yang Tercerahkan Sempurna di masa lalu.180 Dan apakah jalan setapak tua itu, jalan tua itu? Bukan lain adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, konsentrasi benar. Aku mengikuti jalan itu dan dengan melakukan hal ini Aku telah secara langsung mengetahui penuaan-dan-kematian, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya. Aku secara langsung mengetahui kelahiran … penjelmaan … kemelekatan … ketagihan … perasaan … kontak … enam landasan indria … nama-dan-bentuk … kesadaran … bentukan-bentukan kehendak, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya.181 [107] setelah mengetahuinya secara langsung, Aku telah menjelaskannya kepada para bhikkhu, para bhikkhunī, umat awam laki-laki, dan umat awam perempuan. Kehidupan suci ini, para bhikkhu, telah menjadi berhasil dan makmur, meluas, terkenal, menyebar, dibabarkan dengan sempurna di antara para deva dan manusia.”182

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di antara para penduduk Kuru, di mana terdapat sebuah pemukiman Kuru bernama Kammāsadamma. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu!”183

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Apakah kalian melakukan eksplorasi ke dalam, para bhikkhu?”184

Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, aku melakukan eksplorasi ke dalam.”

“Bagaimanakah engkau melakukan eksplorasi ke dalam, bhikkhu?”

Bhikkhu itu menjelaskan tetapi penjelasannya tidak memuaskan Sang Bhagavā.185 Kemudian Yang Mulia Ānanda berkata: “Sekarang adalah waktunya untuk ini, Sang Bhagavā! Sekarang adalah waktunya untuk ini, Yang Sempurna! Sudilah Sang Bhagavā menjelaskan eksplorasi ke dalam. Setelah mendengarnya dari Sang Bhagavā, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Kalau begitu, dengarkan dan perhatikanlah, Ānanda, Aku akan menjelaskan.”

“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Di sini, para bhikkhu, ketika melakukan eksplorasi ke dalam, seorang bhikkhu mengeksplorasi sebagai berikut: “Berbagai jenis penderitaan yang muncul di dunia [yang dipimpin oleh] penuaan-dan-kematian: apakah sumber dari penderitaan ini, apakah asal-mulanya, [108] dari manakah ia timbul dan dihasilkan? Ketika ada apakah maka penuaan-dan-kematian terjadi? Ketika tidak ada apakah maka penuaan-dan-kematian tidak terjadi?’186

“Sewaktu ia mengeksplorasi ia memahami sebagai berikut: ‘Berbagai jenis penderitaan yang muncul di dunia [yang dipimpin oleh] penuaan-dan-kematian: penderitaan ini memiliki perolehan sebagai sumbernya, perolehan sebagai asal-mulanya, timbul dan dihasilkan dari perolehan.187 Ketika ada perolehan, maka penuaan-dan-kematian terjadi; ketika tidak ada perolehan, maka penuaan-dan-kematian tidak terjadi.’

“Ia memahami penuaan-dan-kematian, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju pada itu yang selaras dengan lenyapnya.188 Ia mempraktikkan jalan itu dan berperilaku sesuai dengan jalan itu. Ini disebut seorang bhikkhu yang berlatih demi penghancuran penderitaan sepenuhnya, demi lenyapnya penuaan-dan-kematian.

“Kemudian, dengan menjelajah lebih jauh dalam eksplorasi ke dalam, ia mengeksplorasi sebagai berikut: ‘Apakah sumber dari perolehan ini, apakah asal-mulanya, dari manakah ia timbul dan dihasilkan? Ketika ada apakah maka perolehan muncul? Ketika tidak ada apakah maka perolehan tidak muncul?’

“Sewaktu ia mengeksplorasi ia memahami sebagai berikut: ‘Perolehan memiliki ketagihan sebagai sumbernya, ketagihan sebagai asal-mulanya; timbul dan dihasilkan dari ketagihan. Ketika ada ketagihan, maka perolehan muncul; ketika tidak ada ketagihan, maka perolehan tidak muncul.’

“Ia memahami perolehan, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju pada itu yang selaras dengan lenyapnya. Ia mempraktikkan jalan itu dan berperilaku sesuai dengan jalan itu. Ini disebut seorang bhikkhu yang berlatih demi penghancuran penderitaan sepenuhnya, demi lenyapnya perolehan.

“Kemudian, dengan menjelajah lebih jauh dalam eksplorasi ke dalam, ia mengeksplorasi sebagai berikut: ‘Kapankah ketagihan ini muncul, di manakah ia muncul? Kapankah ia lenyap, terhadap apakah ia lenyap?’

“Sewaktu ia mengeksplorasi ia memahami sebagai berikut: ‘Apa pun di dunia ini yang memiliki sifat indah dan menyenangkan: di sinilah ketagihan itu muncul pada saat munculnya; di sinilah ia lenyap pada saat lenyapnya.’189 Dan apakah di dunia ini yang memiliki sifat indah dan menyenangkan? Mata memiliki sifat indah dan menyenangkan di dunia ini: di sinilah ketagihan ini muncul pada saat munculnya; di sinilah ia lenyap pada saat lenyapnya. Demikian pula telinga, [109] hidung, lidah, badan, dan pikiran memiliki sifat indah dan menyenangkan di dunia ini: di sinilah keinginan ini muncul pada saat munculnya; di sinilah ia lenyap pada saat lenyapnya.

“Para bhikkhu, petapa dan brahmana mana pun di masa lalu yang menganggap bahwa di dunia ini dengan sifat indah dan menyenangkan sebagai kekal, sebagai kebahagiaan, sebagai diri, sebagai kesehatan, sebagai keamanan: mereka memelihara ketagihan. Dalam memelihara ketagihan, mereka memelihara perolehan. Dalam memelihara perolehan, mereka memelihara penderitaan. Dalam memelihara penderitaan, mereka tidak terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian; mereka tidak terbebas dari dukacita, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan; mereka tidak terbebas dari penderitaan, Aku katakan.

“Petapa dan brahmana mana pun di masa depan yang akan menganggap bahwa di dunia ini dengan sifat indah dan menyenangkan sebagai kekal, sebagai kebahagiaan, sebagai diri, sebagai kesehatan, sebagai keamanan: mereka memelihara ketagihan. Dalam memelihara ketagihan, mereka memelihara perolehan. Dalam memelihara perolehan, mereka memelihara penderitaan. Dalam memelihara penderitaan, mereka tidak terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian; mereka tidak terbebas dari dukacita, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan; mereka tidak akan terbebas dari penderitaan, Aku katakan.

“Petapa dan brahmana mana pun di masa sekarang yang menganggap bahwa di dunia ini dengan sifat indah dan menyenangkan sebagai kekal, sebagai kebahagiaan, sebagai diri, sebagai kesehatan, sebagai keamanan: mereka memelihara ketagihan. Dalam memelihara ketagihan, mereka memelihara perolehan. Dalam memelihara perolehan, mereka memelihara penderitaan. Dalam memelihara penderitaan, mereka tidak terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian; mereka tidak terbebas dari dukacita, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan; mereka tidak terbebas dari penderitaan, Aku katakan. [110]

“Misalkan, para bhikkhu, terdapat sebuah cangkir perunggu berisi minuman yang berwarna indah, beraroma harum dan rasa lezat, tetapi tercampur racun. Kemudian seseorang yang kepanasan, kelelahan dan kehausan datang. Mereka memberitahunya: ‘Teman, minuman dalam cangkir perunggu ini berwarna indah, beraroma harum dan rasa lezat, tetapi tercampur racun. Minumlah jika engkau menginginkannya. Jika engkau meminumnya, minuman itu akan memuaskanmu dengan warna, aroma dan kelezatannya, tetapi dengan meminumnya maka engkau akan mati atau mengalami penderitaan yang mematikan.’ Sekonyong-konyong, tanpa merenungkan, ia meminum minuman itu – ia tidak menolaknya – dan oleh karena itu ia mati atau mengalami penderitaan yang mematikan.190

“Demikian pula, para bhikkhu, petapa dan brahmana mana pun di masa lalu … di masa depan … di masa sekarang yang menganggap bahwa di dunia ini dengan sifat indah dan menyenangkan sebagai kekal, sebagai kebahagiaan, sebagai diri, sebagai kesehatan, sebagai keamanan: mereka memelihara ketagihan. Dalam memelihara ketagihan … mereka tidak terbebas dari penderitaan, Aku katakan.191

“Para bhikkhu, petapa dan brahmana mana pun di masa lalu yang menganggap bahwa di dunia ini dengan sifat indah dan menyenangkan sebagai tidak kekal, sebagai penderitaan, sebagai bukan-diri, sebagai penyakit, sebagai ketakutan: mereka meninggalkan ketagihan. Dalam meninggalkan ketagihan, mereka meninggalkan perolehan. Dalam meninggalkan perolehan, mereka meninggalkan penderitaan. Dalam meninggalkan penderitaan, mereka terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian; mereka terbebas dari dukacita, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan; mereka terbebas dari penderitaan, Aku katakan.

“Para bhikkhu, petapa dan brahmana mana pun di masa depan [111] yang akan menganggap bahwa di dunia ini dengan sifat indah dan menyenangkan sebagai tidak kekal, sebagai penderitaan, sebagai bukan-diri, sebagai penyakit, sebagai ketakutan: mereka meninggalkan ketagihan. Dalam meninggalkan ketagihan … mereka akan terbebas dari penderitaan, Aku katakan.

“Para bhikkhu, petapa dan brahmana mana pun di masa sekarang yang menganggap bahwa di dunia ini dengan sifat indah dan menyenangkan sebagai tidak kekal, sebagai penderitaan, sebagai bukan-diri, sebagai penyakit, sebagai ketakutan: mereka meninggalkan ketagihan. Dalam meninggalkan ketagihan … mereka terbebas dari penderitaan, Aku katakan.

“Misalnya, para bhikkhu, terdapat sebuah cangkir perunggu berisi minuman yang berwarna indah, beraroma harum dan rasa lezat, tetapi tercampur racun. Kemudian seseorang yang kepanasan, kelelahan dan kehausan datang. Mereka memberitahunya: ‘Teman, minuman dalam cangkir perunggu ini berwarna indah, beraroma harum dan rasa lezat, tetapi tercampur racun. Minumlah jika engkau menginginkannya. Jika engkau meminumnya, minuman itu akan memuaskanmu dengan warna, aroma dan kelezatannya, tetapi dengan meminumnya maka engkau akan mati atau mengalami penderitaan yang mematikan.’ Kemudian orang itu berpikir: ‘aku akan memuaskan dahaga dengan air, dadih, bubur, atau sup, tetapi aku tidak akan meminum minuman itu, karena dengan meminumnya maka aku akan mengalami kemalangan dan penderitaan dalam waktu yang lama.’ Setelah merenungkan, ia tidak meminum minuman itu, melainkan menolaknya, [112] dan oleh karenanya ia tidak mati atau mengalami penderitaan mematikan.

“Demikian pula, para bhikkhu, petapa dan brahmana mana pun di masa lalu … di masa depan … di masa sekarang yang menganggap bahwa di dunia ini dengan sifat indah dan menyenangkan sebagai tidak kekal, sebagai penderitaan, sebagai bukan-diri, sebagai penyakit, sebagai ketakutan: mereka meninggalkan ketagihan. Dalam meninggalkan ketagihan … mereka terbebas dari penderitaan, Aku katakan.”192

Pada suatu ketika Yang Mulia Sāriputta dan Yang Mulia Mahākoṭṭhita sedang berdiam di Bārāṇasi di Taman Rusa di Isipatana.193 Kemudian, di malam hari, Yang Mulia Mahākoṭṭhita keluar dari keheningan dan mendatangi Yang Mulia Sāriputta. Ia bertukar sapa dengan Yang Mulia Sāriputta dan, ketika mereka mengakhiri ramah-tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata kepadanya:

“Bagaimanakah, Sahabat Sāriputta: Apakah penuaan-dan-kematian dibuat oleh diri sendiri, atau apakah dibuat oleh orang lain, [113] atau apakah dibuat oleh diri sendiri dan orang lain, atau apakah muncul secara kebetulan, bukan dibuat oleh diri sendiri juga bukan oleh orang lain?”194

“Sahabat Koṭṭhita, penuaan-dan-kematian tidak dibuat oleh diri sendiri, juga tidak dibuat oleh orang lain, juga tidak dibuat oleh diri sendiri dan orang lain, juga tidak muncul secara kebetulan, bukan dibuat oleh diri sendiri atau orang lain. Melainkan, dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan-dan-kematian [muncul].”

“Bagaimanakah, Sahabat Sāriputta: Apakah kelahiran dibuat oleh diri sendiri … Apakah penjelmaan … kemelekatan … ketagihan … perasaan … kontak … enam landasan indria … nama-dan-bentuk dibuat oleh diri sendiri, atau apakah dibuat oleh orang lain, atau apakah dibuat oleh diri sendiri dan orang lain, atau apakah muncul secara kebetulan, bukan dibuat oleh diri sendiri juga bukan oleh orang lain?”

“Nama-dan-bentuk, Sahabat Koññhita, tidak dibuat oleh diri sendiri, juga tidak dibuat oleh orang lain, juga tidak dibuat oleh diri sendiri dan orang lain, juga tidak muncul secara kebetulan, bukan dibuat oleh diri sendiri atau orang lain. Melainkan, dengan kesadaran sebagai kondisi, maka nama-dan-bentuk [muncul].”

“Bagaimanakah, Sahabat Sāriputta: Apakah kesadaran dibuat oleh diri sendiri, atau apakah dibuat oleh orang lain, atau apakah dibuat oleh diri sendiri dan orang lain, atau apakah muncul secara kebetulan, bukan dibuat oleh diri sendiri juga bukan oleh orang lain?”

“Kesadaran, Sahabat Koṭṭhita, tidak dibuat oleh diri sendiri, juga tidak dibuat oleh orang lain, juga tidak dibuat oleh diri sendiri dan orang lain, juga tidak muncul secara kebetulan, bukan dibuat oleh diri sendiri atau orang lain. Melainkan, dengan nama-dan-bentuk sebagai kondisi, maka kesadaran [muncul].”195 [114]

“Sekarang, kami memahami pernyataan Yang Mulia Sāriputta sebagai berikut: ‘Nama-dan bentuk, Sahabat Koṭṭhita, tidak dibuat oleh diri sendiri … melainkan, dengan kesadaran sebagai kondisi, maka nama-dan-bentuk [muncul].’ Kami juga memahami pernyataan Yang Mulia Sāriputta yang lainnya sebagai berikut: ‘Kesadaran, Sahabat Koṭṭhita, tidak dibuat oleh diri sendiri … Melainkan, dengan nama-dan-bentuk sebagai kondisi, maka kesadaran [muncul].’ Tetapi bagaimanakah, sahabat Sāriputta, makna dari pernyataan ini seharusnya dilihat?”

“Baiklah, sahabat, aku akan memberikan perumpamaan untukmu, karena beberapa orang cerdas memahami makna suatu pernyataan melalui perumpamaan. Bagaikan dua ikat buluh dapat berdiri dengan bersandar satu sama lain, demikian pula, dengan nama-dan-bentuk sebagai kondisi, maka kesadaran [muncul]; dengan kesadaran sebagai kondisi, maka nama-dan-bentuk [muncul. Dengan nama-dan-bentuk sebagai kondisi, maka enam landasan indria [muncul]; dengan enam landasan indria sebagai kondisi, maka kontak … Demikianlah asal mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Jika, sahabat, seseorang mengambil salah satu dari dua ikat buluh itu, maka buluh yang lainnya akan jatuh, dan jika seseorang mengambil buluh yang lain itu, maka buluh yang pertama akan jatuh. Demikian pula, dengan lenyapnya nama-dan-bentuk maka lenyap pula kesadaran. Dengan lenyapnya kesadaran maka lenyap pula nama-dan-bentuk. Dengan lenyapnya nama-dan-bentuk, maka lenyap pula enam landasan indria; dengan lenyapnya enam landasan indria maka lenyap pula kontak … Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.”

“Sungguh mengagumkan, Sahabat Sāriputta! Sungguh menakjubkan, Sahabat Sāriputta! Betapa indahnya hal ini dinyatakan oleh Yang Mulia Sāriputta. Kami bergembira dalam pernyataan Yang Mulia Sāriputta mengenai tiga puluh enam landasan ini.196 Jika, sahabat, seorang bhikkhu mengajarkan Dhamma yang menuju pada kejijikan terhadap penuaan-dan-kematian, demi peluruhan dan lenyapnya, maka ia dapat disebut seorang bhikkhu yang adalah pembabar Dhamma. [115] Jika seorang bhikkhu berlatih dengan tujuan kejijikan terhadap penuaan-dan-kematian, demi peluruhan dan lenyapnya, maka ia dapat disebut seorang bhikkhu yang berlatih sesuai dengan Dhamma. Jika melalui kejijikan terhadap penuaan-dan-kematian, melalui peluruhan dan lenyapnya, seorang bhikkhu terbebaskan melalui ketidak-melekatan, maka ia dapat disebut seorang bhikkhu yang mencapai Nibbāna dalam kehidupan ini.

“Jika, sahabat, seorang bhikkhu mengajarkan Dhamma untuk tujuan kejijikan pada kelahiran … penjelmaan … kemelekatan … ketagihan … perasaan … kontak … enam landasan indria … nama-dan-bentuk … kesadaran … bentukan-bentukan kehendak … ketidaktahuan, demi peluruhan dan lenyapnya, maka ia dapat disebut seorang bhikkhu yang adalah pembabar Dhamma. Jika seorang bhikkhu berlatih untuk tujuan kejijikan terhadap ketidaktahuan, demi peluruhan dan lenyapnya, maka ia dapat disebut seorang bhikkhu yang berlatih sesuai dengan Dhamma. Jika melalui kejijikan terhadap ketidaktahuan, melalui peluruhan dan lenyapnya, seorang bhikkhu terbebaskan melalui ketidak-melekatan, maka ia dapat disebut seorang bhikkhu yang mencapai Nibbāna dalam kehidupan ini.”

Pada suatu ketika Yang Mulia Musīla, Yang Mulia Saviṭṭha, Yang Mulia Nārada, dan Yang Mulia Ānanda sedang menetap di Kosambi di Taman Ghosita.197

Kemudian Yang Mulia Saviṭṭha berkata kepada Yang Mulia Musīla: “Sahabat Musīla, terlepas dari keyakinan, terlepas dari preferensi pribadi, terlepas dari tradisi oral, terlepas dari perenungan logis, terlepas dari penerimaan pandangan setelah merenungkannya,198 apakah Yang Mulia Musīla memiliki pengetahuan pribadi sebagai berikut: ‘Dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan-dan-kematian [muncul]’?”

“Sahabat Saviṭṭha, terlepas dari keyakinan, terlepas dari preferensi pribadi, terlepas dari tradisi oral, terlepas dari perenungan logis, terlepas dari penerimaan pandangan setelah merenungkannya, aku mengetahui ini, aku melihat ini: ‘Dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan-dan-kematian [muncul]’” [116]

“Sahabat Musīla, terlepas dari keyakinan … terlepas dari penerimaan pandangan setelah merenungkannya, apakah Yang Mulia Musīla memiliki pengetahuan pribadi sebagai berikut: ‘Dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran’? … ‘Dengan ketidaktahuan sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan kehendak’?”

“Sahabat Saviṭṭha, terlepas dari keyakinan … terlepas dari penerimaan pandangan setelah merenungkannya, aku mengetahui ini, aku melihat ini: ‘Dengan ketidaktahuan sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan kehendak.’”

“Sahabat Musīla, terlepas dari keyakinan … terlepas dari penerimaan pandangan setelah merenungkannya, apakah Yang Mulia Musīla memiliki pengetahuan pribadi sebagai berikut: ‘Dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan-dan-kematian’? … [117] … ‘Dengan lenyapnya ketidaktahuan, maka lenyap pula bentukan-bentukan kehendak’?”

“Sahabat Saviṭṭha, terlepas dari keyakinan … terlepas dari penerimaan pandangan setelah merenungkannya, aku mengetahui ini, aku melihat ini: ‘Dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan-dan-kematian’ … ‘Dengan lenyapnya ketidaktahuan, maka lenyap pula bentukan-bentukan kehendak’”

“Sahabat Musīla, terlepas dari keyakinan, terlepas dari preferensi pribadi, terlepas dari tradisi oral, terlepas dari perenungan logis, terlepas dari penerimaan pandangan setelah merenungkannya, apakah Yang Mulia Musīla memiliki pengetahuan pribadi sebagai berikut: ‘Nibbāna adalah lenyapnya penjelmaan’?”199

“Sahabat Saviṭṭha, terlepas dari keyakinan, terlepas dari preferensi pribadi, terlepas dari tradisi oral, terlepas dari perenungan logis, terlepas dari penerimaan pandangan setelah merenungkannya, aku mengetahui ini, aku melihat ini: ‘Nibbāna adalah lenyapnya penjelmaan.’”

“Kalau begitu Yang Mulia Musīla adalah seorang Arahant, seorang yang noda-nodanya telah dihancurkan.”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Musīla berdiam diri.200

Kemudian Yang Mulia Nārada berkata kepada Yang Mulia Saviṭṭha: “Sahabat Saviṭṭha, baik sekali jika aku ditanyakan serangkaian pertanyaan itu. Tanyalah serangkaian pertanyaan itu kepadaku dan aku akan menjawabmu.”201

“Kalau begitu sudilah Yang Mulia Nārada menjawab serangkaian pertanyaan itu. Aku aka menanyakan serangkaian pertanyaan itu kepada Yang Mulia Nārada, dan ia akan menjawabku.”

(Di sini Yang Mulia Saviṭṭha mengajukan pertanyaan kepada Yang Mulia Nārada dengan serangkaian pertanyaan yang sama dengan yang diajukan kepada Yang Mulia Musīla, dan ia menjawabnya persis sama.)

“Kalau begitu Yang Mulia Nārada adalah seorang Arahant, seorang yang noda-nodanya telah dihancurkan.” [118]

“Sahabat, walaupun aku telah dengan jelas melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ‘Nibbāna adalah lenyapnya penjelmaan,’ aku bukanlah seorang Arahant, seorang yang noda-nodanya telah dihancurkan.202 Misalkan, sahabat, terdapat sebuah sumur pada jalan di gurun pasir, tetapi tanpa tali dan ember. Kemudian seorang datang, kepanasan, kelelahan, dan kehausan. Ia melihat ke dalam sumur dan pengetahuan muncul dalam dirinya, ‘Ada air,’ tetapi ia tidak mampu menyentuhnya.203 Demikian pula, sahabat, walaupun aku telah dengan jelas melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ‘Nibbāna adalah lenyapnya penjelmaan,’ aku bukanlah seorang Arahant, seorang yang noda-nodanya telah dihancurkan.”204

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Ānanda bertanya kepada Yang Mulia Saviṭṭha: “Ketika ia menjawab demikian, sahabat Saviṭṭha, bagaimana menurutmu sehubungan dengan Yang Mulia Nārada?”

“Ketika ia menjawab demikian, Sahabat Ānanda, aku tidak akan mengatakan apa pun sehubungan dengan Yang Mulia Nārada kecuali apa yang baik dan menyenangkan.”205

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvathī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Sang Bhagavā berkata:

“Para bhikkhu, samudra yang bergelora menyebabkan sungai-sungai besar bergelora; sungai-sungai besar yang bergelora menyebabkan sungai-sungai kecil bergelora; sungai-sungai kecil yang bergelora menyebabkan danau-danau bergelora; danau-danau yang bergelora menyebabkan kolam-kolam bergelora. Demikian pula, ketidaktahuan yang bergelora menyebabkan bentukan-bentukan kehendak bergelora; bentukan-bentukan kehendak yang bergelora menyebabkan kesadaran bergelora; kesadaran yang bergelora menyebabkan nama-dan-bentuk bergelora; nama-dan-bentuk yang bergelora menyebabkan enam landasan indria bergelora; enam landasan indria yang bergelora menyebabkan kontak bergelora; kontak yang bergelora menyebabkan perasaan bergelora; perasaan yang bergelora menyebabkan ketagihan bergelora; ketagihan yang bergelora menyebabkan kemelekatan bergelora; kemelekatan [119] yang bergelora menyebabkan penjelmaan bergelora; penjelmaan yang bergelora menyebabkan kelahiran bergelora; kelahiran yang bergelora menyebabkan penuaan-dan-kematian bergelora.

“Para bhikkhu, samudra yang mereda menyebabkan sungai-sungai besar mereda; sungai-sungai besar yang mereda menyebabkan sungai-sungai kecil mereda; sungai-sungai kecil yang mereda menyebabkan danau-danau mereda; danau-danau yang mereda menyebabkan kolam-kolam mereda. Demikian pula, ketidaktahuan yang mereda menyebabkan bentukan-bentukan kehendak mereda; bentukan-bentukan kehendak yang mereda menyebabkan kesadaran mereda … kelahiran yang mereda menyebabkan penuaan-dan-kematian mereda.”

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai.

(i)

Pada masa itu, Sang Bhagavā dihormati, dihargai, dimuliakan, disembah, dan dipuja, dan Beliau memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan. Bhikkhu Saṅgha juga dihormati, dihargai, dimuliakan, disembah, dan dipuja, dan para bhikkhu juga memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan. Tetapi para pengembara dari sekte lain tidak dihormati, tidak dihargai, tidak dimuliakan, tidak disembah, dan tidak dipuja, dan mereka tidak memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan.

Pada saat itu pengembara Susīma sedang menetap di Rājagaha bersama dengan banyak pengembara. [120] Kemudian teman-temannya berkata kepada Susīma: “Ayo, Sahabat Susīma, jalankan kehidupan suci di bawah Petapa Gotama. Kuasailah DhammaNya dan ajarkan kepada kami. Kita akan menguasai DhammaNya dan membabarkannya kepada umat-umat awam. Dengan demikian kita juga akan dihormati, dihargai, dimuliakan, disembah, dan dipuja, dan kita juga akan memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan.”

“Baiklah, teman-teman,” Pengembara Susīma menjawab. Kemudian ia mendekati Yang Mulia Ānanda dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika mereka mengakhiri ramah-tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata kepadanya: “Sahabat Ānanda, aku ingin menjalani kehidupan suci dalam Dhamma dan Disiplin ini.”

Kemudian Yang Mulia Ānanda membawa Pengembara Susīma menghadap Sang Bhagavā. Ia memberi hormat kepada Sang Bhagavā, dan kemudian duduk di satu sisi dan berkata kepada Beliau: “Yang Mulia, Pengembara Susīma ini berkata bahwa ia ingin menjalani kehidupan suci dalam Dhamma dan Disiplin ini.”

“Baiklah, Ānanda, berikanlah ia pelepasan keduniawian.” Kemudian Pengembara Susīma menerima pelepasan keduniawian dan penahbisan yang lebih tinggi di bawah Sang Bhagavā.206

(ii)

Pada saat itu sejumlah bhikkhu menyatakan pencapaian pengetahuan tertinggi di hadapan Sang Bhagavā, dengan mengatakan: “Kami memahami: Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi bagi kondisi makhluk ini.” Yang Mulia Susīma mendengar mengenai hal ini, [121] maka ia mendatangi para bhikkhu itu, saling bertukar sapa dengan mereka, dan kemudian duduk di satu sisi dan berkata kepada mereka: “Benarkah bahwa kalian telah menyatakan pencapaian pengetahuan tertinggi di hadapan Sang Bhagavā, dengan mengatakan: ‘Kami memahami: Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi bagi kondisi makhluk ini’?”207

“Benar, sahabat.”

“Kalau begitu dengan mengetahui dan melihat demikian, apakah kalian para Yang Mulia memiliki kekuatan spiritual, seperti: dari satu menjadi banyak; dari banyak menjadi satu; kalian muncul dan menghilang; kalian berjalan menembus tembok, menembus benteng, menembus gunung seolah-olah menembus ruang terbuka; kalian masuk dan keluar dari dalam tanah seolah-olah di air; kalian berjalan di atas air tanpa tenggelam seolah-olah di atas tanah; dengan duduk bersila, kalian melayang di angkasa seperti burung; dengan tangan kalian menyentuh bulan dan matahari begitu kuat dan perkasa; kalian mengerahkan kemahiran dengan tubuh hingga sejauh alam brahmā?”

“Tidak, sahabat.”

“Kalau begitu dengan mengetahui dan melihat demikian, apakah kalian para Yang Mulia, dengan unsur telinga dewa, yang murni dan melampaui manusia, mendengar kedua jenis suara, surgawi dan manusia, suara yang jauh maupun dekat?”

“Tidak, sahabat.”

“Kalau begitu dengan mengetahui dan melihat demikian, apakah kalian para Yang Mulia, mengetahui pikiran orang-orang dan makhluk-makhluk lain, setelah melingkupinya dengan pikiran kalian sendiri? Apakah kalian mengetahui pikiran dengan nafsu sebagai pikiran dengan nafsu; pikiran tanpa nafsu sebagai pikiran tanpa nafsu; pikiran dengan kebencian sebagai pikiran dengan kebencian; pikiran tanpa kebencian sebagai pikiran tanpa kebencian; pikiran dengan delusi [122] sebagai pikiran dengan delusi; pikiran tanpa delusi sebagai pikiran tanpa delusi; pikiran yang mengerut sebagai pikiran yang mengerut; pikiran yang kacau sebagai pikiran yang kacau; pikiran yang luhur sebagai pikiran yang luhur; pikiran yang tidak luhur sebagai pikiran yang tidak luhur; pikiran yang terlampaui sebagai pikiran yang terlampaui dan pikiran yang tidak terlampaui sebagai pikiran yang tidak terlampaui; pikiran yang terkonsentrasi sebagai pikiran yang terkonsentrasi dan pikiran yang tidak terkonsentrasi sebagai pikiran yang tidak terkonsentrasi; pikiran yang terbebaskan sebagai pikiran yang terbebaskan dan pikiran yang tidak terbebaskan sebagai pikiran yang tidak terbebaskan?”

“Tidak, sahabat.”

“Kalau begitu dengan mengetahui dan melihat demikian, apakah kalian para Yang Mulia mengingat banyak kelahiran lampau kalian, yaitu satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, banyak kappa penyusutan dunia, banyak kappa pengembangan dunia, banyak kappa penyusutan dan pengembangan dunia sebagai berikut: ‘Di sana aku bernama ini, berasal dari suku ini, berpenampilan seperti ini, makananku seperti ini, aku mengalami kesenangan dan kesakitan seperti ini, umur kehidupanku adalah selama ini; meninggal dunia dari sana, aku terlahir kembali di tempat lain, dan di sana aku bernama ini, berasal dari suku ini, berpenampilan seperti ini, makananku seperti ini, aku mengalami kesenangan dan kesakitan seperti ini, umur kehidupanku adalah selama ini; meninggal dunia dari sana, aku terlahir kembali di sini’? Apakah kalian mengingat banyak kelahiran lampau kalian sedemikian dengan berbagai cara dan rinciannya?”

“Tidak, sahabat.”

“Kalau begitu dengan mengetahui dan melihat demikian, apakah kalian para Yang Mulia, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, melihat kematian dan kelahiran makhluk-makhluk, hina dan mulia, berpenampilan baik dan berpenampilan buruk, kaya dan miskin, dan memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai dengan kamma mereka, sebagai berikut: ‘Makhluk-makhluk ini yang melakukan perbuatan jahat melalui jasmani, [123] ucapan dan pikiran, yang mencela para mulia, menganut pandangan salah dan melakukan tindakan berdasarkan atas pandangan salah, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, telah terlahir kembali di alam sengsara, alam yang buruk, alam rendah, di neraka; tetapi makhluk-makhluk ini yang melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan dan pikiran, yang tidak mencela para mulia, menganut pandangan benar dan melakukan tindakan berdasarkan atas pandangan benar, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, telah terlahir kembali di alam yang baik, alam surga’? Demikianlah dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, apakah kalian melihat kematian dan kelahiran makhluk-makhluk, hina dan mulia, berpenampilan baik dan berpenampilan buruk, kaya dan miskin, dan memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai dengan kamma mereka?”

“Tidak, sahabat.”

“Kalau begitu dengan mengetahui dan melihat demikian, apakah kalian para Yang Mulia berdiam dalam kebebasan damai yang melampaui bentuk-bentuk, pencapaian-pencapaian tanpa bentuk, setelah menyentuhnya dengan jasmani?”208

“Tidak, sahabat.”

“Sekarang, Yang Mulia; jawaban ini dan tanpa mencapai kondisi-kondisi tersebut, bagaimana hal ini mungkin, sahabat-sahabat?”209

“Kami terbebaskan melalui kebijaksanaan, Sahabat Susīma.”210

“Aku tidak memahami secara terperinci, makna dari apa yang dinyatakan secara singkat oleh para Yang Mulia. Baik sekali jika para Yang Mulia sudi menjelaskan kepadaku dengan cara yang dapat kupahami secara terperinci atas apa yang telah dinyatakan secara singkat.” [124]

“Apakah engkau memahami atau tidak, Sahabat Susīma, kami terbebaskan melalui kebijaksanaan.”

(iii)

Kemudian Yang Mulia Susīma bangkit dari duduknya dan mendekati Sang Bhagavā. Setelah mendekat, ia memberi hormat kepada Sang Bhagavā, duduk di satu sisi, dan melaporkan keseluruhan pembicaraan yang telah ia lakukan bersama para bhikkhu itu. [Sang Bhagavā berkata:]

“Pertama, Susīma, muncul pengetahuan kestabilan Dhamma, setelah itu pengetahuan Nibbāna.”211

“Aku tidak memahami secara terperinci, makna dari apa yang dinyatakan secara singkat oleh Sang Bhagavā. Baik sekali jika Sang Bhagavā sudi menjelaskan kepadaku dengan cara yang dapat kupahami secara terperinci atas apa yang telah dinyatakan secara singkat.”

“Apakah engkau memahami atau tidak, Susīma, pertama, muncul pengetahuan kestabilan Dhamma, setelah itu pengetahuan Nibbāna.212

“Bagaimana menurutmu, Susīma, apakah bentuk adalah kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang Mulia.”213 – “Apakah yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?” – “Penderitaan, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?” –“ Tidak, Yang Mulia.”

“Apakah perasaan adalah kekal atau tidak kekal? … Apakah persepsi adalah kekal atau tidak kekal? … Apakah bentukan-bentukan kehendak adalah kekal atau tidak kekal? … Apakah kesadaran adalah kekal atau tidak kekal?” [125] - “Tidak kekal, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?” – “Penderitaan, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?” –“ Tidak, Yang Mulia.”

“Oleh karena itu Susīma, segala jenis bentuk apa pun, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat, segala bentuk harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

“Segala jenis perasaan apa pun … Segala jenis persepsi apa pun … Segala jenis bentukan kehendak apa pun … Segala jenis kesadaran apa pun, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat, segala bentuk harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

“Dengan melihat demikian, Susīma, siswa mulia yang terpelajar mengalami kejijikan pada bentuk, kejijikan pada perasaan, kejijikan pada persepsi, kejijikan pada bentukan-bentukan kehendak, kejijikan pada kesadaran. Karena mengalami kejijikan, ia menjadi bosan. Melalui kebosanan [batinnya] terbebaskan. Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Bebas.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi untuk kondisi makhluk ini’

“Apakah engkau melihat, Susīma: ‘Dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan-dan-kematian [muncul]’?”

“Ya, Yang Mulia.”

“Apakah engkau melihat, Susīma: ‘Dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran’? … ‘Dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka penjelmaan’? … [126] … ‘Dengan ketagihan sebagai kondisi, maka kemelekatan’? … Dengan perasaan sebagai kondisi, maka ketagihan’? … ‘Dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan’? … ‘Dengan enam landasan indria sebagai kondisi, maka kontak’? … ‘Dengan nama-dan-bentuk sebagai kondisi, maka enam landasan indria’? … ‘Dengan kesadaran sebagai kondisi, maka nama-dan-bentuk’? … ‘Dengan bentukan-bentukan kehendak sebagai kondisi, maka kesadaran’? … ‘Dengan ketidaktahuan sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan kehendak [muncul]’?”

“Ya, Yang Mulia.”

“Apakah engkau melihat, Susīma: ‘Dengan lenyapnya kelahiran maka lenyap pula penuaan-dan-kematian’?”

“Ya, Yang Mulia.”

“Apakah engkau melihat, Susīma: ‘Dengan lenyapnya penjelmaan maka lenyap pula kelahiran’? … ‘Dengan lenyapnya kemelekatan maka lenyap pula penjelmaan’? … ‘Dengan lenyapnya ketidaktahuan maka lenyap pula bentukan-bentukan kehendak’?”

“Ya, Yang Mulia.”

“Dengan mengetahui dan melihat demikian, Susīma, apakah engkau memiliki kekuatan spiritual, seperti: dari satu menjadi banyak … dan mengerahkan kemahiran dengan tubuh hingga sejauh alam brahmā?”214

“Tidak, Yang Mulia.”

“Kalau begitu dengan mengetahui dan melihat demikian, Susīma, apakah engkau, dengan unsur telinga dewa, yang murni dan melampaui manusia, mendengar kedua jenis suara, surgawi dan manusia, suara yang jauh maupun dekat?” [127]

“Tidak, Yang Mulia.”

“Kalau begitu dengan mengetahui dan melihat demikian, Susīma, apakah engkau, mengetahui pikiran orang-orang dan makhluk-makhluk lain, setelah melingkupinya dengan pikiranmu sendiri?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Kalau begitu dengan mengetahui dan melihat demikian, Susīma, apakah engkau mengingat banyak kelahiran lampaumu dengan berbagai cara dan rinciannya?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Kalau begitu dengan mengetahui dan melihat demikian, Susīma, apakah engkau, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, melihat kematian dan kelahiran makhluk-makhluk dan mengetahui bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai dengan kamma mereka?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Kalau begitu dengan mengetahui dan melihat demikian, Susīma, apakah engkau berdiam dalam kebebasan damai yang melampaui bentuk-bentuk, pencapaian-pencapaian tanpa bentuk, setelah menyentuhnya dengan jasmani?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Sekarang, Susīma; jawaban ini dan tanpa mencapai kondisi-kondisi tersebut, bagaimana hal ini mungkin, Susīma?”

(iv)

Kemudian Yang Mulia Susīma bersujud dengan kepala di kaki Sang Bhagavā dan berkata: “Yang Mulia, aku telah melakukan pelanggaran karena aku begitu bodoh, begitu bingung, begitu tidak selayaknya bahwa aku meninggalkan keduniawian sebagai seorang pencuri Dhamma dalam Dhamma dan Disiplin yang telah dibabarkan begitu sempurna seperti ini. Yang Mulia, mohon Bhagavā memaafkan aku atas pelanggaranku yang terlihat sebagai pelanggaran demi pengendalian di masa depan.”

“Tentu saja, Susīma, engkau telah melakukan pelanggaran karena engkau begitu bodoh, begitu bingung, begitu tidak selayaknya bahwa engkau meninggalkan keduniawian sebagai seorang pencuri Dhamma dalam Dhamma dan Disiplin yang telah dibabarkan begitu sempurna seperti ini.215 [128] Misalkan, Susīma, mereka menangkap seorang penjahat, seorang kriminal, dan membawanya ke hadapan raja, dengan mengatakan: ‘Baginda, orang ini adalah penjahat, seorang kriminal. Jatuhkanlah padanya hukuman apa pun yang engkau inginkan.’ Raja berkata kepada mereka: ‘Pengawal, ikat kedua tangan orang ini erat-erat di belakang punggungnya dengan tali yang kuat, cukur rambutnya, dan bawa dia keliling dari jalan ke jalan dan dari lapangan ke lapangan, dengan memukul tambur. Kemudian bawa dia keluar melalui gerbang selatan dan di selatan kota ini penggal kepalanya.’ Bagaimana menurutmu, Susīma, apakah orang itu mengalami kesakitan dan ketidak-senangan sehubungan dengan hal itu?”

“Ya, Yang Mulia.”

“Walaupun orang itu mengalami kesakitan dan ketidak-senangan sehubungan dengan hal itu, meninggalkan keduniawian sebagai seorang pencuri Dhamma dalam Dhamma dan Disiplin yang telah dibabarkan dengan sempurna seperti ini memiliki akibat yang jauh lebih menyakitkan, jauh lebih pahit, dan lebih jauh lagi, dapat menuntun ke alam rendah. Tetapi karena engkau menyadari pelanggaranmu sebagai pelanggaran dan melakukan perbaikan sesuai Dhamma, maka kami memaafkanmu sehubungan dengan hal ini. Karena adalah pertumbuhan dalam Disiplin Para Mulia ini ketika seseorang melihat pelanggarannya sebagai pelanggaran, melakukan perbaikan sesuai dengan Dhamma, dan menjalani pengendalian di masa depan.”

[129]

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthipiṇḍika. Di sana Sang Bhagavā berkata:

“Para bhikkhu, para petapa dan brahmana itu yang tidak memahami penuaan-dan-kematian, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya: mereka ini tidak Kuanggap sebagai petapa di antara para petapa atau brahmana di antara para brahmana, dan para mulia ini tidak, dengan merealisasikannya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini masuk dan berdiam dalam tujuan pertapaan atau tujuan kebrahmanaan.

“Tetapi, para bhikkhu, para petapa dan brahmana itu yang memahami penuaan-dan-kematian, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya: mereka ini Kuanggap sebagai petapa di antara para petapa dan brahmana di antara para brahmana, dan para mulia ini, dengan merealisasikannya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini masuk dan berdiam dalam tujuan pertapaan dan tujuan kebrahmanaan.”

“Para bhikkhu, para petapa dan brahmana itu yang tidak memahami kelahiran … penjelmaan … kemelekatan … ketagihan … perasaan … kontak … enam landasan indria … nama-dan-bentuk … kesadaran [130] … bentukan-bentukan kehendak, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya: mereka ini tidak Kuanggap sebagai petapa di antara para petapa atau brahmana di antara para brahmana, dan para mulia ini tidak, dengan merealisasikannya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini masuk dan berdiam dalam tujuan pertapaan atau tujuan kebrahmanaan.

“Tetapi, para bhikkhu, para petapa dan brahmana itu yang memahami hal-hal ini: mereka ini Kuanggap sebagai petapa di antara para petapa dan brahmana di antara para brahmana, dan para mulia ini, dengan merealisasikannya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini masuk dan berdiam dalam tujuan pertapaan dan tujuan kebrahmanaan.”

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, seseorang yang tidak mengetahui dan tidak melihat sebagaimana adanya penuaan-dan-kematian, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya, seharusnya mencari seorang guru agar ia mengetahui hal ini sebagaimana adanya.217 [131]

“Para bhikkhu, seseorang yang tidak mengetahui dan tidak melihat sebagaimana adanya kelahiran … penjelmaan … kemelekatan … ketagihan … perasaan … kontak … enam landasan indria … nama-dan-bentuk … kesadaran … bentukan-bentukan kehendak, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya, seharusnya mencari seorang guru agar ia mengetahui hal ini sebagaimana adanya.”

“Para bhikkhu, seseorang yang tidak mengetahui dan tidak melihat sebagaimana adanya penuaan-dan-kematian … bentukan-bentukan kehendak, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya, seharusnya mempraktikkan latihan agar ia mengetahui hal ini sebagaimana adanya.”

“Para bhikkhu, seseorang yang tidak mengetahui dan tidak melihat sebagaimana adanya penuaan-dan-kematian … bentukan-bentukan kehendak, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya, seharusnya berusaha … [132] membangkitkan keinginan … membangkitkan gairah … tanpa mengendur … membangkitkan semangat … menerapkan kegigihan … berlatih tanpa kenal lelah … mempraktikkan perhatian … mempraktikkan pemahaman jernih … mempraktikkan ketekunan agar ia mengetahui hal ini sebagaimana adanya.”


Catatan Kaki
  1. Spk: Ketika dikatakan, “Dengan ketidaktahuan sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan kehendak,” maknanya harus dipahami dengan cara sebagai berikut: “Itu adalah ketidaktahuan dan itu adalah suatu kondisi, karena itu disebut ‘ketidaktahuan-sebagai-kondisi’ (avijjā ca sā paccayo cā ti avijjāpaccayo). Melalui ketidaktahuan-sebagai-kondisi itu maka bentukan-bentukan kehendak muncul (tasmā avijjāpaccayā saṅkhārā sambhavanti).”

    Penjelasan ini menyarankan bahwa kata kerja sambhavanti, yang di dalam teks hanya muncul di akhir dari keseluruhan formula, harus dihubungkan dengan masing-masing dalil, dengan demikian berarti bahwa masing-masing kondisi muncul melalui kondisinya. Kedua belas istilah dalam formula ini dibahas secara analitis dalam sutta berikutnya.

    Di akhir paragraph, Ee membaca ayaṃ vuccati bhikkhave samuppādo, tetapi ini mungkin suatu kesalahan editorial karena baik Be dan Se membaca paticca-samuppādo. ↩︎

  2. Se menambahkan, di akhir definisi kematian, jāvitindriyassa upacchedo, yang (menurut sebuah catatan dalam Be) juga ditemukan dalam edisi Thai dan Kamboja. Fakta bahwa Spk tidak mengemas ungkapan ini dapat dianggap sebagai bukti bahwa ini tidak terdapat pada teks yang dimiliki oleh para komentator. Akan tetapi, ungkapan ini ditemukan dalam definisi kematian pada Vibh 99,23-24 dan dikomentari pada Vibh-a 101,8-12

    Spk: dengan istilah “meninggal dunia” hingga “berakhirnya waktu” Beliau menjelaskan kematian dalam istilah konvensi duniawi (lokasammutiyā); dengan ungkapan “hancurnya kelompok-kelompok unsur kehidupan” dan “terbaringnya jasad” Beliau menjelaskan kematian dalam makna mutlak (paramattha). Karena dalam makna mutlak hanya kelompok-kelompok unsur kehidupan yang hancur; tidak ada “makhluk” yang mati. Ketika kelompok-kelompok unsur kehidupan mengalami kehancuran, maka dikatakan “Suatu makhluk sekarat,” dan ketika kelompok-kelompok unsur kehidupan itu telah hancur, dikatakan “Makhluk telah mati.” ↩︎

  3. Spk: Dari “kelahiran” hingga “produksi”, ajaran ini adalah konvensional (vohāradesanā); dua istilah terakhir adalah ajaran mutlak (paramatthadesanā). Karena dalam pengertian mutlak hanya kelompok-kelompok unsur kehidupan yang terbentuk, bukan makhluk. ↩︎

  4. Sehubungan dengan makna bhava, baca Pendahuluan Umum, pp.52-53. Spk: Dalam penjelasan penjelmaan, penjelmaan alam indria adalah penjelmaan-kamma (kammabhava) dan juga penjelmaan-kelahiran-kembali (upapattibhava). Dari semua ini, penjelmaan-kamma adalah hanya kamma yang mengarah pada kehidupan di alam-indria; karena kamma itu, adalah penyebab bagi penjelmaan-kelahiran-kembali di alam itu, disebutkan sebagai “penjelmaan” dengan menyertakan nama atas akibat dari penyebab. Penjelmaan-kelahiran-kembali adalah kumpulan dari lima kelompok unsur kehidupan yang diperoleh oleh kamma yang dihasilkan oleh kamma tersebut; ini disebut “penjelmaan” dalam pengertian “muncul di sana.” Cara penjelasan yang sama berlaku untuk penjelmaan di alam-berbentuk dan alam-tanpa-bentuk (dengan pengecualian bahwa dalam alam-tanpa-bentuk penjelmaan-kelahiran-kembali hanya ada empat kelompok unsur batin).

    Harus diperhatikan bahwa dalam menginterpretasikan ungkapan upādānapaccayā bhavo, komentar menganggap bhava sebagai kammabhava atau upapattibhava, karena baik aktivitas kehendak maupun kelahiran-kembali dikondisikan oleh kemelekatan; tetapi dalam ungkapan bhavapaccayā jāti, bhava dibatasi pada kammabhava, karena upapattibhava termasuk di dalamnya jāti dan dengan demikian tidak mungkin menjadi kondisi baginya. Baca Vism 572-73 (Ppn 17:258-60) dan Vism 575 (Ppn 17:270). ↩︎

  5. Spk mendefinisikan kemelekatan sebagai cengkeraman erat (upādānan ti daḷhaggahaṇaṃ vuccati). Definisi empat jenis kemelekatan terdapat pada Dhs §§1214-17. Singkatnya, kemelekatan pada kenikmatan indria (kāmupādāna) adalah identik dengan keinginan indria, nafsu indria, kesenangan indria, ketagihan indria, dan sebagainya. Kemelekatan pada pandangan (diṭṭhupādāna) adalah adopsi atas pandangan salah apa pun kecuali apa yang termasuk dalam kemelekatan jenis ke tiga dan ke empat; Dhs §1215 menyebutkan contoh pandangan nihilis (baca 24:5). Ungkapan silabbatupādāna sering diterjemahkan sebagai “kemelekatan pada upacara dan ritual,” namun baik kanon maupun komentar tidak mendukungnya. Saya menerjemahkan sīla sebagai peraturan dan vata sebagai sumpah, walaupun maksud sesungguhnya adalah cara perilaku yang digariskan oleh peraturan dan sumpah. Definisi singkat pada Dhs §1222 tertulis: “Kemelekatan pada peraturan dan sumpah adalah pandangan para petapa dan brahmana di luar ini (yaitu, di luar cakupan Buddhist) bahwa pemurnian dicapai melalui peraturan, melalui sumpah, melalui peraturan dan sumpah” (di ringkas). Jelas merujuk pada berbagai jenis latihan keras yang terdapat pada masa Sang Buddha yang diadopsi dalam kepercayaan bahwa mereka dituntun menuju surga atau pemurnian tertinggi. Contohnya ‘peraturan anjing, sumpah anjing” (kukkurasīla, kukkuravata) pada MN I 387, 18-20; baca juga frasa umum, iminā ‘haṃ sīlena vā vatena vā tapena vā brahmacariyena vā devo vā bhavissāmi devaññataro vā (misalnya, pada MN I 102,10-11). Kemelekatan pada doktrin diri (attavādupādāna) didefinisikan melalui dua puluh jenis pandangan diri (sakkāyadiṭṭhi), yang mengenai ini, baca 22:7, dan seterusnya. ↩︎

  6. Mengenai terjemahan nāmarūpa, baca Pendahuluan Umum, pp.47-49, Vism 558,23-28 (Ppn 17:187) menjelaskan bahwa nāma menunjukkan tiga kelompok – perasaan, persepsi, dan bentukan-bentukan kehendak – yang disebut demikian karena “kecondongan”nya (namana) pada objek (dalam tindakan mengenalnya). Kehendak, kontak, dan perhatian merupakan bagian dari bentukan-bentukan kehendak dan, menurut Spk, telah terpilih untuk mewakili kelompok-kelompok unsur kehidupan di sini karena bekerja bahkan dalam tingkat kesadaran yang terendah. ↩︎

  7. Mengenai terjemahan saṅkhārā, baca Pendahuluan Umum, pp.44-47. Spk: Bentukan-bentukan kehendak memiliki karakteristik membentuk (abhisaṅkharaṇa). Bentukan kehendak jasmani adalah bentukan kehendak yang muncul melalui jasmani; istilah ini adalah sebutan bagi dua puluh jenis kehendak jasmani (kāyasañcetanā) – delapan alam indria bermanfaat dan dua belas tidak bermanfaat – yang memotivasi aktivitas pada pintu jasmani (baca CMA 1:4-7,13). Bentukan kehendak ucapan adalah bentukan kehendak yang muncul melalui ucapan; istilah ini adalah sebutan bagi dua puluh jenis kehendak ucapan (vacisañcetanā) yang memotivasi ucapan-ucapan verbal (yaitu, dua puluh jenis yang sama dengan yang disebutkan di atas, namun diungkapkan melalui ucapan bukannya melalui tindakan jasmani).Bentukan kehendak pikiran adalah bentukan kehendak yang muncul melalui pikiran; istilah ini adalah sebutan bagi dua puluh sembilan kehendak pikiran duniawi yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat (manosañcetanā) yang muncul dalam pikiran tanpa memotivasi perbuatan pada pintu jasmani dan ucapan. (Sembilan kehendak tambahan adalah citta dari lima alam berbentuk dan empat alam tanpa bentuk, kondisi-kondisi pengalaman meditatif murni, baca CMA 1:18,22.)

    Tidak perlu bingung dengan kelompok tiga saṅkhārā dan kelompok tiga yang didiskusikan pada 41:6 (IV 293, 14-28, juga pada MN 1 301, 17-29). Saya menambahkan “kehendak” pada kelompok yang terakhir ini untuk membedakan dengan yang lainnya, walaupun dalam Pāli adalah identik. Kelompok tiga yang terakhir selalu dibuka dengan hubungan pada lenyapnya persepsi dan perasaan dan tidak pernah dihubungkan dengan kemunculan bergantungan. ↩︎

  8. Definisi ini menunjukkan bahwa ketidaktahuan, sebagai penyebab utama kehidupan saṃsāra, adalah kurangnya pengetahuan atas Empat Kebenaran Mulia. Walaupun dalam naskah-naskah popular ketidaktahuan sering diidentifikasikan sebagai gagasan diri, definisi di sini menunjukkan bahwa pandangan diri adalah suatu aspek kemelekatan yang dikondisikan oleh ketagihan, sementara ketagihan dikondisikan oleh ketidaktahuan (baca AN V 116, 16-21). ↩︎

  9. Spk: istilah “lenyapnya” dalam semua frasa ini adalah menjelaskan Nibbāna. Karena semua fenomena ini lenyap dengan bergantung pada NIbbāna, dan oleh karena itu Nibbāna dikatakan sebagai lenyapnya. Demikianlah dalam Sutta ini Sang Bhagavā mengajarkan lingkaran kelahiran (vaṭṭa) dan akhir dari lingkaran (vivaṭṭa) melalui dua belas frasa dan membawa pembabaran itu hingga berpuncak pada Kearahattaan. ↩︎

  10. Tujuh sutta selanjutnya menggambarkan, dalam istilah-istilah identik, pencerahan dari enam Buddha masa lampau dan Buddha Gotama yang sekarang sebagai penemuan doktrin kemunculan bergantungan dan lenyapnya. Teks Pali memberikan uraian lengkap hanya pada Vipassī dan Gotama; yang lainnya disingkat secara drastis. Saya menerjemahkan secara lengkap hanya pada sutta terakhir, di mana Gotama menjelaskan PencerahanNya sendiri. ↩︎

  11. Dari penjelasan bodhisatta dalam Spk, sepertinya bahwa tradisi Komentar Pāli mengenali etimologi alternatif dari kata ini, yang dianggap sama dengan Skt bodhisattva (“makhluk cerah”) atau dengan “bodhisakta” (“seseorang yang mencari pencerahan”); baca PED, s.v. satta (1).

    Spk: Bodhi adalah pengetahuan; makhluk yang memiliki bodhi adalah seorang bodhisatta, yang mengetahui, yang bijaksana. Karena sejak saat ia membentuk cita-citanya di kaki para Buddha masa lampau, makhluk itu senantiasa bijaksana, tidak pernah menjadi dungu. Atau dengan kata lain, bagaikan teratai matang yang tumbuh di atas air dan akan mekar ketika tersentuh oleh cahaya matahari disebut “teratai yang bangun,” demikian pula makhluk yang telah memperoleh ramalan (menjadi calon Buddha) dari para Buddha dan yang akan pasti memenuhi kesempurnaan (pāramī) dan mencapai pencerahan disebut seorang makhluk yang bangun (bujjhanasatta); ia adalah seorang bodhisatta. Seorang yang merindukan pencerahan – pengetahuan empat jalan – ditekuni, dilekati, pencerahan (bodhiyaṃ satto āsatto); ia adalah seorang bodhisatta. ↩︎

  12. Buddha Vipassī adalah Buddha ke enam masa lampau, dihitung mundur sejak Buddha Gotama. Kisah lengkap atas karirnya terdapat pada DN II 11-51. Beliau muncul di dunia sembilan puluh satu kappa yang lalu. Sīkhi dan Vessabhū muncul tiga puluh satu kappa yang lalu; Kakusandha, Koṇāgamana, Kassapa, dan Gotama semuanya muncul dalam “kappa unggul” sekarang ini (bhaddakappa). Baca DN II 2,15-28. ↩︎

  13. Yoniso manasikārā ahu paññāya abhisamayo. Komentar secara konsisten mengemas yoniso manasikārā sebagai upāya manasikāra, pathamanasikāra, “perhatian yang merupakan alat yang benar, perhatian pada jalan (benar).”

    Terjadi (dalam diriKu) penembusan melalui kebijaksanaan. Spk: terjadi penembusan, kejadian yang muncul bersamaan, penggabungan alasan bagi penuaan-dan-kematian bersama dengan kebijaksanaan (paññāya saddhiṃ jarāmaraṇakāraṇassa abhisamayo samavāyo samāyogo); maknanya adalah apa yang terlihat olehNya, “Penuaan-dan-kematian memiliki kelahiran sebagai kondisinya.” Atau dengan kata lain, maknanya dapat ditafsirkan sebagai berikut: Melalui perhatian seksama dan kebijaksanaan maka terjadi dalam diriKu penembusan (yoniso manasikārena ca paññāya ca abhisamayo ahu). Maknanya adalah bahwa penembusan penuaan-dan-kematian terjadi sebagai berikut, “Ketika ada kelahiran, maka penuaan-dan-kematian terjadi.”

    Bagian pertama dari penjelasan-penjelasan ini adalah tidak mungkin, dan bahkan bagian ke dua tidak memuaskan dalam menafsirkan perhatian seksama dan kebijaksanaan sebagai penyebab gabungan. Dalam pemakaian umum dalam sutta manasikāra adalah pelopor bagi paññā, sedangkan paññā adalah penyebab yang efisien dari abhisamaya. Sebagai istilah teknis, abhisamaya muncul dalam Nikāya dalam dua konteks utama: (i) untuk menyiratkan penembusan awal pada Dhamma, dhammābhisamaya, yang identik dengan memperoleh Mata Dhamma (dhammacakkhupaṭilābha), dan dengan demikian berarti pencapaian tingkat Memasuki-Arus; baca 13:1 (II 134,4-5). (ii) untuk menyiratkan penghancuran keangkuhan sepenuhnya (sammāmānābhisamaya) yang sama dengan pencapaian Kearahattaan; baca 36:5 (IV 207,14-15) dan I, v.725c. Penggunaan ke tiga dari Suttanta adalah untuk menjelaskan penemuan Sang Buddha atas Dhamma, seperti di sini dan dalam bentuk kata kerja abhisameti pada 12:20 di bawah. Dalam komentar abhisamaya adalah bersinonim dengan paṭivedha, penembusan, kedua istilah ini dapat dipertukarkan untuk menjelaskan karakteristik empat fungsi jalan adi-duniawi; baca Vism 689-91 (Ppn 22:92-97). ↩︎

  14. Dua pernyataan mengenai asal-mula penuaan-dan-kematian dari kelahiran bersesuaian dengan dua bentuk prinsip kondisional abstrak. Formula abstrak terdapat pada 122:21, 22, 49, 50, 61, dan 62, dengan varian pada 12:41. Baca n.59 di bawah. Dari sini terbukti adalah kesalahan dalam memaksakan bahwa formulasi ini dalam hal penjelmaan (sati … hoti) menjelaskan kondisionalitas sinkronis sedangkan formulasi dalam hal munculnya (uppādā … uppajjati) menjelaskan kondisionalitas diakronis. Berhubung keduanya berlaku pada setiap pasang faktor, maka sepertinya merupakan cara alternatif dalam mengungkapkan hubungan kondisional, yang masing-masing memasukkan dalam kelompoknya semua cara pengondisian yang mungkin dalam berbagai variasi yang luas. ↩︎

  15. Dalam kisah pencerahanNya pada 12:65 (II 104,13 foll.) Sang Buddha melacak urutan kondisi secara mundur hanya hingga sejauh kesadaran, yang kemudian Beliau tunjukkan muncul dengan bergantung pada nama-dan-bentuk. Perbedaan yang sama dalam perlakuan muncul dalam kalimat yang bersesuaian pada bagian lenyapnya (II 105,20 foll.) ↩︎

  16. Lima kata Pāli adalah cakkhu, ñāṇa, paññā, vijjā, dan āloka. Vijjā sebenarnya diturunkan dari vindati, Spk di sini mengemasnya menjadi paṭivedha, penembusan, seolah-olah diturunkan dari vijjhati, menusuk. ↩︎

  17. Bhūtānaṃ vā sattānaṃ ṭhitiyā sambhavesīnaṃ vā anuggahāya. Mengenai sambhavesin sebagai kata kerja masa depan aktif yang dibentuk dari –esi(n), baca Geiger, Pāli Grammar, §193A, EV I, n. atas 527, dan CPD, s.v. –esi(n) (2). Para komentator jelas tidak terbiasa dengan bentuk tata bahasa ini (yang hanya terdapat sangat sedikit dalam Pāli) dan karena itu menjelaskan sambhavesin seolah-olah adalah kata majemuk bahubbihi yang terdiri dari kata benda sambhava dan akhiran kata sifat –esin. Dengan demikian Spk mengomentari kalimat di atas: “Makhluk-makhluk yang telah lahir adalah mereka yang telah dilahirkan, telah dihasilkan. Mereka yang akan lahir (atau, interpretasi Spk, ‘pencari kehidupan baru’) adalah mereka yang sedang mencari kehidupan, kelahiran, produksi baru (sambhavesino ti ye sambhavaṃ jātiṃ nibbattiṃ esanti gavesanti).” ↩︎

  18. Spk: Makanan adalah kondisi (paccayā), kondisi disebut makanan (āhārā) karena memberi makan (atau membawa, āharanti) akibatnya sendiri. Walaupun terdapat kondisi-kondisi lain bagi makhluk hidup, empat ini saja disebut makanan karena berfungsi sebagai kondisi khusus bagi kelangsungan hidup (ajjhattikasantatiyā visesapaccayattā). Makanan yang dapat dimakan (kabaliṅkāra āhāra) adalah kondisi khusus bagi tubuh fisik dari makhluk-makhluk yang bertahan hidup dari makanan yang dapat dimakan. Dalam tubuh batin, kontak adalah kondisi khusus bagi perasaan, kehendak pikiran bagi kesadaran, dan kesadaran bagi nama-dan-bentuk. Sehubungan dengan apa yang mereka bawa (atau beri makan): Makanan yang dapat dimakan, segera setelah dimasukkan ke mulut, membawa kelompok-kelompok bentuk dengan inti makanan sebagai yang ke delapan (ojaṭṭhamakarūpāni; sebuah istilah Abhidhamma untuk bagian paling sederhana dari fenomena materi); makanan kontak membawa tiga jenis perasaan; makanan kehendak pikiran membawa tiga jenis penjelmaan; dan makanan kesadaran membawa nama-dan-bentuk dan peristiwa kelahiran kembali.

    Dalam SN, makanan didiskusikan lebih lanjut pada 12:12, 31, 63, dan 64. Untuk keterangan umum mengenai empat makanan, baca juga Vism 341, 7-18 (Ppn 11:1-3). Nyanaponika Thera, The Four Nutriments of Life, menyebutkan suatu koleksi sutta yang berhubungan dan komentarnya. Āhāra juga digunakan dalam makna yang lebih luas “kondisi khusus,” tanpa referensi pada empat makanan, pada 46:51 dan 55:31↩︎

  19. Empat jenis makanan ini memiliki ketagihan sebagai sumbernya. Spk: Berawal pada saat kelahiran kembali, jenis-jenis makanan ini yang terdapat dalam penjelmaan individu (attabhāva, organisme hidup) harus dipahami bermula melalui ketagihan sebelumnya (purimataṇha; ketagihan dari kehidupan sebelumnya yang menghasilkan kelahiran kembali). Bagaimanakah? Pada saat kelahiran kembali, pertama-tama, di sana ada inti makanan (ojā) yang dihasilkan di dalam bentuk (jasmani) yang telah muncul; ini adalah makanan yang dapat dimakan yang diperoleh secara kamma yang berasal-mula dari ketagihan sebelumnya. Kemudian kontak dan kehendak yang berhubungan dengan kesadaran-kelahiran-kembali, dan kesadaran itu sendiri, berturut-turut adalah makanan yang diperoleh secara kamma bagi kontak, kehendak pikiran, dan kesadaran yang berasal-mula dari ketagihan (sebelumnya). Demikianlah pada saat kelahiran kembali makanan-makanan bersumber pada ketagihan sebelumnya. Dan seperti halnya pada saat kelahiran kembali, demikian pula segala sesuatu yang dihasilkan berikutnya pada saat bhavaṅgacitta harus dipahami dengan cara serupa.

    Sehubungan dengan peran pengondisian makanan-makanan, baca CMA 8:23. Penjelasan komentar mengenai bagaimana ketagihan adalah penyebab bagi empat makanan terlihat seperti berputar-putar. Penjelasan yang lebih sederhana, lebih sesuai dengan makna sutta, mungkin adalah bahwa ketagihanlah yang mendorong makhluk-makhluk untuk berusaha tanpa henti untuk mendapatkan makanan jasmani dan batin, baik dalam kehidupan ini maupun dalam kehidupan berikut. ↩︎

  20. Spk: Sang Bhagavā menghentikan ajaran pada titik ini karena Beliau mengetahui bahwa seorang teoretikus (diṭṭhigatika) sedang duduk dalam kumpulan itu dan Beliau ingin memberinya kesempatan untuk bertanya. ↩︎

  21. Spk menjelaskan bahwa nama “Moḷiya” diberikan kepadanya dalam kehidupan awam karena ia mengikat rambutnya dalam gulungan besar (moḷi), dan julukan itu melekat padanya setelah ia meninggalkan keduniawian menjadi bhikkhu. Pada MN I 122:24 ia dinasihati oleh Sang Buddha karena keakrabannya dengan para bhikkhunī; dalam 12:32 di bawah disebutkan bahwa ia meninggalkan Saṅgha dan kembali ke kehidupan rumah tangga. ↩︎

  22. Pertanyaan Phagguna, “Siapakah yang mengonsumsi …?” adalah “penuh arti” dengan pandangan implisit atas diri. Ia melihat seseorang – suatu diri – yang berada di balik kesadaran yang berperan penting dalam topik ini. Oleh karena itu Sang Buddha harus menolak pertanyaan itu sebagai pertanyaan yang tidak benar, yang berdasarkan pada asumsi keliru. Spk: “Aku tidak mengatakan ‘Seseorang mengonsumsi’” : “Aku tidak mengatakan seseorang – suatu makhluk atau suatu orang (koci satto vā puggalo vā) – mengonsumsi.” ↩︎

  23. Dalam pertanyaan yang benar, Sang Bhagavā menggantikan kata ganti orang ko, yang mengesankan konotasi inti, dengan bentuk impersonal kissa, bentuk tunggal genitif yang berakar pada ki- (baca Geiger, Pāli Grammar, §111.1). Walaupun semua edisi membaca kissa nu bhante viññāṇāhāro, maknanya sepertinya memerlukan agar kita menambahkan paccayo di akhir. Spk mengemas: Bhante ayaṃ viññāṇāhāro katamassa dhammassa paccayo? Paccayo memang muncul dalam jawaban. ↩︎

  24. Spk: Makanan kesadaran: kesadaran kelahiran kembali (paṭisandhicitta). Produksi penjelmaan kembali di masa depan (āyatiṃ punabbhavābhinibbati): nama-dan-bentuk yang muncul bersamaan dengan kesadaran yang sama itu.

    Pada AN I 223-24 dikatakan: “Kamma adalah ladang, kesadaran adalah benih, dan keinginan adalah kelembaban, karena kesadaran … untuk menjadi terbentuk di alam rendah (menengah, tinggi); demikianlah ada produksi penjelmaan masa depan (kammaṃ khettaṃ viññāṇaṃ bījaṃ taṇhā sineho … hināya (majjhimāya, paṇitāya) dhātuyā viññāṇaṃ patiṭṭhitaṃ; evaṃ āyatiṃ punnabbhavābhininnati hoti).“ Ini menyiratkan bahwa adalah arus kesadaran yang datang dari kehidupan sebelumnya yang berfungsi sebagai makanan kesadaran dengan menghasilkan kesadaran-kelahiran-kembali awal pada saat konsepsi, yang pada gilirannya membawa (atau “memberi makan”) pada nama-dan-bentuk yang menyertai. ↩︎

  25. Tasmiṃ bhūte sati saḷāyatanaṃ. Spk: Ketika nama-dan-bentuk itu yang disebut “produksi penjelmaan kembali” dihasilkan, ketika itu ada, maka muncul enam landasan indria. Kata sambung bhūte sati adalah tidak umum dan pengulangan hanya dapat dihindari jika bentuk pasif bhūte di sini dipahami berfungsi sebagai kata benda untuk menunjukkan makhluk yang akan muncul. ↩︎

  26. Spk: Mengapa si teoretikus tidak bertanya, “Siapakah yang muncul?”? Karena ia menganut kepercayaan bahwa adalah suatu makhluk yang akan muncul, dan jawaban Sang Buddha akan secara langsung membantah kepercayaannya. Lebih jauh lagi, setelah berkali-kali dibantah, ia menjadi yakin, dan juga Sang Guru melanjutkan khotbah tanpa terputus untuk mencegahnya mengajukan pertanyaan yang tidak penting. ↩︎

  27. Spk: Mereka tidak memahami penuaan-dan-kematian melalui kebenaran penderitaan; juga asal-mulanya melalui kebenaran asal-mula, yaitu, penuaan-dan-kematian muncul dari kelahiran dan ketagihan; juga lenyapnya melalui kebenaran lenyapnya; juga jalan menuju lenyapnya melalui kebenaran Sang Jalan. Dengan cara serupa, dalam semua kalimat berikutnya, makanya harus dipahami melalui Empat Kebenaran.

    Ketidaktahuan tidak disebutkan dalam rangkaian ini karena telah disiratkan melalui rujukan pada asal mula bentukan-bentukan kehendak. ↩︎

  28. Sāmaññatthaṃ vā brahmaññatthaṃ vā. Spk: Di sini Jalan Mulia adalah pertapaan dan kebrahmanaan, dan dalam kedua kasus tujuannya harus dipahami sebagai Buah Mulia. Baca 45:35-38↩︎

  29. Dvayanissito khvāyaṃ Kaccāna loko yebhuyyena atthitañ c’ ea natthitañ ca. Spk: “Sebagian besar” (yebbhuyyena) berarti: banyak sekali, dengan pengecualian para individu mulia (ariyapuggala). Gagasan ke-ada-an (atthitā) adalah pandangan keabadian (sassata); gagasan ke-tiada-an (natthitā) adalah pandangan pemusnahan (uccheda). Spk-pṭ: gagasan ke-ada-an adalah keabadian karena menganggap bahwa keseluruhan dunia (kehidupan) ada selamanya. Gagasan ke-tiada-an adalah pemusnahan karena menganggap bahwa keseluruhan dunia tidak ada (selamanya) melainkan terpotong.

    Dalam pandangan kedua penjelasan ini adalah keliru untuk menerjemahkan kedua istilah, atthitā dan natthitā, hanya sebagai “ke-ada-an” dan “ke-tiada-an” dan kemudian menganggap (seperti yang kadang-kadang dilakukan) bahwa Sang Buddha menolak semua gagasan ontologis sebagai tidak benar. Sabda Sang Buddha pada 22:94, misalnya, menunjukkan bahwa Beliau tidak segan mengemukakan pernyataan dengan meminjam sebutan ontologis pada saat diperlukan. Dalam kalimat sekarang ini atthitā dan natthitā adalah kata benda abstrak yang dibentuk dari kata kerja atthi dan natthi. Dengan demikian adalah asumsi metafisik yang implisit dalam abstraksi tersebut yang keliru, bukan asal kata ke-ada-an dan ke-tidak-ada-an itu sendiri. Saya telah berusaha untuk menyampaikan makna abstraksi metafisik ini, yang disampaikan dalam Pāli dengan akhiran –ta, dengan menerjemahkan kedua istilah menjadi “gagasan ke-ada-an” dan “gagasan ke-tiada-an.” Sehubungan dengan kedua ekstrim yang ditolak oleh Sang Buddha, baca 12:48, dan untuk ajaran Sang Buddha mengenai asal-mula dan lenyapnya dunia, baca 12:44.

    Sayangnya, atthitā dan bhava keduanya terpaksa diterjemahkan “penjelmaan” yang mengaburkan fakta bahwa kedua kata dalam Pāli berasal dari akar yang berbeda. Sementara atthitā adalah gagasan ke-ada-an dalam abstrak, bhava adalah penjelmaan individu nyata dalam satu atau lain dari tiga alam. Untuk membuat perbedaan, bhava diterjemahkan sebagai “makhluk” (seperti dilakukan dalam MLDB), namun kata ini, saya rasa, terlalu luas (usulan “makhluk,” objek absolut dari spekulasi filosofis) dan tidak mencukupi dalam menyampaikan makna nyata yang terkandung dalam bhava. ↩︎

  30. Spk: asal-mula dunia: produksi dunia bentukan-bentukan. Tidak ada gagasan ke-tiada-an sehubungan dengan dunia ini: tidak muncul dalam dirinya pandangan pemusnahan yang mungkin muncul sehubungan dengan fenomena yang dihasilkan dan terwujud dalam dunia bentukan-bentukan, dengan menganggap “Mereka tidak ada.” Spk-pṭ: Pandangan pemusnahan mungkin muncul sehubungan dengan dunia bentukan-bentukan sebagai berikut: “Sehubungan dengan pemusnahan dan lenyapnya makhluk-makhluk tepat di mana mereka berada, tidak ada makhluk atau fenomena yang kekal.” Ini juga termasuk pandangan salah, menggunakan bentukan-bentukan itu sebagai objeknya, yang menganggap: “Tidak ada makhluk yang terlahir kembali.” Pandangan itu tidak muncul dalam dirinya; karena seseorang yang melihat dengan pengertian benar pada produksi dan asal-mula dari dunia bentukan-bentukan yang bergantung pada berbagai kondisi seperti kamma, ketidaktahuan, ketagihan, dan sebagainya, pandangan pemusnahan itu tidak muncul, karena ia melihat produksi bentukan-bentukan tanpa terputus.

    Spk: Lenyapnya dunia: terputusnya (bhaṅga) bentukan-bentukan. Tidak ada gagasan ke-ada-an sehubungan dengan dunia: tidak muncul dalam dirinya pandangan keabadian yang mungkin muncul sehubungan dengan fenomena yang dihasilkan dan terwujud dalam dunia bentukan-bentukan, dengan menganggap “Mereka ada.” Spk-pṭ: Pandangan keabadian mungkin muncul sehubungan dengan dunia bentukan-bentukan, menganggapnya ada sepanjang waktu, karena pemahaman identitas dalam rangkaian yang tidak terputus yang muncul dalam hubungan sebab-akibat. Tetapi pandangan itu tidak muncul dalam dirinya; karena ia melihat berturut-turut lenyapnya fenomena yang telah muncul dan berturut-turut munculnya fenomena baru, pandangan keabadian tidak muncul.

    Spk: Lebih jauh lagi, “asal-mula dunia” adalah kondisional urutan maju (anuloma-paccayākāra); “lenyapnya dunia,” kondisional urutan mundur (paṭiloma-paccayākāra). [Spk-pṭ: “Kondisional urutan maju” adalah kemampuan pengondisian atas kondisi sehubungan dengan akibat-akibatnya sendiri; “kondisional urutan mundur” adalah lenyapnya akibat melalui lenyapnya penyebab masing-masing.] Karena dalam melihat ketergantungan dunia, ketika seseorang melihat kesinambungan fenomena yang muncul berkondisi karena kesinambungan kondisi-kondisinya, pandangan pemusnahan, yang mungkin muncul jika tidak demikian, tidak muncul. Dan dalam melihat lenyapnya fenomena yang muncul berkondisi karena lenyapnya kondisi-kondisinya, pandangan keabadian, yang mungkin muncul jika tidak demikian, tidak muncul. ↩︎

  31. Bacaan yang lebih saya sukai adalah campuran antara Be dan Se: upayupādānābhinivesavin-baddho. Saya mengambil upay- dari Be (Se dan Ee: upāy-) dan -vinibaddho dari Se (Be dan Ee: -vinibandho). Terjemahan pada KS 2:13, “mencengkeram sistem dan terkungkung oleh dogma,” diulangi oleh SN-Anth 2:17, adalah terlalu sempit dalam penekanannya. Spk menjelaskan bahwa masing-masing dari tiga kata benda – kegiatan, kemelekatan, dan ketaatan – muncul melalui ketagihan dan pandangan (taṇhā, diṭṭhi), karena melalui inilah seseorang bekerja, melekat, dan taat pada fenomena di tiga alam sebagai “aku” dan “milikku”. ↩︎

  32. Tañ cāyaṃ upayupādānaṃ cetaso adiṭṭhānaṃ abhinivesānusayaṃ na upeti na upādiyati nādhiṭṭhāti “attā me” ti. Saya telah menguraikan sintaksis yang sulit dari kalimat ini dengan bantuan Spk, yang mengemas ayaṃ sebagai “siswa mulia ini” (ayaṃ ariyasāvako). Spk mengatakan bahwa keinginan dan pandangan adalah juga “pandangan pikiran” (adhiṭṭhāna) karena merupakan landasan bagi pikiran (tidak bermanfaat), dan “ketaatan dan kecenderungan tersembunyi” (abhinivesānussaya) karena melekat pada pikiran dan tersembunyi di dalamnya. Spk menghubungkan kata kerja adhiṭṭhāti dengan “atta me” yang mengikuti, dan saya menyesuaikan dengan interpretasi ini dalam terjemahan ini. ↩︎

  33. Spk menjelaskan dukkha di sini sebagai “lima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan” (pañcupādānakkhandhamattam eva). Demikianlah apa yang dilihat oleh para siswa mulia, ketika ia merenungkan kehidupan pribadinya, bukanlah diri atau seorang yang mengandung inti tetapi sekedar gabungan fenomena berkondisi yang muncul dan lenyap melalui proses pengondisian yang diatur oleh kemunculan bergantungan. Sehubungan dengan hal ini baca syair-syair Bhikkhunī Vajirā, I, vv. 553-55. Spk: Hanya dengan sebanyak ini – melepaskan gagasan makhluk (sattasaññā) – itulah penglihatan benar.

    Aparappaccayā ñāṇaṃ, “pengetahuan yang tidak bergantung pada orang lain,” dikemas oleh Spk sebagai “pengetahuan langsung pribadi tanpa bergantung pada orang lain” (aññassa apattiyāyetvā attapaccakkhañāṇaṃ). Ini dikatakan karena siswa mulia, sejak Memasuki-Arus dan seterusnya, telah melihat kebenaran mendasar dari Dhamma dan dengan demikian tidak bergantung pada orang lain, bahkan tidak pada Sang Buddha, untuk pandangan terangnya ke dalam Dhamma. Akan tetapi, hingga tercapainya Kearahattaan, siswa tersebut masih tetap mendatangi Sang Buddha (atau guru lain yang telah tercerahkan) untuk mendapatkan tuntunan praktis pada meditasi. ↩︎

  34. Dhammānudhammapaṭipanno. Spk: Lokuttarassa nibbānadhammassa anudhammabhūtaṃ paṭipadaṃ pañipanno; “seseorang yang mempraktikkan jalan yang selaras dengan Nibbāna-dhamma adi-duniawi.” Spk-pṭ mengemas nibbānadhamma sebagai “jalan mulia menuju Nibbāna,” dan menjelaskan “(jalan) yang selaras dengan”nya sebagai makna “(jalan) yang memiliki ciri-ciri yang sesuai bagi pencapaian Nibbāna” (nibbānādhigamassa anucchavikasabhāvabhutaṃ). Pernyataan ini menunjukkan sekha, pelajar. Cp. III, n.51↩︎

  35. Diṭṭhadhammanibbānappato. Pernyataan ini menunjukkan Arahant, atau asekha, yang telah menyelesaikan latihan. ↩︎

  36. Spk: Mengapakah Sang Bhagavā menolak tiga kali? Untuk memicu penghargaan; karena jika para teoretikus dijawab terlalu cepat mereka tidak akan menunjukkan penghargaan, tetapi mereka akan menghargai jika ditolak dua atau tiga kali. Kemudian mereka akan berkeinginan untuk mendengar dan mengembangkan keyakinan. Juga, Sang Guru menolak dengan tujuan untuk menciptakan kesempatan bagi indria pengetahuan petapa itu menjadi matang. ↩︎

  37. Dari empat alternatif, yang pertama dan ke dua, seperti yang akan diperlihatkan, berturut-turut adalah formula implisit bagi pandangan keabadian dan pemusnahan. Yang ke tiga adalah solusi sinkretis, mungkin suatu bentuk keabadian-sebagian (ekaccasassatavāda; baca DN I 17-21). Yang ke empat adalah doktrin asal-mula yang terjadi secara kebetulan (adhiccasamuppannavāda; baca DN I 28-29). ↩︎

  38. Spk menunjukkan bahwa perubahan panggilan, dari panggilan akrab bho Gotama menjadi panggilan hormat bhante bhagavā, menunjukkan bahwa ia telah memberikan penghargaan pada Sang Guru. ↩︎

  39. Spk mengemas ādito sato sebagai ādimhi yeva, dan menjelaskannya sebagai bermakna “(jika) pada awalnya (seseorang berpikir) … ” Bagi saya sepertinya frasa ini mungkin adalah bagian dari pandangan keabadian itu sendiri dan berarti “dari seseorang yang ada sejak awal,” yaitu, dari suatu makhluk yang selalu ada. Interpretasi ini membentuk dukungan dari fakta bahwa frasa ini dihilangkan persis di bawah dalam pernyataan yang bersesuaian yang diulang mengenai pandangan pemusnahan, yang jika tidak demikian maka dibangun menurut logika yang sama dan dengan demikian, jika Spk benar, seharusnya memasukkan ādito sato. Spk mengatakan “itu harus dimasukkan,” tetapi fakta bahwa teks itu digantikan dengan frasa lain adalah bukti kuat bahwa itu memang tidak ada di sana; baca n.40.

    Spk: Jika pada awalnya (seseorang berpikir), “Seorang yang melakukan adalah sama dengan orang yang mengalami (akibatnya),” dalam kasus demikian kepercayaan (laddhi) setelahnya mengikuti, “Penderitaan dibuat oleh diri sendiri.” Dan di sini, apa yang dimaksudkan dengan penderitaan adalah penderitaan atas lingkaran (vaṭṭadukkha). Menegaskan demikian, sejak awal seseorang menyatakan keabadian, maka ia mencengkeram pandangan keabadian. Mengapa? Karena pandangannya sama dengan pandangan ini. Pandangan keabadian mendatangi seseorang yang menganggap pelaku dan yang mengalami adalah satu orang yang sama.

    Spk-pṭ: Sebelum kepercayaan bahwa penderitaan dibuat oleh diri sendiri terdapat distorsi persepsi dan pikiran (saññācittavipallāsā) dalam gagasan, “Seorang yang melakukan adalah sama dengan orang yang mengalami (akibatnya),” dan kemudian ketaatan salah pada distorsi ini berkembang, yaitu, kepercayaan “Penderitaan dibuat oleh diri sendiri” (suatu distorsi pandangan, diṭṭhivipallāsa).

    Mengenai tiga tingkat distorsi dengan empat caranya, baca AN II 52. ↩︎

  40. Dalam kalimat ini frasa ādito sato yang terdapat pada pernyataan keabadian sebelumnya digantikan dengan vedanābhitunnassa sato, yang membatalkan usulan Spk bahwa ādito sato seharusnya dimasukkan di sini. Spk menginterpretasikan kalimat itu sebagai menyebutkan bahwa pandangan pemusnahan dianut oleh seseorang yang mengalami perasaan yang disertai dengan pandangan itu, namun saya memahami intinya bahwa pandangan itu dianut sehubungan dengan seseorang yang “didera oleh perasaan,” mungkin perasaan menyakitkan.

    Spk: Jika pada awalnya (seseorang berpikir), “Seorang yang melakukan adalah satu hal, orang yang mengalami (akibatnya) adalah hal lainnya,” dalam kasus demikian setelahnya muncul kepercayaan, “penderitaan dibuat oleh orang lain,” yang dianut oleh seorang yang didera – yaitu, ditusuk oleh – perasaan yang disertai dengan pandangan pemusnahan yang muncul sebagai berikut: “Pelaku dimusnahkan tepat di sini, dan seorang lainnya (‘yang lainnya’) mengalami (akibat) dari perbuatannya.” Dengan menegaskan demikian, sejak awal ia menyatakan pemusnahan, maka ia mencengkeram pandangan pemusnahan. Mengapa? Karena pandangannya sama dengan pandangan ini. Pandangan pemusnahan mendatanginya. ↩︎

  41. Spk: Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma yang di tengah tanpa berbelok ke arah salah satu dari ekstrim-ekstrim ini – keabadian dan pemusnahan – setelah meninggalkannya tanpa syarat. Beliau mengajarkan selagi kokoh di jalan tengah. Apakah Dhamma itu? Melalui formula kemunculan bergantungan, akibat diperlihatkan muncul karena sebab dan lenyap dengan lenyapnya sebab, tetapi tidak ada yang melakukan atau yang mengalami (kāraka, vedaka) dijelaskan. ↩︎

  42. Meninggalkan keduniawian (pabbajjā) adalah penahbisan awal sebagai sāmaṇera, penahbisan lebih tinggi (upasampadā) menerima sāmaṇera sebagai anggota penuh dalam Saṅgha sebagai bhikkhu. ↩︎

  43. Penjelasan terperinci sehubungan dengan penahbisan dari seorang pengembara yang sebelumnya berasal dari sekte lain, baca Vin I 69-71. Spk: Sang calon diberikan penahbisan awal dan hidup sebagai seorang sāmaṇera selama masa percobaan, setelahnya para bhikkhu memberikan penahbisan yang lebih tinggi jika mereka puas dengannya. Akan tetapi, Sang Buddha, berhak melepaskan prosedur itu jika Beliau mengetahui bahwa sang calon cukup kompeten dan tidak perlu dicoba. Dalam kasus Kassapa, Beliau memberikan penahbisan awal; kemudian, segera setelahnya, Kassapa dipanggil dan Beliau mengumpulkan para bhikkhu dan memberikan penahbisan yang lebih tinggi. ↩︎

  44. Baca I, n. 376↩︎

  45. Spk: Dalam sutta ini yang didiskusikan adalah kesenangan dan kesakitan sebagai perasaan (vedanāsukhadukkha); juga dapat diterima jika dikatakan bahwa subjek adalah akibat dari kesenangan dan kesakitan (vipākasukhadukkha). ↩︎

  46. Spk: Jika pada awalnya (seseorang berpikir), “Perasaan dan orang yang merasakannya adalah sama,” maka muncul kepercayaan, “kesenangan dan kesakitan dibuat oleh diri sendiri.” Dalam hal ini perasaan dibuat oleh perasaan itu sendiri, dan dengan menegaskan demikian seseorang mengakui bahwa perasaan ini sudah ada di masa lalu. Ia menyatakan pandangan keabadian, mencengkeram pandangan keabadian. ↩︎

  47. Spk: Jika pada awalnya (seseorang berpikir), “Perasaan adalah satu hal, dan orang yang merasakannya adalah hal lainnya,” maka di sana muncul kepercayaan, “Kesenangan dan kesakitan dibuat oleh orang lain,” dianut oleh seseorang yang didera perasaan yang disertai dengan pandangan pemusnahan yang muncul sebagai berikut: “Perasaan dari si pelaku (kārakavedanā) di masa lalu telah musnah, dan seorang lainnya (‘orang lain’) mengalami (akibat) dari perbuatannya.” Menegaskan demikian, ia menyatakan dan mencengkeram pandangan pemusnahan bahwa si pelaku telah musnah dan kelahiran kembali dialami oleh orang lain. ↩︎

  48. Spk: Jasmani ini berasal-mula demikian (evam ayaṃ kāyo samudāgato): jasmani ini telah dihasilkan demikian karena ia telah dihalangi oleh ketidaktahuan dan dibelenggu oleh ketagihan. Jadi ada jasmani ini: jasmani sadarnya. Dan nama-dan-bentuk eksternal (bahiddhā ca nāmarūpaṃ): tubuh kesadaran orang lain secara eksternal. Makna ini harus dijelaskan dalam hal lima kelompok unsur kehidupan dan enam landasan indria dari dirinya dan orang lain.

    Interpretasi bahiddhā nāmarūpa sepertinya meragukan. Yang kita miliki di sini hanyalah, contoh yang jarang atas istilah nāmarūpa yang digunakan untuk mewakili keseluruhan wilayah pengalaman yang dialami oleh kesadaran, “nama eksternal” adalah konsep yang digunakan untuk menyebut objek-objek yang dikenali. Baca ungkapan umum imasmiṃ saviññāṇake kāye bahiddhā ca sabbanimittesu, “sehubungan dengan jasmani sadar ini dan gambaran-gambaran eksternal,” pada 18:21, 22; 22:71; 72, dan lain-lain, dan dijelaskan di bawah pada n. 340. Spk menerjemahkan pasangan ini (etaṃ dvayaṃ) sebagai landasan indria internal dan eksternal, yang disebut “pasangan besar” (mahādvaya). Akan tetapi, sementara landasan-landasan indria biasanya terlihat sebagai kondisi bagi kontak (misalnya, pada 12:43, 44) dan juga disebut sepasang (misalnya pada 35:92, 93), namun sepertinya di sini yang dimaksudkan dengan pasangan oleh teks adalah jasmani sadar seseorang dan “nama-dan-bentuk eksternal.” Enam landasan indria diperkenalkan pada kalimat berikutnya, setelah kontak dikatakan muncul dari dualitas. Pada DN II 62,12-37 juga Sang Buddha memperlihatkan bahwa nama-dan-bentuk dapat menjadi kondisi langsung bagi kontak tanpa menyebutkan enam landasan-indria. ↩︎

  49. Bhagavantaṃ yeva paṭibhātu etassa bhāsitassa. Lit. “Biarlah makna dari pernyataan ini muncul pada Sang Bhagavā.” Saya menerjemahkan ungkapan Pāli ini secara bebas sesuai dengan maknanya. Baca I, n.227↩︎

  50. Dalam sutta yang pendek ini kita jelas menemukan gambaran skema analisis “empat kelompok” (catusaṅkhepa) dan “dua puluh cara” (visatākāra), yang dijelaskan pada Paṭis I 51-52; Vism 579-81 (Ppn 17:288-98); dan CMA 8:7. Lihat Tabel 4, p.519. Penyebab masa lalu adalah ketidaktahuan dan ketagihan yang membawa baik si dungu maupun si bijaksana ke kehidupan sekarang; akibat sekarang – jasmani sadar, nama-dan-bentuk, enam landasan indria, kontak, dan perasaan; penyebab sekarang – ketidaktahuan dan ketagihan yang tidak ditinggalkan oleh si dungu; akibat masa depan – kelahiran, penuaan, kematian yang akan dialami oleh si dungu dalam penjelmaan berikutnya. Ini juga seharusnya membantu dalam membentuk validitas interpretasi “tiga kehidupan” dari paṭicca-samuppāda dan memperlihatkan bahwa interpretasi demikian bukanlah inovasi komentar. ↩︎

  51. Ṭhitā va sā dhāṭu dhammaṭṭhitatā dhammaniyāmatā idappaccayatā. Spk: unsur itu (sā dhātu), ciri intrinsik dari kondisi-kondisi (paccayasabhāva), tetap ada; tidak pernah terjadi bahwa kelahiran tidak mengkondisikan penuaan-dan-kematian. Dalam kedua istilah berikutnya juga Beliau menunjukkan hanya kondisi. Berhubung fenomena yang muncul bergantungan ada karena kondisi (paccayena hi paccayupannā dhammā tiṭṭhanti); oleh karena itu kondisi itu sendiri disebut kestabilan Dhamma (dhammaṭṭhitatā). Kondisi ini menetapkan (atau menentukan) fenomena yang bergantung (paccayo dhamme niyameti); demikianlah disebut jalan pasti Dhamma (dhammaniyāmatā). Pengondisian khusus (idappaccayatā) adalah sekumpulan kondisi khusus bagi penuaan-dan-kematian, dan seterusnya.

    Spk-pṭ: Apakah tidak ditembus sebelum dan sesudah munculnya para Tathāgata, atau ditembus ketika Mereka telah muncul, unsur ini tetap ada; bukan diciptakan oleh para Tathāgata, namun penuaan-dan-kematian selalu terjadi melalui kelahiran sebagai kondisinya. Tathāgata hanya menemukan dan menyatakannya, tetapi Beliau tidak membuatnya.

    Pada AN I 286,8-24 pernyataan yang persis sama ditujukan pada tiga karakteristik: “Semua bentukan adalah tidak kekal/penderitaan” dan “Semua bentukan adalah bukan-diri.” Kedua ungkapan dhammaṭṭhitatā dhammaniyāmatā, dengan demikian memiliki makna yang sama untuk kedua sebab-akibat yang bergantungan dan tiga karakteristik, dan oleh karena itu sepertinya tidak tepat untuk menjelaskannya di sini, seperti yang dilakukan Spk, dalam cara yang secara spesifik dihubungkan dengan pengondisian. Terlebih lagi, sepertinya dhamma di sini berarti prinsip atau hukum yang berlaku atas fenomena, bukan fenomena yang tunduk pada prinsip tersebut. Baca juga di bawah n.105, n.211↩︎

  52. Abhisambujjhati abhisameti. Kata kerja pertama, yang ditujukan pada pencerahan Sang Buddha, adalah transitif. Karena itu saya terjemahkan “tersadarkan pada (dengan objek),” walaupun biasanya saya menerjemahkan kata-kata yang diturunkan dari kata kerja bujjhati sebagai ungkapan dalam makna “pencerahan.” Abhisameti adalah kata kerja yang bersesuaian dengan abhisamaya, yang mengenai ini baca n.13↩︎

  53. Se berisi catatan kaki yang menjelaskan bahwa pernyataan di bawah, “Demikianlah, para bhikkhu, kenyataan dalam hal ini…” harus disisipkan di akhir tiap-tiap bagian dalam hubungan pengondisian; dan tiap-tiap bagian berikutnya harus dimulai dengan pernyataan, “apakah terdapat kemunculan Tathāgata …” ↩︎

  54. Pada 56:20, 27 Empat Kebenaran Mulia dikatakan sebagai tatha, avitatha, anaññatha – kata sifat yang bersesuaian dengan tiga kata benda abstrak pertama. Spk memberikan interpretasi spesifik (diterjemahkan persis di bawah), walaupun kita mungkin curiga bahwa makna aslinya adalah sekedar bahwa ajaran kemunculan bergantungan adalah benar, tidak salah, dan bukan lain adalah kenyataan.

    Spk: Kenyataan (tathatā) dikatakan untuk menunjukkan terjadinya masing-masing fenomena ketika bertemu dengan kondisi yang sesuai. Ketidak-salahan (avitathatā) berarti bahwa begitu kondisinya menjadi lengkap, maka tidak ada ketidak-munculan, bahkan selama sesaat, fenomena yang dihasilkan dari kondisi-kondisi tersebut. Bukan-sebaliknya (anaññathatā) berarti tidak ada produksi satu fenomena oleh kondisi lainnya. Frasa pengondisian spesifik digunakan untuk merujuk pada kondisi (masing-masing) bagi penuaan-dan-kematian, dan seterusnya, atau kondisi-kondisi yang dianggap sekelompok (paccayasamūhato). ↩︎

  55. Sammappaññāya. Spk: dengan kebijaksanaan sang jalan bersama dengan pandangan terang (savipassanāya maggapaññāya). ↩︎

  56. Enam belas kasus keraguan juga disebutkan pada MN I 8,4-15. Untuk diskusi mengenai pelepasannya, baca Vism 599 (Ppn 19:5-6) dan 603-5 (Ppn 19:21-27). Spk menjelaskan bahwa kelompok dasar diungkapkan dalam keraguan – antara ke-ada-an dan ke-tiada-an di masa lampau, dan seterusnya - mencerminkan kontradiksi keabadian dan pemusnahan. Keraguan lainnya adalah terhadap kehidupan lampau yang muncul dalam kerangka berpikir seorang penganut keabadian. Perbedaan serupa berlaku di antara keraguan pada masa depan dan masa sekarang. ↩︎

  57. Sepuluh kekuatan, yang merupakan kekuatan pengetahuan (ñāṇabala), dibabarkan pada MN I 69-71, dimana disebut sebagai kekuatan Tathāgata (tathāgatabala). Sepuluh jenis pengetahuan yang juga dimiliki oleh Yang Mulia Anuruddha pada 52:15-24, namun hanya sebagian, menurut Spk. Analisis terperinci terdapat pada Vibh 335-44: empat landasan kepercayaan-diri (vesāraja) dijelaskan pada MN I 71-72. Singkatnya, keyakinan: (i) bahwa tidak ada seorang pun yang dapat membantah pengakuanNya sebagai tercerahkan dalam segala fenomena; (ii) bahwa tidak ada seorang pun yang dapat membantah pengakuanNya sebagai telah melenyapkan semua noda; (iii) bahwa tidak ada seorang pun yang dapat membantah pengakuanNya sehubungan dengan kondisi-kondisi yang dinyatakan sebagai rintangan; dan (iv) bahwa tidak ada seorang pun yang dapat membantah pengakuanNya bahwa ajaranNya menuntun siapa pun yang mempraktikkannya menuju kebebasan dari penderitaan.

    Spk mengemas brahma sebagai seṭṭha, uttama, “terbaik, tertinggi,” dan menjelaskan Roda-Brahmā sebagai Roda murni Dhamma (visuddhadhammacakka). Kedua ini, pengetahuan penembusan (paṭivedhañāṇa) dan pengetahuan ajaran (desanāñāṇa). Yang pertama berasal dari kebijaksanaan dan membawa menuju pencapaian Sang Buddha atas Buah Mulia; yang ke dua berasal dari belas kasihan dan memungkinkanNya untuk mengajar dengan cara sedemikian sehingga para siswaNya mencapai Buah. Pengetahuan penembusan adalah adi-duniawi, pengetahuan ajaran adalah duniawi*.* Keduanya adalah jenis pengetahuan yang dicapai sendiri yang secara eksklusif dimiliki oleh Sang Buddha, dan tidak dimiliki oleh yang lainnya. ↩︎

  58. Formula umum atas meditasi pada lima kelompok unsur kehidupan terdapat dalam SN pada 12:23, 22:78, 89,101. Juga muncul dalam dua versi Satipaṭṭhāna Sutta pada DN II 301,29-302,13 dan MN I 61,3-8. Asal-mula (samudaya) dan lenyapnya (atthaṅgama) kelompok-kelompok unsur kehidupan dijelaskan dari sudut pandang sesuai urutan pengondisian pada 22:5 dan dari sudut pandang tidak sesuai urutan pengondisian pada 22:56, 57. Baca juga n.123↩︎

  59. Ini adalah formula abstrak dari kemunculan bergantungan: imasmiṃ sati idaṃ hoti, imass’ uppādā idaṃ uppajjati; imasmiṃ asati idaṃ na hoti, imassa nirodhā idaṃ nirujjhati. Spk-pṭ menjelaskan bahwa apa yang dimaksudkan dengan adanya dalam bagian pertama formula itu bukanlah benar-benar ada seperti demikian namun “kondisi yang belum dibawa menuju pada lenyapnya oleh Sang Jalan”; demikian pula, apa yang dimaksudkan dengan tidak-adanya dalam bagian ke dua formula ini bukanlah sekedar tidak ada seperti demikian namun “kondisi yang telah dibawa menuju pada lenyapnya oleh Sang Jalan.” Penjelasan yang panjang dan rumit dari formula ini (diringkas dalam Spk-pṭ) terdapat pada Ud-a 38-42 (diterjemahkan oleh Masefield, The Udana Commentary, 1:66-72). Baca juga n.14 di atas. Penggunaan formula di sini, segera mengikuti pernyataan tentang kelompok-kelompok unsur kehidupan, menghubungkan asal-mula dan lenyapnya lima kelompok unsur kehidupan pada kemunculan bergantungan, menunjukkan bahwa asal-mula dan lenyapnya harus dipahami dalam hal kemunculan bergantungan. ↩︎

  60. Chinnapilotika. Spk: Jahitan tambalan (pilotika) adalah secarik kain tua, terpotong dan robek, yang telah dijahit di sana-sini. jika seseorang tidak mengenakan ini, melainkan berpakaian sehelai kain yang tidak terpotong, maka ia dikatakan “bebas dari jahitan tambalan.” Dhamma ini juga serupa, karena tidak dijahit dengan cara-cara menipu, dan sebagainya.

    Pujian terhadap Dhamma ini juga terdapat pada MN I 141-42. Pada 16:11 (II 220,1 dan 221,5 foll.) muncul ungkapan paṭapilotikānaṃ saṅghāti, “jubah luar bertambalan.” ↩︎

  61. Spk menyebut ini semangat berfaktor empat (caturaṅgasamannāgataṃ viriyaṃ) ; empat faktor ini harus dipahami melalui kulit, urat, tulang, dan daging-dan-darah. Tekad ini muncul kembali di bawah pada 21:3 (II 276,12-16) dan juga pada MN I 481,1-5. Pada Ja 171,24-27 Sang Bodhisatta melakukan tekad yang sama ketika ia duduk di bawah Pohon Bodhi. ↩︎

  62. Spk mengemas sadatthaṃ: sobhanaṃ vā atthaṃ sakaṃ vā atthaṃ, “kebaikan indah atau kebaikan pribadi.” Penjelasan terakhir lebih masuk akal. Terjemahan umum dari ungkapan ini sebagai “kebaikan sejati,” menganggap sad mewakili sant, sepertinya tidak didukung oleh komentar. ↩︎

  63. Spk: Bukan dengan keyakinan, usaha, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan yang rendah maka sesuatu yang tinggi itu – yaitu, Kearahattaan – dicapai. Kemuliaan itu harus dicapai dengan keyakinan yang tinggi dan seterusnya. ↩︎

  64. Spk menjelaskan maṇḍapeyya sebagai kata majemuk maṇḍa dalam makna jelas (pasanna) dan peyya dalam makna apa yang harus diminum (pātabba). Sepertinya maṇḍa aslinya berarti bagian terbaik dari susu atau mentega, yaitu, krim, dan seperti kata dalam Bahasa Inggris yang menyiratkan sari atau bagian terbaik dari segala sesuatu. Pada 34:1, dan seterusnya, kita menemukan sappimaṇḍa, “krim ghee”, produk terbaik dari susu.

    Spk: Terdapat tiga jenis krim: (i) krim ajaran (desanāmaṇḍa), yaitu, Empat Kebenaran Mulia dan tiga puluh tujuh faktor pencerahan; (ii) krim penerima (paṭiggahamaṇḍa), yaitu, para siswa yang mampu memahami ajaran itu; dan (iii) krim kehidupan suci (brahmacariyamaṇḍa), yaitu, Jalan Mulia Berunsur Delapan. Kata-kata “selagi Sang Guru ada” (satthā sammukhibhūto) menunjukkan alasan: berhubung Sang Guru ada, setelah berusaha dengan penuh semangat, engkau harus meminum krim ini.

    Kalimat ini digunakan sebagai judul pada keseluruhan bab dari Paṭis (No.10; II 86-91), yang mengaplikasikan metafora krim ini secara terperinci pada seluruh faktor-faktor latihan Buddhis. ↩︎

  65. Kita harus membaca, mengikuti Be dan Se, tesaṃ te kārā amhesu mahapphalā bhavissanti, bukannya tesaṃ vo kārā seperti dalam Ee. Makna dari kalimat ini terlewatkan oleh C.Rh.D pada KS: 2:24 dan Walshe mengikutinya pada SN-Anth 3:20. Cp. MN I 140,23-24,31-32: Yaṃ kho idaṃ pubbe pariññātaṃ tattha me (no) evarūpā kārā karīyanti. PED mengenali kāra dalam makna “pelayanan, tindakan belas kasihan atau pemujaan,” namun tidak memasukkan referensi ini. ↩︎

  66. Alam eva appamādena sampādetuṃ. Kata-kata ini merupakan instruksi terakhir Sang Buddha pada 6:15 (I 157,34 – 158,2). ↩︎

  67. Untuk suatu karangan yang berdasarkan pada sutta penting ini, baca Bodhi, Transcendental Dependent Arising. Paragraf pembuka muncul kembali pada 22:101, tetapi dengan kelanjutan yang berbeda; baca juga n.58. Spk menyebutkan bahwa kehancuran noda-noda (āsavakkhaya) adalah Kearahattaan, yang mendapatkan nama ini karena muncul di akhir penghancuran noda-noda (āsavānaṃ khayante jātattā). ↩︎

  68. Spk: Setelah membangun ajaran yang berpuncak pada Kearahattaan, selanjutnya Sang Buddha menunjukkan latihan awal yang dilalui oleh Arahant. Pengetahuan penghancuran sehubungan dengan kehancuran (khayasmiṃ khaye ñāṇaṃ) adalah pengetahuan peninjauan (paccavekkhaṇāñāṇa) yang muncul ketika kehancuran noda-noda – yaitu, Kearahattaan – telah dicapai (baca I, n.376 dan Vism 676; Ppn 22:19-21). Kebebasan adalah kebebasan buah Kearahattaan (arahattaphalavimutti), yang merupakan kondisi bagi pengetahuan peninjauan melalui kondisi pendukung-penentuan (upanissayapaccaya). Pertama-tama buah Kearahattaan muncul, kemudian pengetahuan penghancuran.

    Spk mengemas sa-upanissā sebagai sakāraṇa, sappacayya, “dengan sebab, dengan kondisi.” Spk-pṭ menambahkan: upanisīdati phalaṃ etthā ti kāraṇaṃ upanisā; “sebab itu disebut penyebab terdekat karena akibatnya bergantung padanya.” Demikianlah para komentator menganggap upanisā sama dengan Skt upanisad, bukan bentuk singkat dari upanissaya. Walaupun, seperti yang ditunjukkan oleh CPD, “suatu campuran semantik” dengan kasus upanissaya, kedua kata harus dibedakan karena tidak semua yang merupakan upanisā (penyebab terdekat) bagi hal-hal lain adalah upanissaya-paccaya (kondisi pendukung-penentuan) bagi hal-hal itu. Upanisaaya merujuk hanya pada sesuatu yang memainkan peran sebagai penyebab yang kuat. ↩︎

  69. Spk mengemas istilah dalam urutan di atas sebagai (dimulai dari akhir): Penderitaan adalah penderitaan akan lingkaran (vaṭṭadukkha). Keyakinan adalah keyakinan yang muncul terus-menerus (aparāparaṃ uppajjanasaddhā; yaitu, keyakinan sementara, bukan keyakinan tidak tergoyahkan dari seorang siswa mulia). Kegembiraan (pāmojja) adalah sukacita yang lemah, sedangkan sukacita sebenarnya (pīti) adalah sukacita kuat. Ketenangan (passadhi) adalah meredanya kesusahan, suatu kondisi bagi kebahagiaan awal sebelum penyerapan. Kebahagiaan adalah kebahagiaan dalam tahap awal penyerapan meditatif, konsentrasi adalah jhāna yang digunakan sebagai landasan (bagi pandangan terang; pādakajjhānasamādhi). Pengetahuan dan penglihatan atas segala sesuatu sebagaimana adanya (yathābhūtañāṇadassana) adalah pandangan terang lemah, yaitu, pengetahuan penglihatan bentukan-bentukan, penanggulangan keragu-raguan, penjelajahan, dan apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan merupakan jalan (baca Vism bab 18-20). Kejijikan (nibbidā) adalah pandangan terang kuat, yaitu, pengetahuan kemunculan sebagai menakutkan, pengetahuan perenungan bahaya, pengetahuan perenungan, dan pengetahuan keseimbangan sehubungan dengan bentukan-bentukan (Vism 645-57; Ppn 21:29-66). Kebosanan (virāga) adalah Sang Jalan, yang muncul menghapuskan kekotoran.

    Perhatikan bahwa dalam paragraf berikutnya penderitaan menggantikan penuaan-dan-kematian pada formula umum. ↩︎

  70. Perumpamaan ini juga terdapat pada 55:38, AN I 243,27-32, dan AN V 114,6-14. ↩︎

  71. Mengenai identitas dari empat pandangan baca n.37 di atas. ↩︎

  72. Sebuah kalimat umum dalam Nikāya, muncul kembali dalam SN dalam bentuk yang sedikit berbeda yang ditentukan oleh konteks, pada 12:25, 12:26, 22:2, 22:86, 35:81, 42:13, 44:2 dan 45:5. Tulisan ini muncul bergantian, bahkan di dalam buku yang sama, antara vādānuvādo dan vādānupāto, dan tidak dapat dipastikan yang mana yang lebih asli. Kalimat ini membingungkan terjemahan sebelumnya, terutama karena frasa koci sahadhammiko vādānupāto, yang pada KS 2:28 diterjemahkan “seorang dengan doktrinnya, pengikut pandangannya,” untuk menghindari kesalahan demikian dua makna sahadhammika harus dibedakan: (i) makna kata benda yang berarti seorang pengikut dari doktrin yang sama (tidak bermakna ganda pada MN I 64,13); dan (ii) makna kata sifat yang bermakna logis, masuk akal (tidak bermakna ganda pada 41:8; IV 299,25 foll.). Di sini makna ke dua lebih sesuai.

    Spk menjelaskan: “Bagaimanakah (kita menjawab) agar tidak berakibat atau berdampak sedikit pun (vādānupāto vādappavatthi) pada pernyataan Petapa Gotama – (sebuah konsekuensi) yang masuk akal karena alasan yang diajukan (vuttakāraṇena sakāraṇo hutvā) – dapat memberikan dasar bagi kritikan?” Maksudnya adalah: “Bagaimanakah agar tidak ada dasar bagi kritikan dalam cara apa pun atas pernyataan Petapa Gotama?” saya berbeda pendapat dengan Spk mengenai apa yang menjadi penangkal kritikan: Spk menganggapnya sebagai pernyataan Sang Buddha, sedangkan saya memahaminya sebagai pertanyaan penanya atas pernyataan Sang Buddha. Dengan kata lain, penanya ingin memastikan bahwa ia mewakili posisi Sang Buddha dengan benar, apakah ia menyetujuinya atau tidak.

    Pada AN III 4,10,19 sahadhammikā vādānuvādā gārayhā ṭhānā āgacchanti muncul dalam konteks di mana hanya berarti “teguran logis, dasar bagi kritikan, muncul,” dan berlawanan dengan sahadhammikā pāsaṃsā ṭhānā āgacchanti, “dasar logis bagi pujian muncul.” ↩︎

  73. Mengenai ungkapan tadapi phassapaccayā, “Itu (juga) dikondisikan oleh kontak,” Spk mengatakan bahwa ini dapat diketahui dari fakta bahwa tidak ada pengalaman penderitaan tanpa kontak. Akan tetapi, bagi saya, bahwa pokok yang dinyatakan di sini bukanlah bahwa penderitaan tidak muncul tanpa kontak (walaupun ini benar), tetapi bahwa adopsi pandangan tidak muncul tanpa kontak. Brahmajala Sutta menyebutkan hal yang sama sehubungan dengan enam puluh dua pandangan spekulatif – bahwa pernyataan atas tiap-tiap pandangan ini dikondisikan oleh kontak dan pandangan-pandangan ini tidak dapat dialami tanpa kontak. baca DN I 41-43, terjemahan dalam Bodhi, All-Embracing Net of Views, pp. 85-87, dengan komentar pada pp.197-98. ↩︎

  74. Gambiro c’ eva assa gambhirāvabhāso ca. kedua istilah yang sama itu digunakan pada 12:60 dan pada DN II 55,9-10 untuk menjelaskan paṭiccasamuppāda. Untuk penjelasan Sv, baca Bodhi, The Great Discourse on Causation, pp. 64-67. Spk menjelaskan “arti yang sama itu” (es’ ev’ attho) sebagai makna dari kemunculan bergantungan yang tersirat dalam dalilnya, “Penderitaan bergantung pada kontak.” ↩︎

  75. Namanya menjadi judul pada Bhūmija Sutta (MN No. 126), di mana ia menjawab beberapa pertanyaan dari Pangeran Jayasena dan kemudian terlibat dalam percakapan dengan Sang Buddha. Bagian pertama dari sutta sekarang ini mengulangi bagian pertama dari sutta sebelumnya kecuali bahwa istilah itu disebut sebagai “kesenangan dan kesakitan.” ↩︎

  76. Sulit dimengerti bagaimana para petapa ini dapat menjadi “pendukung doktrin kamma” (kammavādā) sementara mereka menganut bahwa kesenangan dan kesakitan muncul secara kebetulan. Baik Spk maupun Spk-pṭ tidak memberikan klarifikasi. ↩︎

  77. Kalimat ini juga terdapat pada AN II 157-59. Spk mengatakan bahwa Sang Buddha menambahkan bagian ini untuk menunjukkan bahwa kesenangan dan kesakitan bukan muncul hanya dengan kontak saja sebagai kondisi, melainkan dengan kondisi-kondisi lainnya juga, dalam hal ini, kehendak jasmani, ucapan dan pikiran (kāya-, vacī, manosañcetanā) adalah kehendak yang efektif secara kamma yang berfungsi sebagai kondisi bagi kesenangan dan kesakitan yang diakibatkan (vipākasukhadukkha). Saya mengikuti Be dan Se dalam membaca avijjāpaccayā ca dan dalam menempatkan klausa ini di akhir paragraf sekarang ini. ini didukung oleh Spk, yang menjelaskan bahwa hal ini dikatakan untuk menunjukkan bahwa kehendak-kehendak ini dikondisikan oleh ketidaktahuan. Ee membaca va untuk ca dan menempatkan klausa ini di awal dari paragraf berikutnya. ↩︎

  78. Spk mengidentifikasikan ketiga bentukan kehendak – kāyasaṅkhāra, vacīsaṅkhāra, manosaṅkhāra – dengan tiga jenis kehendak seperti disebutkan di atas. Seseorang menghasilkannya “atas inisiatifnya sendiri” (sāmañ) ketika ia bertindak tanpa pengaruh orang lain, dengan pikiran yang tidak didorong (asaṅkhārikacitta); seseorang menghasilkannya “dengan didorong oleh orang lain” ketika ia bertindak dengan pikiran didorong (sasaṅkhārikacitta). Seseorang bertindak dengan sengaja (sampajāno) ketika ia bertindak dengan pengetahuan kamma dan buahnya; tanpa sengaja (asampajāno), ketika ia bertindak tanpa pengetahuan itu. Teks ini mungkin menjadi landasan utama atas perbedaan dalam Abhidhamma antara sasaṅkhārikacitta dan asaṅkhārikacitta, mengenai ini baca CMA 1:4. ↩︎

  79. Istilah yang digunakan di sini adalah manosaṅkhāra, tetapi dari konteksnya ini jelas bersinonim dengan cittasaṅkhāra pada 12:2. Tidak ada pembenaran tekstual untuk mengidentifikasikan yang terakhir sebagai cittasaṅkhāra pada 41:6 (IV 293,17) dan MN I 301,28-29, mendefinisikan sebagai saññā dan vedanā. ↩︎

  80. Saya bersama dengan Be dan Se membaca, imesu Ānanda dhammesu avijjā anupatitā. Chasu dalam Ee sepertinya berlebihan.

    Spk: Ketidaktahuan termasuk di antara kondisi-kondisi ini dalam kelompok dukungan penentuan (upanisaya); karena semuanya dipahami dalam frasa ini, “Dengan ketidaktahuan sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan kehendak.” (Mengenai interpretasi paticca-samuppāda melalui dua puluh empat hubungan kondisi Paṭṭhāna, baca Vism, bab 17, dijelaskan secara ringkas dalam Nyanatiloka Thera, Guide through the Abhidhamma Piṭaka, pp.159-73.) ↩︎

  81. Spk: Bahwa jasmani tidak ada yang, jika ada, akan memungkinkan kesenangan dan kesakitan muncul dengan dikondisikan oleh kehendak jasmani; metode penjelasan yang sama berlaku untuk ucapan dan pikiran. (Tanya:) Tetapi seorang Arahant bertindak, berbicara, dan berpikir, jadi bagaimanakah bahwa jasmaninya, dan seterusnya, tidak ada? (Jawab:) Dalam pengertian bahwa jasmani, dan seterusnya itu tidak menghasilkan akibat kamma. Karena perbuatan yang dilakukan oleh seorang Arahant adalah bukan kamma baik ataupun buruk, tetapi hanyalah sekedar fungsional (kiriyamatta); demikianlah baginya dikatakan, “jasmani itu, dan seterusnya, tidak ada.”

    Mengenai kesadaran fungsional seorang Arahant, baca CMA 1:15. Penjelasan alternatif secara sederhana adalah bahwa dengan lenyapnya ketidaktahuan maka tidak akan ada lagi munculnya lima kelompok unsur kehidupan, landasan bagi seluruh pengalaman, dan dengan demikian tidak akan ada lagi pengalaman kesenangan dan kesakitan lebih jauh lagi. ↩︎

  82. Spk: Tidak ada lahan (khetta) dalam pengertian suatu tempat untuk tumbuh; tidak ada tempat (vatthu) dalam pengertian pendukung; tidak ada dasar (āyatana) dalam pengertian kondisi; tidak ada landasan (adhikaraṇa) dalam pengertian penyebab. ↩︎

  83. Upavāna adalah pelayan Sang Buddha pada 7:13. Sutta sekarang ini hampir identik dengan bagian pertama dari 12:24 dengan pengecualian bahwa yang ini menghilangkan ungkapan bersyarat kammavādā dalam penjelasan petapa dan brahmana. ↩︎

  84. Spk: Ia memahami kondisi melalui kebenaran penderitaan, dan asal-mula kondisi, dan seterusnya, melalui kebenaran asal-mula, dan seterusnya. ↩︎

  85. Keseluruhan kalimat diulang pada 12:28, 33, 49 dan 50. Spk: Ia memiliki pandangan jalan (maggadiṭṭhi), penglihatan pada sang jalan, dan seterusnya .

    Sekha digunakan di sini sebagai kata sifat untuk memberikan sifat pada ñāṇa dan vijjā. Sekha atau pelajar adalah orang yang telah sampai pada jalan adi-duniawi dan sedang berlatih di dalamnya namun belum mencapai Kearahattaan, yaitu, Pemasuk-Arus, Yang-Kembali-Sekali, atau Yang-Tidak-Kembali; ketika mencapai Kearahattaan ia menjadi seorang asekha, “seorang yang melampaui latihan.”

    Terjemahan amatadvāraṃ āhacca tiṭṭhati pada KS 2:33 sebagai “yang berdiri mengetuk pintu Tanpa-kematian,” jika dimaksudkan secara literal, menunjukkan suatu kesalahpahaman atas idiom āhacca tiṭṭhati. Dalam kitab dan komentar ungkapan ini sering digunakan dalam arti “mencapai hingga, berdiri dengan bersandar,” dan tidak menyiratkan mengetuk pintu, yang dalam Pāli diungkapkan dengan kata kerja ākoṭeti (misalnya, pada Vin I 248,5). Ungkapan ini juga terdapat pada 17:28, 29 (II 238,5, 16-17). Untuk contoh lainnya, baca CPD, s.v. āhacca. Tanpa-kematian, tentu saja, adalah Nibbāna. Spk mengidentifikasikan pintu Tanpa-kematian sebagai jalan mulia. ↩︎

  86. Sutta ini hampir identik dengan 12:13; perbedaan satu-satunya adalah dalam kata kerja operatif, di sana pajānāti dan di sini parijānāti. Spk mengatakan sutta ini dibabarkan sesuai dengan kecenderungan (ajjhāsaya) par bhikkhu yang membacakan kata-kata tersebut, karena mereka mampu menembus (makna) ketika awalan pari- digunakan. ↩︎

  87. Pārāyana, “Pergi ke Pantai Seberang,” adalah bab terakhir dari Sn. Terdiri dari enam belas bagian (ditambah prolog dan epilog), dalam tiap-tiap bagiannya Sang Buddha menjawab pertanyaan yang diajukan oleh enam belas murid brahmana. “Pertanyaan Ajita” adalah yang pertama dari enam belas bagian. ↩︎

  88. Spk-pṭ: Mereka yang telah memahami Dhamma (saṅkhātadhammā) adalah para Arahant, yang telah menembus (empat) kebenaran. Para pelajar (sekhā) adalah tujuh jenis individu – mereka yang telah mencapai empat jalan dan tiga buah yang lebih rendah.

    Saṅkhātadhammā dapat dipahami sebagai berarti “mereka yang telah memahami Dhamma,” yaitu, ajaran, atau “mereka yang telah memahami hal-hal,” yaitu, fenomena dan prinsipnya. Nidd II 34-35 (Be) mengemas dalam kedua cara: sebagai mereka yang telah mengenal Dhamma (ñātadhammā), dengan mengetahui segala bentukan sebagai tidak kekal, dan seterusnya; dan sebagai mereka yang telah memahami kelompok-kelompok unsur kehidupan, unsur-unsur, landasan-landasan indria, dan sebagainya. Para pelajar (sekhā) disebut demikian karena mereka berlatih dalam moralitas yang lebih tinggi, pikiran yang lebih tinggi (jhāna-jhāna), dan kebijaksanaan yang lebih tinggi. Walaupun Norman mengatakan bahwa Pj II dan Nidd II tidak menganggap sekhā dan puthū sebagai sejajar (GD, p.367, n. atas 1038), tertulis dengan benar bahwa kedua teks ini saling menerangkan satu sama lain. Para pelajar adalah banyak (puthū) karena terdiri dari tujuh jenis. ↩︎

  89. Spk: Mengapakah ia tetap diam sampai ke tiga kalinya? Ia tidak bingung oleh pertanyaannya tetapi oleh maksud Sang Buddha (ajjhāsaya). Karena adalah mungkin untuk menjawab dalam banyak cara – melalui kelompok-kelompok unsur kehidupan, unsur-unsur, landasan-landasan indria, atau pengondisian – dan ia ingin menangkap maksud Sang Guru. Kemudian Sang Guru, menyadari alasannya berdiam diri, memberikannya metode dengan kata-kata, “Apakah engkau melihat …?” ↩︎

  90. Spk: Ini telah terjadi (bhūtam idaṃ): ini dikatakan sehubungan dengan lima kelompok unsur kehidupan. Demikianlah Sang Guru memberikan metode kepada sang bhikkhu, yang menyiratkan, “Jawablah pertanyaanKu melalui lima kelompok unsur kehidupan.” Kemudian, bagaikan samudra raya terlihat sebagai suatu bidang terbuka bagi orang yang berdiri di pantai, demikian pula, segera setelah ia diberikan metode tersebut jawaban atas pertanyaan itu muncul pada sang bhikkhu dengan seratus dan seribu metode. Dengan kebijaksanaan benar (sammā paññāya): seseorang melihatnya dengan kebijaksanaan-jalan beserta pandangan terang. Ia berlatih: dari tahap moralitas hingga sejauh jalan Kearahattaan seseorang dikatakan sedang berlatih demi tujuan kejijikan, dan sebagainya. Bagian ini menunjukkan latihan yang dijalankan oleh pelajar. ↩︎

  91. Tadāhārasambhavaṃ. Mengenai makanan baca 12:11,12, dan n.18 di atas. Tidak diragukan ini adalah ketergantungan lima kelompok unsur kehidupan pada makanan yang menjadikan sutta ini termasuk dalam Nidānasaṃyutta. Perlakuan serupa mengenai makanan, dalam bentuk tanya-jawab, terdapat pada MN I 260,7-32.

    Spk memecah tadāhārasambhavaṃ menjadi taṃ āhārasambhavaṃ, jelas menganggap tad mewakili lima kelompok unsur kehidupan. Saya melihat keseluruhan pernyataan sebagai memenuhi syarat subjek implisit (“ini”) dan menganggap tad (“itu”) sebagai perincian āhāra. Interpretasi demikian sepertinya diperlukan oleh pernyataan paralel mengenai lenyapnya. Baca juga penggunaan pernyataan tadāhāra pada SN II 85,6, 86,12, 87,6, dan sebagainya, yang mendukung interpretasi ini. ↩︎

  92. Anupādā vimutto. Spk: Seseorang terbebaskan dengan tidak menggenggam apa pun pada empat jenis kemelekatan (upādāna). Bagian ini menunjukkan Arahant. ↩︎

  93. Bhikkhu Kaḷāra sang Khattiya hanya dijumpai di sini. Moḷiyaphagguna muncul pada 12:12; baca n.21. “Kembali ke kehidupan yang lebih rendah” (hināyāvatto) berarti kembali menjadi umat awam.

    Spk dan Spk-pṭ bersama-sama membantu menjelaskan percakapan samar ini sebagai berikut: “Ia tidak menemukan penghiburan (assāsa)” berarti bahwa ia belum mencapai tiga jalan (yang lebih rendah); karena jika ia telah mencapainya maka ia tidak akan kembali ke kehidupan yang lebih rendah karena ia tidak akan tergoda oleh kenikmatan indria (alasannya lepas jubah). Sāriputta mengatakan “Saya tidak memiliki kebingungan” (na kaṅkhāmi) sehubungan dengan penghiburan karena pendukungnya adalah pengetahuan kesempurnaan siswa (sāvakapāramiñāṇa). “Sehubungan dengan masa depan” (āyatiṃ) merujuk pada kelahiran kembali di masa depan; pertanyaan itu adalah cara tidak langsung untuk menanyakan apakah ia telah mencapai Kearahattaan. ↩︎

  94. Spk mengomentari bahwa Sāriputta tidak menyatakan pengetahuan tertingginya dalam kata-kata demikian, tetapi Bhikkhu Kaḷāra Khattiya menganggap bahwa pernyataan ini berasal darinya karena ia bahagia dan gembira. Pengetahuan tertinggi (aññā) adalah Kearahattaan. ↩︎

  95. Spk: Sang Bhagavā menanyakan pertanyaan ini kepadanya agar ia menyatakan pengetahuan tertingginya, dengan pikiran: “Ia tidak akan menyatakan pengetahuan tertingginya atas kemauannya sendiri, tetapi ia akan melakukannya ketika menjawab pertanyaanKu.” ↩︎

  96. Spk: Di sini juga (seperti pada 12:31) sang bhikkhu bingung bukan karena pertanyaannya namun karena maksud Sang Buddha; ia tidak yakin bagaimana Sang Guru menghendakinya menyatakan Kearahattaannya. Tetapi ia mulai membicarakan sehubungan dengan kondisionalitas, yang adalah apa yang diinginkan oleh Sang Guru. Ketika ia menyadari bahwa ia telah menangkap maksud Sang Guru, jawabannya muncul padanya dengan seratus dan seribu metode.

    Saya telah menerjemahkan bagian pertama dari jawaban Sāriputta sesuai dengan kemasan Spk sebagai berikut: “Dengan hancurnya kondisi khusus bagi kelahiran, aku memahami, ‘Karena kondisi bagi kelahiran dihancurkan, maka akibatnya, yaitu kelahiran, dihancurkan pula.’” ↩︎

  97. Spk: Sang Buddha menanyakan ini agar Sāriputta mengaumkan auman singanya dalam wilayahnya sendiri. Karena Sāriputta mencapai pengetahuan kesempurnaan seorang siswa setelah ia melihat tiga perasaan sewaktu Sang Buddha mengajarkan kepada Pengembara Dighanakha “Khotbah Penglihatan Perasaan” dan ini menjadi wilayahnya sendiri (savisaya).

    Spk di sini merujuk pada Dighanakha Sutta (MN No.74; baca khususnya MN I 500,9 – 501,6), dan sepertinya menggunakan “Vedanāpariggaha Sutta” sebagai judul alternatif untuk teks tersebut. Ee (S II 53, 8-9, 12) seharusnya diperbaiki menjadi tertulis vedanāsu nandī. ↩︎

  98. Yaṃ kiñci vedayitaṃ taṃ dukkhasmiṃ. Baca 36:11 (IV 216,20 – 217,3). ↩︎

  99. Spk: Pembebasan internal (ajjhattaṃ vimukkho): ia mencapai Kearahattaan selagi memahami bentukan-bentukan internal. Spk di sini merujuk pada empat perbedaan dalam bagaimana jalan muncul, juga terdapat pada Vism 661-62 (Ppn 21:84-85).

    Spk: Noda-noda tidak mengalir dalam diriku (āsavā nānussavanti): Tiga noda, noda indriawi, dan seterusnya, tidak mengalir melalui enam pintu indria menuju enam objek indria, yaitu, semua itu tidak muncul dalam diriku. Dan aku tidak merendahkan diriku (attānañ ca nāvajānāmi): dengan ini pelepasan kejijikan-diri (omāna) dinyatakan. C.Rh.D, pada KS 2:40, telah keliru memahami pernyataan ini, menerjemahkannya “dan aku mengakui tidak ada jiwa (yang kekal).” ↩︎

  100. Pubbe appaṭisaṃviditaṃ. Spk: “Aku tidak mengetahui atau memahami sebelumnya ‘Beliau akan menanyakan ini kepadaku.’ Keengganannya adalah demi tujuan untuk mencari tahu maksud Sang Guru.”

    Bentuk pasif appaṭisaṃvidita menyarankan kata benda Skt pratisaṃvid, padanan dari Pāli paṭisambhidā, pengetahuan analitis yang mana merupakan keunggulan Sāriputta. ↩︎

  101. Spk: Unsur Dhamma (sā dhammadhātu): Di sini, “unsur Dhamma” adalah pengetahuan kesempurnaan seorang siswa, yang mampu melihat prinsip kondisionalitas tanpa halangan (paccayākārassa vivaṭabhāvadassanasamatthaṃ sāvakapāramiñāṇaṃ). ↩︎

  102. Dhamme ñāṇa. Spk menjelaskan Dhamma di sini sebagai Empat Kebenaran Mulia (catusaccadhamma) atau pengetahuan jalan (maggañāṇadhamma)↩︎

  103. Iminā dhammena diṭṭhena viditena akālikena pattena pariyogāḷhena. Perhatikan bahwa rangkaian kata kerja yang dibentuk dari kata benda di sini persis bersesuaian dengan istilah yang digunakan dalam penggambaran standar dari seorang yang telah mencapai “penglihatan Dhamma” (dhammacakkhu): diṭṭhadhammo, pattadhammo, viditadhammo, pariyogāḷhadhammo (“melihat Dhamma, mencapai Dhamma, memahami Dhamma, mendalami Dhamma,” misalnya, pada DN I 110,14-15). Ini menyiratkan bahwa Dhamma yang telah terlihat oleh Pemasuk-Arus adalah kemunculan bergantungan, sebuah kesimpulan tambahan ditegaskan pada kalimat terakhir dari sutta sekarang ini.

    Spk di sini memperlakukan akālikena sebagai kata sifat mandiri yang mensyaratkan dhammena dan menjelaskannya sebagai berarti bahwa sang jalan menghasilkan buah segera setelah ditembus, tanpa jeda waktu (kiñci kālaṃ anatikkamitvā paṭivedhānantaraṃ yeva phaladāyakena). Akan tetapi, dalam mengomentari 42:11 (IV 328,21-22) di mana terdapat pernyataan yang sama, Spk menjelaskan akālikena kata keterangan gaya bahasa yang digunakan dalam menerangkan pattena (baca IV, n.352). saya memahami akālikena dalam kalimat sekarang ini dengan cara yang sama persis; jika tidak demikian adalah sulit untuk melihat mengapa harus dimasukkan ke dalam rangkaian kata dalam bentuk pasif. Terlebih lagi, karena kata itu di sini menggolongkan hubungan antara peristiwa-peristiwa sementara seperti kelahiran dan penuaan, terjemahan umum dari kata ini yaitu “tanpa-waktu” tidaklah memuaskan sepenuhnya. Maka yang diinginkan dalam konteks ini adalah “tidak melibatkan jeda waktu,” yaitu, seketika, yang mensyaratkan pengetahuan hubungan kondisional antara faktor-faktor, bukan faktor-faktor itu sendiri. Intinya adalah bahwa pengetahuan ini adalah pengalaman yang “terlihat” langsung daripada logika dan kesimpulan. ↩︎

  104. Anvaye ñāṇa. Spk: Pengetahuan (yang mengikuti) sebagai akibat dari pengetahuan prinsip; ini adalah sebutan bagi pengetahuan peninjauan (baca n.68). Tidaklah mungkin menerapkan metode ini untuk masa lalu dan masa depan menggunakan dhamma Empat Kebenaran atau dhamma pengetahuan jalan, tetapi ketika empat jalan telah ditembus dengan pengetahuan jalan, selanjutnya pengetahuan peninjauan akan muncul, dan dengan itu ia menerapkan metode ini.

    Penjelasan ini sulit diselaraskan dengan penjelasan tentang pengetahuan peninjauan pada Vism 676 dan di tempat lain sebagai pengetahuan jalan dan buah yang dicapai, kekotoran-kekotoran yang ditinggalkan, yang masih tersisa, dan Nibbāna. Apa yang dimaksudkan di sini adalah, sebagai kesimpulan yang menjangkau masa lalu dan masa depan, berdasarkan pada penglihatan seketika atas kondisionalitas yang bekerja antara pasangan faktor yang mana pun.

    Paragraf berikut juga terdapat pada 12:27, 28. Spk mengatakan bahwa adalah bidang pelatihan sebelumnya dari Arahant (khiṇāsavassa sekhabhūmi) yang sedang dibahas, yang mana Spk-pṭ mengomentari: pada saat jalan tertinggi (aggamaggakhaṇa). ↩︎

  105. Spk: Pengetahuan kestabilan Dhamma (dhammaṭṭhitiñāṇa) adalah pengetahuan prinsip kondisionalitas. Karena prinsip kondisionalitas disebut “kestabilan Dhamma” karena merupakan penyebab bagi keberlangsungan fenomena (pavattiṭṭhitikāraṇattā); pengetahuan ini adalah “pengetahuan kestabilan Dhamma.” Ini adalah sebuah sebutan untuk enam pengetahuan ini.

    Saya menerjemahkan dhammaṭṭhitatā (pada 12:20; n.51) “kestabilan Dhamma” dan dhammaṭṭhiti “stabilitas Dhamma.” Yang terakhir juga muncul pada 12:70 (II 124,10). Keduanya sepertinya saling bersinonim secara efektif.

    Pengetahuan bahwa pengetahuan ini juga mengalami kehancuran disebut oleh Spk “Kontra-pandangan terang terhadap pandangan terang” (vipassanā-paṭivipassanā), yaitu, pandangan terang terhadap lenyapnya tindakan pengetahuan pandangan terang yang baru saja mengenali lenyapnya objek utama. Baca Vism 641-42 (Ppn 21:11-13), akan tetapi, di mana, pernyataan vipassanā-paṭivipassanā tidak muncul. ↩︎

  106. Kassa ca pan’ idaṃ jarāmaranaṃ. Pertanyaan ini, dan yang berikutnya terbentuk dalam pola yang sama, mengisyaratkan kenyataan akan diri dan dengan demikian, seperti pertanyaan pada 12:12, harus ditolak oleh Sang Buddha sebagai tidak benar.

    Spk: Walaupun pertanyaan, “Apakah penuaan-dan-kematian?” diajukan dengan benar, karena digabungkan dengan pertanyaan, “Siapakah yang mengalami penuaan-dan-kematian?” – yang secara implisit menegaskan kepercayaan dalam diri suatu makhluk (sattūpaladdhi-vāda) – maka keseluruhan pertanyaan menjadi tidak benar. Ini bagaikan sepiring makanan lezat yang disajikan di atas piring emas, di atasnya diletakkan sebongkah kecil kotoran: seluruh makanan itu menjadi tidak bisa dimakan dan harus dibuang. ↩︎

  107. Spk: Menjalani kehidupan suci (brahmacariyavāsa) adalah menjalani jalan mulia. Seseorang yang menganut “jiwa dan badan adalah sama (taṃ jivaṃ taṃ sariraṃ) menganut bahwa jiwa dan badan musnah bersamaan (saat kematian). Bagi ia yang menganut pandangan ini, pandangan pemusnahan mengikuti, karena ia menganut bahwa “suatu makhluk dimusnahkan.” Sekarang jalan mulia ini muncul untuk menghentikan dan melenyapkan lingkaran kelahiran. Tetapi pada pandangan pemusnahan lingkaran kelahiran lenyap bahkan tanpa pengembangan jalan, dan dengan demikian pengembangan jalan menjadi tidak berguna. Dalam kasus ke dua, seseorang menganut pandangan “jiwa adalah satu hal, badan adalah hal lainnya” (aññaṃ jivaṃ aññaṃ sariraṃ) menganut bahwa hanya badan yang dimusnahkan di sini, sementara jiwa bepergian dengan bebas bagaikan burung yang dilepaskan dari sangkar. Pandangan ini adalah pandangan keabadian. Tetapi jika ada bahkan satu bentukan saja yang kekal, stabil, dan abadi, maka jalan mulia tidak akan mampu mengakhiri lingkaran; dengan demikian, sekali lagi, pengembangan jalan akan menjadi tidak berguna. ↩︎

  108. Saya bersama dengan Be membaca: yāni ‘ssa tāni visūkāyikāni visevitāni vipphanditāni kānici kānici. Se hampir serupa, namun ejaan dalam Ee sangat tidak memuaskan. Spk menjelaskan bahwa ketiga kata benda itu adalah sinonim dengan pandangan salah. Ini disebut pemutar-balikan (visākāyika) karena menjadi rintangan bagi diri sendiri, bagaikan sebuah paku (visūkam iva; Spk-pṭ: = kaṇṭaka, duri) dalam makna menusuk pandangan benar (sammādiṭṭhiyā vinivijjhanaṭṭhena). Ini adalah manuver (visevita) karena gagal menyelaraskan dengan pandangan benar melainkan bertentangan dengan pandangan benar; dan kebimbangan (vipphandita) karena menganut pemusnahan pada suatu saat, dan keabadian pada saat lainnya.

    Spk menganggap visūkāyika berhubungan dengan sūci, jarum, akan tetapi adalah sulit untuk membenarkan penurunan ini melalui penggunaan sebenarnya dari istilah ini. ketiga sinonim juga muncul pada 4:24 (I 123,30-31) dan MN I 234,19-20; pada MN I 446,12-13 mereka menggambarkan perilaku seekor kuda yang tidak terlatih. ↩︎

  109. Spk mengemas tālāvatthukatāni sebagai tālavatthu viya katāni, “dibuat seperti tunggul pohon palem,” dan menjelaskan: “Dibuat seperti pohon palem dengan pucuknya ditebang (yaitu, tunggul pohon kelapa) dalam pengertian tidak akan tumbuh kembali; dan dibuat menyerupai tempat untuk menyokong pohon palem setelah dipisahkan dari akarnya” (puna avirulhaṇaṭṭhena matthakacchinnatālo viya samūlaṃ tālaṃ uddharitvā tassa patiṭṭhitaṭṭhānaṃ viya ca katāni). Awalnya Spk-pṭ menerima tulisan asli tālāvatthu (lit. “pohon palem tanpa landasan”) sebagaimana adanya dan menjelaskan: “pohon palem itu sendiri adalah ‘pohon palem tanpa landasan’ karena bukan merupakan landasan bagi dedaunan, bunga-bungaan, buah, dan tunas. Tetapi beberapa orang menuliskan tālavatthukatāni, yang berarti ‘dibuat menyerupai pohon palem karena tanpa landasan.’” ↩︎

  110. Spk: Berhubung pada kenyataannya tidak ada diri, maka tidak ada apa pun yang menjadi milik diri; dengan demikian Beliau berkata, “Ini bukan milikmu” (na tumhākaṃ). Dan berhubung tidak ada diri orang lain, Beliau berkata, “Juga ini bukan milik orang lain” (na aññesaṃ). Baca juga 22:33 dan 35:101↩︎

  111. Spk: kamma masa lalu (purāṇam idaṃ kammaṃ): Jasmani ini sebenarnya bukanlah kamma masa lalu, tetapi karena dihasilkan oleh kamma masa lalu maka dikatakan dalam hal kondisinya. Harus dilihat sebagai dihasilkan (abhisaṅkhata), dalam arti dibuat oleh kondisi sebagai dibentuk oleh kehendak (abhisañcetayita), dalam arti didasarkan atas kehendak, berakar pada kehendak; dan sebagai sesuatu untuk dirasakan (vedaniya), dalam arti suatu dasar atas apa yang dirasakan [Spk-pṭ: karena merupakan dasar dan objek perasaan].

    Baca juga 35:146, di mana gagasan yang sama diperluas hingga enam landasan indria internal. Untuk merenungkan jasmani dalam hal kemunculan bergantungan, seseorang merenungkan bahwa jasmani ini dapat digolongkan ke dalam “bentuk” dalam kata majemuk “nama-dan-bentuk.” Kemudian ia merenungkan bahwa nama-dan-bentuk itu menjelma dengan kesadaran, yaitu, kesadaran-kelahiran kembali, sebagai kondisi yang muncul bersamaan, dan bahwa baik kesadaran maupun nama-dan-bentuk berasal-mula dari bentukan-bentukan kehendak, yaitu, aktivitas kamma dari kehidupan sebelumnya. Demikianlah tema sutta ini berhubungan dengan tiga sutta berikutnya. ↩︎

  112. Spk: Di sini, frasa seseorang menghendaki (ceteti) termasuk seluruh kehendak bermanfaat dan tidak bermanfaat dari tiga alam; seseorang merencanakan (pakapetti), bentukan pikiran berupa ketagihan dan pandangan-pandangan (tañhādiṭṭhikappā) dalam delapan citta yang disertai oleh keserakahan [Spk-pṭ: bentukan-bentukan pandangan muncul hanya pada empat citta yang berhubungan dengan pandangan]; dan kecenderungan apa pun yang dimiliki seseorang (anuseti) menyiratkan kecenderungan-kecenderungan tersembunyi (anusaya) dalam kelompok yang muncul bersamaan dan kondisi pendukung penentuan atas dua belas kehendak (tidak bermanfaat). (Mengenai dua belas citta tidak bermanfaat, baca CMA 1:4-7.)

    Ini menjadi dasar (ārammaṇam etaṃ hoti): Berbagai kondisi ini seperti kehendak menjadi kondisi; karena di sini kata ārammaṇa dimaksudkan sebagai kondisi (paccaya; yaitu, di sini ārammaṇa tidak menyiratkan objek kesadaran, makna umum dalam Abhidhamma). Untuk pemeliharaan kesadaran (viññāṇassa ṭhitiyā): untuk memelihara kesadaran kamma. Jika ada kondisi ini, maka ada dukungan bagi terbentuknya kesadaran (patṭṭhā viññāṇassa hoti), yaitu, untuk membentuk kesadaran kamma [Spk-pṭ: memiliki kapasitas untuk menghasilkan buah dalam rangkaian batin seseorang]. Ketika kesadaran [kamma] itu terbentuk dan telah berkembang (tasmiṃ patiṭṭhite viññāṇe … virūḷhe): ketika, setelah mendorong kamma, ia tumbuh, menghasilkan akar, melalui kemampuannya menyebabkan kelahiran kembali, maka ada produksi penjelmaan kembali di masa depan, yaitu, produksi berupa kehidupan baru.

    Cp. 12:64 dan 22:53-54 di bawah. AN I 223-24 menjelaskan proses penjelmaan kembali dalam istilah serupa (baca n.24). Saya melihat kata kerja ceteti dan pakappeti sebagai kiasan untuk saṅkhārā (yang, seperti aktivitas kamma, menyiratkan cetanā – baca AN III 415, 7-8). Anuseti jelas merujuk pada anusaya atau kecenderungan tersembunyi, yang termasuk avijjānusaya, kecenderungan tersembunyi pada ketidaktahuan (=ketidaktahuan dalam formula umum dari kemunculan bergantungan) dan rāgānusaya, kecenderungan tersembunyi pada nafsu (= ketagihan dalam formula umum). Cara memelihara kesadaran demikian tidak berbeda dengan cara bentukan-bentukan kehendak, yang didorong oleh ketidaktahuan dan ketagihan, yang berfungsi sebagai kondisi bagi kesadaran: bersama-sama, mereka mendasari arus kesadaran, memasukkan potensi kamma bagi kehidupan baru ke dalamnya, dan memproyeksikan ke dalam kehidupan baru, dengan demikian memulai proses yang akan memuncak pada kelahiran. Saya tidak sepenuhnya setuju dengan Spk dalam menganggap viññāṇa yang “dipelihara” dan “terbentuk” sebagai kesadaran kamma. Saya menerjemahkannya hanya sebagai proses kesadaran yang berkembang, termasuk yang aktif secara kamma dan tahap hasilnya. Pada 22:53-54 empat kelompok unsur kehidupan lainnya disebutkan sebagai ārammaṇa dan patiṭṭhā dari viññāṇa, tetapi saya meragukan bahwa penerapan ini dapat berlaku di sini. Menggunakan pengelompokan dari Abhidhamma, sepertinya bahwa dalam sutta ini istilah ārammaṇa dan patiṭṭhā menunjukkan kondisi pendukung-penentuan (upanissayapaccaya) bagi kesadaran, sementara dua sutta dalam Khandhasaṃyutta istilah-istilah itu menunjukkan kondisi yang muncul bersamaan dan kondisi pendukung (sahajātapaccaya, nissayapaccaya).

    Saya menggunakan “kehendak” sebagai terjemahan dari cetanā tetapi “maksud” untuk kata kerja yang bersesuaian ceteti; saya menggunakan “niat” untuk kata benda yang tidak berhubungan, saṅkappa. Saya membenarkan ketidak-konsistenan yang jelas ini dengan dasar bahwa dalam Pāli kata kerja saṅkappeti (berasal dari saṅkappa) muncul sangat jarang (jika bukan tidak sama sekali), sementara Bahasa Inggris tidak memiliki kata sederhana yang sesuai untuk “kehendak.” “Suatu dukungan untuk terbentuknya kesadaran” menerjemahkan patiṭṭhā viññāṇassa. Saya menemukan bahwa “terbentuk” secara konsisten lebih baik dalam mengartikan kata kerja patiṭṭhita, tetapi “pendukung” untuk kata benda patiṭṭhā, maka untuk menjembatani kata kerja dan kata benda dalam kalimat sekarang ini (dan pada 22:53, 54) saya menciptakan ungkapan gabungan ini. ↩︎

  113. Spk: Ini merujuk pada momen ketika tidak ada kemunculan kehendak [bermanfaat dan tidak bermanfaat] di tiga alam, dan tidak ada kemunculan bentukan-bentukan pikiran berupa ketagihan dan pandangan-pandangan. Tetapi seseorang masih memiliki kecenderungan: dengan ini kecenderungan tersembunyi termasuk karena belum ditinggalkan di sini dalam akibat dari tiga alam, dalam kondisi fungsional terbatas (citta yang mengarahkan lima pintu dan citta yang mengarahkan pintu pikiran), dan dalam bentuk. Selama kecenderungan tersembunyi ada, maka kecenderungan itu menjadi kondisi bagi kesadaran kamma, karena tidak ada cara untuk mencegahnya muncul.

    Spk-pṭ: Bagian ke dua ini disebutkan untuk menunjukkan bahwa kamma bermanfaat dan tidak bermanfaat yang mampu menghasilkan kelahiran kembali terakumulasi dalam porsi awal (dari jalan praktik), dan bahwa bahkan tanpa perencanaan (melalui ketagihan dan pandangan-pandangan), kehendak meditasi pandangan terang dalam diri seorang meditator yang telah melihat bahaya dalam kehidupan masih dikondisikan oleh kecenderungan tersembunyi dan mampu menghasilkan kelahiran kembali. Juga disebutkan untuk menunjukkan bahwa bahkan jika kondisi bermanfaat dan tidak bermanfaat tidak muncul, masih ada suatu pembentukan kesadaran kamma dengan kekotoran tersembunyi sebagai kondisi; karena selama hal-hal ini belum ditinggalkan maka hal-hal ini masih berdiam tersembunyi dalam hasil kehidupan dari tiga alam, dan sebagainya. ↩︎

  114. Spk: Jika seseorang tidak menghendaki, dan seterusnya: dengan frasa pertama (“tidak menghendaki”) Beliau menunjukkan bahwa kehendak bermanfaat dan tidak bermanfaat yang merupakan bagian dari tiga alam telah lenyap; dengan frasa ke dua (“tidak merencanakan”), bahwa ketagihan dan pandangan-pandangan dalam delapan citta (yang disertai oleh keserakahan) telah lenyap; dengan frasa ke tiga (“tidak memiliki kecenderungan”), bahwa kecenderungan tersembunyi yang berdiam tersembunyi di dalam kondisi-kondisi yang telah disebutkan telah lenyap. Apakah yang dibahas di sini? Fungsi dari jalan Kearahattaan (arahattamaggassa kiccaṃ). Juga dapat diinterpretasikan sebagai tindakan Arahant atas tugasnya (khiṇāsavassa kiccakaraṇaṃ) dan sembilan kondisi adi-duniawi*(navalokuttaradhamma)*, yaitu, empat jalan, empat buah, dan Nibbāna).

    Spk-pṭ: Dalam bagian ke tiga fungsi jalan Kearahattaan dibahas karena jalan itu secara total menghentikan produksi kecenderungan tersembunyi. “tindakan Arahant atas tugasnya” dapat dikatakan karena tidak melibatkan perasaan, dan seterusnya (maknanya tidak jelas). Sembilan kondisi adi-duniawi dapat dikatakan karena kecenderungan tersembunyi dicabut oleh serangkaian jalan, dan buah mengikuti segera setelah jalan, dan Nibbāna adalah objek dari keduanya.

    Saya memahami “kesadaran yang tidak terbentuk” (appatiṭṭhita viññāṇa) di sini berarti suatu kesadaran tanpa kemungkinan terjadinya kelahiran kembali di masa depan melalui kekuatan dorongan ketidaktahuan, ketagihan, dan bentukan-bentukan kehendak. Arahant dikatakan berakhir dengan kesadaran “tidak terbentuk” seperti pada 4:23 dan 22:87↩︎

  115. Nāmarūpassa avakkanti. Baca 12:12 di mana produksi penjelmaan baru di masa depan ditempatkan antara kesadaran dan enam landasan indria. Digabungkan, kedua sutta menyiratkan bahwa “penurunan nama-dan-bentuk” dan “produksi penjelmaan baru di masa depan” dapat dipertukarkan (ini walaupun kebiasaan komentar untuk selalu melihat yang ke dua sebagai penjelmaan aktif secara kamma). Spk menyebutkan bahwa ada suatu “hubungan” (sandhi) antara kesadaran dan nama-dan-bentuk; dengan demikian dalam interpretasi ini kesadaran menunjukkan kesadaran yang dihasilkan secara kamma dari kehidupan sebelumnya, nama-dan-bentuk di awal dari kehidupan sekarang ini. Akan tetapi, bagi saya sepertinya, besar kemungkinan bahwa viññāṇa meliputi kehidupan lalu dan kehidupan sekarang, sebagai prinsip kelangsungan personal. ↩︎

  116. Spk: kecenderungan (nati) adalah ketagihan, disebut “kecenderungan” dalam makna condong (namanaṭṭhena) kepada bentuk-bentuk menyenangkan, dan sebagainya. Ada datang dan pergi (āgatigati): ada kesadaran yang pergi melalui kelahiran kembali ke arah apa yang datang (saat kematian), memperlihatkan dirinya sebagai kamma atau gambaran kamma atau gambaran takdir masa depan. (Kiasan ini adalah untuk tiga objek dari proses kesadaran terakhir sebelum kematian; baca CMA 5:35-37.) Ada meninggal dunia, meninggal dunia di sini, dan terlahir kembali, terlahir kembali di sana. ↩︎

  117. Cp. “Ajaran Sang Bhagavā” yang dibacakan oleh Mahācunda pada 35:87 (IV 59, 10-14). ↩︎

  118. Sutta ini juga terdapat pada 55:28 dan pada AN V 182-84. Spk mengemas bhayāni verāni sebagai kehendak (yang membawa) ketakutan dan permusuhan (bhayaveracetanāyo). Spk-pṭ: pembunuhan dan seterusnya adalah menakutkan dan mengerikan baik bagi pelaku maupun bagi korbannya; produktif untuk memunculkan rasa takut dan permusuhan, yang harus ditakuti.

    Pernyataan kepercayaan diri Memasuki-Arus juga terdapat pada 55:8-10. Pemasuk-Arus dibebaskan dari kemungkinan terlahir kembali di alam-alam rendah; ia memiliki takdir pasti (niyata), karena ia tidak mungkin terlahir kembali lebih dari tujuh kali, seluruhnya di alam manusia, atau surga; dan ia memiliki pencerahan sebagai takdirnya (sambodhiparāyaṇa), karena ia pasti mencapai pencerahan Kearahattaan. ↩︎

  119. Versi pada AN V 183 memasukkan kalimat lain di sini: “Tetapi seseorang yang menghindari diri dari membunuh (dan seterusnya) tidak menimbulkan permusuhan yang menakutkan dalam kehidupan ini dan permusuhan yang menakutkan dalam kehidupan mendatang, dan ia tidak mengalami kesakitan dan ketidak-senangan batin” (pāṇātipātā paṭivirato n’ eva diṭṭhadhammikaṃ bhayaṃ veraṃ pasavati, na samparāyikaṃ bhayaṃ veraṃ pasavati, na cetasikaṃ dukkhaṃ domanassaṃ paṭisaṃvedeti). Sepertinya bahwa logika dari khotbah ini memerlukan tambahan ini; penghilangannya dari teks sekarang ini mungkin adalah kesalahan penulisan sejak awal. ↩︎

  120. Spk: Faktor-faktor Memasuki-Arus (sotāpattiyaṅga) ada dua jenis: (i) faktor-faktor Memasuki-Arus, praktik persiapan yang menuju pencapaian Memasuki-Arus, yaitu, bergaul dengan orang-orang bijaksana, mendengarkan Dhamma sejati, perhatian sungguh-sungguh, dan praktik sesuai dengan Dhamma (baca 55:55); (ii) faktor-faktor dari seseorang yang berdiam setelah mencapai tahap Memasuki-Arus. Yang ke dua adalah yang dimaksudkan di sini. Keyakinan kuat adalah keyakinan yang tidak tergoyahkan (yang diperoleh) melalui apa yang telah dicapai [Spk-pṭ: yaitu, sang jalan] (aveccappasādenā ti adhigatena [maggena] acalappasādena).

    Aveccappasāda adalah kata majemuk sintaksis (baca I, n.68), dengan avecca (Skt avetya) bentuk absolutif dari *aveti, menjalani, mengetahui, mengalami. Formula untuk perenungan Buddha, Dhamma, dan Saṅgha dianalisis secara terperinci pada Vism 197-221 (Ppn 7:1-100). ↩︎

  121. Spk: Moralitas yang disukai para mulia (ariyakantāni sīlānī) adalah lima sīla, yang tidak ditinggalkan oleh para mulia bahkan ketika mereka meninggal dunia dan terlahir kembali.

    Istilah ini dijelaskan pada Vism 222 (Ppn 7:104). Moralitas ini “tidak dicengkeram” (aparāmaṭṭha) dalam pengertian tidak melekat dengan ketagihan dan pandangan salah. ↩︎

  122. Spk: Metode (ñāya) adalah kemunculan bergantungan dan pengetahuan stabil setelah seseorang mengetahui yang muncul bergantungan. Seperti yang Beliau katakan: “Adalah kemunculan bergantungan yang disebut metode; metode adalah juga Jalan Mulia Berfaktor Delapan” (tidak terlacak). Kebijaksanaan di sini adalah kebijaksanaan pandangan terang yang muncul terus-menerus (aparāparaṃ uppannā vipassanāpaññā).

    Spk-pṭ: Kemunculan bergantungan disebut “metode” karena, dengan penerapan cara-cara yang benar, adalah apa yang diketahui (nāyati) sebagaimana adanya dalam yang muncul bergantungan. Tetapi pengetahuan (ñāṇa) disebut “metode” karena dengan ini, maka hal itu diketahui.

    Terlepas dari apa pun yang dikatakan komentator, ñāya tidak berhubungan dengan ñāṇa melainkan diturunkan dari ni + i. ↩︎

  123. Spk: Penderitaan di sini adalah penderitaan lingkaran (vaṭṭadukkha). Ada dua jenis asal-mula, asal-mula saat-ke-saat (khaṇikasamudaya) dan asal-mula melalui kondisi-kondisi (paccayasamudaya). Seorang bhikkhu yang melihat satu hal, juga melihat lainnya. Lenyapnya juga ada dua jenis, lenyapnya yang terakhir (accantatthaṅgama; Spk-pṭ: ketidak-munculan, padam, Nibbāna) dan lenyapnya yang terputus (bhedatthaṅgama; Spk-pṭ: lenyapnya bentukan-bentukan yang bersifat sementara). Seseorang yang melihat satu hal, juga melihat hal lainnya. ↩︎

  124. Spk: Dunia di sini adalah dunia bentukan-bentukan (saṅkhāraloka). Mengenai ciri-ciri dunia dalam ajaran Buddha, baca I, n.182↩︎

  125. Dhammapariyāya, suatu metode membabarkan ajaran. Sutta ini muncul kembali pada 35:113, di mana disebut Upassuti, “Mendengarkan.” Mengenai Ñātika, baca V, n.330↩︎

  126. Baca 12:17,18, dan n.39, n.40↩︎

  127. Brahmana Jānussoni disebutkan pada 45:4 dan di tempat lain dalam Nikāya. Spk mengatakan bahwa ia adalah seorang brahmana besar kerajaan (mahāpurohita) yang kaya raya yang memperoleh namanya dari posisinya. Mengenai tema dari sutta ini, baca 12:15↩︎

  128. Lokāyatika. Spk mengatakan bahwa ia ahli dalam lokāyata, ilmu debat (vitanḍasatthe lokāyate kataparicayo). Spk-pṭ menjelaskan etimologi kata itu sebagai berikut: “Disebut lokāyata karena dengan ini dunia tidak berusaha untuk, tidak maju ke arah, kesejahteraan masa depan (āyatiṃ hitaṃ tena loko na yatati na īhati ti lokāyataṃ). Untuk penjelasan atas kepercayaan ini, makhluk-makhluk tidak membangkitkan bahkan pikiran untuk melakukan perbuatan baik, apalagi berusaha.”

    Penjelasan Spk-pṭ sepertinya mencerminkan pemahaman lokāyata yang dianut pada masa komentar, seperti terlihat dalam definisi MW atas kata “materialisme, sistem filosofi ateis (yang diajarkan oleh Cārvāka).” Akan tetapi, terdapat bukti meyakinkan bahwa kata ini mendapatkan konotasi ini dalam periode sesudahnya. Seperti yang ditunjukkan oleh Rhys Davids dalam pembahasan terperinci (pada Dialogues of the Buddha, 1:166-72), lokāyata digunakan dalam Nikāya dalam pengertian pelengkap untuk menyebutkan pelajaran brahmanis (seperti pada DN I 88,7, 114,3, dan sebagainya). Ia menyarankan bahwa kata itu awalnya berarti pengetahuan-alam dan perlahan-lahan mendapatkan makna negatif menyesatkan dan materialisme. Jayatilleke mengusulkan itu karena kata itu selalu digunakan dengan merujuk pada loka, dunia, atau sabba, seluruh, awalnya bermakna, bukan pengetahuan-alam secara umum, melainkan kosmologi, dan bahwa susunan tesis lokāyata dalam pasangan yang berlawanan menunjukkan bahwa para brahmana menggunakan teori kosmologi tandingan sebagai topik debat (Early Buddhist Theory of Knowledge, pp.48-57). ↩︎

  129. Jeṭṭhaṃ etaṃ lokāyataṃ. Spk mengemas jeṭṭham menjadi paṭhamaṃ dan menjelaskan: “Lokāyata adalah rendah, pandangan spekulatif ternoda yang terlihat besar dan mendalam” (mahantaṃ gambhīran ti upaṭṭhitaṃ parittaṃ sāsavaṃ diṭṭhigataṃ; tertulis seperti dalam Se, yang sepertinya lebih benar di sini daripada Be). ↩︎

  130. Ekattaṃ. Spk: Ia bertanya apakah memiliki sifat kekal (niccasabhāva); pandangan pertama dan ke tiga adalah bentuk-bentuk pandangan keabadian (sassatadiṭṭhi). ↩︎

  131. Puthuttaṃ. Spk: ini berarti suatu sifat yang berbeda dari sifat sebelumnya; pandangan ke dua dan ke empat adalah bentuk-bentuk pandangan pemusnahan (ucchedadiṭṭhi). ↩︎

  132. Kalimat dalam kurung di sini dan di bawah ditandai dengan dalam kurung dalam seluruh tiga edisi, dengan catatan yang menyiratkan bahwa kalimat itu tidak terdapat dalam edisi tertentu. (Se mengatakan kalimat itu tidak terdapat dalam edisi Thai atau mss Sinhala). Adalah perlu untuk tidak memasukkannya, karena jika dimasukkan maka sutta ini tidak bisa dibedakan dengan sutta berikutnya. Spk mengkonfirmasi ini dalam komentarnya pada 12:50 bahwa sutta ini berbeda dengan sutta sebelumnya hanya dengan menyebutkan kedua metode bersama-sama (dve nayā ekato vuttā), yang mana Spk mengatakan: “Ini dikatakan karena metode ini disebutkan dalam sutta ke sembilan, dimulai dengan ‘Jika ada kesadaran, maka nama-dan-bentuk muncul,’ termasuk dalam metode yang disebutkan dalam sutta ke sepuluh, yang dimulai dengan ‘Jika ada ketidaktahuan, maka bentukan-bentukan kehendak muncul.’” ↩︎

  133. Vagga ini berjudul Dukkhavagga dalam Be dan Se, tetapi berjudul Rukkhavagga dalam Ee. ↩︎

  134. Kittāvatā … bhikkhu parivīmaṃsamāno parivīmaṃseyya sabbaso sammā dukkhakkhayāya. Spk mengemas parivīmaṃsamāno menjadi upaparikkhamāno. ↩︎

  135. Jarāmaraṇanirodhasāruppagāminī paṭipadā. Spk: Jalan menuju itu adalah dalam keselarasan dengan lenyapnya penuaan-dan-kematian berarti jalan menuju melalui keselarasannya dengan lenyapnya penuaan-dan-kematian, serupa (dengan lenyapnya) dengan alasan sifatnya yang tidak terkotori, kemurniannya.

    Dalam rangkaian pengulangan di bawah, Ee menghilangkan jāti panāyaṃ kinnidānā, tidak diragukan merupakan kekeliruan editorial. ↩︎

  136. Spk: Suatu bentukan kehendak yang baik (puññaṃ saṅkhāraṃ) adalah tiga belas jenis kehendak (yaitu, kehendak-kehendak delapan citta alam-indria yang bermanfaat dan lima citta alam berbentuk yang bermanfaat; baca n.7). Kesadaran bergerak ke arah yang baik (puññāpagaṃ hoti viññāṇaṃ): kesadaran kamma berhubungan dengan kamma baik, kesadaran hasil dengan buah kebaikan. Bentukan kehendak yang buruk (apuññaṃ saṅkhāraṃ) adalah dua belas jenis kehendak (yaitu, dua belas citta yang buruk; baca n.7). Suatu bentukan kehendak yang tak-tergoyahkan (āneñjaṃ saṅkhāraṃ): empat jenis kehendak (yaitu, dalam empat citta bermanfaat dari alam tidak berbentuk). Dan di sini dengan menyebutkan tiga jenis bentukan kamma, tersirat prinsip kondisionalitas berfaktor dua belas. Hingga sejauh ini lingkaran kehidupan diperlihatkan.

    Suatu analisis atas tiga jenis bentukan-bentukan kehendak ini terdapat pada Vibh 135. pada MN II 262-63 Sang Buddha menjelaskan secara terperinci bagaimana viññāṇa menjadi āneñjūpaga. ↩︎

  137. Paritassati jelas mewakili Skt paritṛṣyati, “ketagihan pada, haus akan,” dan secara etimologi dihubungkan dengan taṇhā. Akan tetapi, dalam Pāli (dan mungkin dalam dialek MIA pada umumnya) akar kata lisan telah bercampur dengan tasati = takut, gemetar, dan dengan demikian turunan kata bendanya seperti paritassanā dan paritasita memerlukan makna kata benda yang diturunkan dari tasati. Penggabungan makna ini, yang telah jelas dalam Nikāya, menjadi eksplisit dalam komentar. Saya telah mencoba untuk menangkap kedua nuansa ini dengan menerjemahkan kata kerja “bergejolak” dan kata benda “gejolak”.

    Di sini Spk mengemas na paritassati: “Ia tidak bergejolak dengan gangguan ketagihan (taṇhāparitassanā) atau gejolak ketakutan (bhayaparitassanā); artinya adalah, ia tidak ketagihan dan tidak takut.” Baik Spk maupun Spk-pṭ tidak mengomentari parinibbāyati, tetapi apa yang dimaksudkan jelas adalah pencapaian kilesaparinibbāna, pemadaman kekotoran sepenuhnya, mengenai ini baca Pendahuluan Umum, pp. 49-50. Mengenai pengetahuan peninjauan Arahant, baca I, n.376↩︎

  138. Spk: Setelah pengetahuan peninjauan Arahant telah diperlihatkan, kalimat ini disebutkan untuk menunjukkan keberdiamannya yang terus-menerus (satatavihāra). Kalimat ini muncul kembali, tetapi dengan perumpamaan yang berbeda, pada 22:88, 36:7, 8, dan 54:8↩︎

  139. Spk: Perasaan yang berujung pada jasmani (kāyapariyantikaṃ vedanaṃ) adalah perasaan yang dibatasi oleh jasmani (pāyaparicchinnaṃ); perasaan yang berujung pada kehidupan (jīvitapariyantikaṃ vedanaṃ) adalah perasaan yang dibatasi oleh kehidupan. Selama jasmani dengan lima pintu indria berlanjut, perasaan yang muncul di lima pintu indria juga berlanjut; selama kehidupan berlanjut, perasaan yang muncul di pintu pikiran juga berlanjut. ↩︎

  140. Spk: Akan menjadi dingin di sini (idh’ eva … sītibhavissanti): Di sini, tanpa pergi ke tempat lain melalui kelahiran kembali, mereka akan menjadi dingin, tidak mengalami kemunculan lagi, tanpa denyut dan gangguan dari kemunculannya. ↩︎

  141. Penggunaan yang tidak lazim dari bentuk jamak sarirāni di sini mencerminkan penggunaan yang tidak lazim dari bentuk jamak kapillāni yang berarti pecahan mangkuk tembikar. Spk mengemas sarirāni menjadi dhātusarirāni, unsur-unsur jasmani, yang diidentifikasikan oleh Spk-pṭ sebagai tulang-belulang (aṭṭhikakaṅkala). Kapilla biasanya berarti kendi atau mangkuk, tetapi Spk mengatakan bentuk jamak di sini menunjukkan pecahan mangkuk yang menempel pada bibirnya.

    Spk menjelaskan perumpamaan ini: Tungku menyala si pengrajin tembikar mengumpamakan tiga alam kehidupan, pengrajin tembikar adalah si meditator, dan tongkatnya adalah pengetahuan jalan Kearahattaan. Tanah yang lembut mengumpamakan Nibbāna. Waktu ketika si pengrajin memindahkan tanah liat panas dari tungku dan meletakkannya di atas tanah adalah bagaikan waktu ketika meditator, setelah mencapai buah tertinggi Kearahattaan, memindahkan bentuk individunya dari empat alam sengsara dan meletakkannya di atas permukaan Nibbāna melalui pencapaian Buah. Seperti halnya tanah liat panas itu (tidak pecah seketika), demikian pula Arahant tidak mencapai parinibbāna di hari yang sama ia mencapai Kearahattaan. Ia hidup selama lima puluh atau enam puluh tahun, berusaha mempertahankan pengajaran Buddha. Ketika ia mencapai momen-pikiran terakhirnya, dengan hancurnya kelompok-kelompok unsur kehidupan ia mencapai parinibbāna dengan unsur Nibbāna tanpa sisa. Kemudian, seperti halnya pecahan mangkuk tembikar, hanya sisa-sisa jasmani yang mati yang tertinggal. ↩︎

  142. Spk: “Dapatkah kesadaran kelahiran kembali (paṭisandhiviññāṇa) terlihat?” ↩︎

  143. Spk: “Hanya inilah akhir penderitaan atas lingkaran, berhentinya, itulah, Nibbāna.” ↩︎

  144. Upādāniyesu dhammesu. Spk: Dalam fenomena tiga alam, yang merupakan kondisi bagi empat jenis kemelekatan. Mengenai upādāniyā dhammā, baca 22:121, 35:110, 123, di mana kemelekatan (upādāna) dijelaskan hanya sebagai keinginan dan nafsu (chandarāga) pada hal-hal yang dapat dilekati. ↩︎

  145. Spk: Api besar mengumpamakan tiga alam kehidupan; orang yang melayani api mengumpamakan kaum duniawi buta yang terikat pada lingkaran. Ia menambahkan bahan bakar ke dalam api adalah bagaikan kaum duniawi yang merenungkan kepuasan, menciptakan kamma bermanfaat dan tidak bermanfaat melalui enam pintu indria karena ketagihan. Bertambahnya kobaran api besar adalah bagaikan produksi penderitaan si kaum duniawi buta dalam lingkaran secara berulang-ulang dengan akumulasi kamma. ↩︎

  146. Spk: Seorang penolong akan datang dan mengajarkan orang itu tentang bagaimana memadamkan api; dan orang itu akan mengikuti nasihatnya. Penolong itu mengumpamakan Sang Buddha; nasihatnya mengumpamakan penjelasan subjek meditasi dan nasihat untuk mencapai pembebasan dari penderitaan. Waktu ketika orang itu mengikuti nasihat adalah bagaikan waktu si meditator duduk di sebuah gubuk kosong menerapkan pandangan terang terhadap fenomena tiga alam. Waktu ketika orang itu telah mandi dan menghias dirinya dan duduk dengan tenang dan bahagia mengumpamakan waktu ketika si meditator, setelah membersihkan dirinya dari kekotoran dengan jalan mulia, duduk terserap dalam pencapaian buah dengan Nibbāna sebagai objeknya. Waktu ketika api besar itu padam mengumpamakan hancurnya kelompok-kelompok unsur kehidupan sang Arahant dan meninggal dunia ke dalam unsur Nibbāna tanpa sisa. ↩︎

  147. Saṃyojana dhammesu. Spk: Kondisi bagi sepuluh belenggu. Mengenai “hal-hal yang dapat membelenggu,” baca 22:120, 35:109, 122. Di sini juga “belenggu” hanya dijelaskan sebagai keinginan dan nafsu. ↩︎

  148. Spk: Pohon besar mengumpamakan lingkaran kehidupan dengan tiga alamnya; akar mengumpamakan landasan-landasan indria; pengiriman getah oleh akar mengumpamakan pembangunan kamma melalui enam pintu indria; stabilitas pohon mengumpamakan perjalanan panjang kaum duniawi buta dalam saṃsāra sebagai pemeliharaan lingkaran terus-menerus oleh pembangunan kamma. ↩︎

  149. Spk: Orang yang ingin menghancurkan pohon besar itu mengumpamakan si meditator, sekop (atau kapak)nya adalah pengetahuan, keranjang adalah konsentrasi. Waktu ketika pohon ditebang pada akarnya adalah waktu ketika kebijaksanaan muncul dalam diri si meditator saat ia memperhatikan subjek meditasinya. Memotong-motong pohon itu menjadi beberapa potong adalah bagaikan memperhatikan jasmani secara sekilas melalui empat unsur utama; mencincang potongan-potongan itu adalah bagaikan memperhatikan secara menyeluruh dalam empat puluh dua aspek (Vism 348-51; Ppn 11:31-38); Mengiris adalah bagaikan melihat nama-dan-bentuk melalui bentuk yang diturunkan dan kesadaran; memotong akar adalah bagaikan pencarian kondisi nama-dan-bentuk. Waktu ketika membakar irisan-irisan adalah bagaikan waktu ketika meditator mencapai buah tertinggi (Kearahattaan). Mengumpulkan abu adalah bagaikan kehidupan sang Arahant hingga waktunya Parinibbāna. Menebarkan abunya, atau menghanyutkannya di sungai, adalah bagaikan penghentian lingkaran ketika Arahant mencapai parinibbāna dengan unsur Nibbāna tanpa sisa. ↩︎

  150. Nāmarūpassa avakkanti. Spk tidak berkomentar, tetapi di bawah cahaya sutta-sutta lain kita dapat berasumsi bahwa pernyataan itu berarti bahwa ketagihan yang tersembunyi di balik “merenungkan kepuasan dalam hal-hal yang dapat membelenggu” adalah penyebab utama pemeliharaan proses kelahiran kembali, yang dimulai dengan “penurunan nama-dan-bentuk.” Sehubungan dengan hal ini, baca 12:39, 12:64, dan n.115↩︎

  151. Viññāṇassa avakkanti. Pada DN II 63,2-4 dikatakan bahwa jika kesadaran tidak masuk ke dalam rahim ibu, maka nama-dan-bentuk tidak akan terbentuk di dalam rahim. “Penurunan embrio” (gabbhassāvakkanti) – dinyatakan dalam MN I 265,35 – 266,6, II 156,29 – 157,3, dan AN I 176,31 – diduga merujuk pada turunnya kesadaran yang memicu konsepsi. ↩︎

  152. Pembukaan sutta ini hingga “alam rendah, saṃsāra” hampir identik dengan pembukaan Mahānidāna Suttanta (DN No.15), yang berbeda hanya pada bentuk aoris avaca. Sutta yang sekarang ini adalah gabungan, terdiri dari pembukaan Mahānidāna yang dicangkokkan pada batang tubuh dari 12:55. Spk di sini menggabungkan pembukaan dari komentar Mahānidāna yang panjang, baca Bodhi, The Great Discourse on Causation, pp.58-73. Akan tetapi, Spk, tidak berusaha menjelaskan bagaimana pembukaan yang sama ini memiliki kelanjutan yang berbeda. ↩︎

  153. Spk: Tidak terpelajar (assutavā): tanpa pembelajaran, pemeriksaan, dan pembedaan sehubungan dengan kelompok-kelompok unsur kehidupan, unsur-unsur, landasan-landasan indria, kondisionalitas, penegakan perhatian, dan sebagainya. Kaum duniawi (puthujjana) adalah “makhluk-banyak,” disebut demikian karena menghasilkan banyak ragam kekotoran, dan sebagainya. (puthūnaṃ nānappakārānaṃ kilesādinaṃ jananādikāraṇehi puthujjano); dan juga karena ia termasuk di antara orang banyak (puthūnaṃ janānaṃ antogadhattā), dalam jumlah yang tidak terhitung, yang menjalankan Dhamma rendah kebalikan dari Dhamma para mulia. Atau dengan kata lain puthu berarti “dianggap sebagai terpisah”; kaum duniawi adalah orang yang terpisah dari para mulia, yang memiliki kualitas-kualitas seperti moralitas, pembelajaran, dan sebagainya. (puthu vā ayaṃ visuṃ yeva saṅkhaṃ gato; visaṃsaṭṭho sīlasutādiguṇayuttehi ariyehi jano ti puthujjano).

    Kedua etimologi ini berakar dari dua pemahaman Pāli puthu: sebagai mewakili Vedic pṛthu = banyak; atau pṛthak = terpisah, berbeda. Bentuk BHS pṛthagjana menunjukkan suatu preferensi atas turunan dari yang terakhir, walaupun para komentator Pāli cenderung menganggap yang pertama sebagai yang utama. ↩︎

  154. Cittaṃ iti pi mano iti pi viññāṇaṃ iti pi. Cp. DN I 21,21: Yaṃ … idaṃ vuccati cittan ti vā mano ti vā viññāṇan ti vā. Spk mengatakan semua ini adalah nama bagi landasan pikiran (manāyatana). Biasanya saya menerjemahkan citta dan mano sebagai “pikiran,” tetapi karena Bahasa Inggris hanya memiliki dua kata dalam penggunaan umum untuk menunjukkan indria pengenalan – “pikiran” dan “kesadaran” – maka di sini saya terpaksa menggunakan “pikiran” untuk mano. Sementara secara teknis ketiga istilah menunjuk pada hal yang sama, dalam Nikāya sering kali digunakan dalam konteks yang berbeda. Sebagai generalisasi kasar, viññāṇa menyiratkan kesadaran pada bagian tertentu melalui organ indria (seperti dalam enam pembagian standar atas viññāṇa menjadi kesadaran-mata, dan seterusnya) serta arus kesadaran di bawahnya, yang mempertahankan kelangsungan personal melalui satu kehidupan dan merangkai kehidupan demi kehidupan (ditekankan pada 12:38-40). Mano berfungsi sebagai pintu perbuatan ke tiga (bersama dengan jasmani dan ucapan) dan sebagai landasan indria internal ke enam (bersama dengan lima landasan indria fisik); sebagai landasan pikiran yang mengkoordinasikan data dari lima indria lainnya dan juga mengenali fenomena pikiran (dhammā), kelompok objek khususnya sendiri. Citta menyiratkan pikiran sebagai pusat pengalaman pribadi, sebagai subjek pikiran, kehendak, dan emosi. Adalah citta yang harus dipahami, dilatih, dan dibebaskan. Untuk pembahasan yang lebih terperinci, baca Hamilton, Identity and Experience, bab 5. ↩︎

  155. Spk: Digenggam (ajjhosita) dengan ditelan oleh ketagihan; digemari (mamāyita) karena digemari oleh ketagihan; dan dicengkeram (parāmaṭṭha) dengan dicengkeram melalui pandangan-pandangan. “Ini milikku” (etaṃ mama): cengkeraman ketagihan (taṇhāgāha); dengan ini 108 pikiran ketagihan termasuk (baca AN II 212,31 - 213,2). “Ini aku”(eso ‘ham asmi): cengkeraman keangkuhan (mānagāha); dengan ini sembilan jenis keangkuhan termasuk (baca I, n.37). “Ini diriku” (eso me attā): cengkeraman pandangan-pandangan (diṭṭhigāha); dengan ini enam puluh dua pandangan termasuk (baca DN I 12-38). ↩︎

  156. Karena jasmani yang … terlihat ada selama seratus tahun, atau lebih. Spk: (Tanya:) Mengapakah Sang Bhagavā mengatakan hal ini? Bukankah benar bahwa bentuk fisik yang ada pada periode pertama kehidupan tidak bertahan hingga periode menengah, dan bentuk yang ada pada periode menengah tidak bertahan hingga periode akhir? … Bukankah benar bahwa bentukan-bentukan hancur tepat di tempat itu, setahap demi setahap, bagian demi bagian, bagaikan biji wijen yang meletup ketika dilemparkan ke dalam panci panas? (Jawab:) Ini benar, tetapi jasmani dikatakan bertahan dalam waktu yang lama terus-menerus (paveṇivasena), bagaikan pelita dikatakan menyala sepanjang malam sebagai kelangsungan yang berkesinambungan (paveṇisambandhavasena) walaupun api itu padam tepat di mana ia menyala tanpa meneruskan kepada bagian sumbu berikutnya. ↩︎

  157. Spk: Siang dan malam (rattiyā ca divasassa ca): Ini adalah bentuk genitif dalam makna lokatif, yaitu, selama malam hari dan selama siang hari. Muncul sebagai sesuatu dan lenyap sebagai yang lainnya (aññadeva uppajati, aññaṃ nirujjhati): Maknanya adalah bahwa (batin) yang muncul dan lenyap pada siang hari adalah tidak sama dengan (batin) yang muncul dan lenyap pada malam hari. Pernyataan ini jangan dianggap berarti bahwa sesuatu muncul dan sesuatu yang sama sekali berbeda, yang belum muncul, menjadi lenyap. “Siang dan malam” dikatakan melalui kelangsungan waktu yang lebih singkat daripada yang sebelumnya (yaitu, yang dinyatakan untuk jasmani). Tetapi satu citta tidak akan dapat bertahan sepanjang hari atau sepanjang malam. Bahkan dalam waktu satu jentikan jari, ratusan ribu koṭi citta muncul dan lenyap (1 koṭi= 10 juta). Perumpamaan monyet harus dipahami sebagai berikut: “hutan objek-objek” adalah bagaikan hutan belantara. Pikiran yang muncul dalam hutan objek-objek adalah bagaikan monyet yang mengembara di hutan belantara. Pikiran yang menggenggam kuat objek adalah bagaikan monyet yang berpegangan pada dahan. Bagaikan seekor monyet yang berkeliaran di hutan melepaskan satu dahan dan memegang dahan lainnya, demikian pula pikiran, berkeliaran di hutan objek-objek, kadang-kadang muncul memegang suatu objek terlihat, kadang-kadang memegang suara, kadang-kadang memegang masa lampau, kadang-kadang masa kini atau masa depan, kadang-kadang suatu objek internal, kadang-kadang suatu objek eksternal. Ketika monyet itu tidak menemukan dahan (baru) ia tidak turun dan duduk di atas tanah, melainkan duduk dengan berpegangan pada satu dahan berdaun rimbun. Demikian pula, ketika pikiran berkeliaran di hutan objek-objek, tidak dapat dikatakan bahwa pikiran muncul tanpa memegang suatu objek; melainkan, pikiran muncul dengan memegang suatu objek tunggal.

    Harus diperhatikan bahwa baik sutta maupun komentar tidak menginterpretasikan perumpamaan monyet di sini sebagai ajaran bahwa pikiran yang tidak terlatih adalah gelisah seperti monyet; melainkan intinya adalah, bahwa pikiran selalu bergantung pada objek. ↩︎

  158. Spk menjelaskan urutan dari khotbah ini sebagai berikut: Pertama, karena para bhikkhu ini terlalu terobsesi dengan bentuk, Sang Buddha berkata seolah-olah adalah tidak selayaknya mencengkeram bentuk (karena pertumbuhan dan penurunannya terlihat) tetapi bukan tidak selayaknya mencengkeram batin. selanjutnya (dalam kalimat yang dimulai, “Adalah lebih baik menganggap jasmani ini sebagai diri”) Beliau berkata seolah-olah adalah layak mencengkeram jasmani tetapi tidak layak mencengkeram batin (karena perubahannya yang terus-menerus). Sekarang, dalam kalimat yang sekarang ini, Beliau berkata dengan tujuan untuk melenyapkan obsesi mereka pada jasmani dan batin. ↩︎

  159. Saya bersama dengan Se dan Ee membaca nānābhāvā vinikkhepā, tidak seperti Be, nānākatavinibhogā. Perumpamaan ini muncul pada 36:10 (IV 215,22-25) dan 48:39 (V 212,21-24); dalam kedua tempat itu Be menuliskan yang sama dengan Se dan Ee di sini. Spk: Landasan indria adalah seperti kayu api sebelah bawah, objeknya adalah seperti kayu api sebelah atas, kontak adalah gesekan keduanya, dan perasaan adalah seperti unsur panas. ↩︎

  160. Sebuah terjemahan dari komentar panjang atas sutta ini termasuk dalam Nyanaponika, The Four Nutriments of Life. Spk menjelaskan bahwa Sang Buddha membabarkan khotbah ini karena Bhikkhu Saṅgha menerima persembahan makanan dan kebutuhan lainnya yang berlimpah, dan Sang Buddha ingin menempatkan di hadapan para bhikkhu “cermin Dhamma demi pengendalian diri mereka, sehingga, dengan merenungkannya lagi dan lagi, para bhikkhu di masa depan akan menggunakan barang-barang kebutuhan hanya setelah merenungkannya dengan baik.” Paragraf pembukaan identik dengan 12:11↩︎

  161. Spk: Makanan yang dapat dimakan dapat diumpamakan seperti daging seorang putra melalui sembilan kejijikan: kejijikan karena harus pergi untuk menyediakan, harus mencari, harus memakannya, harus mengeluarkannya sebagai kotoran, penampungan makanan (yaitu, perut), kesanggupan dan ketidak-sanggupan mencerna, berlumuran, dan kotoran. (Untuk perinciannya baca Vism 342-46; Ppn 11:5-26; di sana sepuluh aspek disebutkan, satu tambahannya adalah “buah,” yaitu, bagian tubuh yang menjijikkan yang dihasilkan oleh makanan.) Seorang bhikkhu harus memanfaatkan dana makanannya seperti pasangan yang memakan daging putranya: tanpa keserakahan dan keinginan, tanpa memilih, tanpa rakus, tanpa mengutamakan diri sendiri, tanpa delusi atas apa yang sedang dimakan, tanpa merindukan makanan itu lagi, tanpa menimbun, tanpa kebanggaan, tanpa meremehkan, dan tanpa pertengkaran. ↩︎

  162. Spk: Ketika makanan yang dapat dimakan dipahami sepenuhnya: Dipahami sepenuhnya dengan tiga jenis pemahaman penuh ini: (i) pemahaman penuh atas yang diketahui (ñātapariññā); (ii) pemahaman penuh dengan penyelidikan (tiranapariññā); dan (iii) pemahaman penuh sebagai pelepasan (pahānapariññā). Demikianlah, (i) seorang bhikkhu memahami: “makanan yang dapat dimakan ini adalah ‘membentuk inti makanan sebagai yang ke delapan’ (baca n.18) bersama dengan landasannya. Ini mengenai sensitivitas-lidah, yang bergantung pada empat unsur utama. Demikianlah makanan, sensitivitas-lidah, dan empat unsur – hal-hal ini adalah kelompok unsur bentuk. Kelompok lima kontak (kontak, perasaan, persepsi, kehendak, kesadaran) muncul dalam diri seseorang yang mengenali ini – ini adalah empat kelompok unsur batin. singkatnya, seluruh lima kelompok unsur kehidupan ini adalah nama-dan-bentuk.” Selanjutnya ia mencari kondisi-kondisi bagi fenomena-fenomena ini dan melihat kemunculan bergantungan dalam arah maju dan mundur. Dengan melihat nama-dan-bentuk secara demikian dengan kondisi-kondisinya sebagaimana adanya, makanan yang dapat dimakan dipahami sepenuhnya dengan pemahaman penuh atas yang diketahui. (ii) Selanjutnya ia menelusuri ketiga karakteristik itu berasal dari nama-dan-bentuk yang sama dan mengeksplorasinya melalui tujuh perenungan (terhadap ketidak-kekalan, penderitaan, bukan-diri, kejijikan, kebosanan, lenyapnya, dan pelepasan – baca Vism 607; Ppn 20:4). Demikianlah ini sepenuhnya dipahami melalui pemahaman penuh dengan penyelidikan. (iii) Sepenuhnya dipahami dengan pemahaman penuh sebagai pelepasan ketika sepenuhnya dipahami melalui jalan Yang-Tidak-Kembali, yang memotong keinginan dan nafsu pada nama-dan-bentuk yang sama itu.

    Nafsu pada lima utas kenikmatan indria dipahami sepenuhnya: Dipahami sepenuhnya dengan (i) pemahaman penuh tunggal (ekapariññā), yaitu, bahwa keinginan akan rasa kecapan yang muncul di pintu lidah adalah keinginan yang sama yang muncul di seluruh lima pintu indria; (ii) pemahaman penuh selengkapnya (sabbapariññā), yaitu, bahwa nafsu pada lima utas kenikmatan indria muncul bahkan pada sesuap makanan yang ada di dalam mangkuk (karena makanan memicu keinginan dalam seluruh lima indria); (iii) pemahaman akar sepenuhnya (mūlapariññā), yaitu, makanan adalah akar bagi seluruh lima jenis nafsu indria, karena keinginan indria berkembang jika orang-orang mendapatkan makanan yang baik. ↩︎

  163. Spk: Tidak ada belenggu yang mengikat yang olehnya: Ajaran ini diterima hanya sejauh jalan Yang-Tidak-Kembali, tetapi jika seseorang mengembangkan pandangan terang ke dalam lima kelompok unsur kehidupan melalui bentuk-bentuk yang sama ini, dan seterusnya, maka adalah mungkin menjelaskannya hingga sejauh tingkat Kearahattaan. ↩︎

  164. Spk: Bagaikan seekor sapi, ketika melihat bahaya akan dimangsa oleh makhluk-makhluk di tempat ia berada, menjadi tidak menginginkan penghormatan, atau dipijat, digosok, dimandikan dengan air panas, dan sebagainya, demikian pula seorang bhikkhu, ketika melihat bahaya akan dimangsa oleh makhluk-kekotoran yang berakar pada makanan-kontak, menjadi tidak menginginkan kontak di tiga alam kehidupan. ↩︎

  165. Spk menjelaskan pemahaman lengkap atas kontak dalam cara yang sama seperti pada makanan yang dapat dimakan, kecuali bahwa kontak dianggap sebagai titik awal untuk melihat lima kelompok unsur kehidupan. Ketika kontak dipahami sepenuhnya maka tiga perasaan dipahami sepenuhnya karena berakar dalam kontak dan berhubungan dengannya. Ajaran melalui makanan kontak dibawa hingga sejauh tingkat Kearahattaan. ↩︎

  166. Spk: lubang arang membara mengumpamakan lingkaran kehidupan dengan tiga alamnya; orang itu menginginkan kehidupan, kaum duniawi dungu yang melekat pada lingkaran tersebut; dua orang kuat, kamma bermanfaat dan tidak bermanfaat. Ketika mereka mencengkeram kedua tangannya dan menariknya menuju lubang itu, ini bagaikan akumulasi kamma kaum duniawi; karena akumulasi kamma menarik menuju kelahiran kembali. Kesakitan karena terjatuh ke dalam lubang arang menyala adalah bagaikan penderitaan dalam lingkaran. ↩︎

  167. Spk: Ketiga jenis ketagihan dipahami sepenuhnya: Tiga jenis ketagihan adalah ketagihan pada kenikmatan indria, ketagihan pada penjelmaan, dan ketagihan pada pemusnahan. Ketagihan-ketagihan ini dipahami sepenuhnya karena ketagihan adalah akar kehendak pikiran. Di sini juga ajaran dibawa hingga sejauh tingkat Kearahattaan melalui kehendak pikiran. ↩︎

  168. Spk: Raja mengumpamakan kamma; kriminal mengumpamakan kaum duniawi; tiga ratus tombak mengumpamakan kesadaran-kelahiran kembali. Waktu ketika raja menurunkan perintahnya adalah bagaikan waktu ketika kaum duniawi ditarik ke arah kelahiran kembali oleh Raja Kamma. Kesakitan karena dipukul oleh tombak adalah bagaikan penderitaan akibat dalam perjalanan kehidupan begitu kelahiran kembali terjadi. ↩︎

  169. Spk: Nama-dan-bentuk dipahami sepenuhnya ketika kesadaran dipahami sepenuhnya karena berakar dalam kesadaran dan muncul bersama dengannya. Melalui kesadaran juga ajaran dibabarkan hingga tingkat Kearahattaan. ↩︎

  170. Spk menjelaskan nafsu (rāga), kesenangan (nandī), dan ketagihan (taṇhā) adalah sinonim bagi keserakahan (lobhā). Kesadaran terbentuk di sana dan tumbuh (patiṭṭhitaṃ tattha viññāṇaṃ virūḷhaṃ): setelah mendorong suatu kamma, maka itu “terbentuk dan tumbuh” melalui kemampuannya untuk menarik ke dalam kelahiran kembali. Mengenai terbentuknya kesadaran, baca 12:58 dan n.112, dan mengenai turunnya nama-dan-bentuk, 12:39 dan n.115↩︎

  171. Spk: Dimana pun (yattha) adalah bentuk lokatif yang merujuk pada lingkaran kehidupan dengan tiga alamnya. Atau dengan kata lain, dalam segala bentuknya, bentuk lokatif ini digunakan sehubungan dengan istilah yang bersesuaian dalam frasa sebelumnya. [Spk-pṭ: Ungkapan lokatif yattha … tattha digunakan sehubungan dengan masing-masing frasa sebelumnya, yang merupakan bidang penerapan.] ↩︎

  172. Atthi tattha saṅkhārānaṃ vuddhi. Spk: Ini dikatakan sehubungan dengan bentukan-bentukan kehendak yang menjadi penyebab bagi lingkaran kehidupan di masa depan bagi seseorang yang berdiam dalam lingkaran kehidupan sekarang.

    Variasi atas urutan biasa di sini adalah sangat menarik. Ketika “pertumbuhan bentukan-bentukan kehendak” ditempatkan di antara nama-dan-bentuk dan kehidupan mendatang, ini menyiratkan bahwa ungkapan yang bersesuaian dengan tiga sebutan kritis dari formula standar – ketagihan, kemelekatan dan penjelmaan(-kamma) – dengan āyatiṃ punabbhavābhinibbatti bermakna proses memasuki kehidupan baru. ↩︎

  173. Spk: Pelukis mengumpamakan kamma dengan perlengkapannya [Spk-pṭ: ketagihan dan ketidaktahuan, dan waktu dan tujuan, dan sebagainya]; papan, dinding, atau kanvas mengumpamakan lingkaran dengan tiga alamnya. Bagaikan pelukis membuat gambar di papan, demikian pula kamma dengan perlengkapannya membuat suatu bentuk di dalam alam kehidupan. Bagaikan gambar yang dibuat oleh pelukis yang tidak mahir adalah buruk, cacat, dan tidak indah, demikian pula kamma yang dilakukan dengan pikiran yang tidak berhubungan dengan pengetahuan menghasilkan bentuk yang buruk, cacat dan tidak indah. Tetapi bagaikan gambar yang dibuat oleh pelukis yang mahir adalah indah dan berbentuk baik, demikian pula kamma yang dilakukan dengan pikiran yang berhubungan dengan pengetahuan menghasilkan bentuk yang indah dan menarik. ↩︎

  174. Kamma dari Arahant bagaikan sinar matahari, akan tetapi, sinar matahari memang ada, namun karena tidak ada tempat baginya untuk menetap maka dikatakan tidak terbentuk (appatiṭṭhitā). Tetapi kamma para Arahant dikatakan tidak terbentuk karena memang tidak ada. Walaupun ia memiliki jasmani, dan seterusnya, tidak ada kamma bermanfaat maupun tidak bermanfaat yang dibuat olehnya. Perbuatannya hanyalah sekedar fungsional, tidak menghasilkan akibat (kiriyamatte ṭhatvā avipākaṃ hoti). Sehubungan dengan hal ini, baca 12:25 dan n.81.

    Harus diperhatikan bahwa Spk menjelaskan pernyataan ini bahwa kesadaran Arahant tidak terbentuk berarti bahwa kamma-nya tidak terbentuk. Ini sepertinya sebuah interpretasi yang terlalu bebas. Meskipun demikian, saya pikir adalah keliru menginterpretasikan sutta ini dengan mengatakan bahwa setelah parinibbāna maka kesadaran Arahant tetap ada dalam suatu cara yang hanya dapat digambarkan sebagai tidak terbentuk. Kalimat sekarang ini jelas membicarakan mengenai kesadaran Arahant selagi masih hidup. Intinya bukanlah bahwa suatu “kesadaran yang tidak terbentuk” tetap ada setelah Arahant parinibbāna, tetapi bahwa kesadarannya, karena tanpa nafsu, maka “menjadi tidak terbentuk dalam” empat makanan dalam cara apa pun yang dapat menghasilkan kehidupan di masa depan. ↩︎

  175. Pembukaan seperti pada 12:10↩︎

  176. Kemunculan bergantungan diformulasikan dalam istilah yang sama dengan yang terdapat dalam kisah pencerahan Buddha Vipassī pada DN II 32,22-30. Untuk penjelasan atas kesadaran dan nama-rūpa yang saling bergantung, baca DN II 62,38 – 63,26. Terjemahan atas penjelasan rinci dalam Sv II 501-3 dengan kutipan dari Sv-pṭ dapat ditemukan dalam Bodhi, The Great Discourse on Causation, pp. 84-89. Baca juga di bawah, 12:67.

    Spk: Ketika ada nama-dan-bentuk, maka kesadaran muncul. Di sini seharusnya dikatakan, “Ketika ada bentukan-bentukan kehendak, maka kesadaran muncul,” dan “Ketika ada ketidaktahuan, maka bentukan-bentukan kehendak muncul.” Tetapi tidak ada satu pun dari pernyataan itu disebutkan. Mengapa? Karena ketidaktahuan dan bentukan-bentukan kehendak berada dalam wilayah kehidupan ke tiga, dan pandangan terang ini tidak terhubung dengannya (avijjāsaṅkhārā hi tatiyo bhavo, tehi saddhiṃ ayaṃ vipassanā na ghaṭiyati). Karena Sang Manusia Agung (Bodhisatta) menjalani pandangan terang melalui lima kelompok unsur kehidupan sekarang (Pañcavokārabhava, yaitu, kehidupan di mana seluruh lima kelompok unsur kehidupan hadir).

    (Tanya:) Benarkah bahwa seseorang tidak dapat tercerahkan selama ketidaktahuan dan bentukan-bentukan kehendak tidak terlihat? (Jawab:) Benar. Tetapi ini terlihat melalui ketagihan, kemelekatan, dan penjelmaan. Jika seseorang memburu seekor kadal melihatnya masuk ke dalam celah, ia harus turun, menggali tempat di mana kadal itu masuk, menangkapnya, dan pergi; ia tidak perlu menggali tempat lain di mana kadal itu tidak mungkin ditemukan. Demikian pula, ketika Manusia Agung sedang duduk di tempat duduk pencerahan, Beliau mencari kondisi-kondisi yang dimulai dari penuaan-dan-kematian. Setelah melacak kondisi-kondisi atas fenomena hingga sampai pada nama-dan-bentuk, Beliau mencari kondisinya juga dan mengetahuinya sebagai kesadaran. Kemudian, menyadari “Sebanyak inilah luasnya penjelajahan melalui lima kelompok unsur kehidupan,” Beliau membalik pandangan terangnya (vipassanaṃ paṭinivattesi). Di luar ini masih ada pasangan ketidaktahuan dan bentukan-bentukan kehendak, yang bagaikan wilayah tidak terputus dari celah kosong. Tetapi karena sudah termasuk melalui pandangan terang sebelumnya (pada bagian ketagihan, dan seterusnya?), maka tidak diperlukan penjelajahan secara terpisah; karena itulah maka Beliau tidak menyebutkannya. ↩︎

  177. Kesadaran ini berbalik (paccudāvattati kho idaṃ viññāṇaṃ). Spk: Apakah kesadaran yang berbalik di sini? Kesadaran-kelahiran kembali dan kesadaran-pandangan terang. Kesadaran-kelahiran kembali berbalik dari kondisinya, kesadaran pandangan terang dari objeknya. Keduanya tidak mengatasi nama-dan-bentuk, melainkan melampaui nama-dan-bentuk.

    Spk-pṭ: Dari kondisinya: Kesadaran-kelahiran kembali berbalik dari bentukan-bentukan kehendak – penyebab khusus bagi kesadaran – yang belum disebutkan; ia tidak berbalik dari semua kondisi, seperti nama-dan-bentuk disebut sebagai kondisi bagi kesadaran. Dari objeknya: dari ketidaktahuan dan bentukan-bentukan kehendak sebagai objek, atau dari kehidupan lampau sebagai objek.

    Adalah mungkin bahwa Sang Bodhisatta pernah mencari diri dari jenis Upaniṣad, suatu subjek diri yang hidup yang terdiri dari kesadaran murni yang tidak memerlukan apa pun kecuali diri itu sendiri untuk bertahan tetap ada. PenemuanNya bahwa kesadaran adalah secara konstan bergantung pada nama-dan-bentuk telah mengungkapkan padaNya kesia-siaan dari pencarian demikian dan karenanya terlihat bahwa bahkan kesadaran, landasan paling halus bagi diri (baca 12:61), adalah terkondisi dan dengan demikian ditandai dengan ketidak-kekalan, penderitaan, dan ketanpa-dirian. ↩︎

  178. Spk: Sampai sejauh inilah seseorang dilahirkan (ettāvatā jāyetha vā), dan seterusnya: Dengan kesadaran sebagai kondisi bagi nama-dan-rupa, dan dengan nama-dan-rupa sebagai kondisi bagi kesadaran, sampai sejauh inilah seseorang dilahirkan dan menjalani kelahiran kembali. Apakah yang ada di sana yang melampaui hal ini yang dapat dilahirkan dan menjalani kelahiran kembali? Bukankah hanya ini yang dilahirkan dan menjalani kelahiran kembali?

    Spk-pṭ: Sampai sejauh ini: yaitu, dengan munculnya kesadaran dan nama-dan-rupa yang saling mendukung satu sama lain. Seseorang akan dilahirkan dan menjalani kelahiran kembali: Walaupun ungkapan “Suatu makhluk dilahirkan dan menjalani kelahiran kembali” digunakan, namun tidak ada apa pun yang dirujuk oleh sebutan “suatu makhluk” selain dari kesadaran dan nama-dan-rupa. Karena itu komentar mengatakan, “Apakah yang ada di sana yang melampaui hal ini?” Hanya ini (etadeva): yaitu, pasangan kesadaran dan nama-dan-rupa.

    Perhatikan bahwa jāyetha, jīyetha, dan seterusnya, adalah kalimat tengah pengandaian dalam bentuk orang ke tiga tunggal. Pada KS 2:73, C.Rh.D sepertinya secara keliru menganggapnya sebagai pengandaian orang ke dua jamak dalam kalimat aktif, sedangkan pada LDB, pp. 211, 226, Walshe menggunakan terjemahan tidak langsung, diduga untuk menghindari keharusan untuk mengidentifikasikan bentuk-bentuk. Untuk pembahasan terperinci mengenai saling pengondisian kesadaran dan nama-dan-rupa ini. baca Bodhi, Great Discourse on Causation, pp. 18-22. ↩︎

  179. Saling melenyapkannya kesadaran dan nama-dan-rupa juga terdapat pada versi DN II 34, 21 – 35,13. Spk tidak mengomentari ungkapan “Aku telah menemukan jalan menuju pencerahan” (adhigato kho mayaṃ maggo bodhāya), tetapi bagian yang sama pada DN dikomentari pada Sv II 461, 5-8 sebagai berikut: “Jalan: Jalan menuju pandangan terang. Menuju pencerahan: untuk tercerahkan pada Empat Kebenaran Mulia, atau untuk tercerahkan pada Nibbāna. Lebih jauh lagi, pencerahan disebut demikian karena mencerahkan (bujjhati ti bodhi); ini adalah sebutan untuk jalan mulia. Apa yang dimaksudkan adalah (bahwa Beliau menemukan jalan) demi hal tersebut. Karena jalan mulia berakar pada jalan pandangan terang. Sekarang, untuk menjelaskan jalan itu, Beliau berkata, ‘Dengan lenyapnya nama-dan-rupa,’ dan seterusnya.”

    Penjelasan ini bergantung pada perbedaan (hanya tersirat dalam Nikāya) antara bagian tahap persiapan sang jalan yang bersifat duniawi (pubbabhāgapaṭipadā), yang adalah “jalan pandangan terang,” dan jalan mulia adi-duniawi (lokuttaramagga), yang secara langsung menembus Nibbāna. Karena jalan adi-duniawi identik dengan pencerahan, komentar berpegang bahwa “jalan menuju pencerahan” yang ditemukan oleh Sang Bodhisatta pastilah jalan duniawi pandangan terang. Dalam versi DN, setelah menemukan jalan menuju pencerahan, Bodhisatta Vipassī melanjutkan dengan merenungkan muncul dan lenyapnya lima kelompok unsur kehidupan, sebagai akibatnya “batinNya terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan.” ↩︎

  180. Spk menjelaskan secara terperinci mengenai perumpamaan kota tua dan kemudian menarik hubungan secara ekstensif antara unsur-unsur dari perumpamaan itu dan padanannya dalam Dhamma. ↩︎

  181. Pada titik ini, saṅkhārā yang dihilangkan sebelumnya, akhirnya diperkenalkan, dan avijjā, kondisinya, disiratkan dengan menyebutkan “asal-mulanya.” ↩︎

  182. Bagian ini juga terdapat pada 51:10 (V 262, 9-14). Saya mengikuti Spk dalam penjelasannya atas yāva devamanussehi suppakāsitaṃ. Intinya adalah, terlepas dari penggunaan bentuk kata bantu –ehi, Dhamma bukanlah dinyatakan oleh para deva dan manusia, tetapi “di seluruh wilayah (yang dihuni) oleh para deva dan manusia di sepuluh ribu galaksi, seluas inilah Dhamma dinyatakan, diajarkan dengan baik, oleh Sang Tathāgata” (yāva dasasahassa cakkavāḷe devamanussehi paricchedo atthi, etasmiṃ antare suppakāsitaṃ sudesitaṃ tathāgatena). Adalah mungkin bahwa –ehi di sini adalah bentuk jamak lokatif yang jarang terdapat di timur; baca Geiger, Pāli Grammar, §80.3 ↩︎

  183. Spk: Mengapakah Beliau memanggil para bhikkhu? Karena suatu khotbah Dhamma yang mendalam, seseorang yang ditandai dengan tiga karakteristik, muncul di hadapan Beliau. Di negeri ini (negeri Kuru), dikatakan, para penduduknya memiliki akar yang baik [Spk-pṭ: kondisi yang mendukung pencapaian Dhamma yang mulia] dan bijaksana [Spk-pṭ: dengan kebijaksanaan dari kesadaran kelahiran kembali berakar tiga dan kebijaksanaan pragmatis]. Mereka mampu menembus khotbah Dhamma yang mendalam yang ditandai dengan tiga karakteristik. Oleh karena itu Sang Buddha di sini mengajarkan kedua Satipaṭṭhāna Sutta (DN No. 22, MN No. 10), Mahānidāna Sutta (DN No. 15), Āneñjasappāya Sutta (MN No. 106), Cūḷanidāna Sutta (12:60), dan sutta-sutta mendalam lainnya. ↩︎

  184. Sammasatha no tumhe bhikkhave antaraṃ sammsan ti. Spk menjelaskan “eksplorasi ke dalam” sebagai eksplorasi ke dalam kondisi-kondisi (abhantaraṃ paccayasammasanaṃ). Dalam tafsiran literatur, sammasana-ñāṇa adalah istilah teknis untuk pemahaman lima kelompok unsur kehidupan melalui tiga karakteristik (baca Paṭis I 53-54, dikutip dalam Vism 607-8; Ppn 20:6-20). Akan tetapi di sini, sammasana digunakan dalam makna yang lebih mendekati pada gagasan tafsiran paccaya-pariggaha, “penglihatan kondisi-kondisi,” seperti pada Vism 598-600; Ppn 19:1-13. ↩︎

  185. Spk: Sang Bhagavā ingin agar ia menjawab dengan pengondisian, namun ia tidak menangkap maksud Sang Guru dan menjawab dengan tiga puluh dua aspek (kebusukan jasmani). ↩︎

  186. Seperti pada 12:51 tetapi dengan lanjutan yang berbeda. Saya bersama dengan Be membaca idaṃ kho dukkhaṃ kiṃnidānaṃ. Di sini Ee tidak memuaskan. ↩︎

  187. Idaṃ kho dukkhaṃ upadhinidānaṃ, dan seterusnya. Spk: bersumber pada “perolehan sebagai kelompok-kelompok unsur kehidupan” (khandhupadhinidānaṃ); karena di sini yang dimaksudkan dengan “perolehan” adalah lima kelompok unsur kehidupan. Mengenai upadhi, baca I, n. 21. penafsiran analisis standar atas upadhi ada empat: sebagai kekotoran, kelompok-kelompok unsur kehidupan, kenikmatan indria, dan bentukan-bentukan kehendak. Karena upadhi dikondisikan oleh taṇhā, maka seseorang dapat berpendapat bahwa di sini upadhi adalah sama dengan upādāna. Akan tetapi, Spk, tidak menyokong penafsiran ini, dan fakta bahwa upadhi dinyatakan sebagai dasar bagi penuaan-dan-kematian dan jenis-jenis penderitaan lainnya mendukung kemasan Spk yaitu khandhupadhi. Mungkin makna ganda yang dimaksudkan adalah: upadhi sebagai kelompok-kelompok unsur kehidupan adalah kondisi langsung bagi penuaan-dan-kematian, sedangkan upadhi sebagai sinonim dari upādāna adalah kondisi tidak langsung bagi penuaan-dan-kematian. Mengenai upadhi sebagai sumber penderitaan, baca Sn p. 11, 7-8: yaṃ kiñci dukkhaṃ sambhoti sabbaṃ upadhipaccayā. ↩︎

  188. Upadhinirodhasāruppagāminī paṭipadā. Seperti pada 12:51; baca n.135↩︎

  189. Untuk pembahasan yang lebih terperinci, baca Mahāsatipaṭṭhāna Sutta, DN II 308, 6 – 309,11. ↩︎

  190. Perumpamaan yang sama, tetapi dengan sedikit perbedaan dalam kaum duniawi, terdapat pada MN I 316, 10-23. ↩︎

  191. Spk: cangkir perunggu berisi minuman melambangkan objek duniawi yang bersifat indah dan menyenangkan. Orang yang didera oleh panas melambangkan kaum duniawi yang melekat pada lingkaran; orang yang mengundangnya untuk minum melambangkan orang-orang yang mengundang kaum duniawi untuk menikmati objek-objek di dunia yang bersifat indah dan menyenangkan. Orang yang memberikan minuman, yang menjelaskan manfaat dan bahaya, adalah bagaikan seorang teman spiritual, penahbisnya, gurunya, dan lain sebagainya, yang menjelaskan pemuasan dan bahaya dalam lima utas kenikmatan indria. Seperti halnya orang dalam perumpamaan ini yang, tanpa merenungkan, seketika meminum minuman itu dan menemui ajal atau mengalami penderitaan mematikan, demikian pula kaum duniawi, ingin menikmati kenikmatan indria, menolak nasihat penahbisnya dan gurunya, melepaskan latihan, dan kembali ke kehidupan yang lebih rendah. Kemudian ia melakukan tindak kriminal dan dihukum oleh raja, dan dalam kehidupan berikutnya ia mengalami penderitaan hebat di empat alam sengsara. ↩︎

  192. Spk: Dalam padanannya, orang yang didera oleh panas melambangkan meditator pada saat ia masih melekat pada lingkaran. Ketika ia merenungkan, menolak minuman, dan menghalau dahaganya dengan minuman lain, ini adalah seperti seorang bhikkhu yang berdiam dalam nasihat penahbis dan gurunya, mengendalikan pintu-pintu indrianya, perlahan-lahan mengembangkan pandangan terang, dan mencapai Buah Kearahattaan. Empat minuman lainnya adalah bagaikan empat jalan. Bagaikan orang itu yang menghalau dahaganya dengan minuman lain dan bepergian dengan bahagia ke mana pun ia menginginkan, demikian pula Sang Arahant, setelah meminum empat jalan, menghalau ketagihan dan bepergian ke wilayah Nibbāna. ↩︎

  193. Mahākoṭṭhita adalah siswa terunggul dalam hal pengetahuan analitis (paṭisambhida). Ia sering muncul dalam dialog dengan Sāriputta. Seperti yang dikomentari oleh C.Rh.D (KS 2:79, n. 1), karena kedua bhikkhu itu adalah Arahant, kemungkinan besar dialog-dialog ini dimaksudkan sebagai “pelajaran” untuk murid-murid mereka daripada tanya-jawab murni. ↩︎

  194. Anggapan yang mendasari empat alternatif ini adalah keabadian, pemusnahan, keabadian-parsial, dan terjadi secara kebetulan; baca n.37. ↩︎

  195. Mengenai hubungan timbal-balik antara kesadaran dan nama-dan-bentuk yang saling mengkondisikan, baca 12:65↩︎

  196. Cp. 12:16. Spk: Mengenai tiga puluh enam landasan: untuk tiga puluh enam alasan, yang diperoleh dengan memperhitungkan tiga kasus untuk masing-masing dari dua belas terminologi. Pertama adalah kualitas sebagai seorang pembabar Dhamma, ke dua adalah praktik, ke tiga adalah Buah dari praktik. Yang pertama membahas keagungan ajaran, yang ke dua membahas bidang pelajar (sekha), yang ke tiga membahas bidang Arahant (asekha, seorang yang melampaui latihan). ↩︎

  197. Spk tidak mengidentifikasikan para bhikkhu ini. Saviṭṭha muncul pada AN I 118-19, Nārada pada AN III 57-62. ↩︎

  198. Lima dasar ini untuk menerima suatu tesis muncul pada 35:153 dan diperiksa secara kritis oleh Sang Buddha pada MN II 170, 26 – 171,25; baca juga MN II 218, 15-21. Di sini dasar-dasar itu dilawan dengan pengetahuan pribadi (paccattamevañāṇa). Untuk pembahasan lebih lengkap, baca Jayatilleke, Early Buddhist Theory of Knowledge, pp. 182-88, 274-76.

    Spk: Seseorang menerima sesuatu melalui keyakinan (saddhā) dengan menempatkan keyakinan pada hal lain dan menerima apa yang ia katakan sebagai benar. Orang lain menerima sesuatu melalui preferensi pribadi (ruci) ketika ia menyetujui beberapa tesis dengan merenungkannya dan menganggapnya benar. Orang lain lagi menerima suatu tesis melalui tradisi oral (anussava) ketika ia berpikir: “Ini telah diturunkan sejak masa lampau melalui tradisi oral, maka ini pasti benar.” Bagi yang lainnya, ketika ia berpikir, sebuah tesis tertentu terlihat sah, dan ia menyimpulkan, “Maka demikianlah adanya”: ia menerimanya melalui perenungan logis (ākāraparivitakka). (Jayatilleke membahas ākāra sebagai bermakna “logis” pada p.274.) Dalam kasus ke lima, ketika seseorang merenungkan, suatu pandangan muncul dengan merenungkan beberapa hipotesis; ini adalah penerimaan pandangan setelah merenungkannya (diṭṭhinijjhānakkhanti). ↩︎

  199. Bhavanirodho nibbānaṃ. Spk: Nibbāna adalah lenyapnya lima kelompok unsur kehidupan. ↩︎

  200. Spk: Bhikkhu Musīla adalah seorang Arahant, tetapi tanpa mengatakan apakah ia Arahant atau bukan, ia hanya berdiam diri. ↩︎

  201. Spk: Mengapakah ia berbicara? Dikatakan bahwa ia merenungkan sebagai berikut: “Hukum ini – ‘Nibbāna adalah lenyapnya penjelmaan’ – dapat dipahami bahkan oleh pelajar. Tetapi bhikkhu ini (Saviṭṭha) menempatkan bhikkhu itu (Musīla) dalam posisi Arahant. Aku akan membuatnya memahami persoalan ini dengan lebih baik.” ↩︎

  202. Spk: Terlihat jelas … dengan kebijaksanaan benar: terlihat jelas dengan kebijaksanaan jalan bersama dengan pandangan terang. Aku bukanlah seorang Arahant: ia mengatakan ini karena ia berdiri di jalan Yang-Tidak-Kembali. Tetapi pengetahuannya bahwa “Nibbāna adalah lenyapnya penjelmaan” adalah sejenis pengetahuan peninjauan (paccavekkhaṇañāṇa) selain dari sembilan belas jenis (umum) dari pengetahuan peninjauan (baca Vism 676; Ppn 22:19-21). ↩︎

  203. Na ca kāyena phusitvā vihareyya, lit. “tetapi ia tidak akan berdiam setelah menyentuhnya dengan tubuhnya.” Spk mengemas: “Ia tidak akan mampu mengambil airnya.” ↩︎

  204. Spk: Melihat air di dalam sumur menggambarkan melihat Nibbāna oleh para Yang-Tidak-Kembali. Orang yang diserang oleh panas mewakili Yang-Tidak-Kembali; ember menggambarkan jalan Kearahattaan. Bagaikan orang yang didera oleh panas melihat air dalam sumur menggambarkan Yang-Tidak-Kembali mengetahui melalui pengetahuan peninjauan, “Terdapat penembusan menuju jalan Kearahattaan” (bersama dengan Se membaca arahattaphalābhisamaya). Tetapi bagaikan orang yang tidak memiliki ember tidak dapat mengambil air dan menyentuhnya dengan tubuhnya, demikian pula Yang-Tidak-Kembali, yang tidak memiliki jalan Kearahattaan, tidak dapat duduk dan terserap dalam pencapaian buah Kearahattaan, dengan Nibbāna sebagai objeknya.

    Adalah kesalahpahaman terhadap jawaban Nārada untuk menganggapnya sebagai balasan atas pengakuan tidak langsung Musīla bahwa ia adalah seorang Arahant (interpretasi yang diadopsi oleh Gombrich, How Buddhism Began, pp.128-29). Intinya bukanlah bahwa Musīla tidak benar dalam menyetujui gelar tersebut, tetapi bahwa Sāviṭṭha menarik kesimpulan salah, karena ia menganut kepercayaan salah yang mendefinisikan ciri-ciri seorang Arahant adalah pemahaman atas kemunculan bergantungan dan sifat Nibbāna. Meskipun, pemahaman ini, adalah ciri umum dari pelajar dan Arahant. Yang membedakan para Arahant dari para pelajar bukanlah pandangan terangnya atas kemunculan bergantungan (dan hukum-hukum Dhamma lainnya) tetapi fakta bahwa ia telah menggunakan pandangan terangnya untuk melenyapkan segala kekotoran dan telah memperoleh akses menuju keadaan meditatif unik (yang disebut dalam komentar sebagai arahattaphālasamāpatti, buah pencapaian Kearahattaan) yang mana ia dapat berdiam dengan “menyentuh unsur tanpa-kematian dengan jasmaninya.” Pada 48:53, juga, ungkapan kāyena phusitvā viharati menyoroti perbedaan penting antara sekha dan asekha; baca V, n.238. untuk teks serupa mengenai perbedaan antara Pemasuk-Arus dan Arahant, baca 22:109-110 (disebutkan sehubungan dengan lima kelompok unsur kehidupan) dan 48:2-5, 26-27,32-33 (sehubungan dengan indria-indria). ↩︎

  205. Dalam seluruh tiga edisi pertanyaan dimulai dengan evaṃvādī tvaṃ dan jawabannya dengan evaṃvādāhaṃ. Akan tetapi, karena Nārada yang berbicara, sepertinya kita harus membaca bagian pertanyaan itu sebagai evaṃvādiṃ tvaṃ dan memecah evaṃvādāhaṃ dalam jawaban menjadi evaṃvādiṃ ahaṃ. Spk dan Spk-pṭ tidak membantu di sini, tetapi sebuah catatan atas teks ini dalam Be menyarankan perubahan. Tulisan dalam Ee atas kalimat yang sama pada 55:23 (V 374, 24-27) berisi tulisan yang saya sukai, walaupun di sana Be dan Se memiliki tulisan yang sama seperti di sini. Pada MN II 214, 14 foll. kita menemukan evaṃvādāhaṃ dalam konteks di mana seharusnya dipecah sebagai bentuk jamak akusatif, evaṃvādino (nigaṇṭhe) ahaṃ, yang lebih jauh mendukung usulan saya sehubungan dengan kalimat sekarang ini. ↩︎

  206. Sutta ini didiskusikan sehubungan dengan padanannya dalam Bahasa China oleh Gombrich, How Buddhism Began, pp. 123-27.

    Spk: Susīma mendatangi Yang Mulia Ānanda, dengan berpikir, “Ia adalah siswa yang paling terpelajar, dan juga Sang Guru sering memberitahukan kepadanya Dhamma yang Beliau babarkan dalam berbagai kesempatan; darinya aku akan dapat mempelajari Dhamma dengan cepat.” Ānanda membawanya menghadap Sang Buddha karena ia mengetahui bahwa Susīma sebelumnya adalah seorang guru dan ia khawatir bahwa setelah menjadi bhikkhu ia akan mendiskreditkan Pengajaran. Sang Buddha memahami bahwa motivasi Susīma untuk ditahbiskan adalah “mencuri Dhamma,” yang membuat kebhikkhuannya menjadi tidak murni, namun Beliau meramalkan bahwa Susīma akan segera berubah dan mencapai Kearahattaan. Karena itulah Beliau menginstruksikan Ānanda untuk memberikan penahbisan.

    Yang membingungkan adalah bahwa di sini, ketika harus melakukan demikian, Sang Buddha tidak menyebutkan mengenai masa percobaan yang biasanya diberikan kepada pengembara dari sekte lain yang ingin bergabung dengan Saṅgha Sang Buddha; mungkin Sang Buddha meramalkan bahwa Susīma akan menjadi kecewa oleh ketentuan itu dan membatalkan niatnya untuk bergabung dalam Saṅgha, dengan demikian akan kehilangan kesempatan untuk mencapai kebebasan. ↩︎

  207. Spk: Para bhikkhu itu, setelah menerima subjek meditasi dari Sang Guru, memasuki tiga bulan masa vassa, dan selama musim hujan, berusaha dan berjuang, mereka mencapai Kearahattaan. Di akhir vassa mereka menghadap Sang Guru dan memberitahukan pencapaian mereka. Ketika Susīma mendengar hal ini ia berpikir: “Pengetahuan tertinggi (aññā) pasti adalah standar tertinggi dalam Pengajaran ini, transmisi personal utama dari guru (paramappamāṇaṃ sārabhūtā ācariyamuṭṭhi, lit. ‘kepalan guru’). Aku akan menanyakan dan mencari tahu tentangnya.” Karena itulah ia mendatangi para bhikkhu itu.

    Penjelasan umum atas lima abhiññā yang mengikuti dikomentari secara terperinci dalam Vism, bab 12 dan 13. ↩︎

  208. Spk-pṭ: Jhana tanpa bentuk dan pembebasan dari persepsi (āruppajjhāna-saññāvimokkhā)↩︎

  209. Teks di dalam kurung dalam Ee seharusnya dihapus dan pertanyaannya dibaca sesuai dalam Be dan Se sebagai berikut: Ettha dāni āyasmanto idañ ca veyyākaranaṃ imesañ ca dhammānaṃ asamāpatti, idaṃ no āvuso kathan ti. Saya menganggap kata no sebagai sekedar kata tanya (=nu). ↩︎

  210. Paññāvimuttā kho mayaṃ āvuso Susīma. Spk: Ia menunjukkan: “Sahabat, kami tidak memiliki jhāna, praktisi pandangan terang tanpa jhāna, terbebaskan sekedar melalui kebijaksanaan” (āvuso mayaṃ nijjhānakā sukkhavipassanakā paññāmatten’ eva vimutta). Spk-pṭ: Terbebaskan sekedar melalui kebijaksanaan: bukan terbebaskan-dalam-kedua-cara (na ubhatobhāgavimuttā).

    Sementara Spk sepertinya mengatakan bahwa para bhikkhu itu tidak memiliki jhāna apa pun, sutta itu sendiri menegaskan hanya bahwa mereka tidak memiliki abhiññā dan āruppa; tidak dikatakan apakah mereka mencapai empat jhāna atau tidak. Adalah penting bahwa pertanyaan Susīma tidak sejauh mengenai jhāna, dan bahkan mungkin (walaupun bertentangan dengan komentar) bahwa nijjhānaka harus dipahami, bukan sebagai bentuk negatif “tanpa jhāna,” tetapi sebagai kata benda dari nijjhāna, merenungkan, demikianlah asal kata “perenung.” Bagaimanapun juga, sutta tidak membahas lebih jauh daripada membedakan Arahant paññāvimutta dari Arahant lainnya yang memiliki enam abhiññā dan pencapaian tanpa-bentuk, dan dengan demikian tidak terdapat perbedaan besar dari Nikāya-nikāya secara keseluruhan.

    Komentar-komentar menjelaskan Arahant paññāvimutta ada lima jenis: mereka yang mencapai salah satu dari empat jhāna, dan para praktisi “pandangan terang tanpa jhāna” (sukhavipassaka) yang tidak memiliki jhāna duniawi tetapi masih memiliki jhāna adi-duniawi yang tidak terpisah dari Jalan Mulia (baca Sv II 512,19-28). Mengenai pertentangan antara Arahant paññāvimutta dan ubhatobhāgavimutta, baca MN I 477-78; Pp 14, 190-91. ↩︎

  211. Pubbe kho Susīma dhammaṭṭhitiñāṇaṃ, pacchā nibbāne ñāṇaṃ. Spk: Pengetahuan pandangan terang adalah “pengetahuan stabilitas Dhamma,” yang muncul pertama kali. Di akhir perjalanan pandangan terang, muncul pengetahuan jalan; yaitu “pengetahuan Nibbāna,” yang muncul setelahnya. Spk-pṭ: “Stabilitas Dhamma adalah kestabilan fenomena, sifat intrinsiknya (dhammānaṃ ṭhitatā taṃsabhāvata): yaitu, ketidak-kekalan, penderitaan, bukan-diri. Pengetahuan terhadap hal itu adalah “pengetahuan stabilitas Dhamma.” Baca juga n.51, n.105. Satu bab mengenai dhammaṭṭhitiñāṇa terdapat pada Paṭis I 50-52, di mana dijelaskan sebagai pengetahuan hubungan antara masing-masing pasangan faktor-faktor dalam paṭicca-samuppāda. ↩︎

  212. Spk: Mengapakah ini dikatakan? Untuk menunjukkan munculnya pengetahuan demikian bahkan tanpa konsentrasi. Ini adalah apa yang dimaksudkan, “Susīma, Jalan dan Buah bukanlah persoalan konsentrasi (samādhinissanda), juga bukan manfaat dari konsentrasi (samādhi-ānisaṃsā), juga bukan hasil dari konsentrasi (samādhinipphatti). Melainkan adalah persoalan pandangan terang (vipassanā), manfaat dari pandangan terang, hasil dari pandangan terang. Oleh karena itu, apakah engkau memahami atau tidak, pertama-tama muncul pengetahuan kestabilan Dhamma, setelah itu pengetahuan Nibbāna.”

    Spk-pṭ: Bahkan tanpa konsentrasi (vinā pi samādhiṃ): bahkan tanpa (konsentrasi) yang dikokohkan sebelumnya yang telah mencapai karakteristik ketenangan (samatha-lakkhaṇappattaṃ); ini dikatakan dengan merujuk pada seorang yang menggunakan kendaraan pandangan terang (vipassanāyānika).

    Jika dipahami pada istilah itu sendiri, teks ini bermakna hanya bahwa Kearahattaan dapat dicapai tanpa kekuatan supernormal dan pencapaian tanpa-bentuk. Dibaca dalam cahaya Spk dan Spk-pṭ, terlihat menegaskan adanya “kendaraan pandangan terang tanpa jhāna” yang dimulai secara langsung dengan perenungan penuh perhatian pada fenomena jasmani dan batin, tanpa bergantung pada landasan konsentrasi (upacārasamādhi). Walaupun sutta-sutta tidak mengatakan apa pun mengenai sistem meditasi pandangan terang tanpa jhāna, beberapa guru kontemporer menganggap Satipaṭṭhāna Sutta mengemukakan metode demikian dan merujuk pada Spk dan Spk-pṭ untuk dukungan tambahan. ↩︎

  213. Spk: Setelah mengetahui bahwa ia mampu mencapai penembusan, Sang Buddha membabarkan ajaran Dhamma tiga putaran, yang pada akhirnya bhikkhu itu mencapai Kearahattaan. Spk-pṭ: “Tiga-putaran” (teparivattaṃ) adalah dengan cara memutar tiga karakteristik sehubungan dengan lima kelompok unsur kehidupan.

    Tanya-jawab mengenai tiga karakteristik muncul di seluruh Khandha-saṃyutta, seperti pada 22:49, 59, 79, 80, 82, dan sebagainya. ↩︎

  214. Spk: Pertanyaan ini dimulai untuk menegaskan bahwa para bhikkhu itu adalah berpandangan-terang kering tanpa jhāna (atau: “perenung pandangan-terang kering”). Berikut ini adalah intinya di sini: “Engkau bukanlah satu-satunya yang berpandangan-terang kering tanpa jhāna; para bhikkhu itu juga demikian.” ↩︎

  215. Dhammatthenaka. Formula untuk pengakuan dan maaf juga terdapat pada 16:6 (II 205,10-16). ↩︎

  216. Antarapeyyāla. Seperti halnya bagian sebelumnya yang berisi dua belas sutta dalam dua belas faktor formula, sehingga tiap-tiap sutta berikutnya dapat dibagi menjadi dua belas. Spk mengatakan bahwa semua ini disampaikan sesuai dengan kecenderungan dari individu yang dituntun dan dicerahkan menurut kecenderungan mereka yang berbeda-beda (sabbe pi tathā bujjhanakānaṃ veneyyapuggalānaṃ ajjhāsayavasena vutta)↩︎

  217. Spk: Apakah Sang Buddha atau seorang siswa, seorang yang bergantung pada orang lain untuk memperoleh pengetahuan jalan disebut guru (satthā, sebuah kata yang biasanya dikhususkan untuk Sang Buddha); yang harus dicari. ↩︎