easter-japanese

[267] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian, pada malam harinya, Yang Mulia Puṇṇa bangkit dari meditasinya dan mendatangi Sang Bhagavā.1 Setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Beliau:

2. “Yang Mulia, baik sekali jika Sang Bhagavā sudi memberikan nasihat singkat kepadaku. Setelah mendengarkan Dhamma dari Sang Bhagavā, aku akan berdiam sendirian, terasing, rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh.”

“Baiklah, Puṇṇa, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Kukatakan.”

“Baik, Yang Mulia,” Yang Mulia Puṇṇa menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

3. “Puṇṇa, ada Bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Jika seorang bhikkhu bersenang di dalamnya, menyambutnya, dan terus-menerus menggenggamnya, maka kesenangan muncul dalam dirinya. Dengan munculnya kesenangan, Puṇṇa, maka muncul pula penderitaan, Aku katakan.2 Ada, Puṇṇa, suara-suara yang dikenali oleh telinga … bau-bauan yang dikenali oleh hidung … rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan … objek-objek pikiran yang dikenali oleh pikiran yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, [268] dan merangsang nafsu. Jika seorang bhikkhu bersenang di dalamnya, menyambutnya, dan terus-menerus menggenggamnya, maka kesenangan muncul dalam dirinya. Dengan munculnya kesenangan, Puṇṇa, maka muncul pula penderitaan, Aku katakan.

4. “Puṇṇa, ada bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata … suara-suara yang dikenali oleh telinga … bau-bauan yang dikenali oleh hidung … rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan … objek-objek pikiran yang dikenali oleh pikiran yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Jika seorang bhikkhu tidak bersenang di dalamnya, tidak menyambutnya, dan tidak terus-menerus menggenggamnya, maka kesenangan lenyap dalam dirinya. Dengan lenyapnya kesenangan, Puṇṇa, maka lenyap pula penderitaan, Aku katakan.

5. “Sekarang Aku telah memberikan nasihat singkat kepadamu, Puṇṇa, di negeri manakah engkau akan menetap?”

“Yang Mulia, karena sekarang Sang Bhagavā telah memberikan nasihat singkat kepadaku, aku akan menetap di negeri Sunāparanta.”

“Puṇṇa, orang-orang Sunāparanta ganas dan kasar. Jika mereka mencaci dan mengancam engkau, bagaimanakah engkau akan berpikir?”

“Yang Mulia, jika orang-orang Sunāparanta mencaci dan mengancam aku, maka aku akan berpikir: ‘Orang-orang Sunāparanta ini sungguh baik, sungguh sangat baik, sehingga mereka tidak memukulku dengan tinju.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”

“Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta memukulmu dengan tinju, bagaimanakah engkau akan berpikir?”

“Yang Mulia, jika orang-orang Sunāparanta memukulku dengan tinju, maka aku akan berpikir: ‘Orang-orang Sunāparanta ini sungguh baik, sungguh sangat baik, sehingga mereka tidak memukulku dengan bongkahan tanah.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”

“Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta memukulmu dengan bongkahan tanah, bagaimanakah engkau akan berpikir?”

“Yang Mulia, jika orang-orang Sunāparanta memukulku dengan bongkahan tanah, maka aku akan berpikir: ‘Orang-orang Sunāparanta ini sungguh baik, sungguh sangat baik, sehingga mereka tidak memukulku dengan tongkat kayu.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.” [269]

“Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta memukulmu dengan tongkat kayu, bagaimanakah engkau akan berpikir?”

“Yang Mulia, jika orang-orang Sunāparanta memukulku dengan tongkat kayu, maka aku akan berpikir: ‘Orang-orang Sunāparanta ini sungguh baik, sungguh sangat baik, sehingga mereka tidak menusukku dengan pisau.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”

“Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta menusukmu dengan pisau, bagaimanakah engkau akan berpikir?”

“Yang Mulia, jika orang-orang Sunāparanta menusukku dengan pisau, maka aku akan berpikir: ‘Orang-orang Sunāparanta ini sungguh baik, sungguh sangat baik, sehingga mereka tidak membunuhku dengan pisau tajam.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”

“Tetapi, Puṇṇa, jika orang-orang Sunāparanta membunuhmu dengan pisau tajam, bagaimanakah engkau akan berpikir?”

“Yang Mulia, jika orang-orang Sunāparanta membunuhku dengan pisau tajam, maka aku akan berpikir: ‘Ada para siswa Sang Bhagavā yang, karena merasa muak, dan malu, dan jijik dengan jasmani ini dan dengan kehidupan, telah mencari penyerang. Tetapi aku telah memperoleh penyerang ini bahkan tanpa mencari.’ Aku akan berpikir demikian, Sang Bhagavā; aku akan berpikir demikian, Yang Sempurna.”

6. “Bagus, bagus, Puṇṇa! Dengan memiliki pengendalian diri dan kedamaian demikian, engkau akan mampu bertahan di negeri Sunāparanta. Sekarang, Puṇṇa, sekarang adalah waktunya engkau melakukan apa yang perlu engkau lakukan.”

7. Kemudian, setelah dengan senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, Yang Mulia Puṇṇa bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, pergi dengan Beliau tetap di sisi kanannya. Kemudian ia merapikan tempat tinggalnya, dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, ia melakukan perjalanan menuju negeri Sunāparanta. Dengan berjalan secara bertahap, ia akhirnya tiba di negeri Sunāparanta dan menetap di sana. Kemudian, selama masa vassa, Yang Mulia Puṇṇa menegakkan lima ratus umat awam laki-laki dan lima ratus umat awam perempuan dalam praktik, dan ia sendiri mencapai tiga pengetahuan sejati. Beberapa waktu kemudian, Yang Mulia Puṇṇa mencapai Nibbāna akhir.3

8. Kemudian sejumlah bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan memberitahu Beliau: “Yang Mulia, Anggota keluarga Puṇna, yang [270] telah menerima instruksi singkat dari Sang Bhagavā, telah meninggal dunia. Di manakah alam tujuan kelahirannya? Bagaimanakah perjalanannya berikutnya?”

“Para bhikkhu, Anggota keluarga Puṇna adalah seorang bijaksana. Ia berlatih sesuai Dhamma dan tidak menyusahkanKu dalam menginterpretasikan Dhamma. Anggota keluarga Puṇna telah mencapai Nibbāna akhir.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.


Catatan Kaki
  1. Puṇna ini adalah orang yang berbeda dengan Puṇna Mantāṇiputta dalam MN 24. Ia berasal dari keluarga pedagang yang menetap di kota pelabuhan Suppāraka di negeri Sunāparanta (sekarang Maharashtra). Dalam suatu perjalanan dagang menuju Sāvatthī ia mendengar Sang Buddha membabarkan khotbah dan meninggalkan kehidupan rumah tangga untuk menjadi seorang bhikkhu. ↩︎

  2. MA menjelaskan instruksi ini sebagai ajaran singkat tentang Empat Kebenaran Mulia. Kesenangan (nandi) adalah suatu aspek ketagihan. Melalui munculnya kesenangan sehubungan dengan mata dan bentuk-bentuk maka muncullah penderitaan pada kelima kelompok unsur kehidupan. Demikianlah pada bagian pertama dari instruksi Sang Buddha mengajarkan lingkaran kehidupan melalui dua kebenaran pertama – penderitaan dan asal-mulanya – pada saat kemunculannya melalui keenam indria. Pada bagian ke dua (§4) Beliau mengajarkan akhir dari lingkaran melalui dua kebenaran berikutnya – lenyapnya dan sang jalan – yang diungkapkan sebagai ditinggalkannya kesenangan dalam keenam indria dan objek-objeknya. ↩︎

  3. Yaitu, ia meninggal dunia. Karena Sang Buddha masih menyebut Puṇṇa sebagai anggota keluarga (kulaputta*),* maka ia pasti meninggal dunia tidak lama setelah kembali ke negeri Sunāparanta. Teks tidak memberikan catatan tentang bagaimana ia meninggal dunia. Versi sutta ini pada SN 35:88 (iv.60-63) mengatakan bahwa ia meninggal dunia selama masa vassa pertamanya di sana. ↩︎