easter-japanese

[207] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha, di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai.

2. Pada saat itu Yang Mulia Samiddhi sedang menetap di sebuah gubuk hutan. Kemudian Pengembara Potaliputta, sewaktu berjalan-jalan untuk berolah-raga, mendatangi Yang Mulia Samiddhi dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Samiddhi:

“Teman Samiddhi, aku mendengar dan mempelajari ini dari mulut Petapa Gotama sendiri: ‘Perbuatan jasmani adalah tidak berarti, perbuatan ucapan adalah tidak berarti, hanya perbuatan pikiran yang nyata.’ Dan: ‘Ada pencapaian yang dengan memasukinya maka seseorang tidak merasakan apapun sama sekali.’”1

“Jangan berkata begitu, Teman Potaliputta, jangan berkata begitu. Jangan salah memahami Sang Bhagavā, tidaklah baik salah memahami Sang Bhagavā. Sang Bhagavā tidak berkata seperti ini: ‘Perbuatan jasmani adalah tidak berarti, perbuatan ucapan adalah tidak berarti, hanya perbuatan pikiran yang nyata.’ Tetapi, Teman, memang ada pencapaian itu yang dengan memasukinya maka seseorang tidak merasakan apapun sama sekali.”

“Berapa lamakah sejak engkau meninggalkan keduniawian, Teman Samiddhi?”

“Belum lama, Teman: tiga tahun.”

“Demikianlah, apa yang akan kami katakan kepada para bhikkhu senior ketika seorang bhikkhu muda berpikir bahwa Sang Guru harus dibela seperti demikian? Teman Samiddhi, setelah melakukan perbuatan yang disengaja melalui jasmani, ucapan, atau pikiran, apakah yang dirasakan seseorang?”

“Setelah melakukan perbuatan yang disengaja melalui jasmani, ucapan, atau pikiran, seseorang merasakan penderitaan, Teman Potaliputta.”

Kemudian, dengan tidak menerima juga tidak menolak kata-kata Yang Mulia Samiddhi, Pengembara Potaliputta bangkit dari duduknya dan pergi.

3. Segera setelah Pengembara Potaliputta pergi, Yang Mulia Samiddhi mendatangi Yang Mulia Ānanda [208] dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan menceritakan keseluruhan percakapannya dengan Pengembara Potaliputta kepada Yang Mulia Ānanda. Setelah ia selesai berbicara, Yang Mulia Ānanda berkata kepadanya: “Sahabat Samiddhi, percakapan ini harus diberitahukan kepada Sang Bhagavā. Marilah, kita menghadap Sang Bhagavā dan memberitahu Beliau mengenai hal ini. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Sang Bhagavā kepada kita, demikianlah kita harus mengingatnya.” – “Baik, Sahabat,” Yang Mulia Samiddhi menjawab.

4. Kemudian Yang Mulia Ānanda dan Yang Mulia Samiddhi bersama-sama mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi. Yang Mulia Ānanda menceritakan keseluruhan percakapan antara Yang Mulia Samiddhi dengan Pengembara Potaliputta kepada Sang Bhagavā.

5. Ketika ia selesai, Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Ānanda, Aku bahkan tidak ingat pernah bertemu dengan Pengembara Potaliputta, jadi bagaimana mungkin pernah terjadi percakapan ini? Walaupun pertanyaan Pengembara Potaliputta seharusnya dianalisis terlebih dulu sebelum dijawab, namun orang sesat Samiddhi ini menjawabnya secara sepihak.”

6. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Udāyin berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, mungkin Yang Mulia Samiddhi berkata demikian dengan merujuk pada [prinsip]: ‘Apapun yang dirasakan adalah termasuk dalam penderitaan.’”2

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Lihatlah, Ānanda, bagaimana orang sesat Udāyin ini menyimpulkan. Aku tahu, Ānanda, bahwa saat ini orang sesat Udāyin ini akan menyimpulkan dengan cara keliru. Sejak awal Pengembara Potaliputta menanyakan tentang ketiga jenis perasaan. Orang sesat Samiddhi ini [209] seharusnya menjawab Pengembara Potaliputta dengan benar jika, ketika ditanya demikian, ia menjelaskan: ‘Teman Potaliputta, setelah melakukan perbuatan yang disengaja melalui jasmani, ucapan, atau pikiran, [yang akibatnya] dirasakan sebagai menyenangkan, maka seseorang merasa senang. Setelah melakukan perbuatan yang disengaja melalui jasmani, ucapan, atau pikiran, [yang akibatnya] dirasakan sebagai menyakitkan, maka seseorang merasa kesakitan. Setelah melakukan perbuatan yang disengaja melalui jasmani, ucapan, atau pikiran, [yang akibatnya] dirasakan sebagai bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, maka seseorang merasakan bukan-kesakitan-juga-bukan-kesenangan.’ Tetapi siapakah orang-orang dungu ini, para pengembara bodoh dari sekte lain, yang dapat memahami penjelasan panjang dari Sang Tathāgata tentang perbuatan? Engkau harus mendengarkan Sang Tathāgata, Ānanda, sewaktu Beliau menjelaskan penjelasan panjang tentang perbuatan.”

7. “Sekarang adalah waktunya, Sang Bhagavā, sekarang adalah waktunya, Yang Sempurna, bagi Sang Bhagavā untuk membabarkan penjelasan panjang tentang perbuatan. Setelah mendengarnya dari Sang Bhagavā, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Maka dengarkanlah, Ānanda, dan perhatikanlah pada apa yang akan Kukatakan.”

“Baik, Yang Mulia,” Yang Mulia Ānanda menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

8. “Ānanda,3 ada empat jenis orang terdapat di dunia ini. Apakah empat ini? Di sini seseorang membunuh makhluk-makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, berperilaku salah dalam kenikmatan indria, mengucapkan kebohongan, mengucapkan kata-kata fitnah, mengucapkan kata-kata kasar, bergosip; ia tamak, memiliki pikiran permusuhan, dan menganut pandangan salah. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka.

“Tetapi di sini seseorang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga.

“Di sini seseorang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perilaku salah dalam kenikmatan indria, menghindari mengucapkan kebohongan, menghindari mengucapkan kata-kata fitnah, [210] menghindari mengucapkan kata-kata kasar, menghindari gosip; ia tidak tamak, tidak memiliki pikiran permusuhan, dan ia menganut pandangan benar. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga.

“Tetapi di sini seseorang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan ia menganut pandangan benar. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka.

9. “Di sini, Ānanda, melalui semangat, usaha, kegigihan, ketekunan, dan perhatian benar, seorang petapa atau brahmana mencapai konsentrasi pikiran sedemikian sehingga, ketika pikirannya terkonsentrasi, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat orang itu di sini yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah, dan ia melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Ia berkata sebagai berikut: ‘Sesungguhnya, ada perbuatan-perbuatan jahat, ada akibat dari perilaku salah; karena aku melihat seseorang di sini yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah, dan aku melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka.’ Ia berkata sebagai berikut: ‘Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, semua orang yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka. Mereka yang mengetahui demikian mengetahui yang benar; mereka yang berpikir sebaliknya adalah keliru.’ Demikianlah ia dengan keras kepala melekat pada apa yang telah ia ketahui, ia lihat, dan ia temukan, dengan memaksakan: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’

10. “Tetapi di sini, Ānanda, [211] melalui semangat … seorang petapa atau brahmana mencapai konsentrasi pikiran sedemikian sehingga, ketika pikirannya terkonsentrasi, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat orang itu di sini yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah, dan ia melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga. Ia berkata sebagai berikut: ‘Sesungguhnya, tidak ada perbuatan-perbuatan jahat, tidak ada akibat dari perilaku salah; karena aku melihat seseorang di sini yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah, dan aku melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga.’ Ia berkata sebagai berikut: ‘Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, semua orang yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga. Mereka yang mengetahui demikian mengetahui yang benar; mereka yang berpikir sebaliknya adalah keliru.’ Demikianlah ia dengan keras kepala melekat pada apa yang telah ia ketahui, ia lihat, dan ia temukan, dengan memaksakan: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’

11. “Di sini, Ānanda, melalui semangat … seorang petapa atau brahmana mencapai konsentrasi pikiran sedemikian sehingga, ketika pikirannya terkonsentrasi, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat orang itu di sini yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar, dan ia melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga. Ia berkata sebagai berikut: ‘Sesungguhnya, ada perbuatan-perbuatan baik, ada akibat dari perilaku baik; karena aku melihat seseorang di sini yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar, dan aku melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga.’ Ia berkata sebagai berikut: ‘Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, semua orang yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga. Mereka yang mengetahui demikian mengetahui yang benar; mereka yang berpikir sebaliknya adalah keliru.’ Demikianlah ia dengan keras kepala melekat pada apa yang telah ia ketahui, ia lihat, dan ia temukan, dengan memaksakan: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’

12. “Tetapi di sini, Ānanda, [212] melalui semangat … seorang petapa atau brahmana mencapai konsentrasi pikiran sedemikian sehingga, ketika pikirannya terkonsentrasi, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat orang itu di sini yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar, dan ia melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Ia berkata sebagai berikut: ‘Sesungguhnya, tidak ada perbuatan-perbuatan baik, tidak ada akibat dari perilaku baik; karena aku melihat seseorang di sini yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar, dan aku melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka.’ Ia berkata sebagai berikut: ‘Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, semua orang yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar muncul kembali muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka. Mereka yang mengetahui demikian mengetahui yang benar; mereka yang berpikir sebaliknya adalah keliru.’ Demikianlah ia dengan keras kepala melekat pada apa yang telah ia ketahui, ia lihat, dan ia temukan, dengan memaksakan: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’

13. “Di sana, Ānanda,4 ketika seorang petapa atau brahmana mengatakan: ‘Sesungguhnya, ada perbuatan-perbuatan jahat, ada akibat dari perilaku salah,’ Aku membenarkan ini. Ketika ia mengatakan: ‘Aku melihat seseorang di sini yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah, dan aku melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka,’ Aku juga membenarkan ini. Tetapi ketika ia mengatakan: ‘Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, semua orang yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka,’ Aku tidak membenarkan ini. Dan ketika ia dengan keras kepala melekat pada apa yang telah ia ketahui, ia lihat, dan ia temukan, dengan memaksakan: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah,’ Aku juga tidak membenarkan ini. Mengapakah? Karena, Ānanda, pengetahuan Sang Tathāgata akan penjelasan panjang tentang perbuatan adalah tidak seperti itu.

14. “Di sana, Ānanda, ketika seorang petapa atau brahmana mengatakan: ‘Sesungguhnya, tidak ada perbuatan-perbuatan jahat, tidak ada akibat dari perilaku salah,’ Aku tidak membenarkan ini. Ketika ia mengatakan: ‘Aku melihat seseorang di sini yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah, dan aku melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga,’ Aku membenarkan ini. Tetapi ketika ia mengatakan: ‘Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, semua orang yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga,’ [213] Aku tidak membenarkan ini. Dan ketika ia mengatakan: ‘Mereka yang mengetahui demikian mengetahui yang benar; mereka yang berpikir sebaliknya adalah keliru,’ Aku juga tidak membenarkan ini. Dan ketika ia dengan keras kepala melekat pada apa yang telah ia ketahui, ia lihat, dan ia temukan, dengan memaksakan: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah,’ Aku juga tidak membenarkan ini. Mengapakah? Karena, Ānanda, pengetahuan Sang Tathāgata akan penjelasan panjang tentang perbuatan adalah tidak seperti itu.

15. “Di sana, Ānanda, ketika seorang petapa atau brahmana mengatakan: ‘Sesungguhnya, ada perbuatan-perbuatan baik, ada akibat dari perilaku baik,’ Aku membenarkan ini. Ketika ia mengatakan: ‘Aku melihat seseorang di sini yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar, dan aku melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga,’ Aku juga membenarkan ini. Tetapi ketika ia mengatakan: ‘Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, semua orang yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga,’ Aku tidak membenarkan ini. Dan ketika ia dengan keras kepala melekat pada apa yang telah ia ketahui, ia lihat, dan ia temukan, dengan memaksakan: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah,’ Aku juga tidak membenarkan ini. Mengapakah? Karena, Ānanda, pengetahuan Sang Tathāgata akan penjelasan panjang tentang perbuatan adalah tidak seperti itu.

16. “Di sana, Ānanda, ketika seorang petapa atau brahmana mengatakan: ‘Sesungguhnya, tidak ada perbuatan-perbuatan baik, tidak ada akibat dari perilaku baik,’ Aku tidak membenarkan ini. Ketika ia mengatakan: ‘Aku melihat seseorang di sini yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar, dan aku melihat bahwa ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka,’ Aku membenarkan ini. Tetapi ketika ia mengatakan: ‘Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, semua orang yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka,’ Aku tidak membenarkan ini. Dan ketika ia mengatakan: [214] ‘Mereka yang mengetahui demikian mengetahui yang benar; mereka yang berpikir sebaliknya adalah keliru,’ Aku juga tidak membenarkan ini. Dan ketika ia dengan keras kepala melekat pada apa yang telah ia ketahui, ia lihat, dan ia temukan, dengan memaksakan: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah,’ Aku juga tidak membenarkan ini. Mengapakah? Karena, Ānanda, pengetahuan Sang Tathāgata akan penjelasan panjang tentang perbuatan adalah tidak seperti itu.

17. “Di sana, Ānanda,5 sehubungan dengan orang yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka: apakah sebelumnya telah melakukan perbuatan jahat yang dirasakan sebagai menyakitkan, atau belakangan ia melakukan perbuatan jahat yang dirasakan sebagai menyakitkan, atau pada saat kematian ia memperoleh dan menganut pandangan salah.6 Karena hal itu, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka. Dan karena ia di sini telah membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah, ia akan mengalami akibat dari perbuatan itu di sini dan saat ini, atau dalam kelahiran kembali berikutnya, atau dalam beberapa kelahiran setelahnya.7

18. “Di sana, Ānanda, sehubungan dengan orang yang membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga: apakah sebelumnya telah melakukan perbuatan baik yang dirasakan sebagai menyenangkan, atau belakangan ia melakukan perbuatan baik yang dirasakan sebagai menyenangkan, atau pada saat kematian ia memperoleh dan menganut pandangan benar.8 Karena hal itu, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga. Dan karena ia di sini telah membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan salah, ia akan mengalami akibat dari perbuatan itu di sini dan saat ini, atau dalam kelahiran kembali berikutnya, atau dalam beberapa kelahiran setelahnya.

19. “Di sana, Ānanda, sehubungan dengan orang yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga: apakah sebelumnya telah melakukan perbuatan baik yang dirasakan sebagai menyenangkan, atau belakangan ia melakukan perbuatan baik yang dirasakan sebagai menyenangkan, atau pada saat kematian ia memperoleh dan menganut pandangan benar. Karena hal itu, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga. Dan karena ia di sini telah menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup [215] … dan menganut pandangan benar, ia akan mengalami akibat dari perbuatan itu di sini dan saat ini, atau dalam kelahiran kembali berikutnya, atau dalam beberapa kelahiran setelahnya.

20. “Di sana, Ānanda, sehubungan dengan orang yang menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka: apakah sebelumnya telah melakukan perbuatan jahat yang dirasakan sebagai menyakitkan, atau belakangan ia melakukan perbuatan jahat yang dirasakan sebagai menyakitkan, atau pada saat kematian ia memperoleh dan menganut pandangan salah. Karena hal itu, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita … bahkan di neraka. Dan karena ia di sini telah menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup … dan menganut pandangan benar, ia akan mengalami akibat dari perbuatan itu di sini dan saat ini, atau dalam kelahiran kembali berikutnya, atau dalam beberapa kelahiran setelahnya.

21. “Demikianlah, Ānanda, ada perbuatan yang tidak mampu dan tampak tidak mampu; ada perbuatan yang tidak mampu dan tampak mampu; ada perbuatan yang mampu dan tampak mampu; dan ada perbuatan yang mampu dan tampak tidak mampu.”9

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.


Catatan Kaki
  1. MA mengatakan bahwa Potaliputta sesungguhnya tidak secara langsung mendengar dari Sang Buddha, tetapi pernah mendengarkan berita bahwa pernyataan-pernyataan ini dinyatakan oleh Sang Buddha. Pernyataan pertama adalah versi menyimpang dari pernyataan Sang Buddha dalam MN 56.4 bahwa perbuatan pikiran adalah paling tercela di antara ketiga jenis perbuatan bagi pelaksanaan perbuatan jahat. Pernyataan ke dua diturunkan dari pembahasan lenyapnya persepsi oleh Sang Buddha dalam Poṭṭhapāda Sutta (DN 9). MA mengemas kata “tidak berarti” menjadi “tidak berbuah.” ↩︎

  2. Pernyataan ini dinyatakan oleh Sang Buddha pada SN 36:11/iv.216, sehubungan dengan penderitaan yang terkandung dalam segala bentukan karena alasan ketidak-kekalannya. Walaupun pernyataan itu benar, Samiddhi tampaknya telah salah menginterpretasikannya menjadi bermakna bahwa semua perasaan dirasakan sebagai penderitaan, yang jelas salah. ↩︎

  3. MA: Bagian ini tidak menjelaskan pengetahuan Sang Tathāgata mengenai penjelasan panjang tentang perbuatan, tetapi membentuk kerangka yang bertujuan untuk menyajikan penjelasan. ↩︎

  4. MA: Ini juga tidak membabarkan pengetahuan mengenai penjelasan panjang tentang perbuatan, tetapi masih membentuk kerangka. Tujuannya di sini adalah untuk menunjukkan apa yang dapat diterima dan apa yang harus ditolak dari pernyataan para petapa dan brahmana luar. Singkatnya, dalil yang melaporkan pengamatan langsung mereka dapat diterima, tetapi generalisasi yang mereka turunkan dari pengamatan itu harus ditolak. ↩︎

  5. Di sini dimulai penjelasan atas pengetahuan mengenai penjelasan panjang tentang perbuatan. ↩︎

  6. MA: Orang yang dilihat melalui mata dewa melakukan pembunuhan makhluk-makhluk hidup, dan seterusnya, terlahir kembali di neraka karena perbuatan jahat lain yang telah ia lakukan sebelum ia melakukan pembunuhan, dan seterusnya, atau karena perbuatan jahat yang ia lakukan setelahnya, atau karena pandangan salah yang ia terima pada saat kematian. Walaupun Pali sepertinya mengatakan bahwa ia seharusnya terlahir kembali di neraka karena perbuatan-perbuatan selain dari yang terlihat sedang ia lakukan, ini jangan dipahami sebagai suatu pernyataan pasti melainkan hanya sebagai suatu pernyataan kemungkinan. Yaitu, walaupun mungkin saja bahwa ia terlahir kembali di neraka karena perbuatan jahat yang ia terlihat lakukan, tetapi mungkin juga bahwa ia terlahir kembali di neraka karena perbuatan-perbuatan jahat lain yang ia lakukan sebelumnya atau sesudahnya atau karena pandangan salah. ↩︎

  7. Pernyataan ini menunjukkan bahwa bahkan jika kamma buruknya tidak menghasilkan modus kelahiran kembali, namun kamma itu akan tetap matang baginya dalam suatu cara apakah dalam kehidupan ini, dalam kehidupan berikut, atau dalam beberapa kehidupan setelah itu. ↩︎

  8. Dalam kasus ini kelahiran kembali di alam surga pasti disebabkan karena perbuatan-perbuatan lainnya selain dari perbuatan yang terlihat sedang ia lakukan, karena suatu perbuatan jahat tidak dapat menghasilkan modus kelahiran kembali yang beruntung. ↩︎

  9. MA menjelaskan abhabba, tidak mampu, sebagai tidak bermanfaat (akusala*),* disebut “tidak mampu” karena kosong dari kapasitas untuk tumbuh; dan bhabba, mampu, sebagai bermanfaat, disebut ‘”mampu” karena memiliki kapasitas untuk tumbuh. Penjelasan ini tampaknya meragukan; bhabba (Skt bhavya) hanya bermakna “berpotensi, mampu menghasilkan akibat,” tanpa menyiratkan penilaian moral tertentu. MA memberikan dua penjelasan atas tetrad ini. Yang pertama berangkat dengan menganggap akhiran –ābhāsa sebagai bermakna “mengungguli” atau “mengatasi,” dan dengan demikian keempat kata itu menunjukkan cara suatu kamma dari satu kualitas dapat “mengungguli” kamma lainnya dalam menghasilkan akibatnya. Penjelasan ke dua yang tampaknya lebih meyakinkan, menganggap –ābhāsa sebagai bermakna “tampak,” yang saya ikuti dalam terjemahan ini. Pada penjelasan ini, jenis pertama diilustrasikan oleh orang yang membunuh makhluk-makhluk hidup dan terlahir kembali di neraka: perbuatannya tidak mampu menghasilkan (akibat baik) karena perbuatan itu adalah tidak bermanfaat, dan tampak tidak mampu karena ia terlahir kembali di neraka, yang sepertinya menjadi sebab bagi kelahiran kembalinya di sana. Yang ke dua diilustrasikan oleh orang yang membunuh makhluk-makhluk hidup dan terlahir kembali di alam surga: perbuatannya tidak mampu menghasilkan (akibat baik) karena perbuatan itu adalah tidak bermanfaat, namun tampak mampu karena ia terlahir kembali di alam surga; demikianlah bagi para petapa dan brahmana luar, hal ini tampak seperti sebab bagi kelahirannya di alam surga. Kedua kata berikutnya harus dipahami dengan cara yang sama, dengan perubahan seperlunya. ↩︎