easter-japanese

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.1 Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Sang Bhagavā memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang ringkasan dan penjelasan dari ‘Seorang Yang Telah Melewati Satu Malam Yang Baik.’2 Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Kukatakan.” – “Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

3. “Janganlah seseorang menghidupkan kembali masa lalu Atau membangun harapan di masa depan;3 Karena masa lalu telah ditinggalkan Dan masa depan belum dicapai. Melainkan lihatlah dengan pandangan terang Tiap-tiap kondisi yang muncul saat ini;4 Ketahuilah hal itu dan yakinlah pada hal itu, Dengan tak terkalahkan, tak tergoyahkan.5 Hari ini usaha harus dilakukan; Besok mungkin kematian datang, siapa yang tahu? Tidak ada tawar-menawar dengan Kematian Yang dapat menjauhkannya dan gerombolannya, Tetapi seseorang yang berdiam demikian dengan tekun, Tanpa mengendur, siang dan malam – Adalah ia, yang dikatakan oleh Sang Bijaksana damai,6 Yang telah melewati satu malam yang baik. [188]

4. “Bagaimanakah, Para bhikkhu, seseorang menghidupkan kembali masa lalu? Seseorang memelihara kesenangan di sana dengan berpikir: ‘Aku memiliki bentuk materi demikian di masa lalu.’7 Ia memelihara kesenangan di sana dengan berpikir: ‘Aku memiliki perasaan demikian di masa lalu.’ … ‘Aku memiliki persepsi demikian di masa lalu.’ … ‘Aku memiliki bentukan-bentukan demikian di masa lalu.’ … ‘Aku memiliki kesadaran demikian di masa lalu.’ Itu adalah bagaimana seseorang menghidupkan kembali masa lalu.

5. “Dan bagaimanakah, Para bhikkhu, seseorang tidak menghidupkan kembali masa lalu? Seseorang tidak memelihara kesenangan di sana dengan berpikir: ‘Aku memiliki bentuk materi demikian di masa lalu.’8 Ia tidak memelihara kesenangan di sana dengan berpikir: ‘Aku memiliki perasaan demikian di masa lalu.’ … ‘Aku memiliki persepsi demikian di masa lalu.’ … ‘Aku memiliki bentukan-bentukan demikian di masa lalu.’ … ‘Aku memiliki kesadaran demikian di masa lalu.’ Itu adalah bagaimana seseorang tidak menghidupkan kembali masa lalu.

6. “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang membangun harapan di masa depan? Seseorang memelihara kesenangan di sana dengan berpikir: ‘Semoga aku memiliki bentuk materi demikian di masa depan!’9 Ia memelihara kesenangan di sana dengan berpikir: ‘Semoga aku memiliki perasaan demikian di masa depan!’ … ‘Semoga aku memiliki persepsi demikian di masa depan!’ … ‘Semoga aku memiliki bentukan-bentukan demikian di masa depan!’ … ‘Semoga aku memiliki kesadaran demikian di masa depan!’ Itu adalah bagaimana seseorang membangun harapan di masa depan.

7. “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang tidak membangun harapan di masa depan? Seseorang tidak memelihara kesenangan di sana dengan berpikir: ‘Semoga aku memiliki bentuk materi demikian di masa depan!’ Ia tidak memelihara kesenangan di sana dengan berpikir: ‘Semoga aku memiliki perasaan demikian di masa depan!’ … ‘Semoga aku memiliki persepsi demikian di masa depan!’ … ‘Semoga aku memiliki bentukan-bentukan demikian di masa depan!’ … ‘Semoga aku memiliki kesadaran demikian di masa depan!’ Itu adalah bagaimana seseorang tidak membangun harapan di masa depan.

8. “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang terkalahkan sehubungan dengan kondisi-kondisi yang muncul saat ini?10 Di sini, para bhikkhu, seorang biasa yang tidak terpelajar, yang tidak menghargai para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang tidak menghargai manusia sejati dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, menganggap bentuk materi sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk materi, atau bentuk materi sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk materi. Ia menganggap perasaan sebagai diri … persepsi sebagai diri … bentukan-bentukan sebagai diri [189] … kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Itu adalah bagaimana seseorang terkalahkan sehubungan dengan kondisi-kondisi yang muncul saat ini.

9. “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seseorang tidak terkalahkan sehubungan dengan kondisi-kondisi yang muncul saat ini? Di sini, para bhikkhu, seorang siswa mulia yang terpelajar, yang menghargai para mulia dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, yang menghargai manusia sejati dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, tidak menganggap bentuk materi sebagai diri, atau diri sebagai memiliki bentuk materi, atau bentuk materi sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam bentuk materi. Ia tidak menganggap perasaan sebagai diri … persepsi sebagai diri … bentukan-bentukan sebagai diri … kesadaran sebagai diri, atau diri sebagai memiliki kesadaran, atau kesadaran sebagai di dalam diri, atau diri sebagai di dalam kesadaran. Itu adalah bagaimana seseorang tidak terkalahkan sehubungan dengan kondisi-kondisi yang muncul saat ini.

10. “Janganlah seseorang menghidupkan kembali masa lalu …Yang telah melewati satu malam yang baik.

11. “Demikianlah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang ringkasan dan penjelasan dari “Seorang Yang Telah Melewati Satu Malam Yang Baik.”’”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.


Catatan Kaki
  1. Khotbah ini dengan pendahuluan dan catatan yang panjang tersedia secara terpisah dalam terjemahan oleh Bhikkhu Ñāṇananda dengan judul Ideal Solitude↩︎

  2. Dalam edisi pertama saya mengikuti Ñm dalam menerjemahkan bhaddekaratta sebagai “satu kemelekatan yang menguntungkan.” Akan tetapi, atas saran dari YM. Bhikkhu Thānissaro, saya mengubahnya menjadi “satu malam yang baik,” yang tampaknya lebih tepat. Ratta dan ratti dapat dianggap mewakili Skt rātra dan rātri (= malam) atau Skt rakta dan rakti (= kemelekatan). Ñm mengartikan kata-kata ini dalam makna ke dua, tetapi fakta bahwa baik MA maupun MṬ tidak mengemas ratta dengan menyiratkan bahwa yang dimaksudkan adalah “malam”; karena jika kata itu digunakan dalam makna kemelekatan, suatu kondisi tidak bermanfaat yang khas dalam khotbah Buddhis, maka beberapa klarifikasi komentar pasti telah diberikan. Versi Skt dari Asia Tengah, judul Skt pada versi Tibet, dan terjemahan Tibet sendiri semuanya menggunakan bhadrakarātri. Ini menegaskan identifikasi ratta sebagai “malam”; perubahan dari –e- menjadi -a- dapat dipahami sebagai suatu usaha untuk mempermudah tulisan menjadi suatu bacaan yang lebih akrab. (Saya berhutang pada Peter Skilling atas informasi ini.) Madhyama Āgama dari China hanya menyalin kembali judul itu dari versi Skt dan dengan demikian tidak memberikan bantuan.

    Selain dari rangkaian sutta-sutta ini, kata bhaddekaratta tidak terdapat di manapun dalam Kanon Pali. MA hanya mengatakan: “‘Seorang yang melewatkan satu malam yang baik’ adalah seseorang yang melewatkan satu malam yang baik karena memiliki penerapan pandangan terang” (bhaddekarattassā ti vipassanāyogasamannāgatattā bhaddekassa ekarattassa*).* MṬ hanya memberikan pemecahan kata (ekā ratti ekaratto; bhaddo ekaratto etassā ti bhaddekarattaṁ) dan mengatakan bahwa ini merujuk pada seseorang yang melatih pandangan terang. Seperti yang ditekankan pada syair yang mendorong perlunya menaklukkan kematian dengan mengembangkan pandangan terang, judul ini mungkin menggambarkan seorang meditator yang telah melewati satu malam (dan satu hari) yang baik dengan mempraktikkan pandangan terang yang “tak terkalahkan, tak tergoyahkan.” Ñm mengatakan dalam Ms: “Mungkin dapat dianggap bahwa kata ‘bhaddekaratta’ adalah frasa terkenal yang digunakan oleh Sang Buddha dan diberikan makna khusus oleh Beliau, hal ini bukan tidak sering dilakukan, tetapi tampaknya tidak ada alasan untuk melakukan hal itu dan tidak ada bukti untuk kasus ini. Lebih mungkin bahwa kata ini diciptakan oleh Sang Buddha sendiri untuk menggambarkan aspek pengembangan tertentu.” ↩︎

  3. Secara lebih literal kedua baris pertama dapat diterjemahkan: “Janganlah seseorang kembali ke masa lampau atau hidup dalam pengharapan di masa depan.” Makna ini akan lebih jelas dalam paragraf penjelasan di dalam sutta ini. ↩︎

  4. MA: Ia harus merenungkan tiap-tiap kondisi yang muncul saat ini, tepat di mana munculnya, melalui tujuh perenungan pandangan terang (pandangan terang ke dalam ketidak-kekalan, penderitaan, tanpa-diri, kekecewaan, kebosanan, lenyapnya, lepasnya.) ↩︎

  5. Asaṁhīraṁ asankuppaṁ. MA menjelaskan bahwa sutta ini dikatakan bertujuan untuk menunjukkan pandangan terang dan lawan pandangan terang (baca n.1143); karena pandangan terang adalah “tak terkalahkan, tak tergoyahkan” karena tidak terkalahkan atau tergoyahkan oleh nafsu dan kekotoran lainnya. Di tempat lain ungkapan “tak terkalahkan, tak tergoyahkan” digunakan untuk menggambarkan Nibbāna (yaitu, Sn v.1149) atau menggambarkan pikiran yang terbebaskan (misalnya, Thag v.649), tetapi di sini tempaknya merujuk pada tingkatan dalam pengembangan pandangan terang. Kemunculan kembali bentuk kata kerja saṁhirati pada §8 dan §9 menyiratkan bahwa makna yang dimaksudkan adalah perenungan saat ini tanpa tersesat ke dalam pandangan diri. ↩︎

  6. Sang “Bijaksana Damai” (santo muni) adalah Sang Buddha. ↩︎

  7. MA: Seseorang “menemukan kesenangan” dengan membawa ketagihan atau pandangan yang berhubungan dengan ketagihan di masa lalu. Harus dipahami bahwa ini bukanlah sekadar perenungan masa lalu melalui ingatan yang menyebabkan belenggu, tetapi menghidupkan kembali pengalaman masa lalu dengan pikiran-pikiran ketagihan. Sehubungan dengan hal ini ajaran Sang Buddha sangat jauh berbeda dengan ajaran Krishnamurti, yang tampaknya menganggap bahwa ingatan itu sendiri sebagai penjahat di belakang layar. ↩︎

  8. Sintaksis dari Pali memperbolehkan kalimat ini diinterpretasikan dalam dua cara, sebagai menyebutkan bahwa seseorang berpikir, “Aku memiliki bentuk demikian di masa lalu,” namun tidak menemukan kesenangan dalam pikiran itu; atau bahwa seseorang tidak menemukan kesenangan di masa lalu dengan memikirkan pikiran demikian. Horner, Ñāṇananda (dalam Ideal Solitude*),* dan Ñm (dalam Ms) menafsirkan kalimat ini dalam cara pertama; saya mempertahankan terjemahan Ñm dalam edisi pertama. Setelah mempertimbangkan, sekarang saya percaya bahwa interpretasi ke dua adalah lebih tepat menyampaikan makna teks tersebut. Ini juga berkaitan, secara lebih baik, dengan syair itu sendiri, yang menginstruksikan agar siswa tidak berdiam di masa lalu dan di masa depan melainkan merenungkan “tiap-tiap kondisi yang muncul saat ini” seperti yang disampaikan oleh syair itu sendiri. ↩︎

  9. Dalam edisi pertama, kalimat ini diterjemahkan: “Dengan berpikir, ‘Aku akan memiliki bentuk materi demikian di masa depan,’ seseorang menemukan kesenangan di dalam itu.” Setelah merenungkan kembali, sekarang bagi saya tampaknya bahwa kalimat itu mengungkapkan seruan harapan di masa depan. ↩︎

  10. Kata kerja di sini dan dalam paragraf berikutnya, saṁhirati, merujuk kembali pada baris dalam syair, “tak terkalahkan, tak tergoyahkan.” MA mengemas: “Seseorang diseret oleh ketagihan dan pandangan karena ketiadaan pandangan terang.” ↩︎