easter-japanese

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.1 Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu,” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, ada beberapa petapa dan brahmana yang berspekulasi tentang masa depan dan menganut pandangan tentang masa depan, yang menyatakan berbagai dalil doktrin sehubungan dengan masa depan.

(I) Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian.’

(II) Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian.’

(III) Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri bukan memiliki juga bukan tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian.’

(IV) Atau mereka menjelaskan pemusnahan, kehancuran, dan kebinasaan dari makhluk yang ada [pada saat kematian].

(V) Atau beberapa menyatakan Nibbāna di sini dan saat ini.2

“Demikianlah (a) mereka menggambarkan keberadaan diri yang tidak hancur setelah kematian; (b) atau mereka menggambarkan pemusnahan, kehancuran, dan kebinasaan dari makhluk yang ada [pada saat kematian]; (c) atau mereka menyatakan Nibbāna di sini dan saat ini. Demikianlah [pandangan-pandangan] ini dari lima menjadi tiga, dan dari tiga menjadi lima. Ini adalah ringkasan dari ‘lima dan tiga.’

3. (1) “Di sana, para bhikkhu, para petapa dan brahmana [229] yang menjelaskan diri sebagai memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian menggambarkan bahwa diri itu, yang memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, sebagai:

bermateri;

atau tanpa materi;

atau bermateri juga tanpa-materi;

atau bukan bermateri juga bukan tanpa-materi;

atau memiliki persepsi kesatuan;

atau memiliki persepsi keberagaman;

atau memiliki persepsi terbatas;

atau memiliki persepsi tidak terbatas.3

Atau yang lainnya, di antara sedikit dari mereka yang melampaui hal ini, beberapa menyatakan tentang kasiṇa-kesadaran, yang tanpa batas dan tanpa gangguan.4

4. “Sang Tathāgata, para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan diri sebagai memiliki diri dan tidak rusak setelah kematian menggambarkan diri itu sebagai bermateri … atau mereka menggambarkannya sebagai memiliki persepsi dan tidak terbatas. Atau yang lainnya, [230] beberapa menyatakan tentang landasan kekosongan, tanpa batas dan tanpa gangguan; [bagi mereka] “tidak ada apa-apa” dinyatakan sebagai persepsi yang paling murni, paling tinggi, paling baik, dan tidak terlampaui – apakah persepsi bentuk, persepsi tanpa bentuk, persepsi kesatuan, atau persepsi keberagaman.5 Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.6

5. (II) “Di sana, para bhikkhu, para petapa dan brahmana itu yang menjelaskan diri sebagai tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian menggambarkan diri itu, yang tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, sebagai:

Bermateri;

Atau tanpa materi;

Atau bermateri juga tanpa-materi;

Atau bukan bermateri juga bukan tanpa-materi.7

6. “Di sana, para bhikkhu, mereka mengkritik para petapa dan brahmana yang menjelaskan diri sebagai memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian. Mengapakah? Karena mereka mengatakan: ‘Persepsi adalah penyakit, persepsi adalah tumor, persepsi adalah anak panah; ini adalah damai, ini adalah luhur, yaitu, tanpa persepsi.’

7. “Sang Tathāgata, para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan diri sebagai tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian menggambarkan diri itu, yang tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, sebagai bermateri … atau bukan bermateri juga bukan tanpa-materi. Bahwa petapa atau brahmana manapun dapat mengatakan: “Terlepas dari bentuk materi, terlepas dari perasaan, terlepas dari persepsi, terlepas dari bentukan-bentukan, aku akan menjelaskan datang dan perginya kesadaran, lenyapnya dan kemunculan kembalinya, pertumbuhannya, peningkatannya, dan kematangannya” – itu adalah tidak mungkin.8 Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada [231] lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

8. (III) “Di sana, para bhikkhu, para petapa dan brahmana itu yang menjelaskan diri sebagai bukan memiliki juga bukan tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian menggambarkan diri itu, yang memiliki juga tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, sebagai:

Bermateri;

Atau tanpa materi;

Atau bermateri juga tanpa-materi;

Atau bukan bermateri juga bukan tanpa-materi.9

9. “Di sana, para bhikkhu, mereka mengkritik para petapa dan brahmana yang menjelaskan diri sebagai memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, dan mereka mengkritik para petapa dan brahmana yang menjelaskan diri sebagai tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian. Mengapakah? Karena mereka mengatakan: ‘Persepsi adalah penyakit, persepsi adalah tumor, persepsi adalah anak panah dan tanpa persepsi adalah kelumpuhan;10 ini adalah damai, ini adalah luhur, yaitu, bukan persepsi juga bukan tanpa-persepsi.’

10. “Sang Tathāgata, para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan diri sebagai bukan memiliki persepsi juga bukan tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian menggambarkan diri itu, yang bukan memiliki juga bukan tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, sebagai bermateri … atau bukan bermateri juga bukan tanpa-materi. Jika petapa atau brahmana manapun menjelaskan bahwa memasuki landasan ini terjadi melalui bentukan-bentukan sehubungan dengan apa yang dilihat, didengar, dicerap, dan dikenali, itu dinyatakan sebagai bencana dalam memasuki landasan ini.11[232] Karena landasan ini, dinyatakan, tidak dicapai sebagai pencapaian dengan bentukan-bentukan; landasan ini, dinyatakan, dicapai sebagai pencapaian dengan sisa-sisa bentukan-bentukan.12 Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

11. (IV) “Di sana, para bhikkhu, para petapa dan brahmana yang menjelaskan pemusnahan, kehancuran, dan kebinasaan suatu makhluk yang ada [pada saat kematian]13 mengkritik para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan diri sebagai memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, dan mereka mengkritik para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan diri sebagai tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, dan mereka mengkritik para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan diri sebagai bukan memiliki juga bukan tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian. Mengapakah? Semua petapa dan brahmana baik ini, dengan bergegas maju ke depan, menyatakan keterikatan mereka sebagai berikut: ‘Kita akan seperti demikian setelah mati, kita akan seperti demikian setelah mati.’ Seperti halnya seorang pedagang yang pergi ke pasar dan berpikir: ‘Karena ini, itu akan menjadi milikku; dengan ini, aku akan mendapatkan itu’; demikian pula, para petapa dan brahmana baik ini tampak seperti para pedagang itu ketika mereka menyatakan: ‘Kita akan seperti demikian setelah mati, kita akan seperti demikian setelah mati.’

12. “Sang Tathāgata, para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan pemusnahan, kehancuran, dan kebinasaan suatu makhluk yang ada [pada saat kematian], karena ketakutan pada identitas dan kejijikan pada identitas, terus-menerus berlari dan berputar di sekeliling identitas yang sama itu.14 Seperti halnya seekor anjing yang terikat oleh tali pengikat pada sebuah tiang atau tonggak [233] akan terus-menerus belari dan berputar di sekeliling tiang atau tonggak yang sama itu; demikian pula, para petapa dan brahmana baik itu, karena ketakutan pada identitas dan kejijikan pada identitas, terus-menerus berlari dan berputar di sekeliling identitas yang sama itu. Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

13. “Para bhikkhu, petapa atau brahmana manapun yang berspekulasi tentang masa depan dan menganut pandangan tentang masa depan, yang menyatakan berbagai dalil doktrin sehubungan dengan masa depan, semuanya menyatakan kelima landasan ini atau salah satu di antaranya.15

14. “Para bhikkhu, ada beberapa petapa dan brahmana yang berspekulasi tentang masa lampau dan menganut pandangan tentang masa lampau, yang menyatakan berbagai dalil doktrin sehubungan dengan masa lampau.

(1) Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’16

(2) Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah tidak abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’17

(3) Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah abadi dan juga tidak abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’18

(4) Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah bukan abadi dan juga bukan tidak abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’19

(5) Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’20

(6) Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah tidak terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’

(7) Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah terbatas dan juga tidak terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’

(8) Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah bukan terbatas dan juga bukan tidak terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’

(9) Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia memiliki persepsi kesatuan: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’21

(10) Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia memiliki persepsi keberagaman: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’

(11) Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia memiliki persepsi terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’

(12) Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia memiliki persepsi tidak terukur: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’

(13) Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia [mengalami] kenikmatan luar biasa: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’ [234]

(14) Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia [mengalami] kesakitan luar biasa: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’

(15) Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia [mengalami] kenikmatan dan juga kesakitan: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’

(16) Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia tidak [mengalami] kenikmatan maupun kesakitan: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’

15. (1) “Di sana, para bhikkhu, sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah,’ bahwa terlepas dari keyakinan, terlepas dari persetujuan, terlepas dari tradisi lisan, terlepas dari penalaran, terlepas dari penerimaan pandangan melalui perenungan, mereka akan memiliki pengetahuan pribadi yang murni dan jernih atas hal ini – itu adalah tidak mungkin.22 Karena mereka tidak memiliki pengetahuan pribadi yang murni dan jernih, bahkan sekedar potongan pengetahuan yang dijelaskan oleh para petapa dan brahmana baik itu [atas pandangan mereka] dinyatakan sebagai kemelekatan di pihak mereka.23 Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan. Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

16. (2-16) “Di sana, para bhikkhu, sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah tidak abadi … abadi dan tidak abadi … bukan abadi juga bukan tidak abadi … terbatas … tidak terbatas … terbatas dan tidak terbatas … bukan terbatas juga bukan tidak terbatas … memiliki persepsi kesatuan … memiliki persepsi keberagaman … memiliki persepsi terbatas … memiliki persepsi tidak terukur … [mengalami] kenikmatan luar biasa … [mengalami] kesakitan luar biasa … [mengalami] kenikmatan dan kesakitan … tidak [mengalami] kenikmatan maupun kesakitan: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah,’ bahwa terlepas dari keyakinan, terlepas dari persetujuan, terlepas dari tradisi lisan, terlepas dari penalaran, terlepas dari penerimaan pandangan melalui perenungan, mereka akan memiliki pengetahuan pribadi yang murni dan jernih atas hal ini – itu adalah tidak mungkin. [235] Karena mereka tidak memiliki pengetahuan pribadi yang murni dan jernih, bahkan sekedar potongan pengetahuan yang dijelaskan oleh para petapa dan brahmana baik itu [atas pandangan mereka] dinyatakan sebagai kemelekatan di pihak mereka. Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.24

17. (V) “Di sini, para bhikkhu,26 seorang petapa atau brahmana, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan dan karena sama sekali tidak condong pada belenggu-belenggu kenikmatan indria, masuk dan berdiam dalam sukacita keterasingan.27 Ia berpikir: ‘Ini damai, ini luhur, bahwa aku masuk dan berdiam dalam sukacita keterasingan.’ Sukacita keterasingan itu lenyap dalam dirinya. Dengan lenyapnya sukacita keterasingan itu, maka kesedihan muncul, dan dengan lenyapnya kesedihan, maka sukacita keterasingan muncul.28 Seperti halnya cahaya matahari meliputi area yang ditinggalkan oleh bayangan, dan bayangan meliputi area yang ditinggalkan oleh cahaya matahari, demikian pula, Dengan lenyapnya sukacita keterasingan itu, maka kesedihan muncul, dan dengan lenyapnya kesedihan, maka sukacita keterasingan muncul.

18. “Sang Tathāgata, para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Petapa atau brahmana baik ini, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan … dan dengan lenyapnya kesedihan, maka sukacita keterasingan muncul. Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

19. “Di sini, para bhikkhu, seorang petapa atau brahmana, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan, dan karena sama sekali tidak condong pada belenggu-belenggu kenikmatan indria, dan dengan mengatasi sukacita keterasingan, masuk dan berdiam dalam kenikmatan non-duniawi.29 Ia berpikir: ‘Ini damai, ini luhur, bahwa aku masuk dan berdiam dalam kenikmatan non-duniawi.’ Kenikmatan non-duniawi itu lenyap dalam dirinya. Dengan lenyapnya kenikmatan non-duniawi, maka sukacita keterasingan muncul, dan dengan lenyapnya sukacita keterasingan, maka kenikmatan non-duniawi muncul. [236] Seperti halnya cahaya matahari meliputi area wilayah yang ditinggalkan oleh bayangan, dan bayangan meliputi area yang ditinggalkan oleh cahaya matahari, demikian pula, Dengan lenyapnya kenikmatan non-duniawi, maka sukacita keterasingan muncul, dan dengan lenyapnya sukacita keterasingan, maka kenikmatan non-duniawi muncul.

20. “Sang Tathāgata, para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Petapa atau brahmana baik ini, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan … dan dengan lenyapnya sukacita keterasingan, maka kenikmatan non-duniawi muncul. Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

21. “Di sini, para bhikkhu, seorang petapa atau brahmana, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan, dan karena sama sekali tidak condong pada belenggu-belenggu kenikmatan indria, dan dengan mengatasi sukacita keterasingan dan kenikmatan non-duniawi, masuk dan berdiam dalam perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.30 Ia berpikir: ‘Ini damai, ini luhur, bahwa aku masuk dan berdiam dalam perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.’ Perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan itu lenyap dalam dirinya. Dengan lenyapnya perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan itu, maka kenikmatan non-duniawi muncul, dan dengan lenyapnya kenikmatan non-duniawi, maka perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan muncul. Seperti halnya cahaya matahari meliputi area yang ditinggalkan oleh bayangan, dan bayangan meliputi area yang ditinggalkan oleh cahaya matahari, demikian pula, dengan lenyapnya perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan itu, maka kenikmatan non-duniawi muncul, dan dengan lenyapnya kenikmatan non-duniawi, maka perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan muncul.

22. “Sang Tathāgata, para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Petapa atau brahmana baik ini, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan … [237] … dan dengan lenyapnya kenikmatan non-duniawi, maka perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan muncul. Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

23. “Di sini, para bhikkhu, seorang petapa atau brahmana, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan, dan karena sama sekali tidak condong pada belenggu-belenggu kenikmatan indria, dan dengan mengatasi sukacita keterasingan, kenikmatan non-duniawi, dan perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, menganggap dirinya sebagai berikut: ‘Aku dalam keadaan damai, aku telah mencapai Nibbāna, aku tanpa kemelekatan.’31

24. “Sang Tathāgata, para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Petapa atau brahmana baik ini, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan … menganggap dirinya sebagai berikut: ‘Aku dalam keadaan damai, aku telah mencapai Nibbāna, aku tanpa kemelekatan.’ Tentu saja yang mulia ini menyatakan jalan menuju Nibbāna. Namun petapa atau brahmana baik ini masih melekat, melekat apakah pada pandangan tentang masa lampau atau pada pandangan tentang masa depan atau pada belenggu kenikmatan indria atau pada sukacita keterasingan atau pada kenikmatan non-duniawi atau pada perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan. Dan ketika yang mulia ini menganggap dirinya sebagai berikut: ‘Aku dalam keadaan damai, aku telah mencapai Nibbāna, aku tanpa kemelekatan,’ itu juga dinyatakan sebagai kemelekatan di pihak petapa atau brahmana baik ini.32 Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

25. “Para bhikkhu, kondisi tertinggi dari kedamaian luhur ini telah ditemukan oleh Sang Tathāgata, yaitu, pembebasan melalui ketidak-melekatan,33 dengan memahami sebagaimana adanya asal-mula, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri dalam hal enam landasan kontak. Para bhikkhu, itu adalah kondisi tertinggi dari kedamaian luhur ini yang ditemukan oleh Sang Tathāgata, [238] yaitu, kebebasan melalui ketidak-melekatan, dengan memahami sebagaimana adanya asal-mula, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri dalam hal enam landasan kontak.”34

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.


Catatan Kaki
  1. Sutta ini adalah padanan dengan panjang menengah dari Brahmajāla Sutta yang lebih panjang, yang terdapat dalam Digha Nikāya dan diterbitkan dalam terjemahannya dengan komentarnya dalam Bodhi, Discourse on the All-Embracing Net of Views. Penjelasan terperinci pada hampir seluruh pandangan yang disebutkan dalam sutta ini dapat dibaca dalam Pendahuluan dan Bagian ke dua buku tersebut. Ada terjemahan Tibet atas Pañcatraya Sūtra, padanan dari teks ini yang berasal dari aliran Mūlasarvāstivāda, yang bukunya dituliskan dalam Skt. Teks ini dibahas oleh Peter Skilling dalam Mahāsūtras II, pp. 469-511. Skilling menggaris-bawahi perbedaan menarik antara versi teks ini dan versi Pali. ↩︎

  2. Skilling menunjukkan bahwa Pañcatraya versi Tibet, menyatakan Nirvāṇa di sini dan saat ini tidak termasuk dalam pandangan akan masa depan melainkan merupakan kelompok terpisah. Brahmajāla Sutta menempatkan pernyataan Nibbāna tertinggi di sini dan saat ini di antara pandangan-pandangan akan masa depan, tetapi penataan dalam versi Tibet tampaknya lebih logis. ↩︎

  3. Dalam Brahmajāla Sutta keenam-belas variasi pandangan ini disebutkan, delapan yang terdapat di sini dan dua tetrad lainnya: diri sebagai terbatas, tidak terbatas, keduanya, dan bukan keduanya; dan diri sebagai mengalami kenikmatan luar biasa, kesakitan luar biasa, gabungan keduanya, dan bukan keduanya. Dalam sutta sekarang ini kedua tetrad ini dimasukkan ke dalam spekulasi tentang masa lampau pada §14, tetapi pada SN 24:37-44/iii.219-20 dijelaskan sebagai diri setelah kematian↩︎

  4. Jelas, bahwa dalam daftar di atas pandangan-pandangan diri sebagai tanpa materi, memiliki persepsi kesatuan, dan memiliki persepsi tanpa batas adalah berdasarkan pada pencapaian landasan ruang tanpa batas. MṬ menjelaskan kasiṇa-kesadaran sebagai landasan kesadaran tanpa batas, menyebutkan bahwa para penganut teori ini menyatakan landasan itu sebagai diri. ↩︎

  5. Persepsi di dalam meditasi tanpa materi ke tiga – landasan kekosongan – adalah yang paling halus dari semua persepsi duniawi. Walaupun masih ada jenis persepsi dalam pencapaian tanpa materi ke empat, ini begitu halusnya sehingga tidak lagi layak disebut sebagai persepsi. ↩︎

  6. MA menuliskan sebagai berikut: “Semua jenis persepsi itu bersama dengan pandangan-pandangan adalah terkondisi, dan karena terkondisi, maka kasar. Tetapi karena ada Nibbāna, yang disebut lenyapnya bentukan-bentukan, yaitu, bentukan-bentukan yang terkondisi. Setelah mengetahui, ‘Ada hal ini,’ yaitu ada Nibbāna, dengan melihat jalan membebaskan diri dari yang terkondisi, maka Sang Tathāgata telah melampaui yang terkondisi itu.” ↩︎

  7. Tetrad ke dua dari §3 dihilangkan di sini, karena diri dianggap sebagai tidak memiliki persepsi. Dalam Brahmajāla Sutta kedelapan variasi pandangan ini disebutkan, empat ini ditambah tetrad terbatas-tidak terbatas. ↩︎

  8. MA menunjukkan bahwa pernyataan ini dibuat dengan merujuk pada alam-alam kehidupan di mana terdapat seluruh kelima kelompok unsur kehidupan. Dalam alam tanpa-materi kesadaran ada tanpa kelompok unsur bentuk-materi, dan dalam alam tanpa-persepsi ada bentuk-materi tetapi tanpa kesadaran. Tetapi kesadaran tidak pernah ada tanpa ketiga kelompok unsur batin lainnya. ↩︎

  9. Brahmajāla Sutta menyebutkan delapan variasi pandangan ini, empat ini ditambah tetrad terbatas-tidak terbatas. ↩︎

  10. Sammoha, di sini jelas memiliki makna berbeda dari “kebingungan” atau “delusi” seperti biasanya. ↩︎

  11. MA menjelaskan kata majemuk diṭṭhasutamutaviññātabba sebagai bermakna “apa yang dikenali sebagai terlihat, terdengar, dan terindra” dan menganggapnya merujuk pada pengenalan pintu indria. Akan tetapi, hal ini juga dapat merupakan seluruh pengenalan pintu pikiran yang lebih kasar. Untuk memasuki pencapaian tanpa materi ke empat, semua “bentukan batin” yang biasa yang terlibat dalam proses pengenalan lainnya harus diatasi, karena keberadaannya adalah rintangan untuk memasuki pencapaian ini. Karena itu ini disebut “tidak memiliki persepsi” (n’eva saññi*).* ↩︎

  12. Sasankhārāvasesasamāpatti. Di dalam pencapaian tanpa materi ke empat masih ada sisa-sisa bentukan batin yang sangat halus, karena itu disebut “bukan tidak memiliki persepsi” (nāsaññi). ↩︎

  13. Brahmajāla menjelaskan tujuh jenis pandangan pemusnahan, di sini seluruhnya dikelompokkan menjadi satu. ↩︎

  14. “Ketakutan dan kejijikan pada identitas” adalah suatu aspek vibhavataṇhā, ketagihan pada ketiadaan. Pandangan pemusnahan yang karenanya “ketakutan dan kejijikan pada identitas” ini muncul masih melibatkan suatu identifkasi sebagai diri – diri yang musnah pada saat kematian – dan dengan demikian, terlepas dari penyangkalan ini, hal ini mengikat si penganutnya pada lingkaran kehidupan. ↩︎

  15. Sejauh ini hanya empat dari lima kelompok spekulasi tentang masa depan yang telah dianalisa, namun Sang Buddha berkata seolah-olah semuanya telah dijelaskan. MA berusaha untuk memecahkan persoalan ini dengan menjelaskan bahwa pernyataan “Nibbāna di sini dan saat ini” tercakup dalam “memiliki persepsi kesatuan” dan “memiliki persepsi keberagaman” dalam §3. Akan tetapi, penjelasan ini tidak meyakinkan. Ñm, dalam Ms, menambahkan judul “Nibbāna di sini dan saat ini” pada §17, dan §17-21 tampaknya bersesuaian dengan empat terakhir dari lima doktrin Nibbāna di sini dan saat ini dalam Brahmajāla. Akan tetapi, interpretasi ini sepertinya dilawan oleh §13 dan oleh frasa yang digunakan dalam §17, §19, dan §21, “dengan melepaskan pandangan-pandangan tentang masa lampau dan masa depan,” yang mengeluarkan doktrin Nibbāna di sini dan saat ini dari pandangan-pandangan tentang masa depan (walaupun ditempatkan di antara pandangan-pandangan demikian dalam pembukaan). Persoalan ini tampaknya tidak dapat dipecahkan, dan memunculkan kecurigaan bahwa teks telah mengalami perubahan hingga tingkat tertentu dalam penyampaian lisan. Penambahan pandangan-pandangan tentang masa lampau persis di bawah juga menimbulkan persoalan. Bukan hanya karena pandangan-pandangan itu tidak disebutkan dalam pembukaan, tetapi penempatan yang masa lampau setelah yang masa depan membalikkan urutan waktu yang normal. Skilling beranggapan bahwa paragraf ini adalah bagian dari komentar lisan dari sutta ini yang, pada titik tertentu, terserap ke dalam teks. ↩︎

  16. Pandangan ini memasukkan seluruh empat pandangan eternalis yang berspekulasi tentang masa lampau yang disebutkan dalam Brahmajāla↩︎

  17. Karena ini adalah pandangan yang merujuk pada masa lampau, dapat dianggap menyiratkan bahwa pada titik tertentu di masa lampau diri dan dunia muncul secara spontan dari ketiadaan. Demikianlah ini terdiri dari dua doktrin asal-mula yang terjadi secara kebetulan dari Brahmajāla, seperti pendapat MA. ↩︎

  18. Ini memasukkan keempat jenis eternalisme sebagian. ↩︎

  19. Ini dapat memasukkan keempat jenis pengelakan tanpa akhir atau “geliat-belut” pada Brahmajāla↩︎

  20. Pandangan-pandangan 5-8 bersesuaian persis dengan empat pandangan perpanjangan dari Brahmajāla↩︎

  21. Kedelapan pandangan (9-16) adalah, dalam Brahmajāla, termasuk di dalam doktrin-doktrin yang memiliki persepsi keabadian yang terdapat dalam kelompok spekulasi tentang masa depan. ↩︎

  22. Yaitu, mereka harus menerima doktrin mereka di atas suatu dasar selain pengetahuan, yang melibatkan kepercayaan atau penalaran. Pada MN 95.14, dikatakan bahwa kelima dasar pendirian ini menghasilkan kesimpulan yang dapat terbukti benar atau salah. ↩︎

  23. MA: ini sebenarnya bukanlah pengetahuan melainkan pemahaman keliru; demikianlah ini dinyatakan sebagai kemelekatan pada pandangan-pandangan. ↩︎

  24. MA mengatakan bahwa pada titik ini keseluruh enam puluh dua pandangan yang dijelaskan dalam Brahmajāla Sutta telah dicantumkan, namun sutta ini bahkan memiliki jangkauan yang lebih luas karena memasukkan penjelasan atas pandangan identitas (paling jelas pada §24). ↩︎

  25. Bagian judul ini, dan huruf Romawi berikutnya “V”, ditambahkan oleh Ñm dengan anggapan bahwa paragraf ini menyajikan doktrin Nibbāna di sini dan saat ini, yang disebutkan tetapi tidak dijelaskan sebelumnya. ↩︎

  26. MA: Bagian ini dimaksudkan untuk menunjukkan bagaimana keseluruhan enam puluh dua pandangan spekulatif muncul di atas pandangan identitas. ↩︎

  27. Pavivekaṁ pītiṁ. Ini merujuk pada dua jhāna pertama, di mana pīti termasuk. ↩︎

  28. MA menjelaskan bahwa ini adalah kesedihan yang disebabkan oleh kehilangan jhāna. Kesedihan ini tidak muncul segera saat lenyapnya jhāna, melainkan setelah perenungan atas lenyapnya. ↩︎

  29. Nirāmisaṁ sukhaṁ. Ini adalah kenikmatan jhāna ke tiga. ↩︎

  30. Jhāna ke empat. ↩︎

  31. Santo’ham asmi, nibbuto’ham asmi, anupādāno’ham asmi. Dalam Pali ungkapan aham asmi, “aku,” mengungkapkan bahwa ia masih terlibat dengan kemelekatan, seperti yang akan ditunjukkan oleh Sang Buddha. ↩︎

  32. MA menganggap ini sebagai kiasan dari pandangan identitas. Demikianlah ia masih melekati suatu pandangan. ↩︎

  33. MA di tempat lain menyebutkan ungkapan “kebebasan melalui ketidak-melekatan” (anupāda vimokkha) menyiratkan Nibbāna, tetapi di sini ini berarti pencapaian buah Kearahattaan. ↩︎

  34. Brahmajāla Sutta juga menunjuk pada pemahamanan asal-mula, dan seterusnya atas keenam landasan kontak sebagai jalan untuk melampaui segala pandangan. ↩︎