M ii 214
Di Devadaha
Di terjemahkan dari pāḷi oleh
Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi
ShortUrl:
Edisi lain:
Pāḷi (vri)
[214]
1.
DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di negeri Sakya di mana terdapat sebuah pemukiman Sakya bernama Devadaha. Di sana Sang Bhagavā memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:
2.
“Para bhikkhu, ada beberapa petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Apapun yang dirasakan oleh orang ini, apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, semua itu disebabkan oleh apa yang dilakukan di masa lampau.1 Jadi dengan memusnahkan perbuatan lampau melalui pertapaan2 dan dengan tidak melakukan perbuatan baru, maka tidak akan ada akibat di masa depan. Dengan tidak adanya akibat di masa depan, maka hancurnya perbuatan terjadi. Dengan hancurnya perbuatan, maka hancurnya penderitaan terjadi. Dengan hancurnya penderitaan, maka hancurnya perasaan terjadi. Dengan hancurnya perasaan, maka segala penderitaan akan menjadi padam.’ Demikianlah menurut para Nigaṇṭha, para bhikkhu.
3.
“Aku mendatangi para Nigaṇṭha yang mengatakan demikian dan Aku mengatakan: ‘Teman-teman para Nigaṇṭha, benarkah bahwa kalian menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: “Apapun yang dirasakan oleh orang ini … maka segala penderitaan akan menjadi padam”?’ Jika, ketika mereka ditanya demikian, para Nigaṇṭha itu mengakui dan mengatakan ‘Benar,’ maka aku berkata kepada mereka:
4.
“‘Tetapi, teman-teman, apakah kalian mengetahui bahwa kalian ada di masa lampau, dan bahwa bukan pada kenyataannya kalian tidak ada?’ – ‘Tidak, Teman.’ – ‘Tetapi, teman-teman, apakah kalian mengetahui bahwa kalian telah melakukan perbuatan jahat di masa lampau dan tidak menghindarinya?’ – ‘Tidak, Teman.’ – ‘Tetapi, teman-teman, apakah kalian mengetahui bahwa kalian melakukan perbuatan jahat ini dan itu?’ – ‘Tidak, Teman.’ – ‘Tetapi, teman-teman, apakah kalian mengetahui seberapa banyak penderitaan yang telah padam, atau seberapa banyak penderitaan yang masih harus dipadamkan, atau bahwa setelah berapa banyak penderitaan dipadamkan maka semua penderitaan akan padam?’ – [215]
‘Tidak, Teman.’ – ‘Tetapi, teman-teman, apakah kalian mengetahui apakah meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat itu dan apakah melatih kondisi-kondisi bermanfaat di sini dan saat ini?’ – ‘Tidak, Teman.’
5.
“‘Jadi, teman-teman, sepertinya kalian tidak mengetahui bahwa kalian pernah ada di masa lampau dan bahwa bukan pada kenyataaanya kalian tidak pernah ada; atau bahwa kalian telah melakukan perbuatan jahat di masa lampau dan tidak menghindarinya; atau bahwa kalian melakukan perbuatan jahat ini dan itu; atau bahwa seberapa banyak penderitaan yang telah padam, atau seberapa banyak penderitaan yang masih harus dipadamkan, atau bahwa setelah berapa banyak penderitaan dipadamkan maka semua penderitaan akan padam; atau apakah meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat itu dan apakah melatih kondisi-kondisi bermanfaat di sini dan saat ini. Kalau begitu, tidaklah selayaknya bagi para mulia Nigaṇṭha untuk menyatakan: “Apapun yang dirasakan oleh orang ini, apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, semua itu disebabkan oleh apa yang dilakukan di masa lampau. Jadi dengan memusnahkan perbuatan lampau melalui pertapaan dan dengan tidak melakukan perbuatan baru, maka tidak akan ada akibat di masa depan. Dengan tidak adanya akibat di masa depan … segala penderitaan akan menjadi padam.”
6.
“‘Jika, Teman-teman Nigaṇṭha, kalian mengetahui bahwa kalian pernah ada di masa lampau dan bahwa bukan pada kenyataaanya kalian tidak pernah ada; atau bahwa kalian telah melakukan perbuatan jahat di masa lampau dan tidak menghindarinya; atau bahwa kalian melakukan perbuatan jahat ini dan itu; atau bahwa seberapa banyak penderitaan yang telah padam, atau seberapa banyak penderitaan yang masih harus dipadamkan, atau bahwa setelah berapa banyak penderitaan dipadamkan maka semua penderitaan akan padam; atau apakah meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat itu dan apakah melatih kondisi-kondisi bermanfaat di sini dan saat ini. Kalau begitu, maka adalah selayaknya bagi para mulia Nigaṇṭha untuk menyatakan: “Apapun yang dirasakan oleh orang ini … [216]
… segala penderitaan akan menjadi padam.”
7.
“‘Teman-teman Nigaṇṭha, misalkan seseorang terluka oleh anak panah beracun, dan karena itu ia merasakan perasaan sakit, menyiksa dan menusuk. Kemudian teman-teman dan sahabatnya, sanak-saudara dan kerabatnya, membawa seorang ahli bedah. Ahli bedah itu membedah luka itu dengan pisau, memeriksa anak panah itu dengan alat periksa, mencabut anak panah itu, dan mengoleskan serbuk obat pada luka itu, dan pada setiap tahapan itu orang itu akan merasakan perasaan sakit, menyiksa dan menusuk. Kemudian belakangan, ketika luka itu sembuh dan tertutup kulit, orang itu menjadi baik dan bahagia, tidak bergantung, menguasai dirinya sendiri, mampu bepergian ke manapun yang ia kehendaki. Ia mungkin berpikir: “Sebelumnya aku tertusuk oleh anak panah beracun, dan karenanya aku merasakan perasaan sakit, menyiksa dan menusuk. Kemudian teman-teman dan sahabatku, sanak-saudara dan kerabatku, membawa seorang ahli bedah. Ahli bedah itu membedah luka itu dengan pisau, memeriksa anak panah itu dengan alat periksa, mencabut anak panah itu, dan mengoleskan serbuk obat pada luka itu, dan pada setiap tahapan itu aku merasakan perasaan sakit, menyiksa dan menusuk. [217]
Tetapi sekarang luka itu sembuh dan tertutup kulit, aku menjadi baik dan bahagia, tidak bergantung, menguasai diriku sendiri, mampu bepergian ke manapun yang kukehendaki.”
8.
“‘Demikian pula, Teman Nigaṇṭha, jika kalian mengetahui bahwa kalian pernah ada di masa lampau dan bahwa bukan pada kenyataaanya kalian tidak pernah ada … atau apakah meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat itu dan apakah melatih kondisi-kondisi bermanfaat di sini dan saat ini. Kalau begitu, maka adalah selayaknya bagi para mulia Nigaṇṭha untuk menyatakan: “Apapun yang dirasakan oleh orang ini … segala penderitaan akan menjadi padam.”
9.
“‘Tetapi karena, Teman-teman Nigaṇṭha, kalian tidak mengetahui bahwa kalian pernah ada di masa lampau dan bahwa bukan pada kenyataaanya kalian tidak pernah ada … atau apakah meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat itu dan apakah melatih kondisi-kondisi bermanfaat di sini dan saat ini. Kalau begitu, maka adalah tidak selayaknya bagi para mulia Nigaṇṭha untuk menyatakan: “Apapun yang dirasakan oleh orang ini … segala penderitaan akan menjadi padam.”’
10.
“Ketika hal ini dikatakan, Para Nigaṇṭha berkata kepadaKu: [218]
‘Teman, Nigaṇṭha Nātaputta adalah maha-tahu dan maha-melihat, memiliki pengetahuan dan penglihatan lengkap sebagai berikut: “Apakah Aku berjalan atau berdiri atau terlelap atau terjaga, pengetahuan dan penglihatan terus-menerus dan tanpa terputus ada padaKu.” Ia berkata sebagai berikut: “Para Nigaṇṭha, kalian telah melakukan perbuatan jahat di masa lampau, padamkanlah dengan melaksanakan pertapaan keras. Dan ketika kalian di sini dan saat ini terkendali dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, itu berarti tidak melakukan perbuatan jahat di masa depan. Jadi dengan memusnahkan perbuatan lampau melalui pertapaan dan dengan tidak melakukan perbuatan baru, maka tidak akan ada akibat di masa depan … maka segala penderitaan akan menjadi padam.” Kami menyetujui dan menerima ini, dan kami merasa puas.’
11.
“Ketika hal ini dikatakan, Aku berkata kepada para Nigaṇṭha:3 ‘Ada lima hal, Teman-teman Nigaṇṭha, yang mungkin terbukti dalam dua cara berbeda di sini dan saat ini. Apakah lima ini? Keyakinan, persetujuan, tradisi lisan, penalaran, dan penerimaan pandangan melalui perenungan. Kelima hal ini mungkin terbukti dalam dua cara berbeda di sini dan saat ini. Di sini, keyakinan yang bagaimanakah yang Para Mulia Nigaṇṭha yakini pada guru yang mengatakan tentang masa lampau? Persetujuan yang bagaimanakah, tradisi lisan yang bagaimanakah, penalaran yang bagaimanakah, penerimaan pandangan melalui perenungan yang bagaimanakah?’ Dengan mengatakan demikian, para bhikkhu, Aku tidak melihat adanya pembelaan yang sah atas posisi mereka oleh para Nigaṇṭha.
12.
“Kemudian, para bhikkhu, Aku berkata kepada para Nigaṇṭha: ‘Bagaimana menurut kalian, Teman-teman Nigaṇṭha? Ketika ada pengerahan keras, ada usaha keras, apakah kalian merasakan perasaan sakit, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu? Tetapi ketika tidak ada pengerahan keras, tidak ada usaha keras, apakah kalian merasakan perasaan sakit, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu?’ – ‘Ketika ada pengerahan keras, Teman Gotama, ada usaha keras, maka kami merasakan perasaan sakit, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu; [219]
tetapi ketika tidak ada pengerahan keras, tidak ada usaha keras, maka kami tidak merasakan perasaan sakit, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu.’
13.
“‘Jadi sepertinya, Teman-teman Nigaṇṭha, bahwa ketika ada pengerahan keras … maka kalian merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu; tetapi ketika tidak ada pengerahan keras … maka kalian tidak merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu. Kalau begitu, tidaklah selayaknya bagi para mulia Nigaṇṭha untuk menyatakan:4 “Apapun yang dirasakan oleh orang ini, apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, semua itu disebabkan oleh apa yang dilakukan di masa lampau. Jadi dengan memusnahkan perbuatan lampau melalui pertapaan dan dengan tidak melakukan perbuatan baru, maka tidak akan ada akibat di masa depan. Dengan tidak adanya akibat … segala penderitaan akan menjadi padam.”
14.
“‘Jika, Teman-teman Nigaṇṭha, bahwa ketika ada pengerahan keras, ada usaha keras, maka perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu juga ada, dan ketika tidak ada pengerahan keras, tidak ada usaha keras maka perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu tetap masih ada; dengan demikian, adalah selayaknya bagi para mulia Nigaṇṭha untuk menyatakan: “Apapun yang dirasakan oleh orang ini … segala penderitaan akan menjadi padam.”
15.
“‘Tetapi karena, Teman-teman Nigaṇṭha, ketika ada pengerahan keras, ada usaha keras, maka kalian merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu, tetapi ketika tidak ada pengerahan keras, tidak ada usaha keras, maka kalian tidak merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu, oleh karena itu kalian hanya merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk dari pengerahan yang kalian lakukan sendiri, dan adalah karena ketidak-tahuan, tidak-mengetahui, dan delusi [220]
maka kalian secara keliru menganggap: “Apapun yang dirasakan oleh orang ini … segala penderitaan akan menjadi padam.”’ Dengan mengatakan demikian, para bhikkhu, Aku tidak melihat adanya pembelaan yang sah atas posisi mereka oleh para Nigaṇṭha.
16.
“Kemudian para bhikkhu, Aku berkata kepada para Nigaṇṭha: ‘Bagaimana menurutmu, Teman-teman Nigaṇṭha? Mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami di sini dan saat ini5 dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] dialami dalam kehidupan mendatang?’ – ‘Tidak, Teman.’ – ‘Tetapi mungkinkah suatu perbuatan [yang akibatnya] akan dialami dalam kehidupan mendatang, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami di sini dan saat ini?’ – ‘Tidak, Teman.’
17.
“‘Bagaimana menurutmu, Teman-teman Nigaṇṭha? Mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyenangkan dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyakitkan?’ – ‘Tidak, Teman.’ – ‘Tetapi mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyakitkan dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyenangkan?’ – ‘Tidak, Teman.’
18.
“‘Bagaimana menurutmu, Teman-teman Nigaṇṭha? Mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang matang dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang belum matang?’6 – ‘Tidak, Teman.’ – ‘Tetapi mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang belum matang dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam pribadi yang matang?’ – ‘Tidak, Teman.’
19.
“‘Bagaimana menurutmu, Teman-teman Nigaṇṭha? [221]
Mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus banyak dialami dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] sedikit dialami?’ – ‘Tidak, Teman.’ - ‘Tetapi mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus sedikit dialami dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] banyak dialami?’ – ‘Tidak, Teman.’
20.
“‘Bagaimana menurutmu, Teman-teman Nigaṇṭha? Mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] tidak dialami?’7 – ‘Tidak, Teman.’ - ‘Tetapi mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] tidak dialami dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] dialami?’ – ‘Tidak, Teman.’
21.
“‘Jadi sepertinya, Teman-teman Nigaṇṭha, bahwa adalah tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami di sini dan saat ini dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] dialami dalam kehidupan mendatang, dan tidak mungkin suatu perbuatan [yang akibatnya] akan dialami dalam kehidupan mendatang, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami di sini dan saat ini; tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyenangkan dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyakitkan, dan tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyakitkan dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyenangkan; tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang matang dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang belum matang, dan tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang belum matang dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang matang; tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus banyak dialami dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] sedikit dialami, dan tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus sedikit dialami dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] banyak dialami; tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] tidak dialami, dan tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] tidak dialami dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] dialami. Oleh karena itu, pengerahan Yang Mulia para Nigaṇṭha adalah tidak berbuah, [222]
usaha mereka adalah tidak berbuah.’
22.
“Demikianlah para Nigaṇṭha berkata, para bhikkhu. Dan karena para Nigaṇṭha berkata demikian, maka ada sepuluh kesimpulan sah dari pernyataan mereka yang memberikan dasar untuk mencela mereka:
(1) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh apa yang telah dilakukan di masa lampau, maka para Nigaṇṭha pasti telah melakukan perbuatan buruk di masa lampau, karena mereka saat ini merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk.
(2) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh tindakan kreatif Tuhan yang Tertinggi,8 maka para Nigaṇṭha pasti diciptakan oleh Tuhan Tertinggi yang jahat, karena mereka saat ini merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk.
(3) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh situasi dan alam,9 maka para Nigaṇṭha pasti bernasib buruk, karena mereka saat ini merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk.
(4) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh kelompok [di antara enam kelompok kelahiran],10 maka para Nigaṇṭha pasti berasal dari kelompok yang buruk, karena mereka saat ini merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk.
(5) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh pengerahan di sini dan saat ini, maka para Nigaṇṭha pasti berusaha dengan buruk di sini dan saat ini, karena mereka saat ini merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk.
(6) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh apa yang telah dilakukan di masa lampau, maka para Nigaṇṭha harus dicela; jika tidak, maka para Nigaṇṭha juga harus dicela.
(7) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh tindakan kreatif Tuhan yang Tertinggi, maka para Nigaṇṭha harus dicela; jika tidak, maka mereka juga harus dicela.
(8) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan secara kebetulan, maka para Nigaṇṭha harus dicela; jika tidak, maka mereka juga harus dicela.
(9) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh kelompok, maka para Nigaṇṭha harus dicela; jika tidak, maka mereka juga harus dicela.
(10) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh pengerahan di sini dan saat ini, [223]
maka para Nigaṇṭha harus dicela; jika tidak, maka mereka juga harus dicela.
“Demikianlah para Nigaṇṭha berkata, para bhikkhu. Dan karena para Nigaṇṭha berkata demikian, maka ada sepuluh kesimpulan sah ini dari pernyataan mereka yang memberikan dasar untuk mencela mereka. Dengan demikian, pengerahan mereka adalah tidak berbuah, usaha mereka adalah tidak berbuah.
23.
“Dan bagaimanakah pengerahan menjadi berbuah, para bhikkhu, bagaimanakah usaha menjadi berbuah? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu yang tidak diliputi penderitaan tidak meliputi dirinya dengan penderitaan; dan ia tidak melepaskan kenikmatan yang sesuai dengan Dhamma, namun ia tidak tergila-gila dengan kenikmatan itu.11 Ia mengetahui sebagai berikut: ‘Jika aku berusaha dengan penuh tekad, maka sumber penderitaan ini akan meluruh dalam diriku karena usaha penuh tekad itu; dan jika aku mengamati dengan keseimbangan, maka sumber penderitaan ini meluruh dalam diriku selagi aku mengembangkan keseimbangan.’12 Ia berusaha dengan penuh tekad sehubungan dengan sumber penderitaan itu yang meluruh dalam dirinya karena usaha penuh tekad itu; dan ia mengembangkan keseimbangan sehubungan dengan sumber penderitaan itu yang meluruh dalam dirinya selagi ia mengembangkan keseimbangan. Ketika ia berusaha dengan penuh tekad, sumber penderitaan ini dan itu meluruh dalam dirinya karena usaha penuh tekad itu; demikianlah penderitaan itu padam dalam dirinya. Ketika ia mengamati dengan keseimbangan, sumber penderitaan ini dan itu meluruh dalam dirinya selagi ia mengembangkan keseimbangan; demikianlah penderitaan itu padam dalam dirinya.
24.
“Misalkan, para bhikkhu, seorang laki-laki mencintai seorang perempuan dengan pikiran terikat padanya oleh keinginan dan nafsu yang kuat. Ia mungkin melihat perempuan itu berdiri bersama laki-laki lain, berbincang-bincang, bergurau, dan tertawa. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Tidakkah dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan muncul pada laki-laki itu ketika ia melihat perempuan itu berdiri bersama laki-laki lain, berbincang-bincang, bergurau, dan tertawa?”
“Ya, Yang Mulia. Mengapakah? Karena laki-laki itu mencintai perempuan itu dengan pikiran terikat padanya oleh keinginan dan nafsu yang kuat; [224]
itulah sebabnya mengapa dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan muncul padanya ketika ia melihat perempuan itu berdiri bersama laki-laki lain, berbincang-bincang, bergurau, dan tertawa.”
25.
“Kemudian, para bhikkhu, laki-laki itu mungkin berpikir: ‘Aku mencintai perempuan ini dengan pikiranku terikat padanya oleh keinginan dan nafsu yang kuat; dengan demikian dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan muncul padaku ketika aku melihatnya berdiri bersama laki-laki lain, berbincang-bincang, bergurau, dan tertawa. Bagaimana jika aku meninggalkan keinginan dan nafsuku pada perempuan itu?’ Ia meninggalkan keinginan dan nafsunya pada perempuan itu. Belakangan ia mungkin melihat perempuan itu berdiri bersama laki-laki lain, berbincang-bincang, bergurau, dan tertawa. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Tidakkah dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan muncul pada laki-laki itu ketika ia melihat perempuan itu berdiri bersama laki-laki lain …?”
“Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena laki-laki itu tidak lagi mencintai perempuan itu; itulah sebabnya mengapa dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan tidak muncul padanya ketika ia melihat perempuan itu berdiri bersama laki-laki lain … ”
26.
“Demikian pula, para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu tidak diliputi penderitaan tidak meliputi dirinya dengan penderitaan … (seperti pada §23 di atas) [225]
… demikianlah penderitaan itu padam dalam dirinya. Demikianlah, para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah.
27.
“Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Sewaktu aku hidup menuruti kenikmatanku, kondisi-kondisi tidak bermanfaat bertambah dalam diriku dan kondisi-kondisi bermanfaat berkurang; tetapi ketika aku mengerahkan diriku dalam apa yang menyakitkan, kondisi-kondisi tidak bermanfaat berkurang dalam diriku dan kondisi-kondisi bermanfaat bertambah. Bagaimana jika aku mengerahkan diriku dalam apa yang menyakitkan?’ Ia mengerahkan dirinya dalam apa yang menyakitkan. Ketika ia melakukan itu, kondisi-kondisi tidak bermanfaat berkurang dalam dirinya dan kondisi-kondisi bermanfaat bertambah.13 Belakangan ia tidak lagi mengerahkan dirinya dalam apa yang menyakitkan. Mengapakah? Tujuan yang karenanya bhikkhu itu mengerahkan dirinya dalam apa yang menyakitkan telah tercapai; itulah sebabnya mengapa belakangan ia tidak lagi mengerahkan dirinya dalam apa yang menyakitkan.
28.
“Misalkan, para bhikkhu, seorang pembuat anak panah sedang memanaskan sebatang anak panah di antara dua kobaran api, membuatnya lurus dan dapat dikerjakan. Ketika batang anak panah itu telah dipanaskan di antara dua kobaran api dan telah lurus dan dapat dikerjakan, maka belakangan ia tidak lagi memanaskannya untuk membuatnya lurus dan dapat dikerjakan. Mengapakah? Tujuan yang karenanya si pembuat anak panah itu memanaskan anak panah itu dan membuatnya lurus dan dapat dikerjakan telah tercapai; itulah sebabnya mengapa belakangan ia tidak lagi memanaskannya untuk membuatnya lurus dan dapat dikerjakan.
29.
“Demikian pula, seorang bhikkhu mempertimbangkan sebagai berikut … (seperti pada §27 di atas) [226]
… itulah sebabnya mengapa belakangan ia tidak lagi mengerahkan dirinya dalam apa yang menyakitkan. Demikian jugalah, para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah.
30-37.
“Kemudian, para bhikkhu, di sini seorang Tathāgata muncul di dunia ini, sempurna, tercerahkan sempurna … (seperti Sutta 51, §§12-19) … ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan.
38.
“Setelah meninggalkan kelima rintangan, ketidak-sempurnaan pikiran yang melemahkan kebijaksanaan, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Demikian jugalah, para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah.
39.
“Kemudian, para bhikkhu, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Demikian jugalah, para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah.
40.
“Kemudian, para bhikkhu, dengan meluruhnya sukacita, seorang bhikkhu berdiam dalam keseimbangan, dan dengan penuh perhatian dan kewaspadaan penuh, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang dikatakan oleh para mulia: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’ Demikian jugalah, para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah.
41.
“Kemudian, para bhikkhu, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya dari kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan kesakitan juga bukan kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Demikian jugalah, para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah.
42.
“Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan kehidupan lampau. Ia mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran … (seperti Sutta 51, §24) … Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya ia mengingat banyak kehidupan lampau. Demikian jugalah, para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah.
43.
“Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk … (seperti Sutta 51, §25) … Demikianlah dengan mata-dewa yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka. Demikian jugalah, para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah. [227]
44.
“Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda. Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah noda-noda’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula noda-noda’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya noda-noda’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda.’
45.
“Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, pikirannya terbebaskan dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan, dan dari noda ketidak-tahuan. Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’ Demikian jugalah, para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah.
46.
“Demikianlah Sang Tathāgata berkata, para bhikkhu. Dan karena Sang Tathāgata berkata demikian, maka ada sepuluh kesimpulan sah untuk memuji Beliau:
(1) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh apa yang telah dilakukan di masa lampau, maka Sang Tathāgata pasti telah melakukan perbuatan baik di masa lampau, karena Beliau saat ini merasakan perasaan menyenangkan yang tanpa noda.
(2) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh tindakan kreatif Tuhan yang Tertinggi, maka Sang Tathāgata pasti diciptakan oleh Tuhan Tertinggi yang baik, karena Beliau saat ini merasakan perasaan menyenangkan yang tanpa noda.
(3) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh situasi dan alam, maka Sang Tathāgata pasti bernasib baik, karena Beliau saat ini merasakan perasaan menyenangkan yang tanpa noda.
(4) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh kelompok [di antara enam kelompok kelahiran], maka Sang Tathāgata pasti berasal dari kelompok yang baik, karena Beliau saat ini merasakan perasaan menyenangkan yang tanpa noda.
(5) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh pengerahan di sini dan saat ini, maka Sang Tathāgata pasti berusaha dengan baik di sini dan saat ini, karena Beliau saat ini merasakan perasaan menyenangkan yang tanpa noda.
(6) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh apa yang telah dilakukan di masa lampau, maka Sang Tathāgata harus dipuji; jika tidak, maka Sang Tathāgata juga harus dipuji.
(7) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh tindakan kreatif Tuhan yang Tertinggi, maka Sang Tathāgata harus dipuji; jika tidak, maka Sang Tathāgata juga harus dipuji.
(8) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan secara kebetulan, maka Sang Tathāgata harus dipuji; jika tidak, maka Sang Tathāgata juga harus dipuji.
(9) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh kelompok, maka Sang Tathāgata harus dipuji; jika tidak, maka Sang Tathāgata juga harus dipuji.
(10) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh pengerahan di sini dan saat ini, maka Sang Tathāgata harus dipuji; jika tidak, [228]
maka Sang Tathāgata juga harus dipuji.
“Demikianlah Sang Tathāgata berkata, para bhikkhu. Dan karena Sang Tathāgata berkata demikian, maka ada sepuluh kesimpulan sah ini untuk memuji Beliau.”
Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Doktrin ini, yang di sini dianggap berasal dari para Jain, juga digunakan sebagai kritik oleh Sang Buddha pada SN 36:21/iv.230-31 dan AN 3:61/i.173-74. Ajaran Sang Buddha mengakui keberadaan perasaan yang bukan merupakan akibat dari perbuatan lampau melainkan suatu hal yang muncul bersamaan dengan perbuatan sekarang, dan juga mengakui perasaan yang bukan aktif secara kamma juga bukan akibat kamma. ↩︎
Dari sini hingga §5, “Kalau begitu …,” juga terdapat pada MN 14.17-19, pernyataan dari Nigaṇṭha Nātaputta, yang pada MN 14.17 memperkenalkan posisi Nigaṇṭha, di sini adalah lanjutannya, pada §10, sebagai pembenaran para Nigaṇṭha atas pernyataan mereka. ↩︎
Seperti pada MN 95.14. ↩︎
Tidaklah selayaknya bagi mereka untuk membuat pernyataan itu karena “pengerahan keras” mereka, yaitu, praktik pertapaan mereka, adalah penyebab perasaan menyakitkan mereka itu, seperti yang disebutkan oleh Sang Buddha pada §15. ↩︎
Ini adalah ungkapan teknis bagi perbuatan yang masak dalam kehidupan ini. ↩︎
MA: “Suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang matang” adalah sinonim untuk suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami di sini dan saat ini. “Suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang belum matang” adalah sinonim untuk suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam kehidupan berikutnya. Tetapi sebuah ketentuan diberikan sebagai berikut: Perbuatan apapun yang menghasilkan akibat dalam kehidupan yang sama adalah perbuatan yang akibatnya harus dialami di sini dan saat ini, tetapi hanya suatu perbuatan yang menghasilkan akibatnya dalam tujuh hari yang disebut sebagai perbuatan yang akibatnya harus dialami dalam pribadi yang matang. ↩︎
Ini adalah perbuatan yang tidak memperoleh kesempatan untuk menghasilkan akibatnya dan dengan demikian menjadi padam. ↩︎
Issaranimmānahetu. Doktrin Theis yang dikritik oleh Sang Buddha dalam AN 3:61/i.174. ↩︎
Sangatibhāvahetu. Ini menyinggung doktrin dari Makkhali Gosāla, yang dikritik secara panjang-lebar dalam MN 60.21 dan AN 3:61/i.175. ↩︎
Abhijātihetu. Ini juga merujuk pada prinsip Makkhali Gosāla. ↩︎
Ini adalah formulasi Jalan Tengah dari Sang Buddha, yang menghindari ekstrim penyiksaan diri tanpa terjatuh pada ekstrim lainnya yaitu ketergila-gilaan pada kenikmatan indria. ↩︎
MA menjelaskan sumber penderitaan sebagai ketagihan, disebut demikian karena merupakan akar penderitaan yang terdapat dalam kelima kelompok unsur kehidupan. Paragraf ini menunjukkan dua pendekatan alternatif untuk mengatasi ketagihan – yang satu menggunakan usaha yang gigih, yang lainnya adalah keseimbangan yang tidak melekat. “Peluruhan” dari sumbernya diidentifikasikan oleh MA sebagai jalan lokuttara. Paragraf ini dikatakan mengilustrasikan praktik dari seseorang yang berjalan pada jalan yang menyenangkan dengan pengetahuan langsung yang cepat (sukhapaṭipadā khippābhiññā). ↩︎
Paragraf ini bertujuan untuk menunjukkan alasan Sang Buddha memperbolehkan para bhikkhu menjalani praktik pertapaan (dhutanga): penggunaan pertapaan keras yang secukupnya adalah membantu untuk mengatasi kekotoran; tetapi itu dijalani bukan untuk menghapuskan kamma lampau dan untuk memurnikan jiwa, seperti yang dipercaya oleh para petapa Jain dan petapa lainnya. MA mengatakan bahwa paragraf ini mengilustrasikan praktik dari seorang yang berjalan pada jalan yang sulit dengan pengetahuan langsung yang lambat (dukkhapaṭipadā dandhābhiññā). ↩︎