easter-japanese

[45] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di antara penduduk Kosala bersama dengan sejumlah besar Sangha para bhikkhu.

2. Kemudian Sang Bhagavā meninggalkan jalan utama dan, di suatu tempat tertentu, Beliau tersenyum. Yang Mulia Ānanda berpikir: “Apakah alasannya, apakah sebabnya, Sang Bhagavā tersenyum? Para Tathāgata tidak tersenyum tanpa alasan.” Maka ia merapikan jubah atasnya di salah satu bahunya, dan merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepada Sang Bhagavā, dan bertanya kepada Beliau: “Yang Mulia, apakah alasan, apakah sebab, bagi senyuman Sang Bhagavā? Para Tathāgata tidak tersenyum tanpa alasan.”

3. “Suatu ketika, Ānanda, di tempat ini terdapat sebuah kota niaga yang makmur dan sibuk bernama Vebhalinga, dengan banyak penduduk dan ramai oleh orang. Pada saat itu Sang Bhagavā Kassapa yang sempurna dan tercerahkan sempurna, menetap di dekat kota niaga Vebhalinga. Adalah di sini, sesungguhnya, letak vihara Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna; adalah di sini, sesungguhnya, Sang Bhagavā Kassapa yang sempurna dan tercerahkan sempurna, duduk dan menasihati Sangha para bhikkhu.”

4. Kemudian Yang Mulia Ānanda melipat jubahnya menjadi empat, dan menghamparkannya, dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Kalau begitu, Yang Mulia, silahkan Sang Bhagavā duduk. Dengan demikian tempat ini akan telah digunakan oleh dua Yang Sempurna, Yang Tercerahkan Sempurna.”

Sang Bhagavā duduk di tempat yang telah dipersiapkan dan berkata kepada Yang Mulia Ānanda sebagai berikut:

5. “Suatu ketika, Ānanda, di tempat ini terdapat sebuah kota niaga yang makmur dan sibuk bernama Vebhalinga, dengan banyak penduduk dan ramai oleh orang. Pada saat itu Sang Bhagavā Kassapa yang sempurna dan tercerahkan sempurna, menetap di dekat kota niaga Vebhalinga. Adalah di sini, sesungguhnya, letak vihara Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna; adalah di sini, sesungguhnya, Sang Bhagavā Kassapa yang sempurna dan tercerahkan sempurna, duduk [46] dan menasihati Sangha para bhikkhu.

6. “Di Vebhalinga Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, memiliki seorang penyokong, sebagai penyokong utamanya, seorang pengrajin tembikar bernama Ghaṭīkāra. Ghaṭīkāra si pengrajin tembikar memiliki seorang teman, seorang sahabat, seorang siswa brahmana bernama Jotipāla.1

“Suatu hari si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra berkata kepada si murid brahmana Jotipāla sebagai berikut: ‘Sahabatku Jotipāla, marilah kita pergi menemui Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Menurutku adalah baik sekali menemui Sang Bhagavā itu yang sempurna dan tercerahkan sempurna.’ Murid brahmana Jotipāla menjawab: ‘Cukup, sahabatku Ghaṭīkāra, apa gunanya menemui petapa berkepala gundul itu?’2

“Untuk ke dua dan ke tiga kalinya si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra berkata: ‘Sahabatku Jotipāla, marilah kita pergi menemui Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Menurutku adalah baik sekali menemui Sang Bhagavā itu yang sempurna dan tercerahkan sempurna.’ Dan untuk ke dua dan ke tiga kalinya murid brahmana Jotipāla menjawab: ‘Cukup, sahabatku Ghaṭīkāra, apa gunanya menemui petapa berkepala gundul itu?’ – ‘Kalau begitu, Sahabatku Jotipāla, mari kita membawa alat gosok dan bubuk mandi dan pergi ke sungai untuk mandi.’ – ‘Baiklah,’ Jotipāla menjawab.

7. “Maka si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra dan murid brahmana Jotipāla membawa alat gosok dan bubuk mandi dan pergi ke sungai untuk mandi. Kemudian Ghaṭīkāra berkata kepada Jotipāla: ‘Sahabatku Jotipāla, terdapat vihara Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, di dekat sini. Marilah kita pergi menemui Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Menurutku adalah baik sekali menemui Sang Bhagavā itu yang sempurna dan tercerahkan sempurna.’ Jotipāla menjawab: ‘Cukup, sahabatku Ghaṭīkāra, apa [47] gunanya menemui petapa berkepala gundul itu?’

“Untuk ke dua dan ke tiga kalinya si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra berkata: ‘Sahabatku Jotipāla, terdapat vihara Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna …’ Dan untuk ke dua dan ke tiga kalinya murid brahmana Jotipāla menjawab: ‘Cukup, sahabatku Ghaṭīkāra, apa gunanya menemui petapa berkepala gundul itu?’

8. “Kemudian pengrajin tembikar Ghaṭīkāra mencengkeram si murid brahmana Jotipāla pada sabuk pinggangnya dan berkata: ‘Sahabatku Jotipāla, terdapat vihara Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, di dekat sini. Marilah kita pergi menemui Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Menurutku adalah baik sekali menemui Sang Bhagavā itu yang sempurna dan tercerahkan sempurna.’ Kemudian murid brahmana Jotipāla melepaskan sabuk pinggangnya dan berkata: ‘Cukup, sahabatku Ghaṭīkāra, apa gunanya menemui petapa berkepala gundul itu?’

9. “Kemudian, ketika murid brahmana Jotipāla telah mencuci kepalanya, si pengrajin tembikar Ghaṭikāra mencengkeramnya pada rambutnya dan berkata:3 ‘Sahabatku Jotipāla, terdapat vihara Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, di dekat sini. Marilah kita pergi menemui Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Menurutku adalah baik sekali menemui Sang Bhagavā itu yang sempurna dan tercerahkan sempurna.’

“Kemudian si murid brahmana Jotipāla berpikir: ‘Sungguh mengagumkan, sungguh menakjubkan bahwa si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra ini, yang berkelahiran rendah, berani mencengkeram rambutku ketika kami telah mencuci kepala kami! Tentu ini bukan persoalan sederhana.’ Dan ia berkata kepada si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra: ‘Engkau melakukan sejauh ini, sahabatku Ghaṭīkāra?’ – ‘Aku melakukan sejauh ini, sahabatku Jotipāla; karena aku sangat meyakini [48] bahwa adalah baik sekali menemui Sang Bhagavā itu yang sempurna dan tercerahkan sempurna!’ – ‘Kalau begitu, sahabatku Ghatīkāra, lepaskan aku. Mari kita menemui Beliau.’

10. “Kemudian Ghaṭīkāra si pengrajin tembikar dan Jotipāla si murid brahmana mendatangi Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Ghaṭīkāra, setelah bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, sementara Jotipāla saling bertukar sapa dengan Beliau, dan ketika ramah-tamah itu berakhir, ia juga duduk di satu sisi. Kemudian Ghaṭīkāra berkata kepada Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna: ‘Yang Mulia, ini adalah murid brahmana Jotipāla, temanku, sahabat baikku. Sudilah Sang Bhagavā mengajarkan Dhamma kepadanya.’

“Kemudian Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, memberikan instruksi, mendorong, membangkitkan semangat, dan menggembirakan Ghaṭīkāra si pengrajin tembikar dan Jotipāla si murid brahmana dengan pembabaran Dhamma. Di akhir pembabaran itu, setelah merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā Kassapa, mereka bangkit dari duduk dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, mereka pergi.

11. “Kemudian Jotipāla bertanya kepada Ghaṭīkāra: ‘Setelah engkau mendengarkan Dhamma ini, Sahabatku Ghaṭīkāra, mengapa engkau tidak meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah?’ – ‘Sahabatku Jotipāla, tidakkah engkau tahu bahwa aku harus menyokong kedua orangtuaku yang jompo dan buta?’ – ‘Kalau begitu, sahabatku Ghaṭīkāra, aku akan meninggalkan keduniawian kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah.’

12. “Kemudian Ghaṭīkāra si pengrajin tembikar dan Jotipāla si murid brahmana mendatangi Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. [49] Setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan Ghaṭīkāra si pengrajin tembikar berkata kepada Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna: ‘Yang Mulia, ini adalah murid brahmana Jotipāla, temanku, sahabat baikku. Sudilah Sang Bhagavā memberikannya pelepasan keduniawian.’ Dan murid brahmana Jotipāla menerima pelepasan keduniawian dari Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna dan ia menerima penahbisan penuh.4

13. “Kemudian tidak lama setelah Jotipāla si murid brahmana menerima penahbisan penuh, setengah bulan setelah ia menerima penahbisan penuh, Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, setelah menetap di Vebhalinga selama yang Beliau kehendaki, melakukan perjalanan menuju Benares. Dengan mengembara secara bertahap, akhirnya Beliau tiba di Benares, dan di sana Beliau menetap di Taman Rusa Isipatana.

14. “Kemudian Raja Kikī dari Kāsi mendengar: ‘Sepertinya Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, telah tiba di Benares dan menetap di Taman Rusa di Isipatana.’ Maka ia menyiapkan sejumlah kereta kerajaan, dan dengan mengendarai kereta kerajaan, ia pergi keluar dari Benares dengan segala kemegahan kerajaan untuk menemui Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Ia berkendara hingga sejauh jalan yang dapat dilalui oleh kereta, dan kemudian ia turun dari keretanya dan melanjutkan dengan berjalan kaki ke tempat Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, memberikan instruksi, mendorong, membangkitkan semangat, dan menggembirakan Raja Kikī dari Kāsi dengan pembabaran Dhamma.

15. “Pada akhir pembabaran itu, Raja Kikī dari Kāsi berkata: [50] ‘Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā bersama Sangha para bhikkhu menerima makanan dariKu besok.’ Dan Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, menerima dengan berdiam diri. Kemudian, mengetahui bahwa Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, telah menerima, ia bangkit dari duduknya dan setelah bersujud kepada Beliau, dengan Beliau tetap di sisi kanannya, ia pergi.

16. “Kemudian, ketika malam telah berlalu, Raja Kikī dari Kāsi mempersiapkan berbagai jenis makanan di tempat kediamannya – beras merah yang tersimpan dalam ikatan dan beras yang kehitaman dipisahkan, bersama dengan banyak kuah dan kari – dan ketika waktunya tiba, ia mengumumkan kepada Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, sebagai berikut: ‘Waktunya telah tiba, Yang Mulia, makanan telah siap.’

17. “Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, Beliau pergi bersama dengan Sangha para bhikkhu menuju kediaman Raja Kikī dari Kāsi dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Kemudian, dengan tangannya sendiri, Raja Kikī dari Kāsi melayani Sangha para bhikkhu yang dipimpin oleh Sang Buddha dengan berbagai jenis makanan baik hingga kenyang. Ketika Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, telah selesai makan dan telah menggeser mangkuknya ke samping, Raja Kikī dari Kāsi mengambil bangku yang rendah, duduk di satu sisi dan berkata: ‘Yang Mulia, Sudilah Sang Bhagavā menerima dariku tempat tinggal selama musim hujan di Benares; akan ada pelayanan kepada Sangha.’ – ‘Cukup, Baginda, tempat tinggal selama musim hujan telah tersedia untukKu.’

“Untuk ke dua dan ke tiga kalinya Raja Kikī dari Kāsi berkata: ‘Yang Mulia, Sudilah Sang Bhagavā menerima dariku tempat tinggal selama musim hujan di Benares; itu akan sangat membantu Sangha.’ – ‘Cukup, Baginda, tempat tinggal selama musim hujan telah tersedia untukKu.’

“Sang raja berpikir: ‘Sang Bhagavā Kassapa, [51] yang sempurna dan tercerahkan sempurna, tidak menerima dariku tempat tinggal selama musim hujan di Benares,’ dan ia menjadi sangat kecewa dan sedih.

18. “Kemudian ia berkata: ‘Yang Mulia, apakah Engkau memiliki penyokong yang lebih baik daripada aku?‘ – ‘Benar, Baginda. Ada sebuah kota niaga yang bernama Vebhalinga di mana seorang pengrajin tembikar bernama Ghaṭīkāra menetap. Ia adalah penyokongKu, penyokong utamaKu. Sekarang engkau, Baginda, berpikir: “Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, tidak menerima dariku tempat tinggal selama musim hujan di Benares,” dan engkau menjadi sangat kecewa dan sedih; tetapi si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra tidak dan tidak akan demikian. Pengrajin tembikar Ghaṭīkāra telah berlindung pada Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha. Ia menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari melakukan perilaku salah dalam kenikmatan indria, menghindari mengucapkan ucapan salah, dan menghindari anggur, minuman keras, dan minuman memabukkan, yang menjadi dasar bagi kelengahan. Ia memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha, dan ia memiliki moralitas yang disukai oleh para mulia. Ia terbebas dari keragu-raguan mengenai penderitaan, mengenai asal-mula penderitaan, mengenai lenyapnya penderitaan, dan mengenai jalan menuju lenyapnya penderitaan. Ia hanya makan satu kali dalam sehari, ia menjalani kehidupan selibat, ia bermoral, berkarakter baik. Ia telah meninggalkan permata dan emas, ia telah meninggalkan emas dan perak. Ia tidak menggali tanah untuk memperoleh tanah liat dengan alat penggali maupun dengan tangannya sendiri; apa yang runtuh dari tepi sungai atau yang digali oleh tikus-tikus, ia bawa ke rumah dengan menggunakan alat pengangkut; ketika ia telah membuat sebuah kendi ia berkata: “Silakan siapapun yang menginginkannya meletakkan beras pilihan atau biji-bijian pilihan atau kacang pilihan, dan silahkan ia mengambil apapun yang ia inginkan.”5 Ia menyokong kedua orangtuanya yang jompo dan buta. [52] Setelah menghancurkan lima belenggu yang lebih rendah, ia menjadi seorang yang akan muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan di sana mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali dari alam itu.

19. “‘Pada saat itu ketika Aku sedang menetap di Vebhalinga, pada suatu pagi, Aku merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarKu, Aku mendatangi kedua orangtua si pengrajin tembikar Ghaṭikāra dan bertanya kepada mereka: “Ke manakah, si pengrajin tembikar pergi?” – “Yang Mulia, penyokongmu telah pergi keluar; tetapi ambillah nasi dari kuali dan kuah dari panci dan makanlah.”

“‘Aku melakukannya dan pergi. Kemudian si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra mendatangi kedua orangtuanya dan bertanya: “Siapakah yang telah mengambil nasi dari kuali dan kuah dari panci, makan dan pergi?” – “Anakku, Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, yang melakukannya.”

“‘Kemudian si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra berpikir: “Sungguh suatu keuntungan bagiku, sungguh suatu keuntungan besar bagiku bahwa Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, begitu mempercayaiku!” dan sukacita dan kebahagiaan tidak pernah meninggalkan dirinya selama setengah bulan dan kedua orangtuanya selama seminggu.

20. “‘Pada kesempatan lain ketika Aku sedang menetap di Vebhalinga, pada suatu pagi, Aku merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarKu, Aku mendatangi kedua orangtua si pengrajin tembikar Ghaṭikāra dan bertanya kepada mereka: “Ke manakah, si pengrajin tembikar pergi?” – “Yang Mulia, penyokongmu telah pergi keluar; tetapi ambillah bubur dari wadah dan kuah dari panci dan makanlah.”

“‘Aku melakukannya [53] dan pergi. Kemudian si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra mendatangi kedua orangtuanya dan bertanya: “Siapakah yang telah mengambil bubur dari wadah dan kuah dari panci, makan dan pergi?” – “Anakku, Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, yang melakukannya.”

“‘Kemudian si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra berpikir: “Sungguh suatu keuntungan bagiku, sungguh suatu keuntungan besar bagiku bahwa Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, begitu mempercayaiku!” dan kegembiraan dan kebahagiaan tidak pernah meninggalkan dirinya selama setengah bulan dan kedua orangtuanya selama seminggu.

21. “‘Pada kesempatan lain ketika Aku sedang menetap di Vebhalinga, gubukKu bocor. Kemudian Aku berkata kepada para bhikkhu: “Pergilah, para bhikkhu, dan cari apakah ada rerumputan di rumah si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra.” – “Yang Mulia, tidak ada rumput di rumah si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra; tetapi ada atap rumput di seluruh bangunan tempat kerjanya.” – “Pergilah, para bhikkhu, dan ambillah rumput dari rumah kerja si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra.”

“‘Mereka melakukan hal itu, kemudian orangtua si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra bertanya kepada para bhikkhu: “Siapakah yang mengambil rumput dari rumah kerja?” – “Saudari, gubuk Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, bocor.” – “Ambillah, para mulia, ambillah!”

“‘Kemudian si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra mendatangi orangtuanya dan bertanya: “Siapakah yang mengambil rumput dari rumah kerja?” – “Para bhikkhu yang melakukannya, anakku; gubuk Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, bocor.”

“‘Kemudian si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra berpikir: “Sungguh suatu keuntungan bagiku, sungguh suatu keuntungan besar bagiku bahwa Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, begitu mempercayaiku!” dan [54] kegembiraan dan kebahagiaan tidak pernah meninggalkan dirinya selama setengah bulan dan kedua orangtuanya selama seminggu. Kemudian rumah kerja itu tetap begitu selama tiga bulan dengan langit sebagai atapnya, namun tidak ada turun hujan. Demikianlah si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra.’

“‘Adalah suatu keuntungan bagi si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra, adalah suatu keuntungan besar baginya bahwa Sang Bhagavā Kassapa, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, begitu mengandalkannya.’

22. “Kemudian Raja Kikī dari Kāsi mengirimkan kepada si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra sejumlah lima ratus kereta beras merah yang tersimpan dalam ikatan, dan juga bahan-bahan kuah. Kemudian para utusan raja mendatangi si pengrajin tembikar Ghaṭīkāra dan berkata: ‘Tuan, ada lima ratus kereta beras merah yang tersimpan dalam ikatan, dan juga bahan-bahan kuah, dikirimkan kepadamu oleh Raja Kikī dari Kāsi; mohon anda menerimanya.’ – ‘Raja sangat sibuk dan banyak yang harus ia lakukan. Aku sudah memiliki cukup. Biarlah ini untuk sang raja sendiri.’6

23. “Sekarang, Ānanda, engkau mungkin berpikir sebagai berikut: ‘Pasti, seorang lain adalah si murid brahmana Jotipāla pada saat itu.’ Tetapi jangan engkau beranggapan begitu. Aku adalah murid brahmana Jotipāla pada saat itu.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.


Catatan Kaki
  1. Di akhir Sutta ini Sang Buddha akan menyebutkan bahwa Beliau adalah Jotipāla. Pada SN 1:50/I,35-36 Dewa Ghaṭīkāra mengunjungi Sang Buddha Gotama dan mengingat persahabatan lampau mereka. ↩︎

  2. Ini sepertinya telah menjadi ungkapan menghina yang umum digunakan oleh para brahmana perumah-tangga dengan merujuk pada mereka yang menjalani kehidupan pelepasan keduniawian seumur hidup, berlawanan dengan idealisme mereka mempertahankan silsilah keluarga. ↩︎

  3. Di Timur dianggap, dalam situasi normal, sebagai pelanggaran etika serius bagi seorang yang berasal dari kelahiran rendah menyentuh kepala seseorang yang berasal dari kelahiran tinggi. MA menjelaskan bahwa Ghaṭīkāra telah siap dengan pelanggaran itu untuk membujuk Jotipāla agar mau menemui Sang Buddha. ↩︎

  4. MA menyebutkan bahwa para Bodhisatta melepaskan keduniawian di bawah para Buddha, memurnikan moralitas, mempelajari ajaran Budddha, mempraktikkan kehidupan meditatif, dan mengembangkan pandangan terang hingga pengetahuan adaptasi (anulomañāṇa). Tetapi mereka tidak berusaha untuk mencapai jalan dan buah (yang dapat menghentikan karir Bodhisatta mereka). ↩︎

  5. Sebagai seorang yang masih menjalani kehidupan rumah tangga, perilakunya sangat mendekati perilaku seorang bhikkhu. MA menjelaskan bahwa ia tidak memperdagangkan tembikar yang ia buat melainkan hanya terlibat dalam pertukaran jasa secara bebas dengan para tetangganya. ↩︎

  6. MA menjelaskan bahwa ia menolak karena ia memiliki sedikit keinginan (appicchatā). Ia menyadari bahwa raja telah mengirimkan bahan-bahan makanan karena ia telah mendengar laporan Sang Buddha tentang moralitasnya, tetapi ia berpikir: “Aku tidak memerlukan ini. Dengan apa yang kuperoleh dari pekerjaanku aku mampu menyokong orangtuaku dan memberikan persembahan kepada Sang Buddha.” ↩︎