easter-japanese

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Kosambi di Taman Ghosita.

2. Pada saat itu Pengembara Sandaka sedang menetap di Gua Pohon Pilakkha bersama dengan sejumlah besar para pengembara.

3. Kemudian, pada suatu malam, Yang Mulia Ānanda bangkit dari meditasinya dan berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Marilah, teman-teman, kita pergi ke kolam Devakaṭa untuk melihat gua.” – “Baik, teman,” para bhikkhu itu menjawab. Kemudian Yang Mulia Ānanda pergi ke kolam Devakaṭa bersama dengan sejumlah besar para bhikkhu.

4. Pada saat itu Pengembara Sandaka sedang duduk bersama dengan sejumlah besar para pengembara yang sangat gaduh, ribut dan berisik membicarakan berbagai jenis pembicaraan tanpa arah.1 Seperti pembicaraan tentang raja-raja, para perampok, para menteri, bala tentara, bahaya, peperangan, makanan, minuman, pakaian, tempat tidur, kalung bunga, wangi-wangian, sanak saudara, kendaraan, desa-desa, pemukiman-pemukiman, kota-kota, negeri-negeri, para perempuan, para pahlawan, jalan-jalan, sumur, orang mati, hal-hal remeh, asal-mula dunia, asal-mula lautan, [514] apakah hal-hal adalah seperti ini atau tidak seperti ini. Kemudian Pengembara Sandaka dari jauh melihat kedatangan Yang Mulia Ānanda. Melihatnya, ia menenangkan kelompoknya sebagai berikut: “Tuan-tuan, diamlah, jangan berisik. Telah datang Petapa Ānanda, seorang siswa Petapa Gotama, salah satu siswa Petapa Gotama yang menetap di Kosambi. Para mulia ini menyukai ketenangan; mereka disiplin dalam ketenangan; mereka menghargai ketenangan. Mungkin jika ia melihat kelompok kita yang tenang, ia akan berpikir untuk bergabung dengan kita.” Kemudian para pengembara itu menjadi diam.

5. Yang Mulia Ānanda mendatangi Petapa Sandaka yang berkata kepadanya: “Silahkan Guru Ānanda datang! Selamat datang Guru Ānanda! Telah lama sejak Guru Ānanda berkesempatan datang ke sini. Silahkan Guru Ānanda duduk; tempat duduk telah tersedia.”

Yang Mulia Ānanda duduk di tempat duduk yang telah dipersiapkan, dan Pengembara Sandaka mengambil bangku rendah dan duduk di satu sisi. Ketika ia telah melakukan hal itu, Yang Mulia Ānanda bertanya kepadanya: “Untuk mendiskusikan apakah kalian duduk bersama di sini saat ini, Sandaka? Dan apakah diskusi kalian yang belum selesai?”

“Guru Ānanda, biarkanlah diskusi yang karenanya kami duduk bersama di sini. Guru Ānanda dapat mendengarkannya nanti. Baik sekali jika Guru Ānanda sudi membabarkan khotbah tentang Dhamma dari gurunya sendiri.”

“Kalau begitu, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan aku katakan.”

“Baik, Tuan,” ia menjawab. Yang Mulia Ānanda berkata sebagai berikut:

6. “Sandaka, empat cara ini yang meniadakan praktik kehidupan suci telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, dan juga empat jenis kehidupan suci tanpa penghiburan telah dinyatakan, yang mana seorang bijaksana pasti tidak akan menjalani kehidupan suci, atau jika ia menjalaninya, maka ia tidak akan mencapai jalan sejati, Dhamma yang bermanfaat.”2

“Tetapi, Guru Ānanda, apakah empat cara yang meniadakan praktik kehidupan suci yang telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, yang mana [515] seorang bijaksana pasti tidak akan menjalani kehidupan suci, atau jika ia menjalaninya, maka ia tidak akan mencapai jalan sejati, Dhamma yang bermanfaat?”

7. “Di sini, Sandaka, seorang guru menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Tidak ada yang diberikan, tidak ada yang dipersembahkan, tidak ada yang dikorbankan; tidak ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; tidak ada dunia ini, tidak ada dunia lain; tidak ada ibu, tidak ada ayah; tidak ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; tidak ada para petapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakan dunia ini dan dunia lain. Seorang manusia terdiri dari empat unsur utama.3 Ketika ia mati, tanah kembali ke tanah, air kembali ke air, api kembali ke api, udara kembali ke udara; indria-indria berpindah ke ruang. [Empat] orang dengan usungan sebagai yang ke lima membawa jasadnya. Orasi pemakaman berlangsung hingga ke tanah pekuburan; tulang-belulang memutih; barang-barang persembahan terbakar habis menjadi abu. Memberi adalah doktrin orang-orang dungu. Ketika siapapun menegaskan doktrin bahwa ada [memberi dan sejenisnya], itu adalah kosong, ocehan keliru. Orang-orang dungu dan orang-orang bijaksana adalah sama-sama terpotong dan musnah dengan hancurnya jasmani; setelah kematian mereka tidak ada lagi.’

8. “Sehubungan dengan hal ini seorang bijaksana mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Guru ini menganut doktrin dan pandangan: “Tidak ada yang diberikan … setelah kematian mereka tidak ada lagi.” Jika kata-kata guru ini benar, maka kami berdua sama dalam hal ini, kami berdiri pada tingkat yang sama: Aku yang tidak mempraktikkan [ajaran ini] di sini dan ia yang telah mempraktikkannya; aku yang tidak menjalani [kehidupan suci] di sini dan ia yang telah menjalaninya.4 Namun aku tidak mengatakan bahwa kami berdua terpotong dan musnah dengan hancurnya jasmani, bahwa setelah kematian kami tidak ada lagi. Tetapi adalah berlebihan bagi guru ini untuk bepergian dengan telanjang, dicukur, dan mengerahkan dirinya dalam posisi berjongkok, dan mencabut rambut dan janggutnya, karena aku, yang menetap di rumah yang ramai dengan anak-anak, yang menggunakan kayu cendana Benares, yang mengenakan kalung bunga, wangi-wangian, dan salep, dan menerima emas dan perak, juga akan memperoleh tujuan yang persis sama, perjalanan masa depan yang sama, seperti guru ini. Apakah yang kuketahui dan kulihat sehingga aku harus menjalani kehidupan suci di bawah guru ini?’ Maka ketika ia mengetahui bahwa cara ini meniadakan praktik kehidupan suci, ia berpaling darinya dan meninggalkannya.

9. “Ini adalah cara pertama yang meniadakan praktik kehidupan suci yang telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, yang mana seorang bijaksana pasti tidak akan menjalani kehidupan suci, [516] atau jika ia menjalaninya, maka ia tidak akan mencapai jalan sejati, Dhamma yang bermanfaat.

10. “Kemudian, Sandaka, di sini seorang guru menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Ketika seseorang melakukan atau menyuruh orang lain melakukan, ketika seseorang melukai atau menyuruh orang melukai, ketika seseorang menyiksa atau menyuruh orang lain menjatuhkan siksaan, ketika seseorang menyebabkan dukacita atau menyuruh orang lain menyebabkan dukacita, ketika seseorang menindas atau menyuruh orang lain melakukan penindasan, ketika seseorang mengintimidasi atau menyuruh orang lain mengintimidasi, ketika seseorang membunuh makhluk-makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, mendobrak masuk ke rumah, merampas kekayaan, melakukan perampokan, penyerangan di jalan raya, menggoda istri orang lain, mengucapkan kebohongan – maka tidak ada kejahatan yang dilakukan oleh si pelaku. Jika, dengan roda berpisau, seseorang mengubah makhluk-makhluk hidup di bumi ini menjadi sekumpulan daging, menjadi gunung daging, karena hal ini maka tidak ada kejahatan atau akibat kejahatan. Jika seseorang berjalan di sepanjang tepi selatan sungai Gangga membunuh dan membantai, melukai dan menyuruh orang lain melukai, menyiksa dan menyuruh orang lain menjatuhkan siksaan, karena hal ini maka tidak ada kejahatan dan tidak ada akibat kejahatan. Jika seseorang berjalan di sepanjang tepi utara sungai Gangga memberikan persembahan dan menyuruh orang lain memberikan persembahan, karena hal ini maka tidak ada jasa kebajikan dan tidak ada akibat dari jasa kebajikan. Dengan memberi, dengan menjinakkan diri sendiri, dengan pengendalian, dengan mengucapkan kebenaran, maka tidak ada jasa kebajikan dan tidak ada akibat dari jasa kebajikan.’

11. “Sehubungan dengan hal ini seorang bijaksana mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Guru ini menganut doktrin dan pandangan: “Ketika seseorang melakukan … maka tidak ada jasa kebajikan dan tidak ada akibat dari jasa kebajikan.” Jika kata-kata guru ini benar, maka kami berdua sama dalam hal ini, kami berdiri pada tingkat yang sama: Aku yang tidak mempraktikkan [ajaran ini] di sini dan ia yang telah mempraktikkannya; aku yang tidak menjalani [kehidupan suci] di sini dan ia yang telah menjalaninya. Namun aku tidak mengatakan bahwa apapun yang [kami] berdua lakukan, maka tidak ada kejahatan yang dilakukan. Tetapi adalah berlebihan bagi guru ini … Apakah yang kuketahui dan kulihat sehingga aku harus menjalani kehidupan suci di bawah guru ini?’ Maka ketika ia mengetahui bahwa cara ini meniadakan praktik kehidupan suci, ia berpaling darinya dan meninggalkannya.

12. “Ini adalah cara ke dua yang meniadakan praktik kehidupan suci yang telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna …

13. “Kemudian, Sandaka, di sini seorang guru menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Tidak ada sebab atau kondisi bagi kekotoran makhluk-makhluk; makhluk-makhluk terkotori tanpa sebab atau kondisi. Tidak ada sebab atau kondisi bagi pemurnian makhluk-makhluk; makhluk-makhluk dimurnikan tanpa sebab atau kondisi. Tidak ada kekuasaan, tidak ada tenaga, tidak ada kekuatan fisik, [517] tidak ada ketahanan fisik. Semua makhluk, semua benda hidup, semua makhluk hidup, semua jiwa adalah tanpa kekuasaan, kekuatan, dan tenaga; dibentuk oleh takdir, situasi, dan alam, mereka mengalami kenikmatan dan kesakitan dalam enam kelompok.’

14. “Sehubungan dengan hal ini seorang bijaksana mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Guru ini menganut doktrin dan pandangan: “Tidak ada sebab … dalam enam kelompok.” Jika kata-kata guru ini benar, maka kami berdua sama dalam hal ini, kami berdiri pada tingkat yang sama: Aku yang tidak mempraktikkan [ajaran ini] di sini dan ia yang telah mempraktikkannya; aku yang tidak menjalani [kehidupan suci] di sini dan ia yang telah menjalaninya. Namun aku tidak mengatakan bahwa [kami] berdua akan dimurnikan tanpa sebab atau kondisi. Tetapi adalah berlebihan bagi guru ini … Apakah yang kuketahui dan kulihat sehingga aku harus menjalani kehidupan suci di bawah guru ini?’ Maka ketika ia mengetahui bahwa cara ini meniadakan praktik kehidupan suci, ia berpaling darinya dan meninggalkannya.

15. “Ini adalah cara ke tiga yang meniadakan praktik kehidupan suci yang telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna …

16. “Kemudian, Sandaka, di sini seorang guru menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut:5 ‘Terdapat tujuh tubuh ini yang tidak terbuat, tidak terlahir, tidak tercipta, tanpa pencipta, mandul, berdiri bagaikan puncak gunung, berdiri bagaikan tiang. Tidak bergerak atau berubah atau saling merintangi satu sama lain. Tidak ada satupun yang mampu [membangkitkan] kenikmatan atau kesakitan atau kenikmatan-dan-kesakitan pada yang lain. Apakah tujuh ini? Yaitu tubuh-tanah, tubuh-air, tubuh-api, tubuh-udara, kenikmatan, kesakitan, dan jiwa sebagai yang ke tujuh. Ketujuh tubuh ini adalah tidak terbuat … Di sini, tidak ada pembunuh, tidak ada penjagal, tidak ada yang mendengar, tidak ada yang berbicara, tidak ada yang mengenali, tidak ada yang mengisyaratkan. Bahkan mereka yang memenggal kepala seseorang dengan pedang tajam tidak membunuh siapapun; pedang itu hanya sekadar melintasi ruang di antara ketujuh tubuh itu. Terdapat satu juta empat ratus ribu jenis prinsip pembentukan makhluk, dan enam ribu jenis, dan enam ratus jenis; terdapat lima ratus jenis perbuatan, dan lima jenis perbuatan, dan tiga jenis perbuatan, dan perbuatan dan setengah-perbuatan; terdapat enam puluh dua cara, enam puluh dua sub-kappa, enam kelompok, delapan bidang alam manusia, empat ribu sembilan ratus jenis penghidupan, empat ribu sembilan ratus jenis pengembara, empat ribu sembilan ratus [518] alam naga, dua ribu indria, tiga ribu neraka, tiga puluh enam unsur debu, tujuh keturunan yang memiliki persepsi, tujuh keturunan yang tidak memiliki persepsi, tujuh keturunan tanpa pembungkus, tujuh jenis dewa, tujuh jenis manusia, tujuh jenis siluman, tujuh danau, tujuh simpul, tujuh jenis jurang, tujuh ratus jenis jurang, tujuh jenis mimpi, tujuh ratus jenis mimpi; dan terdapat delapan juta empat ratus ribu maha kappa di mana, dengan menjalani dan mengembara sepanjang lingkaran kelahiran kembali, si dungu dan si bijaksana keduanya akan mengakhiri penderitaan. Tidak ada satupun dari ini: “Dengan moralitas atau pelaksanaan atau pertapaan atau kehidupan suci ini maka aku akan mematangkan perbuatan yang belum matang atau memusnahkan perbuatan yang telah matang pada saat kemunculannya.” Kenikmatan dan kesakitan terbagi sama rata. Lingkaran kelahiran kembali adalah terbatas, tidak ada pemendekan atau pemanjangan, tidak ada peningkatan atau penurunan. Seperti halnya sebuah bola benang ketika digulirkan akan bergulir sejauh panjang benang itu, demikian pula, dengan menjalani dan mengembara sepanjang lingkaran kelahiran kembali, si dungu dan si bijaksana keduanya akan mengakhiri penderitaan.’

17. “Sehubungan dengan hal ini seorang bijaksana mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Guru ini menganut doktrin dan pandangan: “Terdapat tujuh tubuh ini … si dungu dan si bijaksana keduanya akan mengakhiri penderitaan.” Jika kata-kata guru ini benar, maka kami berdua sama dalam hal ini, kami berdiri pada tingkat yang sama: Aku yang tidak mempraktikkan [ajaran ini] di sini dan ia yang telah mempraktikkannya; aku yang tidak menjalani [kehidupan suci] di sini dan ia yang telah menjalaninya. Namun aku tidak mengatakan bahwa kami berdua akan mengakhiri penderitaan dengan menjalani dan mengembara sepanjang lingkaran kelahiran kembali. Tetapi adalah berlebihan bagi guru ini untuk bepergian dengan telanjang, dicukur, dan mengerahkan dirinya dalam posisi berjongkok, dan mencabut rambut dan janggutnya, karena aku, yang menetap di rumah yang ramai dengan anak-anak, yang menggunakan kayu cendana Benares, yang mengenakan kalung bunga, wangi-wangian, dan salep, dan menerima emas dan perak, juga akan memperoleh alam tujuan yang persis sama, perjalanan masa depan yang sama, seperti guru ini. Apakah yang kuketahui dan kulihat sehingga aku harus menjalani kehidupan suci di bawah guru ini?’ Maka ketika ia mengetahui bahwa cara ini meniadakan praktik kehidupan suci, ia berpaling darinya dan meninggalkannya.

18. “Ini adalah cara ke empat yang meniadakan praktik kehidupan suci yang telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna …

19. “Ini, Sandaka, adalah empat cara yang meniadakan praktik kehidupan suci telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, dan juga empat jenis kehidupan suci tanpa penghiburan telah dinyatakan, yang mana seorang bijaksana pasti tidak akan menjalani kehidupan suci, atau jika ia menjalaninya, maka ia tidak akan mencapai jalan sejati, Dhamma yang bermanfaat.”

20. “Sungguh mengagumkan, Guru Ānanda, sungguh menakjubkan, bagaimana keempat cara yang meniadakan praktik kehidupan suci telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna … Tetapi, Guru Ānanda, apakah empat jenis kehidupan suci tanpa penghiburan yang telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, yang mana seorang bijaksana pasti tidak akan menjalani kehidupan suci, atau jika ia menjalaninya, maka ia tidak akan mencapai jalan sejati, Dhamma yang bermanfaat?”

21. “Di sini, Sandaka, seorang guru mengaku sebagai maha-tahu dan maha-melihat, mengaku memiliki pengetahuan dan penglihatan lengkap sebagai berikut: ‘Apakah Aku berjalan atau berdiri atau tidur atau terjaga, pengetahuan dan penglihatan terus-menerus dan tanpa terputus ada padaKu.’6 Ia memasuki rumah kosong, ia tidak memperoleh dana makanan, anjing menggigitnya, ia menjumpai gajah liar, kuda liar, sapi liar, ia menanyakan nama dan suku dari seorang perempuan atau laki-laki, ia menanyakan nama dari suatu desa atau pemukiman, dan cara untuk pergi ke sana. Ketika ia ditanya: ‘Bagaimanakah ini?’ ia menjawab: ‘Aku harus memasuki rumah kosong, itulah sebabnya mengapa aku memasukinya. Aku harus tidak mendapatkan dana makanan, itulah sebabnya mengapa aku tidak mendapatkan apapun. Aku harus digigit oleh anjing, itulah sebabnya mengapa aku digigit. Aku harus menjumpai gajah liar, kuda liar, sapi liar, itulah sebabnya maka aku menjumpai binatang-binatang itu. Aku harus menanyakan nama dan suku dari seorang perempuan atau laki-laki, itulah sebabnya mengapa aku bertanya. Aku harus menanyakan nama dari suatu desa atau pemukiman, dan cara untuk pergi ke sana, itulah sebabnya mengapa aku bertanya.’

22. “Sehubungan dengan hal ini seorang bijaksana mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Guru ini mengaku sebagai maha-tahu dan maha-melihat, mengaku memiliki pengetahuan dan penglihatan lengkap … Ketika ia ditanya: “Bagaimanakah ini?” ia menjawab: “Aku harus … itulah sebabnya mengapa aku bertanya.”’ Maka ketika ia mengetahui bahwa kehidupan suci ini adalah tanpa penghiburan, ia berpaling darinya dan meninggalkannya.

23. “Ini adalah jenis pertama kehidupan suci tanpa penghiburan yang telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, [520] yang mana seorang bijaksana pasti tidak akan menjalani kehidupan suci, atau jika ia menjalaninya, maka ia tidak akan mencapai jalan sejati, Dhamma yang bermanfaat.

24. “Kemudian, Sandaka, di sini seorang guru adalah seorang tradisionalis, seorang yang menganggap tradisi lisan sebagai kebenaran; ia mengajarkan Dhamma melalui tradisi lisan, melalui legenda yang turun-temurun, melalui otoritas kitab-kitab. Tetapi jika seorang guru adalah seorang tradisionalis, seorang yang menganggap tradisi lisan sebagai kebenaran, maka beberapa disampaikan dengan tepat dan beberapa disampaikan dengan tidak tepat,7 beberapa adalah benar dan beberapa adalah sebaliknya.

25. “Sehubungan dengan hal ini seorang bijaksana mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Guru ini adalah seorang tradisionalis … beberapa adalah benar dan beberapa adalah sebaliknya.’ Maka ketika ia mengetahui bahwa kehidupan suci ini adalah tanpa penghiburan, ia berpaling darinya dan meninggalkannya.

26. “Ini adalah jenis ke dua kehidupan suci tanpa penghiburan yang telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna …

27. “Kemudian, Sandaka, di sini seorang guru adalah seorang pemikir, seorang penyelidik. Ia mengajarkan Dhamma yang dibentuk melalui penalaran, mengikuti serangkaian penyelidikan yang muncul padanya. Tetapi jika seorang guru adalah seorang pemikir, seorang penyelidik, maka sebagian dipikirkan dengan baik, dan sebagian dipikirkan dengan keliru, beberapa adalah benar dan beberapa adalah sebaliknya.

28. “Sehubungan dengan hal ini seorang bijaksana mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Guru ini adalah seorang pemikir … beberapa adalah benar dan beberapa adalah sebaliknya.’ Maka ketika ia mengetahui bahwa kehidupan suci ini adalah tanpa penghiburan, ia berpaling darinya dan meninggalkannya.

29. “Ini adalah jenis ke tiga kehidupan suci tanpa penghiburan yang telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna …

30. “Kemudian, Sandaka, di sini seorang guru tertentu adalah seorang yang bodoh dan bingung. Ia bodoh dan bingung, [521] ketika ia ditanya suatu pertanyaan ia mengalihkan pembicaraan dalam geliat-belut ucapan: ’Aku tidak mengatakannya seperti ini. Dan aku tidak mengatakannya seperti itu. Dan aku tidak mengatakan sebaliknya. Dan aku tidak mengatakan bukan seperti itu. Dan aku tidak mengatakan bukan tidak seperti itu.’8

31. “Sehubungan dengan hal ini seorang bijaksana mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Guru ini adalah seorang yang bodoh dan bingung … [demikianlah] ia mengalihkan pembicaraan dalam geliat-belut ucapan…’ Maka ketika ia mengetahui bahwa kehidupan suci ini adalah tanpa penghiburan, ia berpaling darinya dan meninggalkannya.

32. “Ini adalah jenis ke empat kehidupan suci tanpa penghiburan yang telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna …

33. “Ini, Sandaka, adalah empat jenis kehidupan suci tanpa penghiburan yang telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, yang mana seorang bijaksana pasti tidak akan menjalani kehidupan suci, atau jika ia menjalaninya, maka ia tidak akan mencapai jalan sejati, Dhamma yang bermanfaat.”

34. “Sungguh mengagumkan, Guru Ānanda, sungguh menakjubkan, bagaimana keempat jenis kehidupan suci tanpa penghiburan telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna … Tetapi, Guru Ānanda, apakah yang ditegaskan oleh Sang Guru, apakah yang Beliau nyatakan, yang mana seorang bijaksana pasti akan menjalani kehidupan suci, dan ketika ia menjalaninya, maka ia akan mencapai jalan sejati, Dhamma yang bermanfaat?”

35-42. “Di sini, Sandaka, seorang Tathāgata muncul di dunia ini, sempurna, tercerahkan sempurna … (seperti Sutta 51, §§12-19) … ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan.

43. “Setelah meninggalkan kelima rintangan ini, ketidak-murnian pikiran yang melemahkan kebijaksanaan, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Seorang yang bijaksana pasti akan menjalani kehidupan suci dengan seorang guru yang di bawahnya seorang siswa mencapai keluhuran mulia, [522] dan sewaktu menjalaninya ia akan mencapai jalan sejati, Dhamma yang bermanfaat.

44-46. “Kemudian, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … Dengan meluruhnya sukacita … ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga … Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat. Seorang yang bijaksana pasti akan menjalani kehidupan suci dengan seorang guru yang di bawahnya seorang siswa mencapai keluhuran mulia …

47. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan mengingat kehidupan lampau. Ia mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran … (seperti Sutta 51, §24) … Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya ia mengingat banyak kehidupan lampau. Seorang yang bijaksana pasti akan menjalani kehidupan suci dengan seorang guru yang di bawahnya seorang siswa mencapai keluhuran mulia …

48. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk. Dengan mata-dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali … (seperti Sutta 51, §25) … Demikianlah dengan mata-dewa yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka. Seorang yang bijaksana pasti akan menjalani kehidupan suci dengan seorang guru yang di bawahnya seorang siswa mencapai keluhuran mulia …

49. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda. Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’ … (seperti Sutta 51, §26) … ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda.’

50. “Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, pikirannya terbebaskan dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan, dan dari noda ketidak-tahuan. Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’ Seorang yang bijaksana pasti akan menjalani kehidupan suci dengan seorang guru yang di bawahnya seorang siswa mencapai keluhuran mulia, dan sewaktu menjalaninya ia akan mencapai jalan sejati, Dhamma yang bermanfaat.”

51. “Tetapi, Guru Ānanda, jika seorang bhikkhu adalah seorang Arahant dengan noda-noda dihancurkan, seorang yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan sejati, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir, [523] dapatkah ia menikmati kenikmatan indria?”

“Sandaka, jika seorang bhikkhu adalah seorang Arahant dengan noda-noda dihancurkan … dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir, ia tidak mampu lagi melakukan pelanggaran dalam lima hal. Seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah dihancurkan tidak lagi mampu dengan sengaja membunuh; ia tidak lagi mampu mengambil apa yang tidak diberikan, yaitu, mencuri; ia tidak lagi mampu bersenang dalam hubungan seksual; ia tidak lagi mampu dengan sengaja mengucapkan kebohongan; ia tidak lagi mampu menikmati kenikmatan indria dengan menimbunnya seperti yang ia lakukan sebelumnya dalam kehidupan awam.9 Jika seorang bhikkhu adalah seorang Arahant dengan noda-noda dihancurkan … ia tidak mampu lagi melakukan pelanggaran dalam lima hal ini.”10

52. “Tetapi, Guru Ānanda, jika seorang bhikkhu adalah seorang Arahant dengan noda-noda dihancurkan … apakah pengetahuan dan penglihatannya bahwa noda-nodanya telah dihancurkan terus-menerus ada dan tidak terputus dalam dirinya apakah ia sedang berjalan atau berdiri atau tertidur atau terjaga?”

“Sehubungan dengan hal itu, Sandaka, aku akan memberikan sebuah perumpamaan kepadamu, karena beberapa orang bijaksana di sini memahami makna dari suatu pernyataan melalui perumpamaan. Misalkan tangan dan kaki seseorang dipotong. Apakah ia berjalan atau berdiri atau tertidur atau terjaga, tangan dan kakinya terus-menerus dan senantiasa terpotong, tetapi ia mengetahui hal ini hanya ketika ia meninjau faktanya. Demikian pula, Sandaka, jika seorang bhikkhu adalah seorang Arahant dengan noda-noda dihancurkan … pengetahuan dan penglihatannya bahwa noda-nodanya telah dihancurkan tidaklah terus-menerus ada dan tidak terputus dalam dirinya apakah ia sedang berjalan atau berdiri atau tertidur atau terjaga; sebaliknya, ia mengetahui: ‘Noda-nodaku telah dihancurkan’ hanya ketika ia meninjau faktanya.”11

53. “Berapa banyakkah yang telah terbebaskan12 dalam Dhamma dan Disiplin ini, Guru Ānanda?”

“Bukan hanya seratus, Sandaka, atau dua ratus, tiga ratus, empat ratus atau lima ratus, melainkan jauh lebih banyak daripada itu mereka yang terbebaskan dalam Dhamma dan Disiplin ini.”

“Sungguh mengagumkan, Guru Ānanda, sungguh menakjubkan! Tidak ada memuji Dhamma sendiri dan tidak ada meremehkan Dhamma orang lain; ada ajaran Dhamma yang begitu lengkap, [524] dan begitu banyak yang terbebaskan. Tetapi para Ājivaka ini, para putera yang mati dari para ibu itu, memuji diri mereka sendiri dan meremehkan orang lain, dan mereka mengakui hanya tiga yang terbebaskan, yaitu, Nanda Vaccha, Kisa Sankicca, dan Makkhali Gosāla.”13

54. Kemudian Pengembara Sandaka berkata kepada kelompoknya: “Pergilah, tuan-tuan. Kehidupan suci seharusnya dijalani di bawah Petapa Gotama. Tidaklah mudah bagi kami sekarang untuk melepaskan perolehan, kehormatan, dan kemasyhuran.”

Demikianlah bagaimana Pengembara Sandaka menasihati kelompoknya agar menjalani kehidupan suci di bawah Sang Bhagavā.


Catatan Kaki
  1. Tiracchānakathā. Banyak penerjemah menerjemahkan kata ini sebagai “percakapan binatang.” Akan tetapi, tiracchāna secara literal berarti “berjalan secara horizontal,” dan walaupun kata ini digunakan sebagai sebutan bagi binatang, namun MA menjelaskan bahwa dalam konteks sekarang ini berarti percakapan yang berjalan “secara horizontal” atau “tegak lurus” terhadap jalan menuju alam surga atau kebebasan. ↩︎

  2. “Empat cara yang meniadakan praktik kehidupan suci” (abrahmacariyavāsā, lit. “cara-cara yang bukan merupakan praktik kehidupan suci”) adalah ajaran-ajaran yang secara prinsip meniadakan prospek pencapaian buah tertinggi dari disiplin spiritual. Seperti yang akan ditunjukkan dalam sutta ini, para praktisinya – secara tidak konsisten dengan prinsip-prinsip mereka sendiri – juga melaksanakan kehidupan selibat dan mempraktikkan pertapaan keras. “Empat jenis kehidupan suci tanpa penghiburan” (anassāsikāni brahmacariyāni) tidak mengurangi prinsip-prinsip kehidupan suci, namun gagal memberikan prospek pencapaian buah tertinggi dari disiplin spiritual. ↩︎

  3. Paragraf berikut ini menjelaskan premis materialis dari pandangan nihilis yang telah dijelaskan pada MN 60.7. Sāmaññaphala Sutta menganggap pandangan ini berasal dari Ajita Kesakambalin (DN 2.23/i.55). ↩︎

  4. Intinya sepertinya adalah bahwa bahkan jika seseorang tidak menjalani kehidupan suci, ia pada akhirnya akan memperoleh imbalan yang sama seperti seseorang yang menjalaninya, seperti yang dijelaskan pada bagian selanjutnya dari paragraf tersebut. ↩︎

  5. Dalam Sāmaññaphala Sutta pandangan berikutnya, hingga “ruang di antara ketujuh badan,” diduga berasal dari Pakudha Kaccāyana (DN 2.26/i.56). Akan tetapi, dalam sutta itu paragraf berikutnya tentang sistem pengelompokan terperinci, hingga kalimat “si dungu dan si bijaksana keduanya akan mengakhiri penderitaan,” dihubungkan dengan pandangan non-kausalitas dan persis setelah pernyataan tentang doktron non-kausalitas yang dikemukakan dalam sutta ini pada §13. keseluruhan pandangan di sana berasal dari makkhali Gosāla. Karena terdapat hubungan nyata antara doktrin non-kausalitas dan butir-butir dalam sistem pengelompokan (yaitu, rujukan pada “enam kelompok”), dan karena keduanya diketahui memiliki ciri khas gerakan Ājivaka yang dipimpin oleh Makkhali Gosāla, maka sepertinya bahwa sistem pengelompokkan ini yang dimasukkan ke dalam doktrin tujuh badan terjadi melalui suatu kesalahan dalam penyampaian secara lisan. Dengan demikian versi yang benar adalah yang dilestarikan oleh Dīgha Nikāya. Untuk komentar tentang sistem pengelompokan, baca Bodhi, The Discourse on the Fruits of Recluseship, pp.72-77. ↩︎

  6. Ini adalah pengakuan yang dibuat oleh guru Jain bernama Nigāṇṭha Nātaputta pada MN 14.17, dan oleh Nigaṇṭha Nātaputta dan Pūraṇa Kassapa pada AN 9:38/iv.428-29. Fakta bahwa ia membuat penilaian buruk itu dan harus mengajukan pertanyaan yang membantah pengakuannya sebagai maha-tahu. ↩︎

  7. Sama seperti BBS dan SBJ kita harus membaca sebagai sussutaṁ dan dussutaṁ. Sussataṁ dan dussataṁ dalam PTS jelas adalah kekeliruan. ↩︎

  8. MA: Posisi ini disebut geliat-belut (amarāvikkhepa) karena doktrinnya menggeliat ke sana-sini seperti belut yang menyelam masuk dan keluar dari air, dan dengan demikian adalah mustahil untuk memegangnya. Dalam Sāmaññaphala Sutta posisi ini dianggap berasal dari Sañjaya Belaṭṭhiputta (DN 2.32/1.58-59). Adalah mungkin bahwa para “geliat-belut” adalah suatu kelompok skeptis radikal yang mempertanyakan keseluruhan prospek pengetahuan yang tidak dapat dibantah sehubungan dengan isu-isu tertinggi. ↩︎

  9. MA: Ia tidak mampu menyimpan perbekalan makanan dan benda-benda kenikmatan lainnya untuk dinikmati kemudian. ↩︎

  10. Pada DN 29.26/iii.133 empat hal lain yang tidak dapat dilakukan oleh para Arahant disebutkan: ia tidak dapat melakukan perbuatan salah karena keinginan, kebencian, ketakutan, atau delusi. ↩︎

  11. Terjemahan paragraf ini mengikuti SBJ dan PTS. Versi BBS lebih lengkap. ↩︎

  12. Niyyātāro: Ñm menerjemahkan ini sebagai “para penuntun,” Horner menerjemahkan sebagai “para pemimpin besar.” Jelas keduanya mengikuti PED, yang menganggap niyyātar sebagai kata benda pelaku yang berhubungan dengan niyyāma(ka), pilot atau pengemudi. Tetapi niyyātar seharusnya adalah kata benda pelaku dari kata kerja niyyāti, “keluar (menuju pembebasan akhir),” dan dengan demikian di sini diterjemahkan sebagai “yang terbebaskan.” Ini mungkin adalah satu-satunya tempat dalam Nikāya-Nikāya di mana kata ini muncul. ↩︎

  13. Mengenai ketiga guru para Ājivaka, baca MN 36.5 dan n.383. MA menjelaskan frasa puttamatāya puttā, “putera-putera mati dari para ibu,” dengan demikian: gagasan ini muncul padanya, “para Ājivaka telah mati; ibu mereka memiliki putera yang mati.” ↩︎