easter-japanese

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” – mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, apakah kalian ingat kelima belenggu yang lebih rendah seperti yang Kuajarkan?”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Mālunkyāputta menjawab: “Yang Mulia, aku ingat kelima belenggu yang lebih rendah seperti yang diajarkan oleh Sang Bhagavā.”1

“Tetapi, Mālunkyāputta, dalam cara bagaimanakah engkau mengingat kelima belenggu yang lebih rendah seperti yang Kuajarkan?”

“Yang Mulia, Aku ingat pandangan identitas sebagai satu belenggu yang lebih rendah yang diajarkan oleh Sang Bhagavā. Aku ingat keragu-raguan sebagai satu belenggu yang lebih rendah yang diajarkan oleh Sang Bhagavā. Aku ingat keterikatan pada ritual dan upacara sebagai satu belenggu yang lebih rendah yang diajarkan oleh Sang Bhagavā. Aku ingat keinginan indria sebagai satu belenggu yang lebih rendah yang diajarkan oleh Sang Bhagavā. Aku ingat permusuhan sebagai satu belenggu yang lebih rendah yang diajarkan oleh Sang Bhagavā. Dengan cara inilah, Yang Mulia, aku mengingat kelima belenggu yang lebih rendah ini sebagaimana diajarkan oleh Sang Bhagavā.”

3. “Mālunkyāputta, dari siapakah engkau mengingat bahwa Aku telah mengajarkan kelima belenggu yang lebih rendah dalam cara itu?2 Tidakkah para pengembara sekte lain akan membantahmu dengan perumpamaan bayi? Karena seorang bayi yang lembut yang berbaring telungkup bahkan tidak memiliki gagasan ‘identitas,’ [433] jadi bagaimana mungkin pandangan identitas muncul dalam dirinya? Namun kecenderungan tersembunyi pada pandangan identitas terdapat dalam dirinya.3 Seorang bayi yang lembut yang berbaring telungkup bahkan tidak memiliki gagasan ‘ajaran,’4 jadi bagaimana mungkin keragu-raguan terhadap ajaran muncul dalam dirinya? Namun kecenderungan tersembunyi pada keragu-raguan terdapat dalam dirinya. Seorang bayi yang lembut yang berbaring telungkup bahkan tidak memiliki gagasan ‘ritual,’ jadi bagaimana mungkin keterikatan pada ritual dan upacara muncul dalam dirinya? Namun kecenderungan tersembunyi pada ritual dan upacara terdapat dalam dirinya. Seorang bayi yang lembut yang berbaring telungkup bahkan tidak memiliki gagasan ‘kenikmatan indria,’ jadi bagaimana mungkin keterikatan pada keinginan indria muncul dalam dirinya? Namun kecenderungan tersembunyi pada nafsu indria terdapat dalam dirinya. Seorang bayi yang lembut yang berbaring telungkup bahkan tidak memiliki gagasan ‘makhluk-makhluk,’ jadi bagaimana mungkin permusuhan terhadap makhluk-makhluk muncul dalam dirinya? Namun kecenderungan tersembunyi pada permusuhan terdapat dalam dirinya. Tidakkah para pengembara sekte lain akan membantahmu dengan perumpamaan bayi ini?”

4. Kemudian, Yang Mulia Ānanda berkata: “Sekarang adalah waktunya, Sang Bhagavā, sekarang adalah waktunya, Yang Sempurna, bagi Sang Bhagavā mengajarkan kelima belenggu yang lebih rendah. Setelah mendengarnya dari Sang Bhagavā, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Maka dengarkanlah, Ānanda, dan perhatikanlah pada apa yang akan Kukatakan.”

“Baik, Yang Mulia,” Yang Mulia Ānanda menjawab.

Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

5. “Di sini, Ānanda, seorang biasa yang tidak terpelajar, yang tidak menghargai para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang tidak menghargai manusia sejati dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, berdiam dengan pikiran terpengaruh dan diperbudak oleh pandangan identitas, dan ia tidak memahaminya sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari pandangan identitas yang telah muncul; dan ketika pandangan identitas itu telah menjadi kebiasaan dan tidak tersingkirkan dalam dirinya, ini adalah satu belenggu yang lebih rendah. Ia berdiam dengan pikiran terpengaruh dan diperbudak oleh keragu-raguan … oleh keterikatan pada ritual dan upacara .. oleh nafsu indria [434] … oleh permusuhan, dan ia tidak memahaminya sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari permusuhan yang telah muncul; dan ketika permusuhan itu telah menjadi kebiasaan dan tidak tersingkirkan dalam dirinya, ini adalah satu belenggu yang lebih rendah.

6. “Seorang siswa mulia yang terpelajar, yang menghargai para mulia dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, yang menghargai manusia sejati dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, berdiam dengan pikiran tidak dikuasai dan tidak diperbudak oleh pandangan identitas; ia memahaminya sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari pandangan identitas yang telah muncul, dan pandangan identitas bersama dengan kecenderungan tersembunyi pada pandangan identitas ditinggalkan olehnya.5 Ia berdiam dengan pikiran tidak dikuasai dan tidak diperbudak oleh keragu-raguan … oleh keterikatan pada ritual dan upacara … oleh nafsu indria … oleh permusuhan; ia memahaminya sebagaimana adanya jalan membebaskan diri dari permusuhan yang telah muncul, dan permusuhan bersama dengan kecenderungan tersembunyi pada permusuhan ditinggalkan olehnya.

7. “Terdapat jalan, Ānanda, cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah ini; bahwa siapapun tanpa mengandalkan jalan itu, tanpa mengandalkan cara itu, dapat mengetahui atau melihat atau meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah itu – ini adalah tidak mungkin. Seperti halnya jika ada sebatang pohon yang memiliki inti kayu, tidaklah mungkin bagi siapapun untuk dapat memotong inti kayunya tanpa memotong kulit dan kayu lunaknya, demikian pula, terdapat jalan … ini adalah tidak mungkin.

“Terdapat jalan, Ānanda, cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah ini; [435] bahwa seseorang, dengan mengandalkan jalan itu, dengan mengandalkan cara itu. Dapat mengetahui atau melihat atau meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah itu – ini adalah mungkin. Seperti halnya jika ada sebatang pohon yang memiliki inti kayu, adalah mungkin bagi seseorang untuk dapat memotong inti kayunya dengan memotong kulit dan kayu lunaknya, demikian pula, terdapat jalan … ini adalah mungkin.

8. “Misalkan, Ānanda, sungai Gangga penuh dengan air hingga ke bibirnya sehingga burung-burung gagak dapat meminumnya, dan kemudian seorang lemah datang dengan berpikir: ‘Dengan berenang menyeberang menggunakan tanganku, aku akan sampai ke pantai seberang sungai Gangga ini dengan selamat’; namun ia tidak mampu sampai ke seberang dengan selamat. Demikian pula, ketika Dhamma diajarkan kepada seseorang demi lenyapnya personalitas, jika pikirannya tidak masuk ke dalamnya dan tidak memperoleh keyakinan, kekokohan, dan kesungguhan, maka ia dapat dianggap seperti orang lemah itu.

“Misalkan, Ānanda, sungai Gangga penuh dengan air hingga ke bibirnya sehingga burung-burung gagak dapat meminumnya, dan kemudian seorang kuat datang dengan berpikir: ‘Dengan berenang menyeberang menggunakan tanganku, aku akan sampai ke pantai seberang sungai Gangga ini dengan selamat’; dan ia mampu sampai ke seberang dengan selamat. Demikian pula, ketika Dhamma diajarkan kepada seseorang demi lenyapnya personalitas, jika pikirannya masuk ke dalamnya dan memperoleh keyakinan, kekokohan, dan kesungguhan, maka ia dapat dianggap seperti orang kuat itu.

9. “Dan apakah, Ānanda, jalan atau cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah itu? Di sini, dengan keterasingan dari perolehan,6 dengan meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat, dengan sepenuhnya menenangkan kelembaman jasmani, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan.

“Apapun yang ada di sana dari bentuk materi, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran, ia melihat kondisi-kondisi itu sebagai tidak kekal, sebagai penderitaan, sebagai penyakit, sebagai tumor, sebagai duri, sebagai bencana, sebagai kemalangan, sebagai makhluk asing, sebagai kehancuran, sebagai kehampaan, sebagai bukan diri.7 Ia mengalihkan pikirannya dari kondisi-kondisi tersebut [436] dan mengarahkannya kepada unsur tanpa-kematian sebagai berikut: ‘ini damai, ini luhur, yaitu, tenangnya segala bentukan, lepasnya segala kemelekatan, hancurnya ketagihan, kebosanan, lenyapnya, Nibbāna.’8 Jika ia kokoh di dalam itu, maka ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda karena keinginan akan Dhamma itu, kesenangan dalam Dhamma itu,9 maka dengan hancurnya kelima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan di sana mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali dari alam itu. Ini adalah jalan, cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah itu.

10-12. “Kemudian, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … Kemudian, dengan meluruhnya sukacita, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga … Kemudian, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan kesakitan juga bukan kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan.

“Apapun yang ada di sana dari bentuk materi, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran, ia melihat kondisi-kondisi ini sebagai tidak kekal … sebagai bukan diri. Ia mengalihkan pikirannya dari kondisi-kondisi tersebut dan mengarahkannya kepada unsur tanpa-kematian … Ini adalah jalan, cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah itu.

13. Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, menyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas.

“Apapun yang ada di sana dari perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran,10 ia melihat kondisi-kondisi ini sebagai tidak kekal … sebagai bukan diri. Ia mengalihkan pikirannya dari kondisi-kondisi tersebut dan mengarahkannya kepada unsur tanpa-kematian … Ini adalah jalan, cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah itu.

14. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, menyadari bahwa ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas.

“Apapun yang ada di sana dari perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran, ia melihat kondisi-kondisi ini sebagai tidak kekal … sebagai bukan diri. Ia mengalihkan pikirannya dari kondisi-kondisi tersebut dan mengarahkannya kepada unsur tanpa-kematian … Ini adalah jalan, cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah itu.

15. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan.

“Apapun yang ada di sana dari perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran, ia melihat kondisi-kondisi itu sebagai tidak kekal, sebagai penderitaan, sebagai penyakit, sebagai tumor, sebagai duri, sebagai bencana, sebagai kemalangan, sebagai makhluk asing, sebagai kehancuran, sebagai kehampaan, sebagai bukan diri. Ia mengalihkan pikirannya dari kondisi-kondisi tersebut dan mengarahkannya kepada unsur tanpa-kematian sebagai berikut: ‘ini damai, ini luhur, yaitu, tenangnya segala bentukan, lepasnya segala kemelekatan, hancurnya ketagihan, kebosanan, lenyapnya, Nibbāna.’ Jika ia kokoh di dalam itu, [437] maka ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda karena keinginan akan Dhamma itu, kegembiraan dalam Dhamma itu, maka dengan hancurnya kelima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan di sana mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali dari alam itu. Ini adalah jalan, cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah itu.”

16. “Yang Mulia, jika ini adalah jalan atau cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah, maka bagaimanakah beberapa bhikkhu di sini [dikatakan] mencapai kebebasan pikiran dan beberapa [dikatakan] mencapai kebebasan melalui kebijaksanaan?”

“Perbedaannya di sini, Ānanda, adalah dalam indria-indria mereka, Aku katakan.”11

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.


Catatan Kaki
  1. Kelima belenggu yang lebih rendah (orambhāgiyāni saṁyojanāni) disebut demikian karena mengarah menuju kelahiran kembali di alam indria. Belenggu-belenggu ini dilenyapkan sepenuhnya hanya oleh yang-tidak-kembali. ↩︎

  2. MA: Akan muncul pertanyaan: “Ketika Sang Buddha bertanya tentang belenggu-belenggu dan Bhikkhu itu menjawab dalam hal belenggu-belenggu, mengapa Sang Buddha mengkritik jawabannya?”Alasannya adalah karena Mālunkyāputta menganut pandangan bahwa seseorang terbelenggu oleh kekotoran hanya pada saat ketika kekotoran itu menyerangnya, sementara pada saat lainnya tidak terbelenggu oleh kekotoran. Sang Buddha mengatakan itu untuk menunjukkan kesalahan dalam pandangannya. ↩︎

  3. Anuseti tvev’assa sakkāyadiṭṭhānusayo. Mengenai anusaya atau kecenderungan tersembunyi, baca n.473. Dalam komentar kekotoran dibedakan saat muncul di tiga tingkat: tingkat anusaya, di mana kekotoran menetap hanya sebagai watak tersembunyi dalam batin; tingkat pariyuṭṭhāna, di mana kekotoran muncul untuk menguasai dan memperbudak pikiran (dirujuk dalam §5 dari khotbah ini); dan tingkat vitikkama, di mana kekotoran memotivasi perbuatan jasmani dan ucapan yang tidak bermanfaat. Inti dari kritikan Sang Buddha adalah bahwa belenggu-belenggu, bahkan ketika tidak muncul secara aktif, namun terus ada pada tingkat anusaya selama belum dilenyapkan melalui jalan lokuttara. ↩︎

  4. Dhamma. Ini juga dapat diterjemahkan “segala sesuatu.” ↩︎

  5. MA: Belenggu dan kecenderungan tersembunyi secara prinsip bukanlah hal yang berbeda; sebaliknya, adalah kekotoran yang sama yang disebut belenggu dalam makna mengikat, dan kecenderungan tersembunyi dalam makna belum ditinggalkan. ↩︎

  6. Upadhivivekā. MA mengemas upadhi di sini sebagai lima utas kenikmatan indria. Walaupun ketiga klausul pertama dari pernyataan ini sepertinya mengungkapkan gagasan yang sama dengan dua klausul berikutnya, MṬ menunjukkan bahwa ini dimaksudkan untuk menunjukkan cara untuk mendapatkan kondisi “dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat.” ↩︎

  7. Paragraf ini menunjukkan pengembangan pandangan terang (vipassanā) yang berdasarkan pada ketenangan (samatha), menggunakan jhāna yang dengannya praktik pandangan terang didasarkan sebagai objek perenungan pandangan terang. Baca MN 52.4 dan n.552. Di sini dua kata – tidak kekal dan kehancuran – menunjukkan karakteristik ketidak-kekalan; tiga kata – makhluk asing, kehampaan, dan bukan-diri – menunjukkan karakteristik tanpa-diri; enam kata lainnya menunjukkan karakteristik penderitaan. ↩︎

  8. MA: Ia “mengalihkan pikirannya” dari kelima kelompok unsur kehidupan yang termasuk dalam jhāna, yang telah ia lihat dengan ditandai ketiga karakteristik. “Unsur tanpa-kematian” (amatā dhātu) adalah Nibbāna. Pertama “ia mengarahkan pikirannya pada Nibbāna” dengan kesadaran pandangan terang, setelah mendengarnya dipuji dan digambarkan sebagai “damai dan luhur,” dan seterusnya. Kemudian, dengan jalan lokuttara, “ia mengarahkan pikirannya pada Nibbāna” dengan menjadikannya sebagai objek dan menembusnya sebagai yang damai dan luhur, dan seterusnya. ↩︎

  9. Baca n.553 ↩︎

  10. Mengenai penghilangan pencapaian tanpa-materi yang ke empat, baca n.554. ↩︎

  11. MA: Di antara mereka yang maju melalui ketenangan, seorang bhikkhu yang menekankan pada keterpusatan pikiran – ia dikatakan mencapai kebebasan pikiran; yang lain menekankan pada kebijaksanaan – ia dikatakan mencapai kebebasan melalui kebijaksanaan. Di antara mereka yang maju melalui pandangan terang, seorang yang menekankan pada kebijaksanaan – ia dikatakan mencapai kebebasan melalui kebijaksanaan, yang lain yang menekankan pada keterpusatan pikiran - ia dikatakan mencapai kebebasan pikiran. Kedua siswa utama mencapai Kearahattaan dengan menekankan pada ketenangan dan pandangan terang, tetapi YM. Sāriputta menjadi seorang yang mencapai kebebasan melalui kebijaksanaan dan YM. Mahā Moggallāna menjadi seorang yang mencapai kebebasan pikiran. Demikianlah alasan (bagi perbedaan sebutan) adalah perbedaan dalam indria-indria mereka, yaitu, antara keunggulan indria konsentrasi dan indria kebijaksanaan. ↩︎