D iii 58
Auman Singa tentang Pemutaran Roda
Di terjemahkan dari pāḷi oleh
Maurice Walshe
ShortUrl:
Edisi lain:
Pāḷi (vri)
[58]
1.
DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.1 Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di antara penduduk Magadha di Mātulā. Kemudian Beliau berkata: ‘Para bhikkhu!’ ‘Bhagavā’, mereka menjawab, dan Sang Bhagavā berkata:
‘Para bhikkhu, jadilah pulau bagi diri kalian sendiri, jadilah pelindung bagi dirimu sendiri, jangan ada perlindungan lainnya. Jadikan Dhamma sebagai pulau bagi dirimu, jadikan Dhamma sebagai pelindungmu, jangan ada perlindungan lain.2 Dan bagaimanakah seorang bhikkhu berdiam sebagai pulau bagi diri sendiri, sebagai pelindung bagi diri sendiri, tanpa ada perlindungan lainnya, dengan Dhamma sebagai pulau baginya, dengan Dhamma sebagai pelindung, tanpa ada pelindung lainnya? Di sini, seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani,3 tekun, sadar jernih, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan kerinduan dan kegelisahan terhadap dunia, ia berdiam merenungkan perasaan sebagai perasaan, … ia berdiam merenungkan pikiran sebagai pikiran, … ia berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran, tekun, dengan sadar jernih, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan kerinduan dan kegelisahan terhadap dunia.
‘Peliharalah lahanmu sendiri,4 para bhikkhu, wilayah leluhurmu.5 Jika kalian melakukan hal itu, maka Māra tidak akan dapat menemukan tempat tinggal, tempat berpijak. Hanya dengan membangun kondisi-kondisi bermanfaat maka jasa ini dapat meningkat
[59]
2.
‘Suatu ketika, para bhikkhu, ada seorang raja pemutar-roda bernama Daḷhanemi, seorang raja yang adil, penakluk empat penjuru, yang telah mengokohkan keamanan di wilayahnya dan memiliki tujuh pusaka. Yaitu: Pusaka-Roda, Pusaka-Gajah, Pusaka-Kuda, Pusaka-Permata, Pusaka-Perempuan, Pusaka-Perumahtangga, dan yang ke tujuh, Pusaka-Penasihat. Ia memiliki lebih dari seribu putra yang adalah pahlawan-pahlawan, bersosok kuat, penakluk bala tentara musuh. Ia berdiam setelah menaklukkan tanah yang dikelilingi oleh lautan tanpa menggunakan tongkat atau pedang, melainkan dengan hukum. (seperti Sutta 3, paragraf 1.5).
3.
“Dan, setelah beberapa ratus tahun dan beberapa ribu tahun berlalu, Raja Daḷhanemi berkata kepada seseorang: “Anakku, jika engkau melihat Pusaka-Roda suci itu jatuh dari posisinya, laporkan kepadaku.” “Baik, Baginda”, jawab orang itu. Dan, setelah beberapa ratus tahun dan beberapa ribu tahun berlalu, orang itu melihat Pusaka-Roda suci itu jatuh dari posisinya. Melihat hal ini, ia melaporkan kepada Raja. Kemudian Raja Daḷhanemi, memanggil putra tertuanya, putra mahkota, dan berkata: “Putraku, Pusaka-Roda suci telah jatuh dari posisinya. Dan aku pernah mendengar bahwa jika hal ini terjadi pada seorang Raja Pemutar-Roda, ia tidak hidup lama lagi. Aku telah puas [60]
dengan kenikmatan manusiawi, sekarang adalah waktunya untuk mencari kenikmatan surgawi. Engkau, putraku, ambil-alihlah kendali atas wilayah yang dibatasi dengan lautan ini. Aku akan mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.” Dan, setelah mengangkat putera tertuanya menjadi raja selayaknya, Raja Daḷhanemi mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Dan tujuh hari setelah sang raja meninggalkan keduniawian, Pusaka-Roda suci lenyap.
4.
‘Kemudian seseorang mendatangi Raja Khattiya itu dan berkata: “Baginda, engkau harus tahu bahwa Pusaka-Roda suci telah lenyap.” Mendengar kata-kata ini Raja berduka dan bersedih. Ia mendatangi raja bijaksana dan memberitahukan berita itu. Dan sang raja bijaksana berkata kepadanya: “Anakku, engkau tidak perlu berduka dan merasa sedih karena lenyapnya Pusaka-Roda. Pusaka-Roda bukanlah warisan dari ayahmu. Tetapi sekarang, anakku, engkau harus merubah dirimu menjadi Ariya Pemutar-roda.6 Dan kemudian akan terjadi, jika engkau melakukan tugas-tugas seorang raja Ariya pemutar-roda, pada hari Uposatha tanggal lima belas,7 ketika engkau mencuci kepalamu dan naik ke teras di puncak istanamu untuk menjalankan hari Upostha, Pusaka-Roda suci akan muncul bagimu, berjeruji seribu, lengkap dengan lingkar, sumbu dan segala hiasannya.”
[61]
5.
“Tetapi apakah, Baginda, tugas-tugas seorang raja Ariya pemutar-roda?” “Yaitu, anakku: Engkau bergantung pada Dhamma, menghormatiNya, menghargaiNya, menyayangiNya, menyembahNya dan memujaNya, menjadikan Dhamma sebagai lencana dan spandukmu, mengakui Dhamma sebagai gurumu, engkau harus menegakkan penjagaan, pertahanan dan perlindungan sesuai Dhamma bagi rumah tanggamu, pasukanmu, para mulia dan bawahanmu, untuk para Brahmana dan perumah tangga, penduduk desa dan kota, para petapa dan Brahmana, binatang-binatang liar dan burung-burung.8 Jangan biarkan kejahatan9 menyerang kerajaanmu, dan bagi mereka yang membutuhkan, berikan barang-barang kebutuhan mereka. Dan petapa dan Brahmana manapun dalam kerajaanmu yang meninggalkan nafsu indriawi dan menjalani praktik kesabaran dan kelembutan, masing-masing menjinakkan diri mereka, masing-masing menenangkan diri mereka dan masing-masing berusaha untuk mengakhiri ketagihan, jika dari waktu ke waktu mereka mengunjungimu dan berkonsultasi denganmu sehubungan dengan apa yang bermanfaat dan apa yang tidak bermanfaat, apa yang patut dicela dan apa yang tanpa cela, apa yang harus diikuti dan apa yang tidak boleh diikuti, dan perbuatan apa yang dalam jangka panjang akan mengakibatkan kemalangan dan penderitaan, dan apa yang menghasilkan kesejahteraan dan kebahagiaan, maka engkau harus mendengarkan, dan memberitahu mereka agar menghindari kejahatan dan melakukan apa yang baik.10 Itu, anakku, adalah tugas seorang raja Ariya pemutar-roda.
‘”Baik, Baginda”, jawab Sang Raja itu, dan ia melakukan tugas-tugas seorang raja Ariya pemutar-roda. Dan karena ia melakukan hal itu, pada hari Uposatha tanggal lima belas, ketika ia mencuci kepalanya dan naik ke teras di puncak istananya untuk menjalankan hari Upostha, Pusaka-Roda suci muncul dihadapannya, berjeruji seribu, lengkap dengan lingkar, sumbu dan segala hiasannya. Kemudian Sang Raja berpikir: “Aku telah mendengar bahwa ketika seorang [62]
Raja Khattiya yang sah melihat roda demikian pada hari Uposatha tanggal lima belas, ia akan menjadi seorang raja pemutar-roda. Semoga aku menjadi raja demikian!”11
6.
‘Kemudian, bangkit dari duduknya, menutupi satu bahunya dengan jubahnya, Raja mengambil kendi emas dengan tangan kirinya, memercikkan air ke roda itu dengan tangan kanannya, dan berkata: “Semoga Pusaka-Roda mulia berputar, semoga Pusaka-Roda mulia menaklukkan!” Roda itu bergerak ke timur, dan Raja mengikuti bersama empat barisan bala tentaranya. Dan di negeri mana pun Roda itu berhenti, Raja juga menetap di sana bersama empat barisan bala tentaranya. Dan raja-raja yang menentangnya di wilayah timur datang menghadapnya dan berkata: “Selamat datang, Baginda, Selamat datang! Kami adalah milikmu, Baginda, perintahlah kami, Baginda!” Dan Sang Raja berkata: “Jangan membunuh. Jangan mengambil apa yang tidak diberikan. Jangan melakukan hubungan seksual yang salah. Jangan berbohong. Jangan meminum minuman keras. Makanlah secukupnya.”12 Dan mereka yang menentangnya di wilayah timur menjadi taklukannya.
7.
‘Kemudian Roda itu bergerak ke selatan, barat dan utara … (seperti paragraf 6). Kemudian Pusaka-Roda, setelah menaklukkan wilayah-wilayah dari laut ke laut, kembali ke ibukota kerajaan dan berhenti di depan istana raja ketika Raja sedang memimpin persidangan, seolah-olah menghias istana kerajaan.
8.
‘Dan raja pemutar-roda yang kedua melakukan hal yang sama, dan raja ketiga, keempat, kelima, keenam, dan raja ketujuh juga …memberitahu seseorang untuk melihat apakah Roda jatuh dari posisinya (seperti paragraf 3). [64]
Dan tujuh hari sejak raja bijaksana pergi meninggalkan keduniawian, Roda itu lenyap.
9.
‘Kemudian seseorang mendatangi Raja dan berkata: “Baginda, engkau harus tahu bahwa Pusaka-Roda suci telah lenyap.” Mendengar kata-kata ini Raja berduka dan bersedih. Tetapi ia tidak mendatangi raja bijaksana dan menanyakan tentang tugas-tugas seorang raja pemutar-roda. Sebaliknya, ia memerintah rakyatnya sesuka hatinya sendiri, dan, karena diperintah dengan cara demikian, rakyat tidak menjadi makmur seperti pada masa raja sebelumnya yang melakukan tugas-tugas seorang raja pemutar-roda. Kemudian para menteri, penasihat, pejabat keuangan, pengawal dan penjaga pintu, dan para pembaca mantra mendatangi Raja dan berkata: [65]
“Baginda, sejak engkau memerintah rakyat dengan sesuka hatimu, dan dengan cara yang berbeda dengan bagaimana kami diperintah oleh raja pemutar-roda sebelumnya, rakyat menjadi tidak makmur. Baginda, ada menteri-menteri … di dalam wilayahmu, termasuk kami, yang memiliki pengetahuan tentang bagaimana seorang raja pemutar-roda memerintah. Tanyalah kami, Baginda, dan kami akan memberitahukan kepadamu!”
10.
‘Kemudian Raja memerintahkan semua menteri dan yang lainnya berkumpul, dan berkonsultasi dengan mereka. Dan mereka menjelaskan kepadanya tugas-tugas seorang raja pemutar-roda. Dan, setelah mendengarkan mereka, Raja menegakkan penjagaan dan perlindungan, tetapi tidak memberikan persembahan kepada yang membutuhkan, dan sebagai akibatnya kemiskinan berkembang. Dengan meningkatnya kemiskinan, seseorang mengambil apa yang tidak diberikan, dengan demikian melakukan apa yang disebut pencurian. Mereka menangkapnya, dan membawanya ke hadapan Raja, dan berkata: “Baginda, orang ini mengambil apa yang tidak diberikan, yang disebut pencurian.” Raja berkata kepadanya: “Benarkah bahwa engkau mengambil apa yang tidak diberikan - yang disebut pencurian?” “Benar, Baginda.” “Mengapa?” “Baginda, aku tidak memiliki apapun untuk bertahan hidup.” [66]
Kemudian Raja memberikan orang itu harta, dan berkata: “Dengan ini, rakyatku, engkau dapat mempertahankan hidupmu, menyokong ibu dan ayahmu, menjaga istri dan anak-anak, jalankan usaha dan berilah persembahan kepada para petapa dan Brahmana, yang akan memajukan kesejahteraan spiritualmu dan mengarah menuju kelahiran kembali yang bahagia dengan hasil yang menyenangkan di alam surga.” “Baiklah, Baginda”, jawab orang itu.
11.
‘Dan hal yang sama terjadi pada orang lainnya.
12.
‘Kemudian orang-orang mendengar bahwa Raja memberikan harta kepada mereka yang mengambil apa yang tidak diberikan, dan mereka berpikir: “Bagaimana jika kita melakukan hal yang sama!” Dan kemudian seorang lainnya mengambil apa yang tidak diberikan, dan mereka membawanya ke hadapan Raja. [67]
Raja menanyakan mengapa ia melakukan hal itu, dan ia menjawab: “Baginda, aku tidak memiliki apapun untuk bertahan hidup.” Kemudian Raja berpikir: “Jika aku memberikan harta kepada setiap orang yang mengambil apa yang tidak diberikan, pencurian akan semakin meningkat. Lebih baik aku mengakhirinya, menghukumnya selamanya, dan memenggal kepalanya.” Maka ia memerintahkan orangnya: “Ikat kedua tangan orang ini di punggung dengan tali yang kuat, cukur rambutnya, dan arak dia dengan tabuhan genderang melalui jalan-jalan dan lapangan dan keluar melalui gerbang selatan, dan di sana hukum dia dengan hukuman terberat dan penggal kepalanya!” Dan mereka melakukan hal itu.
13.
‘Mendengar hal ini, orang-orang berpikir: “Sekarang mari kita mengambil pedang tajam, dan kemudian kita dapat mengambil apa yang tidak diberikan dari siapa saja [yang disebut pencurian]
, [68]
kita akan mengakhiri mereka, menghukum mereka selamanya dan memenggal kepala mereka.” Demikianlah, setelah mendapatkan pedang tajam, mereka melakukan pembunuhan-pembunuhan di desa-desa dan kota-kota, dan pergi menjadi perampok jalanan, membunuh korban mereka dengan memenggal kepala mereka.
14.
‘Demikianlah, dari tidak memberikan kepada mereka yang membutuhkan, kemiskinan berkembang, dari meningkatnya kemiskinan, tindakan mengambil apa yang tidak diberikan meningkat, dari meningkatnya pencurian, penggunaan senjata meningkat, dari meningkatnya penggunaan senjata, pembunuhan meningkat – dan dari meningkatnya pembunuhan, umur kehidupan manusia menurun, kecantikan mereka memudar, dan sebagai akibat dari menurunnya umur kehidupan dan kecantikan ini, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya delapan puluh ribu tahun hanya hidup selama empat puluh ribu tahun.
‘Dan seseorang dari generasi yang hidup selama empat puluh ribu tahun itu mengambil apa yang tidak diberikan. Ia dibawa ke hadapan Raja, yang bertanya kepadanya: “Benarkah bahwa engkau mengambil apa yang tidak diberikan - yang disebut pencurian?” “Tidak, Baginda”, ia menjawab, dengan demikian ia dengan sengaja mengatakan kebohongan.
15.
‘Demikianlah, dari tidak memberikan kepada mereka yang membutuhkan, … pembunuhan meningkat, dan dari pembunuhan, kebohongan meningkat, [69]
dari meningkatnya kebohongan, umur kehidupan manusia menurun, kecantikan mereka memudar. dan sebagai akibatnya, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya empat puluh ribu tahun hanya hidup selama dua puluh ribu tahun.
‘Dan seseorang dari generasi yang hidup selama dua puluh ribu tahun itu mengambil apa yang tidak diberikan. Orang lain melaporkan hal itu kepada Raja dengan mengatakan: “Baginda, orang itu telah mengambil apa yang tidak diberikan”, dengan demikian mengatakan kejahatan orang lain.13
16.
‘Demikianlah, dari tidak memberikan kepada mereka yang membutuhkan, … tindakan mengatakan kejahatan orang lain meningkat, dan sebagai akibatnya, umur kehidupan manusia menurun, kecantikan mereka memudar, dan sebagai akibatnya, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya dua puluh ribu tahun hanya hidup selama sepuluh ribu tahun.
‘Dan dari generasi yang hidup selama sepuluh ribu tahun itu, beberapa cantik dan beberapa buruk rupa. Dan mereka yang buruk rupa, karena iri terhadap mereka yang cantik, melakukan pelanggaran seksual dengan istri-istri orang lain.
17.
Demikianlah, dari tidak memberikan kepada mereka yang membutuhkan, … pelanggaran seksual meningkat, dan sebagai akibatnya, umur kehidupan manusia menurun, kecantikan mereka memudar, dan sebagai akibatnya, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya sepuluh ribu tahun hanya hidup selama lima ribu tahun.
‘Dan dari generasi yang hidup selama lima ribu tahun itu, dua hal meningkat: ucapan kasar dan pembicaraan yang tidak bertujuan, dan sebagai akibatnya, umur kehidupan manusia menurun, kecantikan mereka memudar, dan sebagai akibatnya, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya lima ribu tahun [70]
, beberapa hidup selama dua ribu lima ratus tahun, dan beberapa hidup selama dua ribu tahun.
‘Dan dari generasi yang hidup selama dua ribu lima ratus tahun itu, iri-hati dan kebencian meningkat, dan sebagai akibatnya, umur kehidupan manusia menurun, kecantikan mereka memudar. dan sebagai akibatnya, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya dua ribu lima ratus tahun, hanya hidup selama seribu tahun.
‘Dan dari generasi yang hidup selama seribu tahun itu, pendapat-pendapat salah14 meningkat … dan sebagai akibatnya, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya seribu tahun hanya hidup selama lima ratus tahun.
‘Dan dari generasi yang hidup selama lima ratus tahun itu, tiga hal meningkat: hubungan seksual sedarah, keserakahan berlebihan dan praktik-praktik menyimpang15 … dan sebagai akibatnya, anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya lima ratus tahun, beberapa hidup selama dua ratus lima puluh tahun, dan beberapa hidup selama dua ratus tahun.
‘Dan dari generasi yang hidup selama dua ratus lima puluh tahun itu, hal-hal ini meningkat: kurangnya hormat kepada ayah dan ibu, kepada para petapa dan Brahmana, dan kepada kepala-kepala suku.
18.
Demikianlah, dari tidak memberikan kepada mereka yang membutuhkan, … [71]
kurangnya hormat kepada ayah dan ibu, kepada para petapa dan Brahmana, dan kepada kepala-kepala suku menjadi meningkat, dan sebagai akibatnya umur kehidupan dan kecantikan manusia menurun, dan anak-anak dari mereka yang umur kehidupannya dua setengah abad hanya hidup selama seratus tahun.
19.
‘Para bhikkhu, akan tiba saatnya ketika anak-anak dari orang-orang ini memiliki umur kehidupan selama hanya sepuluh tahun. Dan bersama mereka, anak-anak perempuan akan menikah pada usia lima tahun. Dan bersama mereka, rasa-rasa kecapan ini akan lenyap: ghee, mentega, minyak-wijen, sirup dan garam. Di antara semua itu, padi-kudrūsa16 akan menjadi makanan pokok, seperti halnya nasi dan kari pada masa sekarang. Dan bersama mereka, sepuluh perbuatan bermoral akan lenyap sama sekali, dan sepuluh kejahatan akan meningkat pesat: karena mereka yang memiliki umur kehidupan sepuluh tahun, tidak memahami kata “moral”,17 jadi bagaimana mungkin ada orang yang dapat melakukan perbuatan bermoral? Orang-orang itu yang [72]
tidak menghormati ayah dan ibu, para petapa dan Brahmana, kepala-kepala suku, akan menjadi orang-orang yang menikmati kehormatan dan martabat. Seperti halnya sekarang orang-orang yang menghormati ayah dan ibu, para petapa dan Brahmana, kepala-kepala suku, dipuji dan dihormati, demikian pula halnya dengan mereka yang melakukan sebaliknya.
20.
‘Di antara mereka yang memiliki umur kehidupan sepuluh tahun, tidak ada yang dianggap ibu atau bibi, saudara ibu, istri guru atau istri ayah dan lain-lain – semua dianggap sama di dunia ini seperti kambing dan domba, unggas dan babi, anjing dan serigala. Di antara mereka, permusuhan sengit akan terjadi satu sama lain, kebencian hebat, kemarahan sengit dan pikiran membunuh, ibu melawan anak dan anak melawan ibu, ayah melawan anak dan anak melawan ayah, saudara laki-laki melawan saudara laki-laki, saudara laki-laki melawan saudara perempuan, bagaikan pemburu yang merasakan kebencian terhadap binatang yang ia buru … [73]
21.
‘Dan bagi mereka yang memiliki umur kehidupan sepuluh tahun, akan terjadi suatu “interval-pedang”18 selama tujuh hari, selama itu mereka akan menganggap satu sama lain sebagai binatang buas. Dengan pedang tajam yang muncul di tangan mereka dan, berpikir: “Ada binatang buas!” mereka akan saling membunuh dengan pedang itu. Tetapi akan ada beberapa yang berpikir: “Mari kita menjaga agar jangan sampai membunuh atau terbunuh oleh siapapun! Mari kita pergi ke padang rumput atau hutan belantara atau rumpun pepohonan, ke sungai-sungai yang sulit diseberangi atau yang tidak terjangkau, dan hidup dari akar-akaran dan buah-buahan hutan.” Dan inilah yang mereka lakukan selama tujuh hari. Kemudian, di akhir dari tujuh hari itu, mereka akan keluar dari tempat persembunyian mereka dan bergembira, berkata: “Orang-orang baik, aku melihat bahwa engkau hidup!” Dan kemudian pikiran ini muncul dalam benak orang-orang itu: “Karena kita menyukai kejahatan sehingga kita menderita kehilangan keluarga kita, karena itu marilah kita sekarang berbuat baik! Hal baik apakah yang dapat kita lakukan? Mari kita menghindari pembunuhan – itu akan menjadi suatu praktik yang baik.” Dan demikianlah mereka menghindari pembunuhan, dan, setelah berusaha menerima hal-hal bermanfaat itu, mari mereka mempraktikkannya. Dan dengan berusaha menjalankan hal-hal bermanfaat itu, umur kehidupan dan kecantikan mereka meningkat. [74]
Dan anak-anak dari mereka yang memiliki umur kehidupan sepuluh tahun, hidup selama dua puluh tahun.
22.
‘Kemudian orang-orang itu berpikir: “Karena melakukan praktik-praktik bermanfaat maka kita telah meningkat dalam hal umur kehidupan dan kecantikan, karena itu mari kita melakukan lebih banyak lagi praktik-praktik bermanfaat. Mari kita menghindari perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari melakukan hubungan seksual yang salah, menghindari berbohong, menghindari memfitnah, menghindari ucapan kasar, menghindari pembicaraan yang tidak berguna, menghindari keiri-hatian, menghindari permusuhan, menghindari pandangan salah, mari kita menghindari tiga hal ini: hubuangan seksual sedarah, keserakahan berlebihan, dan praktik-praktik menyimpang; mari kita menghormati ibu dan ayah kita, para petapa dan Brahmana, dan para pemimpin suku dan mari kita menekuni perbuatan-perbuatan bermanfaat ini.”
‘Dan demikianlah mereka melakukan hal-hal itu, dan karena itu mereka mengalami peningkatan dalam hal umur kehidupan dan kecantikan. Dan anak-anak dari mereka yang memiliki umur kehidupan dua puluh tahun, akan hidup selama empat puluh tahun, anak-anak mereka akan hidup selama delapan puluh tahun, anak-anak mereka hidup selama seratus enam puluh tahun, anak-anak mereka hidup selama tiga ratus dua puluh tahun, anak-anak mereka hidup selama enam ratus empat puluh tahun; anak-anak dari mereka yang memiliki umur kehidupan enam ratus empat puluh tahun, akan hidup selama dua ribu tahun, anak-anak mereka hidup selama empat ribu tahun, anak-anak mereka hidup selama delapan ribu tahun, dan anak-anak mereka hidup selama dua puluh ribu tahun. Anak-anak dari mereka yang memiliki umur kehidupan dua puluh ribu tahun, akan [75]
hidup selama empat puluh ribu tahun, anak-anak mereka hidup selama delapan puluh ribu tahun.
23.
‘Di antara mereka yang memiliki umur kehidupan delapan puluh ribu tahun, anak-anak perempuan menikah dalam usia lima ratus tahun. Dan orang-orang pada masa itu hanya mengetahui tiga jenis penyakit: keserakahan, lapar dan usia tua.19 Dan pada masa itu, benua Jambudīpa akan kuat dan makmur, dan jarak antar desa dan kota hanya sejauh jarak terbang ayam antara satu sama lainnya. 20 Jambudīpa ini seperti Avīci,21 ramai oleh manusia bagaikan hutan belantara yang dipenuhi tanaman merambat dan semak belukar. Pada masa itu, Vārāṇasi22 sekarang adalah kota kerajaan yang bernama Ketumatī, kuat dan makmur, ramai oleh orang-orang dan memiliki persediaan yang sangat mencukupi. Di Jambudīpa akan terdapat delapan puluh empat ribu kota dengan Ketumatī sebagai ibukota kerajaan.
24.
‘Dan pada masa itu ketika manusia memiliki umur kehidupan delapan puluh ribu tahun, akan muncul di ibukota Ketumatī seorang raja bernama Sankha, seorang raja pemutar-roda, raja yang jujur dan adil, penakluk empat penjuru (seperti paragraf 2).
25.
‘Dan pada masa itu ketika manusia memiliki umur kehidupan delapan puluh ribu tahun, [76]
akan muncul di dunia ini Sang Tathāgata, seorang Arahant, Buddha yang mencapai penerangan sempurna bernama Metteyya,23 memiliki kebijaksanaan dan perilaku sempurna, Yang Sempurna menempuh Sang Jalan, Pengenal seluruh alam, Penjinak manusia yang dapat dijinakkan yang tiada bandingnya, guru para dewa dan manusia, Tercerahkan dan Suci, seperti halnya Aku sekarang ini. Beliau akan mengetahui segalanya dengan pengetahuan-super yang Beliau miliki, dan menyatakan, semesta ini dengan para dewa dan māra dan Brahmā, para petapa dan Brahmana, dan generasi ini dengan para raja dan umat manusia, seperti yang Kulakukan sekarang. Beliau akan mengajarkan Dhamma yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir, dalam makna dan katanya, dan membabarkan, seperti yang Kulakukan sekarang, kehidupan suci dalam kesempurnaan dan kemurniannya. Ia akan diiringi oleh ribuan bhikkhu, seperti halnya Aku diiringi ratusan bhikkhu.
26.
‘Kemudian Raja Sankha membangun kembali istana yang pernah dibangun oleh Raja Mahā-Panāda24 dan, setelah menetap di sana, akan melepaskannya dan mempersembahkannya kepada para petapa dan Brahmana, para pengemis, para pengembara, orang-orang miskin. Kemudian, setelah mencukur rambut dan janggutnya, ia akan mengenakan jubah kuning dan meninggalkan kehidupan rumah tangga untuk menjalani kehidupan tanpa rumah di bawah Buddha Metteyya yang tertinggi. Setelah meninggalkan keduniawian, ia akan menetap sendirian, dalam pengasingan, tekun, bersemangat dan bertekad, dan tidak lama kemudian ia akan mencapai dalam kehidupan ini juga, dengan pengetahuan-super dan tekadnya sendiri, [77]
tujuan kehidupan suci yang tiada bandingnya, yang dicari oleh para pemuda yang berasal dari keluarga yang baik yang meninggalkan rumah untuk menjalani kehidupan tanpa rumah, dan akan berdiam di sana.
27.
‘Para bhikkhu, jadilah pulau bagi diri kalian sendiri, jadilah pelindung bagi dirimu sendiri, jangan ada perlindungan lainnya. Jadikan Dhamma sebagai pulau bagi dirimu, jadikan Dhamma sebagai pelindungmu, jangan ada perlindungan lain. Dan bagaimanakah seorang bhikkhu berdiam sebagai pulau bagi diri sendiri …? Di sini, seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani, tekun, dengan sadar jernih, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan kerinduan dan kegelisahan terhadap dunia, ia berdiam merenungkan perasaan sebagai perasaan, … ia berdiam merenungkan pikiran sebagai pikiran, … ia berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran, tekun, sadar jernih, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan kerinduan dan kegelisahan terhadap dunia.
28.
‘Peliharalah lahanmu sendiri, para bhikkhu, wilayah leluhurmu. Jika kalian melakukan hal itu, umur kehidupan kalian akan bertambah, kecantikan kalian akan meningkat, kebahagiaan kalian akan bertambah, kekayaan kalian akan bertambah, kekuatan kalian akan meningkat.
‘Dan apakah panjang kehidupan bagi seorang bhikkhu? Di sini, seorang bhikkhu mengembangkan jalan menuju kekuatan yaitu konsentrasi kehendak yang disertai upaya berkemauan, jalan menuju kekuatan yaitu konsentrasi kegigihan …, jalan menuju kekuatan yaitu konsentrasi kesadaran …, jalan menuju kekuatan yaitu konsentrasi penyelidikan yang disertai upaya berkemauan.25 Dengan sering melatih empat jalan menuju kekuatan ini ia dapat, jika ia menginginkan, hidup selama satu abad,26 atau hingga akhir abad yang itu. Itu adalah apa yang Kusebut panjang kehidupan seorang bhikkhu.
‘Dan apakah kecantikan seorang bhikkhu? Di sini, seorang bhikkhu mempraktikkan perbuatan benar, terkendali sesuai disiplin, [78]
sempurna dalam perilaku dan kebiasaan, melihat bahaya dalam kesalahan terkecil, dan melatih diri dalam peraturan yang telah ia terima. Itu adalah kecantikan seorang bhikkhu.
‘Dan apakah kebahagiaan bagi seorang bhikkhu? Di sini, seorang bhikkhu, terlepas dari keinginan-indria … memasuki jhāna pertama, … (seperti Sutta 22, paragraf 21), kedua, ketiga, jhāna keempat, … dimurnikan oleh keseimbangan dan perhatian. Ini adalah kebahagiaan bagi seorang bhikkhu.
‘Dan apakah kekayaan bagi seorang bhikkhu? Di sini, seorang bhikkhu, dengan pikiran penuh dengan cinta-kasih, berdiam meliputi satu arah, arah ke dua, ke tiga, ke empat. Demikianlah ia berdiam meliputi seluruh dunia, ke atas, ke bawah, ke sekeliling – ke segala penjuru, selalu dengan pikiran penuh dengan cinta kasih, berlimpah, tanpa batas, tanpa kebencian atau permusuhan. Kemudian, dengan pikirannya penuh dengan belas-kasihan, … dengan pikirannya penuh dengan kegembiraan simpatik, … dengan pikirannya penuh dengan keseimbangan, … ia berdiam meliputi seluruh dunia, ke atas, ke bawah, ke sekeliling – ke segala penjuru, selalu dengan pikiran penuh dengan keseimbangan, berlimpah, tanpa batas, tanpa kebencian atau permusuhan.27 Ini adalah kekayaan bagi seorang bhikkhu.
‘Dan apakah kekuatan bagi seorang bhikkhu? Di sini, seorang bhikkhu, dengan hancurnya kekotoran, memasuki dan berdiam dalam kebebasan pikiran yang tanpa kekotoran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang telah ia capai, dalam kehidupan ini, dengan pengetahuan-super dan realisasinya sendiri. Itu adalah kekuatan bagi seorang bhikkhu.
‘Para bhikkhu, aku tidak menganggap kekuatan apapun28 yang begitu sulit ditaklukkan seperti kekuatan Māra. [79]
Hanya dengan membangun kondisi-kondisi bermanfaat maka jasa ini dapat meningkat.’29
Demikianlah Sang Bhagavā berbicara, dan para bhikkhu senang dan gembira mendengar kata-kata Beliau.
Kita sepertinya kembali ke alam ‘dongeng’ dari beberapa Sutta sebelumnya, tetapi dengan perbedaan. RD, dalam pendahuluan cemerlang yang lain yang mana ia mengembangkan teorinya tentang Normalisme (kepercayaan, berlawanan dengan Animisme, dalam hal peraturan atau hukum tertentu), gagal menganalisa struktur dongeng ini (yang adalah apa adanya, berlawanan dengan dongeng). Bagian narasi dibingkai dengan pernyataan penting Sang Buddha yang, menyatakan asal mula, diulangi pada bagian akhir (n.809). ↩︎
Cf. DN 16.2.26 dan n.395 di sana. ↩︎
Cf. DN 22.1. ↩︎
Gocare: secara harfiah ‘padang rumput’. ↩︎
Pettike visaye: ‘wilayah ayahmu’ ↩︎
Cakkavatti-vatte vattāhi. RD menunjukkan permainan kata pada ‘berubah menjadi Pemutar-Roda’: vatta bermakna ‘memutar’ juga bermakna ‘tugas’. ↩︎
Cf. DN 17.1.8. ↩︎
Sentuhan Buddhis sesungguhnya! Asoka, yang berusaha hidup mengikuti idealisme seorang raja pemutar-roda, mendirikan rumah sakit hewan. ↩︎
Adhamma-kāro: ‘perbuatan non-Dhamma’. ↩︎
Kata yang diterjemahkan ‘baik’ adalah sama, kusala, sebelumnya diterjemahkan sebagai ‘bermanfaat’. Arti harfiah ‘terampil’ juga kadang-kadang lebih disukai. Suatu kasus di mana berbagai variasi dalam terjemahan diperlukan – namun harus disebutkan. ↩︎
Semuanya seperti dalam DN 17. ↩︎
Tetapi baca n.472. Warder (seperti n.801 menyebutkan ‘aturan (memungut pajak) dalam jumlah secukupnya’. ↩︎
Walaupun tuduhan itu benar! Namun pengaduan itu sendiri adalah kejahatan. ↩︎
Micchā-diṭṭhi. Baca n.708. ↩︎
Micchā-dhamma. DA mengatakan ‘laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan’. ↩︎
Dikatakan oleh RD sebagai ‘sejenis gandum’. Kamus kurang spesifik. ↩︎
Kusala (baca n.790). Arti sebenarnya adalah ‘terampil’ sehubungan dengan mengetahui akibat kamma dari perbuatan seseorang – dengan kata lain tidak memiliki micchā-diṭṭhi (baca n.708). ↩︎
Catatan RD hampir tidak dapat dimengerti, atau tidak membantu: ‘Satthantarakappa. Sattha adalah pedang; antarakappa adalah suatu periode yang termasuk dalam periode lainnya. Di sini, periode pertama adalah tujuh hari. Baca tulisan Ledi Sayadaw dalam Buddhist Review, Januari 1916’ – sebuah jurnal yang tidak dimiliki oleh semua pembaca. Mengenai Antarakappa, Childers (sering kali) lebih berguna daripada PED: ‘Setiap Asaṅkheyya-kappa [“kappa yang tidak terhitung banyaknya”]
terdiri dari dua puluh Antarakappa, satu Antarakappa adalah interval yang berlangsung dari ketika umur kehidupan manusia meningkat dari sepuluh tahun hingga satu asaṅkheyya, dan kemudian menurun lagi hingga sepuluh tahun’. Jelas periode yang sangat lama ini – yang mana sehubungan dengan umur kehidupan manusia, adalah tidak bersifat Kanonis – ini bukanlah apa yang dimaksudkan di sini, tetapi rujukan pada ‘sepuluh tahun’ masih berhubungan. DA membedakan tiga jenis Antarakappa: Dubhikkhantarakappa, Rogantarakappa, dan Satthantarakappa, yaitu yang disebabkan oleh keserakahan, delusi dan kebencian. RD mengabaikan semua ini.
Cf. EB pada bagian Antarakappa, yang mana sebuah paralel dari kalimat komentar ini dikutip dari kamus Tibet-Sanskrit dari abad XI yang disebut Mahāvyutpatti. Artikel itu menyimpulkan: ‘Namun, konteks di mana istilah satthantara-kappa muncul dalam Dighā Nikāya (III, 73) sepertinya menyiratkan bahwa kata ini juga dapat digunakan dalam makna secara umum yang berarti periode dengan kurun waktu yang berbeda dengan antarakappa.’ Konteks ini sebenarnya menyiratkan bahwa periode satu minggu ini menandai titik balik yang mengawali Antarakappa dalam arti yang disebutkan oleh Childers. ↩︎
Sepertinya, tidak ada penyakit sesungguhnya sama sekali: kematian hanya diakibatkan karena makanan yang berlebihan atau nutrisi yang tidak mencukupi atau usia-tua yang tidak dapat dihindari. Kecelakaan juga sepertinya tidak termasuk. ↩︎
Ini sepertinya adalah makna dari ungkapan yang meragukan. ↩︎
Dalam komentar dan literatur-literatur belakangan, Avīci menunjukkan neraka tingkat paling rendah (atau ‘tempat api penebusan’, seperti yang diartikan oleh RD dan penerjemah lainnya, untuk menunjukkan bahwa tidak ada neraka yang abadi). Di sini, dan kalimat yang sama dalam AN 3.56 adalah satu-satunya kalimat dalam empat Nikāya pertama dimana hal ini disebutkan, dan ‘neraka’ sepertinya bukan artinya (RD menerjemahkan ‘Kedalaman Tanpa Gelombang’), walaupun arti sebenarnya sangat meragukan. Warder, dalam ringkasannya atas Sutta ini (Indian Buddhism, 168) mengatakan: ‘“Seperti api penebusan”, Sang Buddha mengatakan secara tidak jelas, berpikir mungkin karena preferensinya pada kesunyian.’ Neraka Buddhis tumbuh lebih buruk dalam imajinasi populer, tetapi kebanyakan horornya tidak mendapat dukungan dalam Sutta-sutta (walaupun ada terdapat dalam MN 129, 130). Cf. n.244 dan Pendahuluan, p. 40. ↩︎
Benares. ↩︎
Buddha yang berikutnya, mungkin lebih dikenal dengan nama Sanskritnya Maitreya. ↩︎
Ini telah tenggelam di Sungai Gangga. ↩︎
Cf. DN 16.3.3 dan 18.22. ↩︎
Baca n.400. ↩︎
Seperti DN 13.76, 78. ↩︎
Kata bala ‘kekuatan’ diulangi dari kalimat sebelumnya. ↩︎
RD lalai menyebutkan (walaupun ini penting), kesimpulan (paragraf 27-28) mengulangi kata-kata Sang Buddha dalam paragraf 1, rujukan kepada Māra dijelaskan setelah kalimat pertama paragraf 28, Māra dan kekuatannya disinggung lagi sebelum kalimat terakhir paragraf 1 diulangi. Dongeng ini menunjukkan efek berskala besar dalam menjaga moralitas, dan mengajarkan bagaimana para bhikkhu memanfaatkan pelajaran ini. ↩︎