easter-japanese

[72] 1.1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.1 Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di suatu gunung yang disebut Puncak Hering.2 Saat itu Raja Ajātasattu Vedehiputta3 berniat menyerang Vajji.4 Ia berkata: ‘Aku akan menyerang para Vajji yang begitu kuat dan perkasa. Aku akan memotong-motong mereka dan menghancurkan mereka. Aku akan membawa mereka menuju kehancuran!’

1.2. Dan Raja Ajātasattu berkata kepada perdana menterinya, Brahmana Vassakāra: ‘Brahmana, temuilah Sang Bhagavā, sujudlah padaNya dengan kepalamu di kakiNya, tanyakan apakah Beliau bebas dari penyakit, apakah Beliau berdiam dengan nyaman dan sehat, dan katakan: “Bhagava, Raja Ajātasattu Vedehiputta dari Magadha hendak menyerang para Vajji dan berkata: ‘Aku akan menyerang para Vajji …, membawa mereka menuju [73] kehancuran!’” Dan apapun yang dikatakan Sang Bhagavā kepadamu, laporkan kepadaku, karena Sang Tathāgata tidak pernah berbohong.’

1.3. ‘Baiklah, Baginda’, jawab Vassakāra dan, setelah mempersiapkan kereta, ia naik ke salah satu kereta dan bergerak dari Rājagaha menuju puncak Hering, berkendara sejauh yang dimungkinkan, kemudian melanjutkan dengan berjalan kaki ke tempat Sang Bhagavā berada. Ia saling bertukar sapa dengan Sang Bhagavā, kemudian duduk di satu sisi dan menyampaikan pesan Raja.

1.4. Saat itu Yang Mulia Ānanda sedang berdiri di belakang Sang Bhagavā, mengipasiNya. Dan Sang Bhagavā berkata: ‘Ānanda, pernahkah engkau mendengar bahwa para Vajji sering berkumpul secara rutin?’ ‘Aku mendengar, Bhagavā, bahwa mereka memang demikian.’

‘Ānanda, selama para Vajji sering berkumpul secara rutin, mereka akan makmur dan tidak mundur. Pernahkah engkau mendengar [74] bahwa para Vajji bertemu dengan rukun dan berpisah dengan rukun, dan melaksanakan tugas mereka dengan rukun?’ ‘Aku mendengar, Bhagavā, bahwa mereka memang demikian.’

‘Ānanda, selama para Vajji bertemu dengan rukun dan berpisah dengan rukun, dan melaksanakan tugas mereka dengan rukun, mereka akan makmur dan tidak mundur. Pernahkah engkau mendengar bahwa para Vajji tidak menetapkan apa yang belum pernah ditetapkan, dan tidak meniadakan apa yang telah ditetapkan, melainkan meneruskan apa yang telah ditetapkan oleh tradisi mereka? ‘Aku mendengar, Bhagavā, …’ ‘Pernahkah engkau mendengar bahwa mereka menghormati dan menyembah para sesepuh di antara mereka, dan menganggap mereka layak didengarkan? … bahwa mereka tidak dengan paksa menculik istri-istri dan putri-putri orang lain dan memaksa mereka untuk menetap bersama mereka? … bahwa mereka menghormati dan menyembah altar-altar Vajji di rumah maupun di tempat-tempat umum, tidak menarik sokongan layak yang telah diberikan sebelumnya? … [75] bahwa perbekalan yang layak dipersiapkan untuk kesejahteraan para Arahant, sehingga para Arahant akan datang dan menetap di sana di masa depan, dan yang sudah menetap di sana, agar berdiam dengan nyaman?’ ‘Aku mendengar demikian, Bhagavā.’

‘Ānanda, selama perbekalan yang layak dipersiapkan, … mereka akan makmur dan tidak mundur.’

1.5. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Brahmana Vassakāra: ‘Suatu ketika, Brahmana, ketika Aku berada di altar Sārandada di Vesālī, Aku mengajarkan ketujuh prinsip ini kepada para Vajji untuk mencegah kemunduran, dan selama mereka mempertahankan ketujuh prinsip ini, selama prinsip-prinsip ini masih berlaku, para Vajji akan makmur dan tidak mundur.’

Mendengar kata-kata ini, Vassakāra menjawab: ‘Yang Mulia Gotama, jika para Vajji mempertahankan bahkan hanya satu saja dari prinsip-prinsip ini, mereka akan maju dan tidak [76] mundur – apa lagi seluruh tujuh prinsip ini. Sudah pasti para Vajji tidak akan bisa ditaklukkan oleh Raja Ajātasattu dengan kekuatan senjata, melainkan hanya dengan propaganda5 dan mengadu domba mereka. Dan sekarang, Yang Mulia Gotama, bolehkah aku pamit? Aku sibuk dan banyak hal yang harus kukerjakan.’ ‘Brahmana, lakukanlah apa yang menurutmu baik.’ Kemudian Vassakāra, senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya dan pergi.

1.6. Segera setelah Vassakāra pergi, Sang Bhagavā berkata: ‘Ānanda, pergilah temui semua bhikkhu yang ada di sekitar Rājagaha, dan panggil mereka semua ke aula pertemuan.’ ‘Baik, Bhagavā’ jawab Ānanda, dan melakukan apa yang diperintahkan. Kemudian ia menghadap Sang Bhagavā, memberi hormat, berdiri di satu sisi dan berkata: ‘Bhagavā, para bhikkhu telah berkumpul. Sekarang adalah waktunya bagi Sang Bhagavā melakukan apa yang dianggap baik.’ Kemudian Sang Bhagavā bangkit dari dudukNya, pergi ke aula pertemuan, duduk di tempat yang telah disediakan, dan berkata: ‘Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan tujuh hal yang mendukung kesejahteraan.6 Dengarkan, perhatikanlah dengan baik, dan Aku akan bicara.’ ‘Baik, Bhagavā’, jawab para bhikkhu, dan Sang Bhagavā berkata:

‘Selama para bhikkhu sering mengadakan pertemuan-pertemuan rutin, maka mereka akan mendapatkan kemajuan dan bukan kemunduran. Selama mereka bertemu dengan rukun, berpisah dengan rukun, dan melakukan tugas-tugas mereka [77] dengan rukun, maka mereka akan mendapatkan kemajuan dan bukan kemunduran. Selama mereka tidak menetapkan apa yang belum ditetapkan sebelumnya, dan tidak meniadakan apa yang telah ditetapkan, melainkan meneruskan apa yang telah ditetapkan …; selama mereka menghormati para senior yang lebih dulu ditahbiskan, ayah dan pemimpin dari Sangha …; selama mereka tidak menjadi mangsa dari keinginan yang muncul dalam diri mereka dan mengarah menuju kelahiran kembali …; selama mereka dengan tekun menjalani kehidupan dalam kesunyian hutan …; selama mereka menjaga perhatian mereka masing-masing, sehingga di masa depan orang-orang baik di antara teman-teman mereka akan mendatangi mereka, dan mereka yang telah datang akan merasa nyaman dengan mereka …; selama para bhikkhu mempertahankan tujuh hal ini dan terlihat melakukan hal-hal ini, maka mereka akan mendapatkan kemajuan dan bukan kemunduran.

1.7. ‘Aku akan mengajarkan tujuh hal lainnya yang mendukung kesejahteraan … Selama para bhikkhu tidak bersukaria, tidak bergembira dan tenggelam dalam pekerjaan-pekerjaan,7 … dalam percakapan-percakapan, … dalam tidur, … dalam kumpulan, … dalam keinginan jahat, … dalam pergaulan dengan teman-teman jahat, … selama mereka tidak merasa puas dengan pencapaian sebagian8 …; selama para bhikkhu mempertahankan tujuh hal ini dan terlihat melakukan hal-hal ini, maka mereka akan mendapatkan kemajuan dan bukan kemunduran.

1.8. ‘Aku akan mengajarkan tujuh hal lainnya yang mendukung kesejahteraan … Selama para bhikkhu meneruskan dengan penuh keyakinan, dengan kerendahan hati, dengan rasa takut akan perbuatan jahat, dengan pembelajaran, [79] dengan sekuat tenaga, dengan perhatian kokoh, dengan kebijaksanaan …

1.9. ‘Aku akan mengajarkan tujuh hal lainnya yang mendukung kesejahteraan … Selama para bhikkhu mengembangkan faktor-faktor penerangan sempurna perhatian, penyelidikan fenomena, usaha, kegembiraan, ketenangan, konsentrasi, keseimbangan …

1.10. ‘Aku akan mengajarkan tujuh hal lainnya yang mendukung kesejahteraan … Selama para bhikkhu mengembangkan persepsi ketidak-kekalan, tanpa-diri, kekotoran, bahaya, penaklukan, kebosanan, pelenyapan, … [80] maka mereka akan mendapatkan kemajuan dan bukan kemunduran.

1.11. ‘Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan enam hal yang mendukung dalam hidup bersama … Selama para bhikkhu baik di depan umum maupun di tempat pribadi memperlihatkan cinta-kasih terhadap sesama teman dalam tindakan jasmani, ucapan dan pikiran, … berbagi dengan sesama teman apa yang mereka terima sebagai pemberian yang benar, termasuk isi dari mangkuk dana mereka, yang tidak mereka simpan untuk diri sendiri, … mempertahankan dengan konsisten, tanpa cacat dan tanpa perubahan peraturan-peraturan disiplin yang tanpa noda, mengarah menuju kebebasan, yang dipuji oleh para bijaksana, tanpa noda dan mendukung konsentrasi, dan mempertahankan bersama teman-teman bhikkhu baik di depan umum maupun di tempat pribadi, … melanjutkan dalam pandangan mulia yang mengarah menuju kebebasan, menuju penghancuran penderitaan sepenuhnya, berdiam dalam kewaspadaan bersama teman-teman para bhikkhu baik di depan umum maupun di tempat pribadi … [81] Selama para bhikkhu mempertahankan enam hal ini dan terlihat melakukan hal-hal ini, maka mereka akan mendapatkan kemajuan dan bukan kemunduran.’

1.12. Dan kemudian Sang Bhagavā, selagi berada di Puncak Hering, membabarkan khotbah terperinci: ‘Ini adalah moralitas, ini adalah konsentrasi, ini adalah kebijaksanaan. Konsentrasi, ketika disertai moralitas, akan menghasilkan buah dan manfaat besar. Kebijaksanaan, ketika disertai konsentrasi, akan menghasilkan buah dan manfaat besar. Pikiran yang disertai kebijaksanaan akan sepenuhnya terbebas dari kekotoran, yaitu, kekotoran indriawi, penjelmaan, pandangan salah dan ketidak-tahuan.’

1.13. Dan ketika Sang Bhagavā telah menetap di Rājagaha selama yang Beliau inginkan, Beliau berkata kepada Yang Mulia Ānanda: ‘Mari, Ānanda, kita pergi ke Ambalaṭṭhika.’ ‘Baik, Bhagavā’, jawab Ānanda, dan Sang Bhagavā pergi bersama sejumlah besar bhikkhu.

1.14. Dan Sang Bhagavā menetap di taman kerajaan Ambalaṭṭhika.9 Dan di sana Beliau membabarkan khotbah terperinci: ‘Ini adalah moralitas, ini adalah konsentrasi, ini adalah kebijaksanaan …’

1.15. Setelah menetap di Ambalaṭṭhika selama yang Beliau inginkan, Beliau berkata kepada Yang Mulia Ānanda: ‘Mari, Ānanda, kita pergi ke Nāḷandā’, dan mereka melakukannya. Di Nāḷandā Sang Bhagavā menetap di hutan mangga Pāvārika.

1.16. Kemudian Yang Mulia Sāriputta datang menghadap Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, [82] duduk di satu sisi, dan berkata: ‘Jelas bagiku, Bhagavā, bahwa tidak pernah ada, akan ada, atau saat ini ada petapa atau Brahmana lain yang lebih baik atau lebih tercerahkan daripada Sang Bhagavā.’

‘Engkau mengatakannya dengan berani dengan suara seekor banteng, Sāriputta, engkau telah mengaumkan auman singa ketegasan! Bagaimanakah ini? Apakah para Buddha Arahant masa lampau terlihat olehmu, dan apakah pikiran para Bhagavā itu terbuka bagimu, sehingga engkau dapat mengatakan: “Para Bhagavā ini memiliki moralitas demikian, ajaran Mereka demikian, kebijaksanaan Mereka demikian, pembebasan Mereka demikian”?’ ‘Tidak, Bhagavā.’

‘Dan apakah engkau melihat para Buddha Arahant masa depan …?’ ‘Tidak, Bhagavā.’

‘Kalau begitu, Sāriputta, engkau mengenalKu sebagai seorang Buddha Arahant, dan apakah engkau mengetahui: “Sang Bhagavā memiliki moralitas demikian, ajaranNya demikian, kebijaksanaanNya demikian, pembebasanNya demikian”? ‘Tidak, Bhagavā.’

‘Jadi, Sāriputta, engkau tidak memiliki pengetahuan atas pikiran para Buddha masa lampau, masa depan atau masa sekarang. Namun demikian, Sāriputta, [83] Tidakkah engkau telah mengucapkan dengan berani dengan suara seekor banteng dan mengaumkan auman singa ketegasan dengan pernyataanmu?’

1.17. ‘Bhagavā, pikiran dari para Buddha Arahant masa lampau, masa depan dan masa sekarang tidak terbuka bagiku. Namun aku mengetahui arus Dhamma.10 Bhagavā, ini seperti sebuah kota di daerah perbatasan yang memiliki benteng yang kuat dan dikelilingi tembok yang kokoh dan hanya memiliki satu gerbang, dan si penjaga gerbang adalah seorang bijaksana, terampil dan cerdas, yang mencegah orang asing dan hanya memperbolehkan orang yang ia kenal untuk memasuki kota. Dan ia, secara konstan berpatroli dan menyusuri sepanjang jalan, dan tidak melihat celah dalam benteng yang, bahkan seekor kucing pun dapat menerobos. Makhluk apapun yang lebih besar yang masuk dan keluar dari kota harus melewati gerbang satu-satunya itu. Dan terlihat olehku, Bhagavā, bahwa arus Dhamma adalah sama. Semua Buddha Arahant masa lampau mencapai penerangan sempurna dengan cara meninggalkan lima rintangan, kekotoran pikiran yang melemahkan pemahaman, setelah dengan kokoh menegakkan empat landasan perhatian dalam pikiran mereka, dan menembus tujuh faktor penerangan sempurna sebagaimana adanya. Semua Buddha masa depan akan melakukan hal yang sama, dan Bhagavā, yang sekarang adalah Arahant, Buddha yang mencapai penerangan sempurna, juga telah melakukan hal sama.’

1.18. Kemudian, selagi masih menetap di Nāḷanda, [84] di hutan mangga Pāvārika, Sang Bhagavā membabarkan khotbah terperinci kepada para bhikkhu: ‘Ini adalah moralitas, ini adalah konsentrasi, ini adalah kebijaksanaan … (seperti paragraf 12).

1.19. Dan setelah menetap di Nāḷanda selama yang Beliau inginkan, Sang Bhagavā berkata kepada Ānanda: ‘Mari kita pergi ke Pāṭaligāma.’ Dan mereka melakukannya.

1.20. Di Pāṭaligama orang-orang mendengar bahwa: ‘Sang Bhagavā telah tiba di sini.’ Dan para umat-awam Pāṭaligama datang menghadap Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata: ‘Sudilah Bhagavā menetap di rumah peristirahatan kami!’ Dan Sang Bhagavā menerima dengan berdiam diri.

1.21. Mengetahui penerimaan Beliau, mereka bangkit dari duduk, memberi hormat dan, berbalik dengan sisi kanan menghadap Sang Bhagavā, pergi ke rumah peristirahatan, membersihkan lantai, mempersiapkan tempat duduk, menyediakan kendi-kendi air dan mengisi lampu minyak. Kemudian mereka menghadap Sang Bhagavā, memberi hormat, berdiri di satu sisi: ‘Semuanya telah siap di rumah peristirahatan. Sekarang adalah waktunya bagi Bhagavā untuk melakukan apa yang dianggap baik.’ [85]

1.22. Kemudian Sang Bhagavā merapikan jubahNya, membawa jubah dan mangkukNya, dan pergi bersama para bhikkhu menuju rumah peristirahatan, di sana Beliau mencuci kakiNya, masuk dan duduk menghadap ke timur, dengan punggungNya bersandar di pilar tengah. Dan para bhikkhu, setelah mencuci kaki mereka, masuk dan duduk dengan punggung bersandar di dinding barat, menghadap ke timur, dan dengan Sang Bhagavā duduk di depan mereka. Dan para umat-awam Pāṭaligāma, setelah mencuci kaki mereka, masuk dan duduk dengan punggung bersandar di dinding timur, menghadap ke barat dan dengan Sang Bhagavā di hadapan mereka.

1.23. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para umat-awam Pāṭaligāma: ‘Para perumah tangga, ada lima bahaya bagi seseorang yang bermoral buruk, yang gagal dalam moralitas. Apakah lima itu? Pertama-tama, ia akan menderita kehilangan harta-benda karena melalaikan tugas-tugasnya. Ke dua, ia akan mendapatkan reputasi buruk karena moralitas yang buruk dan perbuatan salah. Ke tiga, kelompok apapun yang ia datangi, apakah Khattiya, Brahmana, perumah tangga atau petapa, ia melakukannya dengan perasaan segan dan malu. Ke empat, ia meninggal dunia dalam keadaan bingung. Ke lima, setelah meninggal dunia, saat hancurnya jasmani, ia muncul di alam yang tidak baik, takdir yang buruk, di alam menderita, di neraka. Ini adalah lima bahaya bagi seseorang yang bermoral buruk.

[86] 1.24. ‘Dan, para perumah tangga, ada lima keuntungan dari seseorang yang bermoralitas baik dan yang berhasil dalam moralitas. Apakah lima ini? Pertama, karena penuh perhatian terhadap tugas-tugasnya, ia memperoleh keuntungan dan kekayaan. Ke dua, ia memperoleh reputasi baik karena moralitas dan perbuatan baiknya. Ke tiga, kelompok apapun yang ia datangi, apakah Khattiya, Brahmana, perumah tangga atau petapa, ia melakukannya dengan penuh keyakinan dan penuh percaya diri. Ke empat, ia meninggal dunia dengan tenang dan tidak bingung. Ke lima, setelah meninggal dunia, saat hancurnya jasmani, ia muncul di alam yang baik, di surga. Ini adalah lima keuntungan dari seseorang yang bermoral baik, dan yang berhasil dalam moralitas.

1.25. Kemudian Sang Bhagavā memberikan nasihat, memicu semangat dan menggembirakan para umat awam Pāṭaligāma dengan khotbah Dhamma hingga larut malam. Kemudian Beliau membubarkan mereka, dengan berkata: ‘Para perumah tangga, malam hampir berlalu. Sekarang adalah saatnya bagi kalian untuk melakukan apa yang kalian anggap baik.’ ‘Baik, Bhagavā’, mereka menjawab dan, bangkit dari duduk dan memberi hormat kepada Sang Bhagavā, berbalik dengan sisi kanan menghadap Beliau dan pergi. Dan Sang Bhagavā melewatkan sisa malam itu di rumah peristirahatan yang kosong setelah kepergian mereka.

1.26. Pada saat itu Sunidha dan Vassakāra, para menteri Magadha, sedang membangun benteng di Pāṭaligāma sebagai pertahanan terhadap para Vajji. Dan saat itu [87] ribuan dewa sedang berdiam di Pāṭaligāma. Dan di bagian yang didiami oleh para dewa yang berkekuasaan tinggi, mereka mempengaruhi pikiran para pejabat tinggi kerajaan agar memilih tempat itu sebagai tempat tinggal mereka, dan di bagian yang didiami oleh para dewa yang berkekuasaan menengah dan rendah, mereka juga mempengaruhi pikiran para pejabat kerajaan menengah dan rendah agar memilih tempat itu sebagai tempat tinggal mereka.

1.27. Dan Sang Bhagavā, dengan mata-dewaNya yang melampaui mata manusia, melihat ribuan dewa memilih tempat tinggal di Pāṭaligāma. Dan, setelah terjaga di pagi hari, Beliau berkata kepada Yang Mulia Ānanda: ‘Ānanda, siapakah yang membangun benteng di Pāṭaligāma?’ ‘Bhagavā, Sunidha dan Vassakāra, para menteri Magadha, sedang membangun benteng sebagai pertahanan terhadap para Vajji.’

1.28. ‘Ānanda, seolah-olah mereka telah berkonsultasi dengan para Dewa Tiga-Puluh-Tiga, Sunidha dan Vassakāra membangun benteng di Pāṭaligāma. Aku melihat dengan mata-dewaKu bagaimana ribuan dewa memilih tempat tinggal di sini … (seperti paragraf 26). Ānanda, sejauh luasnya alam para Ariya, sejauh luasnya perdagangan dalam suatu kota, ini akan menjadi kota utama, Pāṭaliputta, menebarkan benihnya jauh dan [88] luas. Dan Pāṭaliputta akan menghadapi tiga bahaya: dari api, dari air dan dari perselisihan internal.’

1.29. Kemudian Sunidha dan Vassakāra mengunjungi Sang Bhagavā, dan setelah saling bertukar sapa, berdiri di satu sisi dan berkata: ‘Sudilah Yang Mulia Gotama menerima makanan dari kami besok bersama para bhikkhu!’ Dan Sang Bhagavā menerima dengan berdiam diri.

1.30. Mengetahui penerimaan Beliau, Sunidha dan Vassakāra pulang dan mempersiapkan makanan keras dan lunak. Ketika persiapan selesai, mereka memberitahu Sang Bhagavā: ‘Yang Mulia Gotama, makanan telah siap.’ Kemudian Sang Bhagavā, setelah merapikan jubahNya di pagi hari, mengambil jubah dan mangkukNya, pergi bersama para bhikkhu menuju tempat kediaman Sunidha dan Vassakāra, dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Kemudian Sunidha dan Vassakāra melayani Sang Buddha dan para bhikkhu dengan berbagai pilihan makanan keras dan lunak hingga mereka puas. Dan ketika Sang Bhagavā menarik tanganNya dari mangkuk, mereka duduk di bangku kecil di satu sisi.

1.31. Dan setelah mereka duduk, Sang Buddha mengucapkan terima kasih kepada mereka dalam syair berikut ini:

‘Di tempat manapun para bijaksana bertempat tinggal, Ia harus memberi makanan kepada para pemimpin kehidupan suci yang berbudi.

Para dewa di sana yang memberitakan persembahan ini, Mereka akan menghormatinya untuk hal ini. [89]

Mereka menjaganya seperti seorang ibu terhadap puteranya, Dan ia yang dijaga oleh para dewa akan berbahagia selamanya.’

Kemudian Sang Bhagavā bangkit dari dudukNya dan pergi.

1.32. Sunidha dan Vassakāra mengikuti persis di belakang Sang Bhagavā, dan berkata: ‘Gerbang manapun yang dilalui oleh Petapa Gotama hari ini, gerbang itu akan dinamai Gerbang Gotama, dan pelabuhan manapun yang Beliau gunakan untuk menyeberangi Sungai Gangga, pelabuhan itu akan dinamai Pelabuhan Gotama.’ Dan demikianlah gerbang yang dilalui Sang Bhagavā untuk keluar dinamai Gerbang Gotama.

1.33. Dan kemudian Sang Bhagavā sampai di Sungai Gangga. Dan saat itu, Sungai Gangga sedang meluap hingga seekor burung gagak dapat meminum airnya. Dan beberapa orang sedang mencari perahu, dan beberapa sedang mencari rakit, dan beberapa sedang mengikat sebuah rakit untuk menyeberang ke tepi seberang. Tetapi Sang Bhagavā, secepat seorang kuat dapat merentangkan tangannya atau melipatnya lagi, lenyap dari tepi sebelah sini Sungai Gangga dan muncul kembali di tepi seberang bersama para bhikkhu.

1.34. Dan Sang Bhagavā melihat orang-orang itu yang sedang mencari perahu, mencari rakit, dan mengikat rakit untuk menyeberang ke tepi seberang. Dan mengetahui maksud mereka, Beliau mengucapkan syair berikut ini di tempat itu:

‘Ketika mereka ingin menyeberangi lautan, danau atau kolam, Orang-orang membuat jembatan atau rakit – Sang Bijaksana telah sampai di seberang.’

[Akhir dari bagian pembacaan pertama]

[90] 2.1. Sang Bhagavā berkata kepada Ānanda: ‘Mari kita pergi ke Koṭigāma.’ ‘Baik, Bhagavā’, jawab Ānanda, dan Sang Bhagavā pergi bersama para bhikkhu menuju Koṭigāma, dan menetap di sana.

2.2. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Para bhikkhu, adalah karena tidak memahami, tidak menembus Empat Kebenaran Mulia maka Aku dan juga kalian sejak lama berlari dan berputar dalam lingkaran kelahiran-dan-kematian. Apakah itu? Karena tidak memahami Kebenaran Mulia Penderitaan kita telah mengembara, karena tidak memahami Kebenaran Mulia Asal-mula Penderitaan, Lenyapnya Penderitaan, dan Jalan Menuju Lenyapnya Penderitaan maka kita telah mengembara dalam lingkaran kelahiran-dan-kematian. Dan dengan pemahaman, penembusan terhadap Kebenaran Mulia Penderitaan, Asal-mula Penderitaan, Lenyapnya Penderitaan, dan Jalan Menuju Lenyapnya Penderitaan, maka keinginan akan penjelmaan telah terpotong, dukungan terhadap penjelmaan telah dihancurkan, tidak ada lagi penjelmaan kembali.’

2.3. Sang Bhagavā setelah mengatakan ini, Yang Sempurna menempuh Sang Jalan setelah berbicara, Sang Guru mengatakan: [91]

‘Tidak melihat Empat Kebenaran Mulia seperti apa adanya, Setelah lama melintasi lingkaran kehidupan demi kehidupan, Hal ini telah terlihat, pendukung penjelmaan tercabut, Akar penderitaan terpotong, kelahiran kembali telah selesai.’

2.4. Dan kemudian Sang Bhagavā, selagi berada di Koṭigāma, membabarkan khotbah terperinci: ‘Ini adalah moralitas, ini adalah konsentrasi, ini adalah kebijaksanaan. Konsentrasi, ketika disertai moralitas, akan menghasilkan buah dan manfaat besar. Kebijaksanaan, ketika disertai konsentrasi, akan menghasilkan buah dan manfaat besar. Pikiran yang disertai kebijaksanaan akan sepenuhnya terbebas dari kekotoran, yaitu, kekotoran indriawi, penjelmaan, pandangan salah dan ketidak-tahuan.’

2.5. Dan ketika Sang Bhagavā telah menetap di Koṭigāma selama yang Beliau inginkan, Beliau berkata: ‘Mari, Ānanda, kita pergi ke Nādikā.’ ‘Baik, Bhagavā’, jawab Ānanda, dan Sang Bhagavā pergi bersama sejumlah besar bhikkhu menuju Nādikā, dimana Beliau menetap di Rumah Bata.11

2.6. Dan Yang Mulia Ānanda menghadap Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata: ‘Bhagavā, Bhikkhu Sāḷha dan Bhikkhunī Nandā telah meninggal dunia di Nādikā. Kelahiran kembali di manakah yang terjadi setelah kematian mereka? [92], umat-awam laki-laki Sudatta dan umat-awam perempuan Sujātā, umat-awam Kakudha, Kālinga, Nikaṭa, Kaṭissabha, Tuṭṭha, Santuṭṭha, Bhadda dan Subhadda semuanya telah meninggal dunia di Nādikā. Di manakah mereka terlahir kembali?’

2.7. ‘Ānanda, Bhikkhu Sāḷha, setelah menghancurkan kekotoran-kekotoran, dalam kehidupan ini mencapai, melalui pengetahuan-super-nya sendiri, kebebasan pikiran yang tanpa kekotoran, kebebasan melalui kebijaksanaan. Bhikkhunī Nandā, dengan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, telah terlahir kembali secara spontan,12 dan akan mencapai Nibbāna dari sana tanpa kembali ke alam ini. Umat-awam laki-laki Sudatta, dengan hancurnya tiga belenggu dan melemahnya keserakahan, kebencian dan delusi, adalah seorang Yang-Kembali-Sekali yang akan kembali sekali lagi ke alam ini, dan kemudian mengakhiri penderitaan. Umat-awam perempuan Sujātā, dengan hancurnya tiga belenggu, adalah seorang Pemenang-Arus, tidak mungkin lagi jatuh ke alam sengsara, pasti mencapai Nibbāna. Umat-awam Kakudha, dengan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, telah terlahir kembali secara spontan, dan akan mencapai Nibbāna dari sana tanpa kembali ke alam ini. Demikian pula dengan Kālinga, Nikaṭa, Kaṭissabha, Tuṭṭha, Santuṭṭha, Bhadda dan Subhadda. [93] Ānanda, di Nādikā lebih dari lima puluh umat-awam yang dengan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, telah terlahir kembali secara spontan, dan akan mencapai Nibbāna dari sana tanpa kembali ke alam ini. Dan lebih dari sembilan puluh, yang dengan hancurnya tiga belenggu dan melemahnya keserakahan, kebencian dan delusi, adalah seorang Yang-Kembali-Sekali yang akan kembali sekali lagi ke alam ini, dan kemudian mengakhiri penderitaan. Dan lebih dari lima ratus, yang dengan hancurnya tiga belenggu, adalah seorang Pemenang-Arus, tidak mungkin lagi jatuh ke alam sengsara, pasti mencapai Nibbāna.

2.8. ‘Ānanda, bukanlah hal yang luar biasa bahwa seseorang yang hidup meninggal dunia. Tetapi bahwa jika engkau harus datang menemui Sang Tathāgata untuk menanyakan takdir dari setiap orang yang meninggal dunia, itu akan sangat melelahkan Sang Tathāgata.13 Oleh karena itu, Ānanda, Aku akan mengajarkan engkau cara untuk mengetahui Dhamma, yang disebut Cermin Dhamma,14 yang dengannya seorang siswa Ariya, jika ia menginginkan, dapat melihat sendiri: “Aku telah menghancurkan neraka, kelahiran-kembali sebagai binatang, alam setan, semua kejatuhan, takdir buruk dan kondisi menderita. Aku adalah seorang Pemenang-Arus, tidak mungkin terjatuh ke alam sengsara, pasti mencapai Nibbāna.”

2.9. ‘Dan apakah Cermin Dhamma yang dengannya ia dapat mengetahui hal ini? Di sini Ānanda, siswa Ariya ini memiliki keyakinan yang tidak tergoyahkan15 dalam Buddha sebagai berikut: “Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, Buddha yang telah mencapai penerangan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku, telah menempuh Sang Jalan dengan sempurna, Pengenal seluruh alam, Penjinak manusia yang harus dijinakkan yang tiada taranya, Guru para dewa dan manusia, Tercerahkan dan Suci.” Ia memiliki keyakinan yang tidak tergoyahkan dalam Dhamma, sebagai berikut: “Dhamma telah diajarkan dengan sempurna oleh Sang Bhagavā, terlihat di sini dan saat ini, tanpa batas waktu, mengundang untuk diselidiki, mengarah menuju kemajuan, untuk dipahami oleh para bijaksana untuk dirinya sendiri.” Ia memiliki keyakinan yang tidak tergoyahkan dalam Sangha, sebagai berikut: “Sangha, siswa Sang Bhagavā, terarah baik, berperilaku lurus, berada di jalan yang benar, berada di jalan yang sempurna; yaitu empat pasang individu,16 delapan jenis manusia. Sangha, siswa Sang Bhagavā layak menerima persembahan, layak menerima keramahan, layak menerima pemberian, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Dan ia17 memiliki moralitas yang disukai oleh Para Mulia, tidak rusak, tanpa cacat, tanda noda, tidak saling bertentangan,18 membebaskan, tidak kotor, dan mendukung konsentrasi.

‘Ini, Ānanda, adalah Cermin Dhamma, yang dengannya seorang Siswa Ariya … dapat melihat sendiri: “Aku telah menghancurkan neraka … Aku adalah seorang Pemenang-Arus, … pasti mencapai Nibbāna.” (seperti paragraf 8)

2.10. Dan kemudian Sang Bhagavā, selagi berada di Rumah Bata, membabarkan khotbah terperinci: ‘Ini adalah moralitas, ini adalah konsentrasi, ini adalah kebijaksanaan …’ (seperti paragraf 2.4)

2.11. Dan ketika Sang Bhagavā telah menetap di Nādikā selama yang Beliau inginkan, … Beliau pergi bersama sejumlah besar bhikkhu menuju Vesālī di mana Beliau menetap di hutan Ambapālī.

2.12. Dan di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: ‘Para bhikkhu, seorang bhikkhu harus penuh perhatian dan berkesadaran jernih, ini adalah tuntutan kami kepada kalian!

‘Dan bagaimanakah seorang bhikkhu penuh perhatian?19 Di sini seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani,20 tekun, sadar jernih, [95] penuh perhatian setelah menyingkirkan segala kerinduan dan kegelisahan terhadap dunia, dan demikian pula sehubungan dengan perasaan, pikiran dan objek-objek pikiran. Demikianlah seorang bhikkhu penuh perhatian.

2.13. ‘Dan bagaimanakh seorang bhikkhu berkesadaran jernih? Di sini, seorang bhikkhu, ketika berjalan maju atau mundur, sadar atas apa yang ia lakukan; ketika melihat ke depan atau ke belakang ia sadar atas apa yang ia lakukan; ketika membungkuk dan menegakkan badan ia sadar atas apa yang ia lakukan; ketika membawa jubah dalam dan jubah luar dan mangkuknya ia sadar atas apa yang ia lakukan; ketika makan, minum, mengunyah dan menelan ia sadar atas apa yang ia lakukan; ketika buang air ia sadar atas apa yang ia lakukan; ketika berjalan, berdiri, duduk atau berbaring, ketika terjaga, ketika berbicara atau ketika berdiam diri, ia sadar atas apa yang ia lakukan. Demikianlah seorang bhikkhu berkesadaran jernih. Seorang bhikkhu harus penuh perhatian dan berkesadaran jernih, ini adalah tuntutan kami kepada kalian!’

2.14. Saat itu Ambapālī si pelacur21 mendengar bahwa Sang Bhagavā telah tiba di Vesālī dan sedang menetap di hutan mangga miliknya. Ia mempersiapkan kereta terbaiknya dan berkendara dari Vesālī menuju hutannya. Ia berkendara sejauh yang dimungkinkan, kemudian turun dan melanjutkan dengan berjalan kaki ke tempat di mana Sang Bhagavā berada. Ia memberi hormat kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi, dan saat ia duduk, Sang Bhagavā memberikan nasihat, menginspirasi, memicu semangat dan menggembirakannya dengan khotbah Dhamma. Dan karena gembira, Ambapālī berkata: “Bhagavā, sudilah Bhagavā menerima makanan dariku besok bersama para bhikkhu!’ Sang Bhagavā menerima dengan berdiam diri, dan Ambapālī, setelah memahami penerimaan Beliau, bangkit dari duduknya, memberi hormat kepada Sang Bhagavā dan, berbalik dengan sisi kanannya menghadap Beliau, dan pergi.

2.15. Dan para Licchavi dari Vesālī mendengar bahwa Sang Bhagavā [96] telah tiba di Vesālī dan sedang menetap di hutan Ambapālī. Maka mereka mempersiapkan kereta terbaik dan berkendara keluar dari Vesālī. Dan beberapa Licchavi muda berpakaian biru,22 dengan kosmetik biru,23 baju biru dan perhiasan biru, sedangkan beberapa lainnya berpakaian kuning, beberapa berpakaian merah, dan beberapa berpakaian putih, dengan kosmetik putih, baju putih dan perhiasan putih.

2.16. Dan Ambapālī bertemu dengan para Licchavi muda itu, kereta mereka bersinggungan, sumbu roda bertemu sumbu roda, roda bertemu roda, gandar bertemu gandar. Dan mereka berkata kepadanya: ‘Ambapālī, mengapa engkau berkendara menyerempet kami seperti ini?’ ‘Karena, tuan-tuan muda, Sang Bhagavā telah diundang olehku untuk makan bersama para bhikkhu.’

‘Ambapālī, lepaskanlah persembahan makanan itu untuk seratus ribu keping! ‘Tuan-tuan muda, jika engkau memberikan seluruh Vesālī bersama penghasilannya24 aku tetap tidak akan melepaskan persembahan makan yang penting ini!’

Kemudian para Licchavi menjentikkan jarinya dan berkata: ‘Kita telah dikalahkan oleh perempuan-mangga ini,25 kita telah ditipu oleh perempuan-mangga ini!’ Dan mereka melanjutkan perjalanan menuju hutan Ambapālī.

2.17. Dan Sang Bhagavā, setelah melihat para Licchavi dari jauh, berkata: ‘Para bhikkhu, siapa yang belum pernah melihat para Dewa Tiga-Puluh-Tiga, perhatikanlah para prajurit Licchavi ini! Perhatikanlah mereka baik-baik, [97] dan kalian akan mendapatkan gambaran akan para Dewa Tiga-Puluh-Tiga!’

2.18. Kemudian para Licchavī mengendarai kereta mereka sejauh yang dimungkinkan, kemudian mereka turun dari kereta dan melanjutkan dengan berjalan kaki ke tempat di mana Sang Bhagavā berada, memberi hormat kepada Beliau dan duduk di satu sisi. Dan saat mereka duduk, Sang Bhagavā memberikan nasihat, menginspirasi, memicu semangat dan menggembirakan mereka dengan khotbah Dhamma. Dan karena gembira, mereka berkata: ’Bhagavā, sudilah Bhagavā menerima makanan dari kami besok bersama para bhikkhu!’ ‘Tetapi, Licchavi, Aku telah menerima undangan makanan besok dari pelacur Ambapālī!’

Kemudian para Licchavi menjentikkan jarinya dan berkata: ‘Kita telah dikalahkan oleh perempuan-mangga ini, kita telah ditipu oleh perempuan-mangga ini!’ kemudian, dengan senang dan gembira mendengar khotbah Beliau, mereka bangkit dari duduknya, memberi hormat kepada Sang Bhagavā dan, berbalik dengan sisi kanan mereka menghadap Beliau, dan pergi.

2.19. Dan Ambapālī, ketika malam hampir berlalu, setelah mempersiapkan berbagai pilihan makanan keras dan lunak di rumahnya, mengumumkan kepada Sang Bhagavā bahwa makanan telah siap. Setelah merapikan jubah dan membawa jubah serta mangkukNya, Sang Bhagavā pergi bersama para bhikkhu menuju kediaman Ambapālī dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Dan ia melayani Sang Buddha dan para bhikkhu dengan berbagai pilihan makanan keras dan lunak hingga mereka puas. Dan ketika Sang Bhagavā telah menarik tanganNya dari mangkuk, Ambapālī mengambil bangku kecil dan [98] duduk di satu sisi. Setelah duduk, ia berkata: ‘Bhagavā, aku mempersembahkan taman ini kepada para bhikkhu yang dipimpin oleh Bhagavā.’ Sang Bhagavā menerima taman itu, dan kemudian Beliau menasihati, menginspirasi, memicu semangat dan menggembirakannya dengan khotbah Dhamma, setelah itu Beliau bangkit dari dudukNya dan pergi.

2.20. Dan kemudian, selagi berada di Vesālī, Sang Bhagavā membabarkan khotbah terperinci: ‘Ini adalah moralitas, ini adalah konsentrasi, ini adalah kebijaksanaan …’ (seperti paragraf 2.4)

2.21. Dan ketika Sang Bhagavā telah menetap di hutan Ambapālī selama yang Beliau inginkan, Beliau pergi bersama sejumlah besar bhikkhu menuju Desa Beluva dan menetap di sana.

2.22. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: ‘Kalian, para bhikkhu, harus pergi ke seluruh penjuru Vesālī di mana kalian memiliki teman-teman atau kenalan atau penyokong, dan melewatkan musim hujan di sana. Aku akan melewatkan musim hujan di sini, di Beluva. ‘Baiklah, Bhagavā’, jawab para bhikkhu, dan [99] mereka melakukan demikian, dan Sang Bhagavā melewatkan musim hujan di Beluva.

2.23. Dan selama musim hujan Sang Bhagavā diserang oleh penyakit parah, dengan kesakitan yang sangat hebat seolah-olah Beliau akan meninggal dunia. Namun Beliau menahankan semua ini dengan penuh perhatian, sadar jernih dan tanpa mengeluh. Beliau berpikir: ‘Tidaklah tepat jika Aku mencapai Nibbāna akhir tanpa menasihati para pengikutKu dan berpamitan dengan para bhikkhu. Aku harus menahankan penyakit ini agar terkendali dan mengerahkan diriKu untuk mempertahankan kehidupan.’ Beliau melakukan hal itu, dan penyakit itu mereda.

2.24. Kemudian, Sang Bhagavā, setelah sembuh dari penyakitNya, segera setelah Beliau merasa lebih baik, pergi keluar dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan di depan tempat kediamanNya. Kemudian Yang Mulia Ānanda datang menghadap Beliau, memberi hormat, duduk di satu sisi dan berkata: ‘Bhagavā, aku telah melihat Sang Bhagavā dalam keadaan sehat, dan aku telah melihat Sang Bhagavā yang sabar dalam menahankan. Dan, Bhagavā, tubuhku seperti tubuh pemabuk. Aku kehilangan sokonganku dan segala sesuatu menjadi tidak jelas bagiku karena Bhagavā sakit. Satu-satunya yang menenangkanku adalah pikiran bahwa: “Bhagavā tidak akan mencapai Nibbāna akhir hingga Beliau memberikan pernyataan sehubungan dengan perkumpulan para bhikkhu.”’ [100]

2.25. ‘Tetapi, Ānanda, apakah yang diharapkan oleh perkumpulan para bhikkhu dariKu? Aku telah mengajarkan Dhamma, Ānanda, tidak membedakan “ajaran dalam” dan “ajaran luar”:26 Tathāgata tidak memiliki “genggaman sang guru” dalam hal ajaran-ajaran. Jika ada yang berpikir: “Aku akan mengubah perkumpulan para bhikkhu”,27 atau “Perkumpulan para bhikkhu harus menurutiku”, biarlah ia membuat pernyataan sehubungan dengan perkumpulan para bhikkhu, tetapi Tathāgata tidak berpikir demikian. Jadi mengapa Tathāgata harus memberikan pernyataan sehubungan dengan para bhikkhu?

‘Ānanda, Aku sudah tua, usang, dimuliakan, seorang yang telah melintasi jalan kehidupan, telah mencapai akhir kehidupan, yang adalah delapan puluh tahun.28 Bagaikan sebuah kereta tua yang dapat dijalankan dengan cara diikat dengan tali,29 demikian pula tubuh Sang Tathāgata dapat terus hidup dengan cara diikat. Hanya ketika Sang Tathāgata menarik perhatianNya dari gambaran-gambaran luar,30 dan dengan lenyapnya perasaan-perasaan tertentu,31 memasuki konsentrasi pikiran tanpa gambaran, 32 maka tubuhNya terasa sehat.

2.26. ‘Oleh karena itu, Ānanda, engkau harus hidup bagaikan pulau33 bagi dirimu sendiri, menjadi pelindungmu sendiri, tidak berlindung pada orang lain, dengan Dhamma sebagai pulau, dengan Dhamma sebagai pelindungmu, tidak ada perlindungan lain. Dan bagaimanakah seorang bhikkhu hidup sebagai pulau bagi diri sendiri, … tidak ada perlindungan lain? Di sini, Ānanda, seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani, tekun, sadar jernih, penuh perhatian setelah menyingkirkan segala kerinduan dan kegelisahan terhadap dunia, dan demikian pula sehubungan dengan perasaan, pikiran dan objek-objek pikiran. Itu, Ānanda, adalah bagaimana seorang bhikkhu hidup sebagai pulau bagi dirinya sendiri, … tidak ada perlindungan lain. [101] Dan mereka yang hidup saat ini pada masaKu atau setelahnya menjalani kehidupan demikian, mereka akan menjadi yang tertinggi,34 jika mereka ingin belajar.’

[Akhir dari bagian pembacaan ke dua]

[102] 3.1. Kemudian Sang Bhagavā, setelah bangun pagi, merapikan jubah, mengambil jubah dan mangkukNya, dan memasuki Vesālī untuk menerima dana makanan. Setelah makan sekembalinya dari menerima dana makanan, Beliau berkata kepada Yang Mulia Ānanda: ‘Bawa alas duduk, Ānanda. Kita akan pergi ke Altar Cāpāla untuk beristirahat siang.’ ‘Baik, Bhagavā,’ jawab Ānanda, dan, mengambil alas duduk, ia mengikuti di belakang.

3.2. Kemudian Sang Bhagavā sampai di Altar Cāpāla, dan duduk di tempat yang dipersiapkan. Ānanda memberi hormat kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi, dan Sang Bhagava berkata: ‘Ānanda, Vesālī sungguh indah, Kuil Udena sungguh indah, Kuil Gotamaka sungguh indah, Kuil Sattambaka35 sungguh indah, Kuil Bahuputta36 sungguh indah, Kuil Cāpāla sungguh indah. [103]

3.3. ‘Ānanda, siapapun yang mengembangkan empat jalan menuju kekuatan,37 sering melatihnya, menjadikannya kendaraan, menjadikannya landasan, mengokohkannya, menjadi terbiasa dengannya dan melaksanakannya dengan benar, tidak diragukan dapat hidup selama satu abad38 atau hingga akhir dari abad tersebut. Tathāgata telah mengembangkan kekuatan-kekuatan ini … melaksanakannya dengan benar. Dan Beliau dapat, Ānanda, tidak diragukan, hidup selama satu abad, atau hingga akhir dari abad tersebut.’

3.4. Tetapi Yang Mulia Ānanda, karena tidak mampu menangkap petunjuk jelas ini, isyarat jelas ini, tidak memohon kepada Sang Bhagavā dengan mengatakan: ‘Bhagavā, sudilah Bhagavā hidup selama satu abad, sudilah Yang Sempurna menempuh Sang Jalan tinggal selama satu abad demi manfaat dan kebahagiaan banyak makhluk, demi belas kasih terhadap dunia, demi manfaat dan kebahagiaan para dewa dan manusia’, demikianlah pikirannya dikuasai oleh Māra.39

3.5. Dan untuk kedua kalinya …, dan ketiga kalinya … (seperti paragraf 3-4) [104]

3.6. Kemudian Sang Bhagavā berkata: ‘Ānanda, pergilah, dan lakukanlah apa yang menurutmu baik.’ ‘Baik, Bhagavā’, Ānanda menjawab dan, bangkit dari duduknya. Ia memberi hormat kepada Sang Bhagavā, berbalik dengan sisi kanan menghadap Sang Bhagavā dan duduk di bawah sebatang pohon yang agak jauh.

3.7. Segera setelah Ānanda pergi, Māra si jahat mendatangi Sang Bhagavā, berdiri di satu sisi, dan berkata: ‘Bhagavā, sudilah Sang Bhagavā mencapai Nibbāna akhir sekarang, sudilah Yang Sempurna menempuh Sang jalan mencapai Nibbāna akhir sekarang. Sekarang adalah waktunya bagi Sang Bhagavā untuk mencapai Nibbāna akhir. Karena Bhagavā pernah berkata: “Yang Jahat, Aku tidak akan mencapai Nibbāna akhir hingga Aku memiliki para bhikkhu dan para siswa yang sempurna, terlatih, terampil, menguasai Dhamma, terlatih dalam keselarasan dengan Dhamma, terlatih dengan benar dan berjalan di jalan Dhamma, yang akan meneruskan dari apa yang telah mereka terima dari Guru mereka, mengajarkan, menyatakan, mengokohkan, membabarkan, menganalisa, menjelaskan; hingga mereka mampu menggunakan Dhamma untuk membantah ajaran-ajaran salah yang telah muncul, dan mengajarkan Dhamma yang memiliki hasil yang menakjubkan.”40

3.8. ‘Dan sekarang, Sang Bhagavā telah memiliki para bhikkhu dan siswa demikian. sudilah Sang Bhagavā mencapai Nibbāna akhir sekarang, sudilah Yang Sempurna menempuh Sang jalan mencapai Nibbāna akhir sekarang. Sekarang adalah waktunya bagi Sang Bhagavā untuk mencapai Nibbāna akhir. Dan Bhagavā pernah berkata: “Yang Jahat, Aku tidak akan mencapai Nibbàna akhir hingga Aku memiliki para bhikkhunī dan para siswa perempuan yang sempurna, … hingga Aku memiliki pengikut-awam laki-laki, … hingga Aku memiliki pengikut-awam perempuan … “ (seperti paragraf 7). [106] Sudilah Bhagavā sekarang mencapai Nibbāna akhir … Dan Sang Bhagavā menjawab: “Yang Jahat, Aku tidak akan mencapai Nibbāna akhir sampai kehidupan suci ini mantap dan berkembang, menyebar, dikenal di segala penjuru, diajarkan dengan baik di antara umat manusia dimana-mana.” Dan semua ini telah terjadi. sudilah Sang Bhagavā mencapai Nibbāna akhir sekarang, sudilah Yang Sempurna menempuh Sang jalan mencapai Nibbāna akhir sekarang. Sekarang adalah waktunya bagi Sang Bhagavā untuk mencapai Nibbāna akhir.’

3.9. Mendengar kata-kata ini Sang Bhagavā berkata kepada Māra: ‘Engkau tidak perlu khawatir, Yang Jahat. Nibbāna akhir Sang Tathāgata tidak akan lama lagi. Tiga bulan dari sekarang, Sang Tathāgata akan mencapai Nibbāna akhir.’

3.10. Demikianlah Sang Bhagavā, di Kuil Cāpāla, dengan penuh perhatian dan kesadaran penuh melepaskan prinsip-kehidupan, dan ketika ini dilakukan, terjadi gempa bumi dahsyat, mengerikan, menakutkan dan disertai guruh. Dan ketika Sang Bhagavā [107] melihat hal ini Beliau mengucapkan syair berikut:

‘Kasar atau halus, segalanya dilepaskan oleh sang bijaksana. Damai, tenang, ia memecahkan cangkang penjelmaan.’41

3.11. Dan Yang Mulia Ānanda berpikir: ‘Sungguh menakjubkan, sungguh indah, betapa dahsyatnya gempa ini, gempa bumi yang mengerikan, menakutkan dan menegakkan bulu badan, disertai guruh! Apakah yang menyebabkan hal ini?’

3.12. Ia mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan menanyakan pertanyaan itu.

3.13. ‘Ānanda, ada delapan alasan, delapan penyebab terjadinya gempa bumi dahsyat. Bumi ini terletak di atas air, air di atas angin, angin di atas ruang. Dan ketika angin kencang berhembus, hal ini akan mengaduk air, dan karena air teraduk, bumi bergetar. Ini [108] adalah alasan pertama.

3.14. ‘Ke dua, ada petapa atau Brahmana yang telah mengembangkan kekuatan batin, atau dewa yang sakti dan berkuasa yang kesadaran-tanah-nya lemah dan kesadaran-air-nya tidak terukur,42 dan ia membuat bumi ini bergoyang dan bergetar dan berguncang keras. Ini adalah alasan kedua.

3.15. ‘Kemudian, ketika seorang Bodhisatta turun dari surga Tusita, penuh perhatian dan berkesadaran jernih, dan masuk ke dalam rahim ibuNya, kemudian bumi ini bergoyang dan bergetar dan berguncang keras. Ini adalah alasan ke tiga.

3.16. ‘Kemudian, ketika seorang Bodhisatta keluar dari rahim ibuNya, penuh perhatian dan berkesadaran jernih, kemudian bumi ini bergoyang dan bergetar dan berguncang keras. Ini adalah alasan ke empat.

3.17. ‘Kemudian, ketika Sang Tathāgata mencapai penerangan sempurna yang tanpa bandingnya, kemudian bumi ini bergoyang dan bergetar dan berguncang keras. Ini adalah alasan ke lima.

3.18. ‘Kemudian, ketika Sang Tathāgata memutar Roda Dhamma, kemudian bumi ini bergoyang dan bergetar dan berguncang keras. Ini adalah alasan ke enam.

3.19. ‘Kemudian, ketika Sang Tathāgata, dengan penuh perhatian, dan dengan kesadaran jernih, melepaskan prinsip-kehidupan, kemudian bumi ini bergoyang dan bergetar dan berguncang keras. Ini adalah alasan ke tujuh.

3.20. ‘Kemudian, ketika Sang Tathāgata [109] mencapai unsur Nibbāna tanpa sisa,43 kemudian bumi ini bergoyang dan bergetar dan berguncang keras. Ini adalah alasan ke delapan. Semua ini, Ānanda, adalah delapan alasan, delapan penyebab bagi terjadinya gempa bumi dahsyat.

3.21. ‘Ānanda, ada delapan [jenis] kelompok ini. Apakah delapan ini? Kelompok Khattiya, kelompok Brahmana, kelompok perumah tangga, kelompok petapa, kelompok para dewa dari alam Empat Raja Dewa, kelompok para dewa dari alam Dewa Tiga-Puluh-Tiga, kelompok māra, kelompok Brahmā.

3.22. ‘Aku ingat dengan baik, Ānanda, ratusan kelompok Khattiya44 yang Kutemui, dan sebelum Aku duduk bersama mereka atau bergabung dalam pembicaraan mereka, Aku meniru penampilan dan gaya bahasa mereka, apa pun itu. Dan Aku menasihati, menginspirasi, memicu semangat dan menggembirakan mereka dengan khotbah Dhamma. Dan sewaktu Aku berbicara kepada mereka, mereka tidak mengenaliKu dan bertanya-tanya: “Siapakah ini yang berbicara seperti ini – dewa atau manusia?” Dan setelah menasihati mereka demikian, Aku menghilang, dan mereka masih tidak mengenali: “Ia yang baru saja menghilang – apakah Ia adalah dewa atau manusia?”

3.23. ‘Aku ingat dengan baik ratusan kelompok Brahmana, perumah tangga, pertapa, para dewa dari alam Empat Raja Dewa, para dewa dari alam Tiga-Puluh-Tiga Dewa, māra, Brahmā … [110] dan mereka masih tidak mengenali: “Ia yang baru saja menghilang – apakah Ia adalah dewa atau manusia?” Itu, Ānanda, adalah delapan kelompok.

3.24. ‘Ānanda, ada delapan tingkat penguasaan.45 Apakah itu?

3.25. ‘Mempersepsikan bentuk-bentuk secara internal,46 seseorang melihat bentuk-bentuk eksternal, terbatas dan berpenampilan baik atau berpenampilan buruk, dan dalam menguasai hal-hal ini, ia menyadari bahwa ia mengetahui dan melihat bentuk-bentuk itu. Ini adalah tingkat pertama.

3.26. ‘Mempersepsikan bentuk-bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk-bentuk eksternal, tidak terbatas dan berpenampilan baik atau berpenampilan buruk… (seperti paragraf 25). Ini adalah tingkat ke dua.

3.27. ‘Tidak mempersepsikan bentuk-bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk-bentuk eksternal, terbatas dan berpenampilan baik atau berpenampilan buruk… (seperti paragraf 25). Ini adalah tingkat ke tiga.

3.28. ‘Tidak mempersepsikan bentuk-bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk-bentuk eksternal, tidak terbatas dan berpenampilan baik atau berpenampilan buruk, dan dalam menguasai hal-hal ini, ia menyadari bahwa ia mengetahui dan melihat bentuk-bentuk itu. Ini adalah tingkat ke empat.

3.29. ‘Tidak mempersepsikan bentuk-bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk-bentuk eksternal yang biru, berwarna biru, berkilauan biru. Bagaikan bunga rami yang biru, berwarna biru, berkilauan biru, atau kain halus dari Benares yang kedua sisinya biru, … demikianlah seseorang mempersepsikan bentuk-bentuk eksternal yang biru, … dan dalam menguasai hal-hal ini, ia menyadari bahwa ia mengetahui dan melihat bentuk-bentuk itu. Ini adalah tingkat ke lima.

[111] 3.30. ‘Tidak mempersepsikan bentuk-bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk-bentuk eksternal yang kuning, berwarna kuning … Bagaikan bunga kaṇṇikāra47 kuning, … atau kain halus dari Benares berwarna kuning, demikianlah seseorang memperhatikan bentuk-bentuk eksternal yang kuning … Ini adalah tingkat ke enam.

3.31. ‘Tidak mempersepsikan bentuk-bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk-bentuk eksternal yang merah … Bagaikan bunga sepatu merah, … atau kain halus dari Benares berwarna merah, … demikianlah seseorang memperhatikan bentuk-bentuk eksternal yang merah … Ini adalah tingkat ketujuh.

3.32. ‘Tidak mempersepsikan bentuk-bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk-bentuk eksternal yang putih, berwarna putih, berkilauan putih, bagaikan bintang pagi Osadhi48 putih, … atau kain halus dari Benares yang kedua sisinya berwarna putih … demikianlah seseorang memperhatikan bentuk-bentuk eksternal yang putih, … dan dalam menguasai hal-hal ini, ia menyadari bahwa ia mengetahui dan melihat bentuk-bentuk itu. Ini adalah tingkat ke delapan. Ini, Ānanda, adalah delapan tingkat penguasaan.

3.33. ‘Ada, Ānanda, delapan kebebasan ini. Apakah itu? Dengan memiliki bentuk, seseorang melihat bentuk-bentuk. Ini adalah yang pertama. [112] Tidak memperhatikan bentuk materi dalam dirinya, ia melihatnya di luar diri. Ini adalah yang ke dua. Berpikir: “Ini indah”, ia terpusat padanya. Ini adalah yang ke tiga. Dengan sepenuhnya melampaui semua persepsi materi, … berpikir: “Ruang adalah tanpa batas”, ia masuk dan berdiam dalam Alam Ruang Tanpa Batas. Ini adalah yang ke empat. Dengan melampaui Alam Ruang Tanpa Batas, berpikir: “Kesadaran adalah tanpa batas”, ia masuk dan berdiam dalam Alam Kesadaran Tanpa Batas. Ini adalah yang ke lima. Dengan melampaui Alam Kesadaran Tanpa Batas, berpikir: “Tidak ada apa-apa”, ia masuk dan berdiam dalam Alam Kekosongan. Ini adalah yang ke enam. Dengan melampaui Alam Kekosongan, ia mencapai dan berdiam dalam Alam Bukan Persepsi Juga Bukan Bukan-Persepsi. Ini adalah yang ke tujuh. Dengan melampaui Alam Bukan Persepsi Juga Bukan Bukan-Persepsi, ia masuk dan berdiam dalam Lenyapnya Persepsi dan Perasaan. Ini adalah kebebasan ke delapan. (seperti Sutta 15, paragraf 35).

3.34. ‘Ānanda, suatu ketika Aku menetap di Uruvela di tepi Sungai Nerañjarā, di bawah pohon Banyan Penggembala kambing, ketika Aku baru saja mencapai penerangan sempurna. Dan Māra si Jahat mendatangiKu, berdiri di satu sisi, dan berkata: “Sudilah Sang Bhagavā mencapai Nibbāna akhir sekarang, sudilah Yang Sempurna menempuh Sang jalan mencapai Nibbāna akhir sekarang. Sekarang adalah waktunya bagi Sang Bhagavā untuk mencapai Nibbāna akhir.”

3.35. ‘Mendengar kata-kata ini Aku berkata kepada Māra: “Yang Jahat, Aku tidak akan mencapai Nibbāna akhir hingga Aku memiliki para bhikkhu dan para siswa yang sempurna, terlatih, terpelajar, menguasai Dhamma, … (seperti paragraf 7), [113] hingga Aku memiliki bhikkhunī-bhikkhunī …, umat-awam laki-laki, umat-awam perempuan yang akan … mengajarkan Dhamma yang memiliki hasil yang menakjubkan. Aku tidak akan mencapai Nibbāna akhir sampai kehidupan suci ini mantap dan berkembang, menyebar, dikenal di segala penjuru, diajarkan dengan baik di antara umat manusia dimana-mana.”

3.36. ‘Dan baru tadi, Ānanda, di Altar Cāpāla, Māra mendatangiKu, berdiri di satu sisi dan berkata: “Bhagavā, sudilah Sang Bhagavā mencapai Nibbāna akhir sekarang, …. Sekarang adalah waktunya bagi Sang Bhagavā untuk mencapai Nibbāna akhir.”

[114] 3.37. ‘Dan Aku berkata: “Engkau tidak perlu khawatir, Yang Jahat. Tiga bulan dari sekarang, Sang Tathāgata akan mencapai Nibbāna akhir.” Jadi sekarang, hari ini, Ānanda, di Kuil Cāpāla, Sang Tathāgata telah dengan penuh perhatian dan penuh kesadaran melepaskan prinsip-kehidupan.’ [115]

3.38. Mendengar kata-kata ini, Yang Mulia Ānanda berkata: ‘Bhagavā, sudilah Bhagavā hidup selama satu abad, sudilah Yang Sempurna menempuh Sang Jalan tinggal selama satu abad demi manfaat dan kebahagiaan banyak makhluk, demi belas kasih terhadap dunia, demi manfaat dan kebahagiaan para dewa dan manusia!’ ‘Cukup, Ānanda! Jangan memohon kepada Sang Tathāgata, ini bukan waktunya untuk melakukan hal itu!’

3.39. Dan untuk kedua kali dan ketiga kalinya Yang Mulia Ānanda mengajukan permohonan yang sama.

‘Ānanda, epakah engkau memiliki keyakinan atas penerangan sempurna Sang Tathāgata?’ ‘Tentu saja, Bhagavā.’

‘Kalau begitu mengapa engkau mengganggu Sang Tathāgata dengan permohonanmu sampai tiga kali?’

3.40. ‘Tetapi Bhagavā, Aku telah mendengar dari mulut Bhagavā sendiri, aku memahami dari mulut Bhagavā sendiri: “Siapa pun yang telah mengembangkan empat jalan menuju kekuatan … tidak diragukan dapat hidup selama satu abad, atau hingga akhir abad teresebut.”’

‘Apakah engkau memiliki keyakinan, Ānanda?’ ‘Tentu saja, Bhagavā.’

‘Maka, Ānanda, itu adalah kesalahanmu, itu adalah kegagalanmu bahwa, setelah diberi petunjuk jelas, isyarat yang jelas oleh Sang Tathāgata, engkau tidak memahami dan tidak memohon agar Sang Tathāgata hidup selama satu abad … Jika, Ānanda, engkau memohon kepadaKu, Sang Tathāgata akan menolak sebanyak dua kali, tetapi pada ketiga kalinya Aku akan menyetujui. Oleh karena itu Ānanda, itu adalah kesalahanmu, itu adalah kegagalanmu.

3.41. ‘Suatu ketika, Ānanda, Aku sedang menetap di Rājagaha, di Puncak Hering, dan di sana Aku berkata: [116] “Ānanda, Rājagaha sungguh indah, Puncak Hering sungguh indah. Siapa pun yang mengembangkan empat jalan menuju kekuatan … tidak diragukan dapat hidup selama satu abad …” (seperti paragraf 3). Tetapi engkau, Ānanda, meskipun telah mendapatkan petunjuk jelas tidak memahami dan tidak memohon agar Sang Tathāgata hidup selama satu abad …

3.42. ‘Suatu ketika, Aku sedang menetap di Rājagaha di taman Banyan …, di Tebing Perampok …, di Gua Satapaṇṇi di lereng Gunung Vebhāra …, di Batu Hitam di lereng Gunung Isigili …, di tepi Kolam Ular di Hutan Sejuk …, di Taman Tapodā …, di Taman Suaka Tupai di Veḷuvana …, di hutan mangga Jīvaka …, dan juga di Rājagaha di taman-rusa Maddakucchi.

3.43. ‘Di semua tempat itu Aku berkata kepadamu: “Ānanda, tempat ini sungguh indah …” [117]

3.44. ‘Siapa pun yang telah mengembangkan empat jalan menuju kekuatan … tidak diragukan dapat hidup selama satu abad …” (seperti paragraf 3).

3.45. ‘Suatu ketika Aku sedang menetap di Altar Udena … [118]

3.46. ‘Suatu ketika Aku sedang menetap di Altar Gotamaka …, di Altar Sattambaka …, di Altar Bahuputta …, di Altar Sārandada …

3.47. ‘Dan sekarang, hari ini di Altar Cāpāla Aku berkata: “Tempat-tempat ini sungguh indah. Ānanda, Siapapun yang telah mengembangkan empat jalan menuju kekuatan … tidak diragukan dapat hidup selama satu abad, atau hingga akhir dari abad tersebut. Sang Tathāgata telah mengembangkan kekuatan-kekuatan ini … dan Beliau dapat, Ānanda, tidak diragukan hidup selama satu abad, atau hingga akhir dari abad tersebut.”

‘Namun engkau, Ānanda, karena gagal menangkap petunjuk jelas ini, isyarat jelas ini, tidak memohon kepada Sang Tathāgata agar hidup selama satu abad. Jika, Ānanda, engkau memohon kepadaKu, Sang Tathāgata akan menolak sebanyak dua kali, tetapi pada ketiga kalinya Aku akan menyetujui.

3.48. ‘Ānanda, tidakkah Aku telah mengatakan sebelumnya: Segala sesuatu yang kita sayangi dan menyenangkan bagi kita pasti akan mengalami perubahan, berpisah dan berganti? Jadi bagaimana mungkin? Apapun yang dilahirkan, menjelma, tersusun, pasti mengalami kerusakan – bahwa ini tidak akan menjadi rusak adalah tidak mungkin. Dan bahwa apa yang telah dilepaskan, dihentikan, ditolak, dibuang, ditinggalkan: Sang Tathāgata telah melepaskan prinsip-kehidupan. Sang Tathāgata pernah mengatakan satu kali: “Kematian Sang Tathāgata [119] tidak akan lama lagi. Tiga bulan dari sekarang, Sang Tathāgata akan mencapai Nibbāna akhir.” Bahwa Tathāgata harus menarik kembali suatu pernyataan hanya untuk hidup, itu adalah tidak mungkin.49 Sekarang, marilah Ānanda, kita pergi ke Aula Segitiga di Hutan Besar.’ ‘Baik, Bhagavā’.

3.49. Dan Sang Bhagavā pergi bersama Yang Mulia Ānanda menuju Aula Segitiga di Hutan Besar. Ketika Beliau sampai di sana, Beliau berkata: ‘Ānanda, pergi dan kumpulkan seluruh bhikkhu yang menetap di sekitar Vesālī, dan berkumpul di aula pertemuan.’ ‘Baik, Bhagavā’, jawab Ānanda, dan melakukan apa yang diperintahkan. Kemudian ia kembali menghadap Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, berdiri di satu sisi dan berkata: ‘Bhagavā, para bhikkhu telah berkumpul. Sekarang adalah saatnya bagi Bhagavā untuk melakukan apa yang diinginkan.’

3.50. Kemudian Sang Bhagavā memasuki aula pertemuan dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Kemudian Beliau berkata kepada para bhikkhu: ‘Para bhikkhu, untuk alasan ini hal-hal tersebut yang telah Kutemukan dan Kuajarkan telah kalian pelajari dengan seksama, dipraktikkan, dikembangkan dan dilatih, sehingga kehidupan suci ini dapat bertahan lama, ini adalah demi manfaat dan kebahagiaan banyak makhluk, demi belas kasihan kepada dunia, demi manfaat dan kebahagiaan para dewa dan manusia. Dan apakah hal-hal tersebut itu …? [120] Yaitu: empat landasan perhatian, empat usaha benar, empat jalan menuju kekuatan, lima indria spritual,50 lima kekuatan batin,51 tujuh faktor penerangan sempurna, jalan Mulia Berunsur Delapan.’52

3.51. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: ‘Dan sekarang, para bhikkhu, Aku menyatakan kepada kalian – segala sesuatu yang terkondisi pasti mengalami kerusakaan – berusahalah dengan tekun. Kematian Sang Tathāgata sudah tidak lama lagi. Tiga bulan dari sekarang Sang Tathāgata akan mencapai Nibbāna akhir.’

Demikianlah Sang Bhagavā berkata. Yang Sempurna menempuh Sang Jalan telah mengucapkan demikian, Sang Guru mengatakan ini:

‘Aku telah matang dalam usia. Umur kehidupanKu telah ditentukan. Sekarang Aku akan meninggalkan kalian, setelah membuat diriku sebagai perlindungan.

Para bhikkhu, jangan merasa lelah, penuh perhatian, disiplin, Menjaga pikiran kalian dengan pengendalian yang baik. [121]

Ia yang tanpa lelah, menjaga ajaran dan disiplin, Dengan neninggalkan kelahiran di belakang, akan mengakhiri kesengsaraan.

[Akhir dari bagian pembacaan ke tiga]

[122] 4.1. Kemudian Sang Bhagavā, setelah bangun pagi dan merapikan jubah, membawa jubah dan mangkukNya dan pergi ke Vesālī untuk menerima dana makanan. Setelah kembali dari menerima dana makanan dan setelah makan, Beliau menatap ke belakang ke Vesālī dengan tatapan ‘seperti gajah’53 dan berkata: ‘Ānanda, ini adalah terakhir kalinya Sang Tathāgata melihat Vesālī. Sekarang kita akan pergi ke Bhaṇḍagāma.’ ‘Baik, Bhagavā’, jawab Ānanda, dan Sang Bhagavā pergi bersama sejumlah besar bhikkhu menuju Bhaṇḍagāma dan menetap di sana.

4.2. Dan di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: ‘Para bhikkhu, karena tidak memahami, tidak menembus empat hal sehingga Aku dan juga kalian sejak lama mengembara dalam lingkaran kelahiran kembali. Apakah empat ini? Karena tidak memahami moralitas Ariya, karena tidak memahami konsentrasi Ariya, karena tidak memahami kebijaksanaan Ariya, karena tidak memahami kebebasan Ariya,54 Aku dan juga kalian sejak lama mengembara dalam lingkaran kelahiran kembali. Dan dengan memahami [123] dan menembus moralitas Ariya, konsentrasi Ariya, kebijaksanaan Ariya dan kebebasan Ariya maka ketagihan akan penjelmaan menjadi terpotong, kecenderungan ke arah penjelmaan telah dipadamkan, dan tidak akan ada lagi kelahiran kembali.’

4.3. Demikianlah Sang Bhagavā berkata. Yang Sempurna menempuh Sang Jalan setelah mengucapkan demikian, Sang Guru mengatakan ini:

‘Moralitas, samādhi, kebijaksanaan dan kebebasan akhir, Hal-hal mulia ini telah diketahui oleh Gotama. Dhamma yang Beliau lihat, Beliau ajarkan kepada para bhikkhu: Ia yang memiliki penglihatan, mengakhiri penderitaan menuju Nibbāna.’

4.4. Dan kemudian Sang Bhagavā, selagi berada di Bhaṇḍagāma, membabarkan khotbah terperinci: ‘Ini adalah moralitas, ini adalah konsentrasi, ini adalah kebijaksanaan. Konsentrasi, ketika disertai moralitas, akan menghasilkan buah dan manfaat besar. Kebijaksanaan, ketika disertai konsentrasi, akan menghasilkan buah dan manfaat besar. Pikiran yang disertai kebijaksanaan akan sepenuhnya terbebas dari kekotoran, yaitu, kekotoran indriawi, penjelmaan, pandangan salah dan ketidak-tahuan.’

4.5. Dan ketika Sang Bhagavā telah menetap di Bhaṇḍagāma selama yang Beliau inginkan, Beliau berkata: ‘Mari, Ānanda, kita pergi ke Hatthigāma …, ke Ambagāma …, ke Jambugāma ….’ membabarkan khotbah yang sama di setiap tempat tersebut. Kemudian Beliau berkata: ‘Ānanda, mari kita pergi ke Bhoganagara.’

4.6. ‘Baik, Bhagavā’, jawab Ānanda, dan Sang Bhagavā pergi bersama sejumlah besar bhikkhu menuju Bhoganagara.

4.7. Di Bhoganagara Sang Bhagavā menetap di Altar Ānanda. Dan di sini Beliau berkata kepada para bhikkhu: ‘Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian empat kriteria. Dengarkanlah, perhatikanlah baik-baik, dan Aku akan berbicara.’ [124] ‘Baik, Bhagavā’, jawab para bhikkhu.

4.8. ‘Seandainya seorang bhikkhu mengatakan: “Teman-teman, aku mendengar dan menerima ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: inilah Dhamma, inilah disiplin, inilah Ajaran Sang Guru”, maka, para bhikkhu, kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya. Kemudian, tanpa menerima atau menolak, kata-kata dan ungkapannya harus dengan teliti dicatat dan dibandingkan dengan Sutta-sutta dan dipelajari di bawah cahaya disiplin. Jika kata-katanya, setelah dibandingkan dan dipelajari, terbukti tidak selaras dengan Sutta atau disiplin, berarti kesimpulannya adalah: “Pasti ini bukan kata-kata Sang Buddha, hal ini telah keliru dipahami oleh bhikkhu ini”, dan kata-katanya itu harus ditolak. Tetapi jika saat dibandingkan dan dipelajari, terbukti selaras dengan Sutta atau disiplin, berarti kesimpulannya adalah: “Pasti ini adalah kata-kata Sang Buddha, hal ini telah dengan benar dipahami oleh bhikkhu ini.” Ini adalah kriteria pertama.

4.9. ‘Seandainya seorang bhikkhu mengatakan: “Di tempat-tempat ini terdapat komunitas para bhikkhu dengan bhikkhu-bhikkhu senior dan guru-guru terkemuka. Aku telah mendengar dan menerima ini dari komunitas tersebut”, maka, para bhikkhu, kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya … (seperti paragraf 4.8). [125] Ini adalah kriteria kedua.

4.10. ‘Seandainya seorang bhikkhu mengatakan: “Di tempat-tempat ini terdapat banyak bhikkhu senior yang terpelajar, pewaris tradisi, yang mengetahui Dhamma, disiplin, peraturan-peraturan …” (seperti paragraf 4.8). Ini adalah kriteria ketiga.

4.11. ‘Seandainya seorang bhikkhu mengatakan: “Di tempat-tempat ini terdapat seorang bhikkhu senior yang terpelajar … Aku telah mendengar dan menerima ini dari bhikkhu senior tersebut …” (seperti paragraf 4.8). Tetapi jika saat dibandingkan dan dipelajari, terbukti selaras dengan Sutta atau disiplin, berarti kesimpulannya adalah: ‘Pasti ini adalah kata-kata Sang Buddha, hal ini telah dengan benar dipahami oleh bhikkhu ini.’

4.12. Dan kemudian Sang Bhagavā, selagi berada di Bhoganagara, membabarkan khotbah terperinci: ‘Ini adalah moralitas, ini adalah konsentrasi, ini adalah kebijaksanaan …’

4.13. Dan ketika Sang Bhagavā telah menetap di Bhoganagara selama yang Beliau inginkan, Beliau berkata: ‘Mari, Ānanda, kita pergi ke Pāvā’ ‘Baik, Bhagavā’, jawab Ānanda, dan Sang Bhagavā pergi bersama sejumlah besar bhikkhu menuju Pāvā, di sana Beliau menetap di hutan mangga Cunda si pandai besi.

4.14. Dan Cunda mendengar bahwa Sang Bhagavā telah tiba di Pāvā dan sedang menetap di hutan-mangganya. Maka ia menemui Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau dan duduk di satu sisi, dan Sang Bhagavā memberikan nasihat, memicu semangat dan menggembirakannya dengan khotbah Dhamma.

4.15. Kemudian Cunda berkata: ‘Sudilah Sang Bhagavā menerima makanan dariku besok bersama para bhikkhu!’ Dan Sang Bhagavā menerimanya dengan berdiam diri.

4.16. Dan Cunda, memahami penerimaan Beliau, bangkit dari duduknya, memberi hormat kepada Beliau [127] dan, pergi dengan sisi kanan menghadap Sang Bhagavā.

4.17. Dan ketika malam berlalu, Cunda mempersiapkan makanan keras dan lunak dengan berbagai makanan dari ‘daging babi’,55 dan ketika persiapan selesai ia memberitahukan kepada Sang Bhagavā: ‘Bhagavā, makanan telah siap.’

4.18. Kemudian Sang Bhagavā, setelah merapikan jubah di pagi hari, mengambil jubah dan mangkukNya, dan pergi bersama para bhikkhu menuju kediaman Cunda, dimana Beliau duduk di tempat yang telah dipersiapkan dan berkata: ‘Sajikan “makanan daging babi” yang telah dipersiapkan untukKu, dan menyajikan makanan keras dan lunak lainnya untuk para bhikkhu.’ ‘Baik, Bhagavā’, jawab Cunda, dan melakukan sesuai instruksi Sang Bhagavā.

4.19. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Cunda: ‘Apapun yang tersisa dari ‘makanan daging babi’ ini, harus dikuburkan dalam lubang, karena, Cunda, Aku tidak melihat seorangpun di dunia ini dengan para dewa, māra dan Brahmā, dalam generasi ini bersama para petapa dan Brahmana, raja-raja dan umat manusia yang, jika mereka memakannya, dapat mencernanya dengan baik kecuali Tathāgata.’56 ‘Baik, Bhagavā’, jawab Cunda dan, setelah menguburkan sisa dari ‘makanan daging babi’ dalam lubang, ia menghadap Sang Bhagavā, memberi hormat dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā, setelah memberikan nasihat, memicu semangat dan menggembirakannya dengan khotbah Dhamma, bangkit dari dudukNya dan pergi.

4.20. Dan setelah memakan makanan yang dipersembahkan oleh Cunda, Sang Bhagavā diserang oleh penyakit parah hingga mengalami diare berdarah, dan dengan sangat kesakitan nyaris meninggal dunia. [128] Namun Beliau menahankannya dengan penuh perhatian dan dengan kesadaran jernih, dan tanpa mengeluh. Kemudian Sang Bhagavā berkata: ‘Ānanda, mari kita pergi ke Kusināra.’ ‘Baiklah, Bhagavā’, jawab Ānanda.

Setelah memakan makanan dari Cunda (inilah yang kudengar), Ia menderita sakit parah, sangat sakit, hampir meninggal dunia; Karena memakan makanan ‘daging babi’ Penyakit parah menyerang Sang Guru. Setelah menyingkirkannya, Sang Bhagavā berkata: ‘Sekarang, Aku akan pergi ke kota Kusināra.’57

4.21. Kemudian dengan berbelok dari jalan, Sang Bhagavā pergi ke bawah sebatang pohon dan berkata: ‘Mari, Ānanda, lipat empatlah sebuah jubah untukKu. Aku lelah dan ingin duduk.’ ‘Baik, Bhagavā’, jawab Ānanda, dan melakukan sesuai instruksi.

4.22. Sang Bhagavā duduk di tempat yang telah dipersiapkan dan berkata: ‘Ānanda, ambilkan air, Aku haus dan ingin minum.’ Ānanda menjawab: ‘Bhagavā, lima ratus kereta baru saja melalui jalan ini. Air telah terkacaukan oleh roda-roda kereta dan tidak baik, kotor dan keruh. Tetapi, Bhagavā, sungai Kakutthā di dekat sana airnya jernih, [129] menyenangkan, sejuk, bersih, dan pantainya indah, sungguh indah. Di sana Bhagavā dapat meminum air dan menyejukkan badanNya.’

4.23. Untuk ke dua kalinya Sang Bhagavā berkata: ‘Ānanda, ambilkan air …’ dan Ānanda menjawab seperti sebelumnya.

4.24. Untuk ke tiga kalinya Sang Bhagavā berkata: ‘Ānanda, ambilkan air, Aku haus dan ingin minum.’ ‘Baik, Bhagavā’ jawab Ānanda dan, mengambil mangkuk, dan pergi ke sungai. Dan sungai itu yang airnya terkacaukan oleh roda-roda kereta dan tidak baik, kotor dan keruh, sewaktu Ānanda mendekatinya perlahan-lahan menjadi bersih, jernih dan tidak ternoda.

4.25. Dan Yang Mulia Ānanda berpikir: ‘Menakjubkan, luar biasa kekuatan agung dan mulia Sang Tathāgata! Air ini terkacaukan oleh roda-roda kereta … dan ketika aku mendekatinya, air ini menjadi bersih, jernih dan tidak ternoda!’ Ia mengambil air dengan mangkuknya, membawanya kepada Sang Bhagavā dan memberitahukan pikirannya, dengan berkata: ‘Silahkan Bhagavā minum air, silahkan Yang Sempurna menempuh Sang Jalan minum!’ Dan Sang Bhagavā meminum air tersebut. [130]

4.26. Pada saat itu Pukkusa orang Malla, seorang murid dari Āḷāra Kālāma,58 sedang melakukan perjalanan di jalan itu dari Kusināra menuju Pāvā. Melihat Sang Bhagavā duduk di bawah pohon, ia mendatangi, memberi hormat dan duduk di satu sisi. Kemudian ia berkata: ‘Sungguh menakjubkan, Bhagavā, sungguh luar biasa ketenangan pengembara ini!

4.27. ‘Suatu ketika, Bhagavā, Āḷāra Kālāma sedang berjalan di jalan utama, kemudian berbelok dan ia pergi dan duduk di bawah pohon di dekat sana untuk beristirahat siang. Dan lima ratus kereta berlalu bergemuruh di dekatnya. Seseorang yang berjalan di belakang rombongan kereta mendatangi Āḷāra Kālāma dan berkata: “Yang Mulia, tidakkah engkau melihat lima ratus kereta lewat?” “Tidak, teman, aku tidak melihat.” “Tetapi tidakkah engkau mendengarnya, Yang Mulia?” “Tidak, teman, aku tidak mendengarnya.” “Jadi, apakah engkau tertidur, Yang Mulia?” “Tidak, teman, aku tidak tertidur.” “Jadi, Yang Mulia, apakah engkau sadar?” “Ya, Teman”. “Jadi, Yang Mulia, dalam keadaan sadar dan terjaga engkau tidak melihat atau mendengar lima ratus kereta melewatimu, meskipun jubah luarmu dikotori oleh debu?” “Demikianlah, teman.”

‘Dan orang itu berpikir: “Sungguh menakjubkan, sungguh luar biasa! Para pengembara ini begitu tenang sehingga meskipun sadar [131] dan terjaga, seorang yang tidak melihat atau mendengar lima ratus kereta yang melewatinya!” Dan ia berlalu sambil memuji kekuatan menakjubkan dari Āḷāra Kālāma.’

4.28. ‘Pukkusa, bagaimana menurutmu? Yang manakah menurutmu lebih sulit dilakukan atau dicapai – dalam keadaan sadar dan terjaga tidak melihat atau mendengar lima ratus kereta melewatinya, atau, dalam keadaan sadar dan terjaga tidak melihat atau mendengar apapun ketika turun hujan deras, saat kilat dan halilintar menyambar?’

4.29. ‘Bhagavā, bagaimanakah seseorang dapat membandingkan tidak melihat atau mendengar lima ratus kereta dengan hal itu – atau bahkan enam, tujuh, delapan, sembilan atau seribu, atau ratusan ribu kereta dengan hal itu? Dengan tidak melihat atau mendengar apa-apa saat hujan badai adalah lebih sulit …’

4.30. ‘Suatu ketika, Pukkusa, ketika Aku menetap di Ātumā, di tempat pemukulan padi, turun hujan deras, kilat menyambar-nyambar dan halilintar menggelegar, daan dua orang petani bersaudara, dan empat ekor sapi tewas. Dan banyak orang keluar dari Ātumā pergi ke tempat kedua bersaudara dan empat ekor sapi itu tewas.

4.31. ‘Dan, Pukkusa, pada saat itu Aku keluar dari tempat pemukulan padi dan sedang berjalan mondar-mandir di luar. Dan seseorang di antara kerumunan itu mendatangiKu, memberi hormat kepadaKu dan berdiri di satu sisi. Dan Aku berkata kepadanya:

4.32. ‘”Teman, mengapakan orang-orang ini berkumpul di sini?” [132] “Bhagavā, telah terjadi badai besar dan dua petani, bersaudara, dan empat ekor sapi tewas. Tetapi Engkau, Bhagavā, dari manakah Engkau?” “Aku di sini sejak tadi, teman.” “Tetapi apakah yang Engkau lihat, Bhagavā?” “Aku tidak melihat apa-apa, teman.” “Atau apakah yang Engkau dengar, Bhagavā?” “Aku tidak mendengar apa-apa, teman.” “Apakah Engkau tertidur, Bhagavā?” “Aku tidak tertidur, teman.” “Jadi, Bhagavā, apakah Engkau sadar?” “Ya, teman.” “Jadi, Bhagavā, dalam keadaan sadar dan terjaga Engkau tidak melihat dan tidak mendengar hujan deras dan banjir dan halilintar dan kilat?” “Demikianlah, teman.”

4.33. ‘Dan, Pukkusa, orang itu berpikir: “Sungguh menakjubkan, sungguh luar biasa! Para pengembara ini begitu tenang sehingga meskipun sadar dan terjaga, seorang yang tidak melihat atau mendengar apa-apa saat hujan deras, kilat menyambar dan halilintar menggelegar!” Menyatakan kekuatan agungKu, ia memberi hormat kepadaKu, berjalan dengan sisi kanan menghadapKu dan pergi.’

4.34. Mendengar kata-kata ini, Pukkusa orang Malla berkata: ‘Bhagavā, aku menolak kekuatan agung Āḷāra Kālāma seolah-olah tertiup angin kencang atau hanyut oleh arus deras atau sungai! Sungguh menakjubkan, Bhagavā, sungguh luar biasa! Bagaikan seseorang yang menegakkan apa yang terbalik, atau menunjukkan jalan bagi ia yang tersesat, atau menyalakan pelita di dalam gelap, sehingga mereka yang memiliki mata dapat melihat apa yang ada di sana. Demikian pula Sang Bhagavā telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara. [133] Dan aku, Bhagavā, berlindung kepada Sang Bhagavā, Dhamma dan Sangha. Sudilah Sang Bhagavā menerimaku sebagai seorang siswa-awam sejak hari ini hingga akhir hidupku!’

4.35. Kemudian Pukkusa berkata kepada salah satu pengikutnya: ‘Pergilah dan ambilkan dua set jubah dari kain emas, mengkilap dan siap pakai.’ ‘Baik, Tuan’, orang itu menjawab, dan melakukan apa yang diperintahkan. Dan Pukkusa mempersembahkan dua set jubah dari kain emas kepada Sang Bhagavā, dengan mengatakan: ‘Ini, Bhagavā, adalah dua set jubah dari kain emas. Sudilah Bhagavā menerimanya dengan senang hati!’ ‘Baiklah, Pukkusa, berikan satu untukKu dan satu untuk Ānanda.’ ‘Baiklah, Bhagavā’, jawab Pukkusa dan melakukan sesuai instruksi.59

4.36. Kemudian Sang Bhagavā menasihati, menginspirasi, memicu semangat dan menggembirakan Pukkusa dari Malla dengan khotbah Dhamma. Kemudian Pukkusa bangkit dari duduknya, memberi hormat kepada Sang Bhagavā, berjalan dengan sisi kanan menghadap Sang Bhagavā, dan pergi dari sana.

4.37. Segera setelah Pukkusa pergi, Ānanda setelah memakaikan satu set jubah emas itu ke tubuh Sang Bhagavā, membandingkan tubuh Sang Bhagavā dengan jubahnya yang terlihat kusam. Dan ia berkata: ‘Sungguh indah, Bhagavā, sungguh menakjubkan betapa bersih dan cemerlangnya kulit Sang Bhagavā terlihat! Bahkan lebih cemerlang daripada jubah [134] emas yang dikenakan ini.’ ‘Demikianlah, Ānanda, ada dua kesempatan dimana kulit Sang Tathāgata terlihat sangat bersih dan cemerlang. Kapankah itu? Pertama adalah pada malam Sang Tathāgata mencapai penerangan sempurnaa, yang kedua adalah pada malam ketika Beliau mencapai unsur-Nibbāna tanpa sisa saat meninggal dunia. Dalam dua kesempatan ini kulit Sang Tathāgata terlihat sangat bersih dan cemerlang.

4.38. ‘Malam ini, Ānanda, pada jaga terakhir malam ini, di hutan-sāl milik orang-orang Malla di dekat Kusinārā, di antara dua pohon-sāl, Wafat Sang Tathāgata akan terjadi. Dan sekarang, Ānanda, marilah kita pergi ke Sungai Kakutthā.’ ‘Baik, Bhagavā’, jawab Ānanda.60

Dua jubah keemasan dipersembahkan oleh Pukkusa: Tubuh Sang Guru bersinar lebih cemerlang daripada jubahNya.

4.39. Kemudian Sang Bhagavā pergi bersama sejumlah besar bhikkhu menuju Sungai Kakutthā. Beliau masuk ke air, mandi dan minum dan, keluar dari air, pergi ke hutan mangga, di sana Beliau berkata kepada Yang Mulia Cundaka: ‘Mari, Cundaka, lipat empatlah jubah itu untukKu. Aku lelah dan ingin berbaring.’ ‘Baik, Bhagavā’, jawab Cundaka, dan melakukan sesuai instruksi.

4.40. Kemudian Sang Bhagavā berbaring pada sisi kanan dalam posisi singa, meletakkan satu kakiNya di atas kaki yang lain, dengan penuh perhatian dan kesadaran jernih [135] mengingat waktu untuk terjaga. Dan Yang Mulia Cundaka duduk di depan Sang Bhagavā.

4.41. Sang Buddha pergi ke Sungai Kakutthā Yang airnya bersih, jernih dan menyenangkan, Di sana Sang Guru merendam tubuh letihNya. Tathāgata – yang tanpa bandingnya di dunia ini. Dikelilingi oleh para bhikkhu yang Beliau pimpin. Sang Guru, Sang Bhagavā, pelestari Dhamma, Ke Hutan Mangga Sang Bijaksana Agung menuju, Dan kepada Bhikkhu Cundaka Beliau berkata: Di atas jubah berlipat empat Aku akan berbaring.’ Dan demikianlah diminta oleh Yang Paling Terampil, Cundaka meletakkan jubah berlipat empat. Sang Guru membaringkan tubuh letihnya dan beristirahat Sementara Cundaka berjaga di sisiNya.

4.42. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Muli Ānanda: ‘Mungkin saja, Ānanda, Cunda si pandai besi merasa menyesal, dengan berpikir: “Adalah kesalahanmu, sahabat Cunda, karena kecerobohanmu sehingga Sang Tathāgata mencapai Nibbāna akhir setelah memakan makanan yang engkau persembahkan!” Tetapi penyesalan Cunda dapat diatasi dengan cara ini: “Itu adalah jasamu, sahabat Cunda, karena perbuatan baikmu sehingga Sang Tathāgata mencapai Nibbāna akhir setelah memakan makanan yang engkau persembahkan! Karena, sahabat Cunda, aku telah mendengar dan memahami dari mulut Sang Bhagavā sendiri bahwa dua persembahan ini menghasilkan buah yang [136] besar, akibat yang sangat besar, lebih berbuah dan lebih bermanfaat daripada persembahan lainnya. Apakah dua ini? Pertama adalah persembahan yang setelah memakannya Sang Tathāgata mencapai penerangan sempurna, dan yang lainnya adalah yang setelah memakannya Beliau mencapai unsur-Nibbāna tanpa sisa saat meninggal dunia. Kedua persembahan ini adalah yang lebih berbuah dan lebih bermanfaat dari semua persembahan lainnya. Perbuatan Cunda ini mendukung umur panjang, penampilan yang baik, kebahagiaan, kemasyhuran, alam surga dan kekuasaan.” Demikianlah, Ānanda, cara mengatasi penyesalan Cunda.’

4.43. Kemudian Sang Bhagavā, setelah menyelesaikan persoalan ini, pada saat itu Beliau mengucapkan syair ini:

‘Dengan memberi, tumbuh jasa, dengan pengendalian, kebencian dihentikan. Ia yang terampil dapat meninggalkan hal-hal jahat. Ketika keserakahan, kebencian dan kebodohan menyusut, Nibbāna tercapai.

[Akhir dari bagian pembacaan ke empat, sehubungan dengan Āḷāra]

[137] 5.1. Sang Bhagavā berkata: ‘Ānanda, mari kita menyeberangi Sungai Hiraññavatī dan pergi ke Hutan-sāl Malla di sekitar Kusinārā.’61 ‘Baiklah, Bhagavā’, jawab Ānanda, dan Sang Bhagavā, bersama sejumlah besar bhikkhu, menyeberangi sungai dan pergi ke hutan-sāl. Di sana Sang Bhagavā berkata: ‘Ānanda, siapkan tempat tidur untukKu di antara pohon sāl-kembar ini dengan kepalaKu mengarah ke utara. Aku lelah dan ingin berbaring.’ ‘Baik, Bhagavā’, jawab Ānanda, dan melakukan sesuai instruksi. Kemudian Sang Bhagavā berbaring pada posisi kanan dalam posisi singa, meletakkan satu kakiNya di atas kaki lainnya, penuh perhatian dan kesadaran jernih.

5.2. Dan pohon-sāl kembar itu menggugurkan banyak sekali bunga-bunganya yang mekar tidak pada musimnya, yang jatuh di atas tubuh Sang Tathāgata, menaburkan dan menyelimuti sebagai penghormatan. Bunga-bunga pohon koral surgawi jatuh dari angkasa, sebuk cendana surgawi jatuh dari angkasa, menaburkan dan menyelimuti tubuh Sang Tathāgata [138] sebagai penghormatan. Musik dan nyantian surgawi terdengar di angkasa sebagai penghornatan kepada Sang Tathāgata.

5.3. Dan Sang Bhagavā berkata: ‘Ānanda, pohon-sāl ini berbunga banyak tidak pada musimnya … Musik dan nyanyian surgawi terdengar di angkasa sebagai penghormatan kepada Tathāgata. Belum pernah sebelumnya Sang Tathāgata begitu dihormati, dipuja, dihargai dan disembah. Akan tetapi, Ānanda, para bhikkhu, bhikkhunī, umat-awam laki-laki atau perempuan manapun juga yang mempraktikkan Dhamma dengan benar, dan dengan sempurna memenuhi jalan-Dhamma, ia telah memberikan penghormatan dan pemujaan tertinggi kepada Sang Tathāgata. Oleh karena itu, Ānanda, “Kami harus mempraktikkan Dhamma dengan benar dan dengan sempurna memenuhi jalan-Dhamma” – ini harus menjadi sloganmu.’

5.4. Saat itu, Yang Mulia Upavāṇa sedang berdiri di depan Sang Bhagavā, mengipasi Beliau. Dan Sang Bhagavā menyuruhnya untuk bergeser. ‘Bergeserlah, bhikkhu, jangan berdiri di depanKu.’ Dan Yang Mulia Ānanda berpikir: ‘Yang Mulia [139] Upavāṇa telah lama menjadi pelayan Sang Bhagavā, berada di dekat Beliau, selalu datang saat dipanggil. Dan sekarang, di saat-saat terakhir, Sang Bhagavā menyuruhnya bergeser dan tidak berdiri di depan Beliau. Mengapakah Beliau melakukan hal itu?’

5.5. Dan ia menanyakan kepada Sang Bhagavā mengenai hal itu: ‘Ānanda, para dewa dari sepuluh ribu alam semesta telah berkumpul di sini untuk melihat Sang Tathāgata. Dalam jarak dua belas yojana di sekeliling hutan-sāl milik orang-orang Malla di dekat Kusinārā tidak ada ruang yang seluas sehelai rambutpun yang tidak ditempati oleh para dewa sakti, dan mereka mengeluh: “Kami datang dari jauh untuk melihat Sang Tathāgata, Buddha yang mencapai penerangan sempurna, muncul di dunia, dan malam ini pada jaga terakhir Sang Tathāgata akan mencapai Nibbāna akhir, dan bhikkhu sakti ini berdiri di depan Sang Bhagavā, menghalangi kami untuk menatap Sang Tathāgata untuk terakhir kalinya!”’

5.6. ‘Tetapi, Bhagavā, dewa apakah yang engkau lihat?’ ‘Ānanda, ada dewa-dewa angkasa yang pikirannya melekat pada bumi, mereka menangis dan menjambak rambut mereka, mengangkat tangan mereka, [140] melempar diri mereka ke bawah dan berguling, meneriakkan: “Terlalu cepat Sang Bhagavā meninggal dunia, terlalu cepat Yang Sempurna menempuh Sang Jalan meninggal dunia, terlalu cepat Mata-Dunia lenyap!” Dan juga ada para dewa-bumi yang pikirannya melekat pada bumi, juga melakukan hal yang sama. Tetapi para dewa yang bebas dari kemelekatan dengan sabar menahankan, dengan mengatakan: “Segala sesuatu yang tersusun adalah tidak kekal – apalah gunanya semua ini?”62

5.7. ‘Bhagavā, sebelumnya para bhikkhu yang melewatkan musim hujan di berbagai tempat biasanya datang untuk menemui Sang Tathāgata, dan kita biasanya menyambut mereka sehingga para bhikkhu yang terlatih berkesempatan untuk menemuiMu dan memberi hormat. Tetapi dengan wafatnya Bhagavā, kami tidak memiliki kesempatan untuk melakukan hal ini.’

5.8. ‘Ānanda, ada empat tempat yang pemandangannya dapat membangkitkan semangat63 bagi mereka yang berkeyakinan. Apakah empat itu? “Tempat kelahiran Sang Tathāgata” adalah yang pertama.64 “Tempat Sang Tathāgata mencapai penerangan sempurna” adalah yang ke dua.65 “Tempat Sang Tathāgata memutar Roda Dhamma” adalah yang ke tiga.66 “Tempat Sang Tathāgata mencapai unsur-Nibbāna tanpa sisa” adalah yang ke empat.67 [141] Dan, Ānanda, para bhikkhu, bhikkhunī, umat-awam laki-laki dan perempuan yang berkeyakinan sebaiknya mengunjungi tempat-tempat tersebut. Dan siapapun yang meninggal dunia sat mengunjungi tempat-tempat tersebut dengan penuh ketulusan hati akan, saat hancurnya jasmani, terlahir kembali di alam surga.

5.9. ‘Bhagavā, bagaimanakah kami harus bersikap dalam menghadapi perempuan?’ ‘Jangan melihat mereka, Ānanda.’ ‘Tetapi jika kami melihat mereka, bagaimanakah kami harus bersikap, Bhagavā?’ ‘Jangan berbicara kepada mereka, Ānanda.’ ‘Tetapi, jika mereka berbicara kepada kami, Bhagavā, bagaimanakah kami harus bersikap?’ ‘Praktikkanlah perhatian murni, Ānanda.’68

5.10. ‘Bhagavā, apakah yang harus kami lakukan dengan jenazah Sang Tathāgata?’ ‘Jangan mengkhawatirkan urusan pemakaman, Ānanda. Engkau harus berusaha untuk mencapai tujuan tertinggi,69 kerahkan dirimu untuk mencapai tujuan tertinggi, latihlah pikiranmu tanpa lelah, dengan penuh semangat untuk mencapai tujuan tertinggi. Ada para Khattiya, Brahmana, dan perumah tangga yang penuh pengabdian kepada Sang Tathāgata: mereka akan mengurus pemakaman.’

5.11. ‘Tetapi, Bhagavā, apakah yang harus kami lakukan dengan jenazah Sang Tathāgata?’ ‘Ānanda, jenazah Sang Tathāgata harus diperlakukan seperti jenazah para raja pemutar roda.’ ‘Dan, bagaimanakah itu, Bhagavā?’ ‘Ānanda, jenazah para raja pemutar roda dibungkus dengan kain-rami baru. Kemudian ini dibungkus lagi dengan kain-katun. Kemudian ini dibungkus lagi dengan [142] kain baru. Setelah melakukan hal ini masing-masing sebanyak lima ratus kali, kemudian mereka memasukkan jenazah raja ke dalam tabung minyak dari besi,70 yang ditutup dengan kendi dari besi. Kemudian setelah membuat tumpukan kayu pemakaman dari berbagai kayu harum, mereka mengkremasi jenazah raja, dan mereka membangun stupa di persimpangan jalan. Itu, Ānanda, adalah apa yang mereka lakukan dengan jenazah raja pemutar roda, dan mereka harus melakukan hal yang sama dengan jenazah Sang Tathāgata. Sebuah stupa harus dibangun dipersimpangan jalan untuk Sang Tathāgata. Dan para umat-awam yang mempersembahkan bunga atau wangi-wangian dan warna-warna71 di sana dengan penuh ketulusan hati, akan memperoleh manfaat dan kebahagiaan untuk waktu yang lama.

5.12. ‘Ānanda, eda empat orang yang layak dibuatkan stupa. Siapakah mereka? Pertama adalah Seorang Tathāgata, Arahant, Buddha yang mencapai penerangan sempurna, ke dua adalah seorang Pacceka Buddha72, ke tiga adalah seorang siswa Sang Tathāgata, dan ke empat adalah seorang Raja Pemutar Roda. Dan mengapakah mereka layak dibuatkan stupa? Karena, Ānanda, dengan berpikir: “Ini adalah stupa seorang Tathāgata, Pacceka Buddha, [143] seorang siswa Sang Tathāgata, seorang Raja Pemutar Roda”, hati orang-orang akan menjadi damai, dan kemudian, saat hancurnya jasmani setelah kematian, mereka akan pergi menuju alam yang baik dan muncul kembali di alam surga. Ini adalah alasannya, dan itu adalah empat individu yang layak dibuatkan sebuah stupa.’

5.13. Dan Yang Mulia Ānanda pergi ke tempat kediamannya73 dan berdiri meratap, bersandar pada tiang pintu:74 ‘Aduh, aku masih seorang pelajar yang masih harus melakukan banyak hal! Dan Sang Guru segera akan wafat, yang sangat berbelas kasihan kepadaku!’

Kemudian Sang Bhagavā bertanya kepada para bhikkhu di mana Ānanda berada dan mereka memberitahuNya. Maka Beliau berkata kepada seorang bhikkhu: ‘Pergilah, bhikkhu, dan katakan kepada Ānanda: “Sahabat Ānanda, Guru memanggilmu.”’ [144] ‘Baik, Bhagavā’, jawab bhikkhu itu, dan melakukan sesuai instruksi. ‘Baiklah, sahabat’, Ānanda menjawab bhikkhu tersebut, dan ia menghadap Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau dan duduk di satu sisi.

5.14. Dan Sang Bhagavā berkata: ‘Cukup, Ānanda, jangan menangis dan meratap! Bukankah Aku sudah mengatakan kepadamu bahwa segala sesuatu yang indah dan menyenangkan pasti mengalami perubahan, pasti berpisah dan menjadi yang lain. Jadi bagaimana mungkin, Ānanda – karena segala sesuatu yang dilahirkan, menjelma, tersusun pasti mengalami kerusakan – bagaimana mungkin hal itu tidak berlalu? Sejak lama, Ānanda, engkau telah berada di sisi Sang Tathāgata, memperlihatkan cinta-kasih dalam tindakan jasmani, ucapan dan pikiran, memberikan manfaat, menyenangkan, sepenuh hati dan tidak terbatas. Engkau telah mendapatkan banyak jasa. Berusahalah, dan dalam waktu singkat engkau akan terbebas dari kekotoran.’75

5.15. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: ‘Para bhikkhu, Semua Arahant Buddha yang mencapai penerangan sempurna di masa lampau memiliki pelayan pribadi seperti Ānanda, dan demikian pula para Buddha di masa depan. Para bhikkhu, Ānanda memiliki kebijaksanaan. Ia tahu kapan saat yang tepat bagi para bhikkhu untuk menemui Sang Tathāgata, kapan saat yang tepat bagi para bhikkhunī, para umat-awam laki-laki, [145] bagi para umat-awam perempuan, bagi para raja, bagi para menteri, bagi para pemimpin aliran lain, dan bagi para murid mereka.

5.16. ‘Ānanda memiliki empat kualitas yang baik dan menakjubkan. Apakah itu? Jika sekelompok bhikkhu datang menemui Ānanda, mereka gembira ketika melihatnya, dan ketika Ānanda membabarkan Dhamma mereka gembira, dan ketika ia diam mereka kecewa. Demikian pula halnya dengan para bhikkhunī, umat-awam laki-laki dan umat awam perempuan.76 Dan empat kualitas ini juga berlaku pada raja pemutar roda: jika ia dikunjungi oleh sekelompok Khattiya, Brahmana, perumah tangga, atau petapa, mereka gembira saat melihatnya dan ketika ia berbicara kepada mereka, dan ketika ia diam mereka kecewa. [146] dan demikian pula halnya dengan Ānanda.’

5.17. Setelah itu Yang Mulia Ānanda berkata: ‘Bhagavā, sudilah Bhagavā tidak wafat di kota kecil yang menyedihkan dan dengan ranting pohon berserakan ini, di tengah hutan, di tempat yang jauh dari mana-mana! Bhagavā, ada kota-kota besar lainnya seperti Campā, Rājagaha, Savatthi, Sāketa, Kosambi atau Vārāṇasī. Di tempat-tempat itu, ada para Khattiya, Brahmana dan perumah tangga kaya yang penuh pengabdian kepada Sang Tathāgata, dan mereka akan melakukan pemakaman yang layak untuk Sang Tathāgata.’

‘Ānanda, jangan menyebut tempat ini kota kecil yang menyedihkan dan dengan ranting pohon berserakan ini, di tengah hutan, di tempat yang jauh dari mana-mana!

5.18. ‘Suatu ketika, Ānanda, Raja Mahāsudassana adalah seorang raja pemutar-roda, raja yang adil dan jujur, yang telah menaklukkan wilayah di empat penjuru dan memastikan keamanan wilayahnya, dan yang memiliki tujuh pusaka. Dan, Ānanda, Raja Mahāsudassana ini membangun Kusinārā ini, dengan nama Kusāvatī, sebagai ibukota kerajaannya. Dan luasnya dua belas yojana dari timur ke barat, dan tujuh yojana dari utara ke selatan. Kusāvatī adalah negeri yang kaya, makmur [147] dan berpenduduk banyak, ramai oleh penduduk dan memiliki banyak persediaan makanan. Bagaikan kota-dewa Āḷakamanda77 yang kaya, makmur dan berpenduduk banyak, ramai oleh yakkha dan memiliki banyak persediaan makanan, demikian pula kota kerajaan Kusāvatī. Dan kota Kusāvatī tidak pernah sepi dari sepuluh suara siang dan malam: suara gajah, kuda, kereta, genderang-bernada, genderang-samping, kecapi, nyanyian, simbal dan gong, dan teriakan, “Makan, minum dan bergembiralah” sebagai yang kesepuluh.78

5.19. ‘Dan sekarang, Ānanda, pergilah ke Kusinārā dan umumkan kepada orang-orang Malla dari Kusinārā: “Malam ini, Vāssettha,79 pada jaga terakhir, Sang Tathāgata akan mencapai Nibbāna akhir. Datangilah Beliau, Vāsettha, dekatilah, agar kalian tidak menyesal kelak dengan mengatakan: ‘Sang Tathāgata meninggal dunia di wilayah kita, dan kita tidak memanfaatkan kesempatan untuk menemuiNya untuk yang terakhir kalinya!’”’ ‘Baiklah, Bhagavā’, jawab Ānanda dan, membawa jubah dan mangkuknya, ia pergi disertai seorang bhikkhu menuju Kusinārā.

5.20. Saat itu, orang-orang Malla dari Kusinārā sedang berkumpul di aula pertemuan mereka untuk suatu urusan. Dan Ānanda mendatangi mereka dan menyampaikan kata-kata Sang Bhagavā. [148]

5.21. Dan ketika mereka mendengar kata-kata Ānanda, orang-orang Malla bersama putra-putra, menantu, dan istri mereka diserang kesedihan dan dukacita, pikiran mereka dikuasai oleh kesedihan sehingga mereka menangis dan menjambak rambut mereka … Kemudian mereka semua pergi ke hutan-sāl dimana Yang Mulia Ānanda berada.

5.22. Dan Ānanda berpikir: ‘Jika aku mengijinkan orang-orang Malla dari Kusinārā memberi penghormatan satu demi satu, malam akan berlalu sebelum mereka semuanya sempat memberikan penghormatan. Lebih baik aku mengijinkan mereka memberikan penghormatan satu keluarga demi satu keluarga, dengan mengatakan: “Bhagavā, orang Malla ini bersama anak, istri, para pelayan dan teman-temannya memberi hormat di kaki Sang Bhagavā.”’ Dan demikianlah ia melakukannya, dan dengan demikian semua orang Malla dari Kusinārā telah memberikan penghormatan kepada sang Bhagavā dalam jaga pertama malam itu.

5.23. Dan pada saat itu seorang pengembara bernama Subhadda sedang berada di Kusinārā, dan ia mendengar bahwa Petapa Gotama akan mencapai Nibbāna akhir pada jaga terakhir malam itu. [149] Ia berpikir: ‘Aku telah mendengar dari para pengembara yang mulia, yang tua, guru dari para guru, bahwa seorang Tathāgata, Buddha yang mencapai penerangan sempurna, jarang muncul di dunia ini. Dan malam ini, pada jaga terakhir, Petapa Gotama akan mencapai Nibbāna akhir. Sekarang suatu keraguan muncul dalam pikiranku, dan aku yakin bahwa Petapa Gotama dapat membabarkan ajaran untuk menyingkirkan keraguanku itu.

5.24. Maka Subhadda pergi ke hutan-sāl milik orang-orang Malla, ke tempat Yang Mulia Ānanda berada, dan memberitahunya mengenai apa yang ia pikirkan: ‘Yang Mulia Ānanda, izinkanlah aku menemui Petapa Gotama’, tetapi Ānanda menjawab: ‘Cukup, sahabat Subhadda, jangan mengganggu Sang Tathāgata, Sang Bhagavā lelah.’ Dan Subhadda memohon untuk ke dua dan ke tiga kalinya, tetapi Ānanda tetap [150] menolaknya.

5.25. Tetapi Sang Bhagavā mendengarkan percakapan antara Ānanda dan Subhadda, dan ia memanggil Ānanda: ‘Cukup, Ānanda, jangan halangi Subhadda, biarkan ia menemui Sang Tathāgata. Karena apa pun yang ditanyakan Subhadda kepadaKu, ia bertanya demi mencari pencerahan80 dan bukan untuk menggangguKu, dan apapun yang Kukatakan sebagai jawaban atas pertanyaannya, ia akan cepat memahaminya.’ Kemudian Ānanda berkata: ‘Masuklah, sahabat Subhadda, Sang Bhagavā memberimu izin.’

5.26. Kemudian Subhadda mendekati Sang Bhagavā, saling bertukar sapa dengan Beliau, dan duduk di satu sisi, dan berkata: ‘Yang Mulia Gotama, semua petapa dan Brahmana yang memiliki kelompok dan pengikut, yang menjadi guru, terkenal dan termasyhur sebagai pendiri sekte-sekte, dan dianggap sebagai orang suci, seperti Pūraṇa Kassapa, Makkhali Gosāla, Ajita Kesakambalī, Pakudha Kaccāyana, Sañjaya Belaṭṭhaputta dan Nigaṇṭha Nātaputta – apakah mereka semua telah menembus kebenaran seperti yang mereka semua pahami, atau tidak seorangpun dari mereka [151], ataukah sebagian menembus dan sebagian lainnya tidak?’ ‘Cukup, Subhadda, jangan pikirkan apakah mereka semua, atau tidak seorangpun, atau sebagian dari mereka telah menembus kebenaran. Aku akan mengajarkan Dhamma kepadamu. Dengarkan, perhatikanlah baik-baik, dan aku akan berbicara.’ ‘Baik, Bhagavā’, Subhadda menjawab, dan Sang Bhagavā berkata:

5.27. ‘Dalam Dhamma dan disiplin apa pun dimana tidak ditemukan Jalan Mulia Berunsur Delapan, tidak akan ditemukan petapa tingkat pertama, ke dua, ke tiga atau ke empat.81 Tetapi petapa demikian, tingkat pertama, ke dua, ke tiga atau ke empat dapat ditemukan dalam Dhamma dan disiplin Jalan Mulia Berunsur Delapan. Sekarang, Subhadda dalam Dhamma dan disiplin ini Jalan Mulia berunsur Delapan ditemukan, dan di dalamnya dapat ditemukan petapa-petapa tingkat pertama, ke dua, ke tiga dan ke empat. Dalam aliran-aliran lainnya tidak ada petapa-petapa [sejati]; tetapi jika di dalam yang satu ini para bhikkhu hidup menjalani kehidupan sempurna, dunia ini tidak akan kekurangan Arahant.

Aku berusia dua puluh sembilan tahun Ketika Aku pergi mencari Kebaikan. Sekarang lebih lima puluh tahun telah berlalu Sejak hari Aku meninggalkan keduniawian Berkelana di alam hukum kebijaksanaan Yang diluarnya tidak ada petapa [152] [Tingkat pertama, ke dua, ke tiga atau ke empat]. Aliran-aliran lainnya adalah mandul, Tetapi jika di sini para bhikkhu menjalani dengan sempurna, Dunia ini tidak akan kekurangan Arahant.’82

5.28. Mendengar kata-kata ini, pengembara Subhadda berkata: ‘Sungguh indah, Bhagavā, sungguh indah! Ini bagaikan seseorang menegakkan apa yang telah terbalik, atau menunjukkan jalan kepada seseorang yang tersesat, atau menyalakan pelita di dalam kegelapan, sehingga mereka yang memiliki mata dapat melihat. Demikian pula, Sang Bhagava telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara. Dan aku, Bhagavā, berlindung kepada Sang Bhagavā, kepada Dhamma, dan kepada Sangha. Semoga aku menerima pelepasan keduniawian dari Sang Bhagavā! Semoga aku menerima penahbisan!’

5.29. ‘Subhadda, siapapun yang berasal dari sekte lain dan menginginkan pelepasan atau penahbisan dalam Dhamma dan disiplin ini harus menunggu selama empat bulan masa percobaan, dan di akhir dari empat bulan, para bhikkhu yang telah kokoh pikirannya83 akan memberikan pelepasan keduniawian dan penahbisan menjadi bhikkhu. Akan tetapi ada pengecualian dalam hal ini.’

‘Bhagavā, jika mereka yang berasal dari sekte lain harus menunggu empat bulan masa percobaan, … aku akan menunggu bahkan sampai empat tahun, dan pada akhir waktu itu, sudilah memberikan pelepasan keduniawian dan penahbisan kepadaku.’ Tetapi Sang Bhagavā berkata kepada Ānanda: ‘Izinkan Subhadda melepaskan keduniawian.’ ‘Baik, Bhagavā,’ jawab Ānanda.

5.30. Dan Subhadda berkata kepada Yang Mulia Ānanda: ‘Sahabat Ānanda, kalian sungguh beruntung, kalian ditahbiskan sebagai bhikkhu di hadapan Sang Guru.’ [153]

Kemudian Subhadda menerima pelepasan keduniawian di depan Sang Bhagavā, dan penahbisan. Dan sejak saat ia ditahbiskan, Yang Mulia Subhadda berdiam sendirian, terasing, tanpa lelah, penuh semangat dan bertekad, dalam waktu singkat mencapai apa yang dicari oleh para pemuda yang berasal dari keluarga yang baik yang meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, yaitu puncak kehidupan suci yang tanpa tandingan, setelah mencapainya di sini dan saat ini dengan pengetahuan-super-nya sendiri dan berdiam di sana mengetahui: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi yang lebih jauh di sini.’ Dan Yang Mulia Subhadda menjadi salah satu di antara Para Arahant. Ia adalah siswa langsung terakhir dari Sang Bhagavā.84

[Akhir dari bagian pembacaan ke lima (*Hiraññavatī*)]

[154] 6.1. Dan Sang Bhagavā berkata kepada Ānanda: ‘Ānanda, engkau mungkin berpikir: “Nasihat-nasihat Sang Guru telah tiada, sekarang kita tidak memiliki guru!” Jangan berpikiran seperti itu, Ānanda, karena apa yang telah Kuajarkan dan Kujelaskan kepada kalian sebagai Dhamma dan disiplin akan, saat aku tiada, menjadi guru kalian.

6.2. ‘Dan sementara para bhikkhu memiliki kebiasaan memanggil satu sama lain sebagai “teman”, kebiasaan ini harus dihilangkan setelah Aku meninggal dunia. Bhikkhu senior boleh memanggil bhikkhu yang lebih junior dengan nama mereka, atau marga mereka, atau “teman”,85 sedangkan bhikkhu yang lebih junior harus memanggil senior mereka dengan panggilan “Bhante”86 atau “Yang Mulia”.87

6.3. ‘Jika diinginkan, Sangha boleh menghapuskan peraturan-peraturan minor setelah Aku meninggal dunia.88

6.4. ‘Setelah Aku meninggal dunia, Bhikkhu Channa harus menerima hukuman-Brahma.’89 ‘Tetapi, Bhagavā, apakah hukuman-Brahma itu?’ ‘Apa pun yang diinginkan atau diucapkan oleh Bhikkhu Channa, ia jangan dihiraukan, ditegur atau dinasihati oleh para bhikkhu.’

6.5. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: ‘Mungkin, para bhikkhu, beberapa bhikkhu memiliki keragu-raguan terhadap Buddha, Dhamma, Sangha atau terhadap Sang Jalan atau praktiknya. Tanyakanlah, bhikkhu! Jangan sesudahnya [155] merasa menyesal, dengan berpikir: “Sang Guru di sana di depan kita, dan kita tidak menanyakannya secara langsung!”’ Mendengar kata-kata ini, para bhikkhu berdiam diri. Sang Bhagavā mengulangi kata-kataNya untuk ke dua dan ke tiga kalinya. Dan para bhikkhu tetap diam. Kemudian Sang Bhagavā berkata: ‘Mungkin, para bhikkhu, kalian tidak bertanya karena hormat kepada Sang Guru. Kalau begitu, para bhikkhu, silahkan satu orang menyampaikannya kepada yang lain.’ Tetapi para bhikkhu tetap berdiam diri.

6.6. Dan Yang Mulia Ānanda berkata: ‘Sungguh indah, Bhagavā, sungguh menakjubkan! Aku jelas melihat bahwa dalam perkumpulan ini tidak ada seorangpun bhikkhu yang memiliki keragu-raguan …’ ‘Engkau, Ānanda, mengucapkan dari keyakinan.90 Tetapi Tathāgata mengetahui bahwa dalam perkumpulan ini tidak ada seorangpun bhikkhu yang memiliki keragu-raguan terhadap Buddha, Dhamma atau Sangha atau terhadap Sang Jalan atau praktiknya. Ananda, yang paling rendah di antara lima ratus bhikkhu ini adalah seorang Pemenang-Arus, tidak dapat lagi jatuh ke alam sengsara, pasti mencapai Nibbāna.’

6.7. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: [156] ‘Sekarang, para bhikkhu, Aku nyatakan kepada kalian: segala sesuatu yang berkondisi pasti mengalami kerusakan – berusahalah dengan tekun.’91 Ini adalah kata-kata terakhir Sang Tathāgata.

6.8. Kemudian Sang Bhagavā memasuki jhāna pertama. Dan meninggalkan jhāna itu Beliau memasuki jhāna ke dua, ke tiga, ke empat. Kemudian meninggalkan jhāna ke empat Beliau memasuki Alam Ruang Tanpa Batas, kemudian Alam Kesadaran Tanpa Batas, kemudian Alam Kekosongan, kemudian Alam Bukan Persepsi Juga Bukan Bukan-Persepsi, dan kemudian meninggalkan alam itu Beliau mencapai Lenyapnya Perasaan dan Persepsi.92

Kemudian Yang Mulia Ānanda berkata kepada Yang Mulia Anuruddha: ‘Yang Mulia Anuruddha, Sang Bhagavā telah meninggal dunia.’ ‘Belum, sahabat Ānanda,93 Sang Bhagavā belum meninggal dunia, Beliau mencapai Lenyapnya Perasaan dan Persepsi.’

6.9. Kemudian Sang Bhagavā, meninggalkan pencapaian Lenyapnya Perasaan dan Persepsi, memasuki ke dalam Alam Bukan Persepsi Juga Bukan Bukan-Persepsi, dari sana Beliau memasuki Alam Kekosongan, Alam Kesadaran Tanpa Batas, Alam Ruang Tanpa Batas. Dari Alam Ruang Tanpa Batas, Beliau memasuki jhāna ke empat, dari sana masuk ke jhāna ke tiga, jhāna ke dua dan jhāna pertama. Meninggalkan jhāna pertama, Beliau memasuki jhāna ke dua, jhāna ke tiga, jhāna ke empat. Dan, akhirnya, meninggalkan jhāna keempat, Sang Bhagavā akhirnya meninggal dunia.

6.10. Dan saat Sang Bhagavā meninggal dunia terjadi gempa dahsyat, menakutkan dan menyebabkan bulu badan berdiri, disertai gemuruh halilintar. [157] Dan Brahmā Sahampati94 mengucapkan syair ini:

‘Semua makhluk di dunia ini, semua jasmani pasti hancur: Bahkan Sang Guru, yang tiada bandingnya di alam manusia, Sang Bhagavā yang maha kuasa dan Buddha Yang Sempurna juga meninggal dunia.’

Dan Sakka, Raja para dewa, mengucapkan syair ini:

‘Semua yang tersusun adalah tidak kekal, rentan pada kemunculan dan kelenyapan, Setelah muncul, akan hancur, kematiannya adalah kebahagiaan sejati.’95

Dan Yang Mulia Anuruddha mengucapkan syair berikut:

‘Tanpa nafas masuk dan keluar – hanya dengan hati yang teguh Sang Bijaksana yang bebas dari nafsu telah meninggal dunia menuju kedamaian. Dengan pikiran tidak tergoyahkan Beliau menahankan segala kesakitan: Dengan Nibbāna batin yang tercerahkan mencapai kebebasan.’

Dan Yang Mulia Ānanda mengucapkan syair berikut ini:

‘Mengerikan gempa ini, menyebabkan bulu badan berdiri, Ketika Buddha Yang Maha-Sempurna meninggal dunia.’

Dan para bhikkhu yang belum menaklukkan nafsu mereka menangis dan menjambak rambut mereka, mengangkat tangan mereka, menjatuhkan diri mereka dan berguling-guling, meneriakkan: “Terlalu cepat [158] Sang Bhagavā meninggal dunia, terlalu cepat Yang Sempurna menempuh Sang Jalan meninggal dunia, terlalu cepat Mata-Dunia lenyap!” Tetapi para bhikkhu yang telah bebas dari kemelekatan dengan sabar menahankan, dengan mengatakan: ‘Segala sesuatu yang tersusun adalah tidak kekal – apalah gunanya semua ini?’

6.11. Kemudian Yang Mulia Anuruddha berkata: ‘Teman-teman, cukuplah tangisan dan ratapanmu! Bukankah Sang Bhagavā telah mengatakan kepada kalian bahwa segala sesuatu yang menyenangkan dan indah pasti mengalami perubahan, pasti mengalami perpisahan dan menjadi yang lain? Jadi untuk apa semua ini, teman-teman? Apapun yang dilahirkan, menjelma, tersusun pasti mengalami kerusakan, tidak mungkin tidak mengalami kerusakan. Para dewa, teman-teman, mengeluh.’

‘Yang Mulia Anuruddha, dewa apakah yang engkau lihat?’ ‘Sahabat Ānanda, ada dewa-dewa angkasa yang pikirannya melekat pada bumi, mereka menangis dan menjambak rambut mereka… Dan juga ada para dewa-bumi yang pikirannya melekat pada bumi, juga melakukan hal yang sama. Tetapi para dewa yang bebas dari kemelekatan dengan sabar menahankan, dengan mengatakan: “Segala sesuatu yang tersusun adalah tidak kekal – apalah gunanya semua ini?”’

6.12. Kemudian Yang Mulia Anuruddha dan Yang Mulia Ānanda melewatkan malam itu dengan mendiskusikan Dhamma. Dan Yang Mulia Anuruddha berkata: ‘Sekarang pergilah, sahabat Ānanda, ke Kusinārā dan katakan kepada orang-orang Malla: “Vāseṭṭha, Sang Bhagavā telah meninggal dunia. Sekarang adalah waktunya bagi kalian untuk melakukan apa yang kalian anggap baik.” “Baik, Bhante”, jawab Ānanda, dan setelah merapikan jubahnya di pagi hari dan membawa jubah dan mangkuknya, ia pergi bersama seorang bhikkhu menuju Kusinārā. [159] Pada saat itu orang-orang Malla dari Kusinārā sedang berkumpul di aula pertemuan untuk suatu urusan. Dan Yang Mulia Ānanda mendatangi mereka dan menyampaikan pesan dari Yang Mulia Anuruddha. Dan ketika mereka mendengar kata-kata Yang Mulia Ānanda, orang-orang Malla … diserang oleh kesedihan dan dukacita, pikiran mereka dikuasai oleh kesedihan sehingga mereka menjambak rambut mereka …

6.13. Kemudian orang-orang Malla memerintahkan orang-orangnya untuk mengambil wangi-wangian dan rangkaian bunga, dan mengumpulkan semua pemain musik. Dan dengan wangi-wangian dan rangkaian bunga, dan semua pemain musik, dan dengan lima ratus set kain mereka pergi ke hutan-sāl dimana jenazah Sang Bhagavā berada. Dan di sana mereka memberi hormat, menyembah dan memuja jenazah Sang Bhagavā dengan tarian dan nyanyian dan musik, dengan karangan bunga dan wangi-wangian, membuat tenda untuk melewatkan hari itu di sana. Dan mereka berpikir: ‘Terlalu malam untuk mengkremasi jenazah Sang Bhagavā hari ini. Kita akan melakukannya besok.’ Dan demikianlah, dengan memberikan penghormatan demikian, mereka menunggu hingga hari ke dua, ke tiga, ke empat, ke lima, ke enam.

6.14. Dan pada hari ke tujuh, orang-orang Malla dari Kusinārā berpikir: [160] ‘Kita telah memberikan penghormatan yang layak dengan nyanyian dan tarian … kepada jenazah Sang Bhagavā, sekarang kita akan membakar jenazahNya setelah membawaNya keluar melalui gerbang selatan.’ Kemudian delapan pemimpin Malla, setelah mencuci kepala mereka dan mengenakan pakaian baru, menyatakan: ‘Sekarang kita akan mengangkat jenazah Sang Bhagavā’, tetapi mereka tidak mampu mengangkatnya. Maka mereka mendatangi Yang Mulia Anuruddha dan memberitahukan apa yang terjadi: ‘Mengapa kami tidak dapat mengangkat jenazah Sang Bhagavā?’ ‘Vāseṭṭha, rencana kalian adalah satu hal, tetapi rencana para dewa adalah hal lain lagi.’

6.15. ‘Bhante, apakah rencana para dewa?’ ‘Vāseṭṭha, rencana kalian adalah, setelah memberikan penghormatan kepada jenazah Sang Bhagavā dengan tarian dan nyanyian …, membakar jenazahNya setelah membawaNya keluar melalui gerbang selatan. Tetapi rencana para dewa adalah, setelah memberikan penghormatan kepada jenazah Sang Bhagavā dengan tarian dan nyanyian surgawi …, membawaNya melalui gerbang utara dan mengarakNya melalui tengah kota dan keluar melalui gerbang timur menuju Kuil Malla di Makuṭa-Bandhana, dan di sana membakar jenazahNya.’ ‘Bhante, jika itu yang dikehendaki para dewa, biarlah begitu!’

6.16. Pada saat itu bahkan selokan dan tumpukan sampah di Kusinārā tertutup oleh bunga-bunga pohon koral hingga setinggi lutut. Dan para dewa serta orang-orang Malla dari Kusinārā memberi penghormatan kepada jenazah Sang Bhagavā dengan tarian, nyanyian manusia dan surgawi [161] …; dan mereka membawa jenazah itu ke utara kota, membawaNya masuk melalui gerbang utara, melewati pusat kota dan keluar melalui gerbang timur menuju Kuil Makuṭa-Bandhana, di mana mereka menurunkan jenazah itu.

6.17. Kemudian mereka bertanya kepada Yang Mulia Ānanda: ‘Bhante, bagaimana kami harus memperlakukan jenazah Sang Tathāgata?’ ‘Vāseṭṭha, kalian harus memperlakukan jenazah Sang Tathāgata seperti mereka memperlakukan jenazah seorang raja pemutar-roda.’ ‘Dan bagaimanakah mereka memperlakukannya, Bhante?’

‘Vāseṭṭha, jenazah itu dibungkus dengan kain-rami baru. Kemudian ini dibungkus lagi dengan kain-katun …; kemudian setelah membuat tumpukan kayu dari berbagai jenis kayu harum, mereka mengkremasi jenazah raja dan mereka membangun stupa di persimpangan jalan …’

6.18. Kemudian orang-orang Malla memerintahkan orang-orangnya untuk mengambil kain-katun. Dan mereka memperlakukan jenazah Sang Tathāgata dengan semestinya … [162]

6.19. Saat itu Yang Mulia Kassapa Yang Agung96 sedang melakukan perjalanan di sepanjan jalan utama dari Pāvā menuju Kusinārā bersama sejumlah besar bhikkhu. Dan meninggalkan jalan utama, Yang Mulia Kassapa Yang Agung duduk di bawah sebatang pohon. Dan seorang Ājīvaka97 kebetulan sedang berjalan di sepanjang jalan menuju Pāvā, dan ia menambil sekuntum bunga pohon-koral di Kusinārā. Yang Mulia Kassapa melihatnya datang dari jauh dan berkata kepadanya: ‘Sahabat, apakah engkau mengenal guru kami?’ ‘Ya, sahabat, aku mengenal Beliau. Petapa Gotama meninggal dunia seminggu yang lalu. Aku mengambil bunga pohon-koral ini dari sana.’ Dan para bhikkhu yang belum menaklukkan nafsu mereka menangis dan menjambak rambut mereka … Tetapi para bhikkhu yang telah terbebas dari kemelekatan menahankan dengan penuh perhatian dan kesadaran jernih, dan berkata: ‘Segala sesuatu yang tersusun adalah tidak kekal – apalah gunanya semua ini?’

6.20. Dan duduk di antara kelompok itu, adalah Subhadda,98 yang meninggalkan keduniawian dalam usia tua, dan ia berkata kepada para bhikkhu itu: ‘Cukup, teman-teman, jangan menangis dan meratap! Kita telah bebas dari Sang Petapa Agung. Kita selalu disibukkan dengan nasihatnya: “Ini baik untukmu, ini tidak baik bagimu melakukan hal itu!” Sekarang kita dapat melakukan apa yang kita inginkan, dan tidak melakukan apa yang tidak kita inginkan!’

Tetapi Yang Mulia Kassapa Yang Agung berkata kepada para bhikkhu: ‘Teman-teman, cukuplah tangisan dan ratapan kalian! [163] Bukankah Sang Bhagavā pernah mengatakan bahwa segala sesuatu yang menyenangkan dan indah pasti mengalami perubahan, pasti berpisah dan menjadi yang lain? Jadi, untuk apa semua ini, teman-teman? Segala sesuatu yang dilahirkan, menjelma, tersusun pasti mengalami kerusakan, tidak mungkin tidak mengalami kerusakan.’

6.21. Sementara itu, para pemimpin Malla, setelah mencuci kepala mereka dan mengenakan pakaian baru, berkata: ‘Kita akan menyulut api pemakaman Sang Bhagavā’, tetapi mereka tidak dapat melakukannya. Mereka mendatangi Yang Mulia Anuruddha dan menanyakan mengapa mereka tidak dapat menyalakan api. ‘Vāseṭṭha, rencana kalian adalah satu hal, tetapi rencana para dewa adalah hal lain lagi.’ ‘Baiklah, Bhante, apakah rencana para dewa?’ ‘Vāseṭṭha, rencana para dewa adalah sebagai berikut: “Yang Mulia Kassapa Yang Agung sedang dalam perjalanan dari Pāvā menuju Kusinārā bersama lima ratus bhikkhu. Api pemakaman Sang Bhagavā tidak akan dinyalakan sampai Yang Mulia Kassapa Yang Agung memberikan penghormatan dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā.’ ‘Bhante, jika rencana para dewa demikian, biarlah begitu!’

6.22. Kemudian Yang Mulia Kassapa Yang Agung pergi ke Kuil Malla di Makuṭa-Bandhana menuju tempat pemakaman Sang Bhagavā dan, menutupi satu bahunya dengan jubahnya, merangkapkan tangannya memberikan penghormatan, mengelilingi tempat pemakaman tiga kali dan, membuka selubung kaki Sang Bhagavā, memberi hormat dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā, dan lima ratus bhikkhu juga melakukan hal yang sama. [164] Dan ketika semua ini selesai, api pemakaman Sang Bhagavā menyala dengan sendirinya.

6.23. Dan ketika jenazah Sang Bhagavā terbakar, kulit, bawah kulit, daging, urat, atau cairan-sendi, semuanya lenyap dan bahkan tidak ada abu yang tersisa, hanya tulang-belulang99 yang tersisa. Bagaikan mentega atau minyak dibakar, tidak ada abu yang tersisa, demikian pula dengan jenazah Sang Bhagavā …, hanya tulang-belulang yang tersisa. Dan seluruh lima ratus helai kain, bahkan lapisan terdalam dan lapisan terluar, habis terbakar. Dan ketika jenazah Sang Bhagavā habis terbakar, turun pancuran air dari angkasa, dan satu lagi memancar dari pohon-pohon-sāl100 memadamkan api pemakaman. Dan orang-orang Malla menuangkan air harum ke atas api itu untuk tujuan yang sama. Kemudian orang-orang Malla memberi penghormatan kepada relik-relik Sang Bhagavā selama seminggu di aula pertemuan, setelah membuat pagar dari tombak dan tembok dari busur, dengan tarian, nyanyian, karangan bunga dan musik.

6.24. Dan Raja Ajātasattu Vedehiputta dari Magadha mendengar bahwa Sang Bhagavā telah meninggal dunia di Kusinārā. Dan ia mengirim pesan kepada orang-orang Malla di Kusinārā: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Khattiya dan aku juga seorang Khattiya. Aku pantas mendapatkan sebagian dari relik-relik Sang Bhagavā. Aku akan membangun stupa besar untuk relik-relik itu.’ Para Licchavī dari Vesālī mendengar, dan mereka mengirim pesan: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Khattiya dan kami juga seorang Khattiya. Kami pantas [165] mendapatkan sebagian dari relik-relik Sang Bhagavā, dan kami akan membangun stupa besar untuk relik-relik itu.’ Para Sakya dari Kapilavatthu mendengar, dan mereka mengirim pesan: ‘Sang Bhagavā adalah pemimpin suku kami. Kami pantas mendapatkan sebagian dari relik-relik Sang Bhagavā, dan kami akan membangun stupa besar untuk relik-relik itu.’ Para Bulaya dari Allakappa dan para Koliya dari Rāmagāma mengirimkan pesan yang sama. Dan Brahmana dari Veṭhadīpa mendengar, dan ia mengirim pesan: ‘Sang Bhagavā adalah Khattiya, aku adalah Brahmana …’, dan orang-orang Malla dari Pāvā mengirim pesan: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Khattiya dan kami juga seorang Khattiya. Kami pantas mendapatkan sebagian dari relik-relik Sang Bhagavā, dan Kami akan membangun stupa besar untuk relik-relik itu.’

6.25. Mendengar semua ini, orang-orang Malla dari Kusinārā berkata di tengah-tengah kerumunan, mengatakan: [166] ‘Sang Bhagavā meninggal dunia di wilayah kita. Kita tidak akan memberikan sedikit pun dari relik-relik Sang Bhagavā.’ Mendengar kata-kata ini Brahmana Doṇa berkata di tengah-tengah kerumunan dalam syair ini:

‘Dengarkan, tuan-tuan, usulanku. Kesabaran adalah ajaran Sang Buddha. Tidaklah benar jika timbul perselisihan Dengan membagi adil relik-relik manusia terbaik. Marilah kita bergabung dalam kerukunan dan kedamaian, Dalam persaudaraan membagi menjadi delapan: Biarlah stupa didirikan di seluruh penjuru, Sehinga semua dapat melihat – dan memperoleh manfaat dalam keyakinan!’

‘Baiklah, Brahmana, engkau bagilah relik-relik dari Sang Bhagavā sebaik dan seadil mungkin!’ ‘Baiklah, teman-teman’, jawab Doṇa. Dan ia membagi rata menjadi delapan porsi yang adil, dan kemudian berkata kepada kerumunan itu: ‘Tuan-tuan, mohon berikan kepadaku kendi takaran ini, dan aku akan mendirikan stupa besar untuk ini.’ Dan mereka memberikan kendi takaran itu kepada Doṇa.

6.26. Kemudian Moriya dari Pipphalavana mendengar bahwa Sang Bhagavā telah wafat, dan mereka mengirim pesan: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Khattiya dan kami juga seorang Khattiya. Kami pantas mendapatkan sebagian dari relik-relik Sang Bhagavā, dan kami akan membangun stupa besar untuk relik-relik itu.’

‘Tidak ada lagi relik-relik Sang Bhagavā yang tersisa, semuanya telah dibagi. Jadi kalian boleh mengambil arang pembakaran.’ Dan mereka mengambil arang pembakaran.

6.27. Kemudian Raja Ajātasattu dari Magadha membangun sebuah stupa besar untuk menyimpan relik-relik Sang Bhagavā di Rājagaha. [167] Para Licchavī dari Vesālī membangun sebuah stupa besar di Vesālī, para Sakya dari Kapilavatthu membangun sebuah stupa besar di Kapilavatthu, para Bulaya dari Allakappa membangun sebuah stupa besar di Allakappa, para Koliya dari Rāmagāma membangun sebuah stupa besar di Rāmagāma, Brahmana dari Veṭhadīpa membangun sebuah stupa besar di Veṭhadīpa, orang-orang Malla dari Pāvā membangun sebuah stupa besar di Pāvā, orang-orang Malla dari Kusinārā membangun sebuah stupa besar untuk menyimpan relik-relik Sang Bhagavā di Kusinārā, Brahmana Doṇa membangun sebuah stupa besar untuk menyimpan kendi takaran relik, dan para Moriya dari Pipphalavana membangun sebuah stupa besar untuk menyimpan arang pembakaran di Pipphalavana. Demikianlah, delapan stupa didirikan untuk relik-relik, yang kesembilan untuk kendi takaran relik, dan yang kesepuluh untuk arang pembakaran. Demikianlah hal ini dilakukan di masa lalu.101

6.28 Terdapat delapan porsi relik dari Beliau, Yang Maha Melihat. Dari delapan ini, tujuh disimpan Di Jambudipa dengan penuh hormat. Yang ke delapan Di Rāmagāma di simpan oleh Raja Nāga. Satu gigi di simpan oleh Dewa Tiga Puluh Tiga, Raja Kalinga memiliki satu, para nāga juga. Semuanya memancarkan keagungan di atas tanah yang subur. Demikianlah Yang Maha Melihat dihormati oleh yang terhormat. [168] Para dewa, nāga, raja-raja, dan orang-orang mulia Merangkapkan tangan dalam penghormatan, karena sangat sulit Menemukan tandingannya selama banyak kappa yang tidak terhingga.102


Catatan Kaki
  1. Dengan Sutta ini, buku Mrs. Bennett yang berisi terjemahan ringkas berakhir. Yang lebih bernilai adalah The Last Days of the Buddha, terjemahan Sister Vajirā dan direvisi oleh Francis Story, dengan catatan oleh Ven. Nyāṇaponika Mahāthera (Wheel Publications 67-69, BPS, Kandy 1964).

    Sutta ini adalah Sutta gabungan, banyak bagian ditemukan secara terpisah dalam bagian lain dari Kanon, seperti yang diuraikan oleh RD. Tidak diragukan Sutta ini berisi fakta mendasar tentang hari-hari terakhir Sang Buddha, tetapi berbagai unsur yang meragukan dan variasinya telah ditambahkan – suatu proses yang dilanjutkan dalam versi Sanskrit yang belakangan (dikerjakan oleh aliran Sarvāstivada dan aliran lainnya), yang kita ketahui sebagian besar berasal dari terjemahan China dan Tibet (meskipun juga ditemukan potongan-potongan dalam bahasa Sanskrit). Untuk penyelidikan akan hal ini oleh E. Waldschmidt (Jerman) baca A.K. Warder, Indian Buddhism (2nd ed., Delhi 1980). Versi Tibet diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dalam W.W.Rockhill, Life of the Buddha (2nd ed., London 1907), pp. 123-147. Mungkin harus disebutkan bahwa (yang diperluas, berdasarkan pada Sanskrit) Mahāparinirvāṇa Sutra kadang-kadang dibacakan sebagai bukti kepercayaan pada diri yang tertinggi dalam Budhisme Mahāyāna. Satu versi China sungguh berisikan kalimat yang menyatakan hal ini, tetapi ini adalah penambahan belakangan, dan tidak mewakili posisi Mahāyāna secara umum. ↩︎

  2. Gijjhakūṭa: dataran tinggi yang menyenangkan di atas Rājagaha yang panas. Nama ini digunakan oleh para penulis Mahāyāna, yang sering menjadikan tempat ini sebagai lokasi pembabaran oleh Sang Buddha. ↩︎

  3. Baca juga n.92. Ia pasti seorang tokoh sejarah, tidak seperti ‘Raja Ajātasattu dari Benares’ dari Bṛhadāranyaka Upaniṣad, yang dengannya ia berbagi rasa diskusi filsafat dengan para bijaksana. RD menyebutkan bahwa ini bukanlah nama pribadinya melainkan gelar resmi. Arti haraiah ‘musuh yang belum dilahirkan’ dan kemudian bermakna ‘ia yang menentang musuh (mampu menaklukkan dirinya) yang belum dilahirkan’, walaupun dalam pandangan terhadap perbuatannya membunuh ayahnya sehingga dianggap sebagai ‘musuh yang belum dilahirkan (yaitu, selagi masih di dalam rahim) dari ayahnya’ – dengan penjelasan legendaris. Dalam sumber Jainisme, ia disebut Kūṇika atau Koṇika. Vedehiputta artinya ‘putra dari perempuan bernama Vedehi’ (baca catatan berikutnya). Ada artikel panjang tentangnya dalam EB, yang mana, kekeliruan RD dalam menerjemahkan pada DN 2.102 (baca n.139) terulang lagi. ↩︎

  4. Persekutuan Vajji, ke utara melintasi Sungai Gangga dari Magadha, terdiri dari Licchavi dari Vesālī dan orang-orang Vedehi (dari Videha – tempat asal ibu Ajātasattu), yang ibukotanya adalah Mithilā. ↩︎

  5. Upalāpana, yang RD mengatakan harus berarti ‘tipuan, bujukan, diplomasi’. ↩︎

  6. Aparihāniyā dhammā: ‘faktor-faktor ketidak-munduran’ ↩︎

  7. Kammārāmā dan lain-lain: ‘kegemaran akan perbuatan, dan lain-lain’. Di sini kamma jelas tidak memiliki makna teknis secara Buddhis, dan diartikan sebagai ‘hal-hal yang harus dilakukan’. ↩︎

  8. Berhenti sejenak dalam tujuan mencapai pencerahan, ‘beristirahat dalam kemenangan’. ↩︎

  9. Ini adalah Ambalaṭṭhikā seperti yang sebutkan dalam DN 1, bukan yang disebutkan dalam DN 5.1. ↩︎

  10. Dhammanvaya: ‘jalan kemana Dhamma menuju’; anvaya juga bermakna ‘silsilah’, dan RD mengartikan ‘silsilah keyakinan’ yang tidak tepat. ↩︎

  11. Kebanyakan bangunan terbuat dari kayu, yang ini adalah pengecualian, demikianlah nama itu berasal. ↩︎

  12. Sebagai seorang Yang-Tidak-Kembali (anāgāmī). ↩︎

  13. DA menekankan bahwa para Buddha hanya dapat merasakan keletihan fisik, bukan batin. ↩︎

  14. Dhammādāsa: yang dengannya seseorang ‘memeriksa’ diri sendiri. ↩︎

  15. ‘Tidak memiliki keraguan’ (yaitu, dengan ‘memasuki arus’, melampaui keragu-raguan). ↩︎

  16. Delapan adalah satu yang telah mencapai kondisi Pemenang-Arus, dan satu yang telah mencapai ‘buah’nya (dihitung terpisah), dan demikian pula untuk tiga tingkat yang lebih tinggi. ↩︎

  17. Ia, merujuk pada siswa dan bukan (menurut RD) pada Sangha. ↩︎

  18. Viññupassaṭṭhehi: ‘tidak kurang, tidak terganggu’ (cf. PED), bukan (menurut RD) ‘dipuji oleh para bijaksana’. ↩︎

  19. Untuk ini dan paragraf selanjutnya, baca DN 22.1. ↩︎

  20. DA mengatakan perhatian ditekankan di sini karena pertemuan yang segera terjadi dengan si cantik Ambapālī. ↩︎

  21. Gaṇikā. Ia adalah seorang perempuan yang kaya, dengan keterampilan yang menyerupai seorang geisha. ↩︎

  22. Nīla: sering diterjemahkan sebagai ‘biru-gelap, biru kehijauan’, dan lain-lain. ↩︎

  23. Laki-laki yang menggunakan kosmetik berbagai warna. ↩︎

  24. Sāhāraṁ: secara harfiah ‘dengan makanannya’, yaitu penghasilan. ↩︎

  25. Permainan kata pada amba ‘mangga’ dan ambakà ‘perempuan’. Namanya berarti ‘penjaga-mangga’. ↩︎

  26. Pernyataan yang terkenal, menandakan bahwa tidak ada ajaran ‘esoteris’ dalam Buddhisme, paling tidak yang diajarkan oleh Sang Buddha. Tidak ada kontradiksi dengan perumpamaan dedaunan siṁsapā dalam SN 56.31. ↩︎

  27. Pariharissami: ‘aku akan mengurus’. ↩︎

  28. Gagasan bahwa Sang Buddha wafat pada usia delapan puluh, untuk alasan tertentu, dianggap tidak masuk akal. Kita juga dapat mempertanyakan kenyataan bahwa Wordsworth meninggal dunia tidak lama setelah ulang tahun ke delapan puluh, tahun kematiannya, juga, diperkirakan tahun 1850! Baca n.400. ↩︎

  29. Vegha-missakena. Makna yang tepat dari ungkapan ini sepertinya tidak diketahui, tetapi ini tetap menjadi gambaran yang hidup. ↩︎

  30. Sabba-nimittānaṁ amanasikārā: ‘Tidak memperhatikan gambaran apapun’, yaitu gagasan-gagasan. ↩︎

  31. Yaitu perasaan duniawi (DA). ↩︎

  32. ‘Konsentrasi yang dicapai pada saat meditasi pandangan terang intensif’ (AA, dikutip dalam LDB). ↩︎

  33. Dīpa = Skt. Dvīpa ‘pulau’ bukan Skt. Dīpa ‘pelita’. Tetapi kita tidak benar-benar tahu apakah Sang Buddha mengucapkan kedua kata itu sama atau tidak! Dengan tidak adanya pengetahuan itu, mungkin sebaiknya tidak perlu terlalu dogmatis mengenai arti ini. Yang penting, adalah ‘diri sendiri’ yang harus menjadi ‘pulau’ (atau pelita) bagi diri sendiri, bukan ‘diri yang maha kuasa’ yang tidak diajarkan oleh Sang Buddha (cf. n.363, sampai habis). ↩︎

  34. Tamatagge. Arti dari kata ini tidak jelas. Sepertinya berarti sesuatu seperti ‘yang tertinggi’, bahkan jika para terpelajar tidak memiliki kesepakatan atas bagaimana makna ini dicapai. Baca catatan panjang (28) dalam LDB ↩︎

  35. Altar ‘Tujuh Mangga’. ↩︎

  36. Altar ‘Banyak Putra’, di mana orang-orang biasanya bersembahyang untuk putra-putra mereka di sebatang pohon-banyan tua. ↩︎

  37. Iddhipādā. Baca DN 18.22. ↩︎

  38. Kappaṁ vā tiṭṭheyya kappāvasesaṁ vā. Kalimat ini sangat rancu. Arti biasanya dari kappa adalah ‘waktu yang sangat lama’ (baca PED untuk arti lainnya. Akan tetapi DA mengartikannya sebagai ‘umur kehidupan penuh’ (yaitu, pada masa Gotama adalah 100 tahun; cf. DN 14.1.7). DA juga mengartikan avasesa sebagai ‘lebih dari’ (arti biasanya adalah ‘sisa’). ). Setelah melewati beberapa keragu-raguan, dan memilih yang tidak terlalu ‘ajaib’, saya menerjemahkan kappa di sini sebagai ‘satu abad’. Ini, tentu saja, sesuai dengan DA. Akan tetapi, saya mengadopsi makna biasa dari avasesa agar lebih masuk akal. Bagi Sang Buddha, ‘sisa’ adalah dua puluh tahun. Para penerjemah PTS untuk kalimat yang sama memiliki interpretasi yang berbeda. Sedangkan RD dalam DN lebih menyukai ‘waktu yang sangat lama’, Woodward dalam SN 51.10 (yang diikuti dengan enggan oleh Hare dalam AN 8.70!) mengartikan ‘umur yang dimiliki’, dan dalam Ud 6.1 ia secara singkat menyatakan: ‘Dianggap oleh beberapa pendapat berarti “waktu yang sangat lama atau periode-dunia”’. LDB menyebutkan ‘periode-dunia’, sedangkan Mrs. Bennett dengan bijaksana menghilangkan kalimat ini. ↩︎

  39. Māra (=’Kematian’) adalah personifikasi dari kejahatan, Penggoda, mirip dengan Setan dalam Injil. Tetapi seperti halnya Brahmā, ia hanyalah pejabat sementara dari ‘jabatan’nya. ↩︎

  40. Sappāṭihāriyaṁ dhammaṁ. RD menerjemahkan ini ‘kebenaran yang bekerja secara ajaib’, yang mana Ven. Nyāṇaponika (LDB, n.30) menunjukkan bahwa kata sifat dapat diartikan dengan ‘meyakinkan dan membebaskan’. Akan tetapi harus disebutkan bahwa dalam DN 11.3 terdapat anusasani-pāṭihāriya ‘keajaiban nasihat’ (baca n.333 di sana). Tidak ada tempat yang menyatakan keajaiban dalam pengertian ‘kasar’. ↩︎

  41. ‘Seperti prajurit yang memecahkan perisainya setelah pertempuran usai’ (DA). ↩︎

  42. DA memiliki penjelasan yang meragukan. Intinya, tentu saja, bahwa ada ketidak-seimbangan dalam kekuatan-kekuatan dari dewa sakti demikian (yang, tentu saja, adalah jauh dari tercerahkan!). ↩︎

  43. Anupādisesāya nibbāna-dhātuya parinibbāyati: ‘memasuki unsur-Nibbàna tanpa kelompok-kelompok unsur (kemelekatan) tersisa’; atau, dalam bahasa duniawi, ‘meninggal dunia’. Baca BDic pada Nibbāna. ↩︎

  44. Atau: ‘banyak kelompok dari ratusan Khattiya’. ↩︎

  45. Abhibhū-ayatanāni > abhibhāyatanāni. Baca MN 77 dan artikel dalam BDic dan EB. ↩︎

  46. Pada diri orang itu sendiri. ↩︎

  47. Bunga dari pohon Pterospermum acerifolium ↩︎

  48. ‘Bintang penyembuh’, sama dengan Venus. ↩︎

  49. RD mengatakan (sebagian): ‘Saya tidak memahami hubungan gagasan-gagasan antara paragraf ini dan gagasan-gagasan yang diulang dengan pengulangan yang rapi dalam paragraf sebelumnya.’ Saya tidak mengerti apa yang tidak ia pahami. Tidak ada kontradiksi gagasan di sana. Apakah seorang Buddha hidup selama satu abad, atau bahkan satu kappa, Beliau pada akhirnya akan meninggal dunia. ↩︎

  50. Lima indria (spiritual) adalah: keyakinan (saddhā), kegigihan (viriya), perhatian (sati), konsentrasi (samādhi), dan kebijaksanaan (paññà). Keyakinan harus diimbangi dengan kebijaksanaan, dan kegigihan dengan konsentrasi, tetapi perhatian seimbang dengan sendirinya (baca VM 4.45-49). ↩︎

  51. Nama dari kekuatan-kekuatan ini adalah sama dengan indria-indria yang disebutkan di atas. Perbedaannya adalah bahwa pada saat Memasuki-Arus, indria-indria itu menjadi kekuatan-kekuatan yang tidak tergoyahkan oleh lawannya. Ini menjawab pertanyaan RD pada ii, 129 (ia, tanpa sengaja, membalik urutan dari kedua kelompok ini). ↩︎

  52. Kelompok yang terdiri dari 37 pokok ini merupakan Bodhipakkhiya-Dhamma atau ‘Hal-hal yang berhubungan dengan pencerahan’ (cf. MN 77). ↩︎

  53. Para Buddha, bagaikan gajah, harus memutar seluruh tubuhNya untuk melihat ke belakang! ↩︎

  54. Triad biasa dari moralitas, konsentrasi dan kebijaksanaan, dengan hasilnya yaitu, kebebasan. ↩︎

  55. Saya memilih ungkapan yang membingungkan ini untuk menerjemahkan istilah yang kontroversial sūkara-maddava (sūkara = ‘babi’, maddava = ‘lunak, lembut, halus’, juga ‘hancur’). Karena itu dapat berarti ‘bagian lembut dari babi’ atau ‘apa yang disukai babi’ (cf. catatan 46 dalam LDB). Apa yang pasti adalah para komentator masa lalu tidak dapat memastikan apa artinya. DA memberikan tiga kemungkinan: 1. daging babi liar, yang tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua, yang diperoleh tanpa dibunuh, 2. nasi yang dimasak lunak dengan ‘lima produk sapi’, atau 3. sejenis zat untuk mempertahankan kehidupan (rasāyana) (cf. catatan selanjutnya), . Para penerjemah modern dimulai dri RD dan seterusnya mengartikan sejenis jamur sebagai penjelasan yang masuk akal, dan beberapa bukti untuk ini telah dikemukakan. Trevor Ling, dalam n.31 dalam revisi atas terjemahan RD atas Sutta ini (The Buddha’s Philosophy of Man (Everyman’s Library, London 1981, p.218), mengatakan: ‘Penjelasan ini sepertinya dimaksudkan untuk tidak menyinggung para pembaca vegetarian. Pernyataan Rhys Davids bahwa umat Buddha “pada umumnya adalah vegetarian, dan semakin bertambah”, adalah sulit diterima.’ Meskipun sepertinya (dan kenyataannya para umat Buddha Theravada timur jarang yang vegetarian, walaupun sekarang banyak yang vegetarian, itu adalah karena pengaruh barat!) pertanyaan seputar vegetarian sering muncul dalam Buddhisme.

    Posisi Theravāda dikemukakan dalam Jīvaka Sutta (MN 55), yang mana Sang Buddha mengatakan kepada Jīvaka bahwa para bhikkhu tidak boleh memakan daging dari binatang yang mereka lihat, dengar atau curigai khusus dibunuh untuk mereka. Sang Buddha menolak usulan Devadatta yang melarang memakan daging sama sekali bagi para bhikkhu. Hidup dari persembahan makanan di pedesaan India pada masa itu, mereka akan mempermalukan mereka yang mempersembahkan makanan, atau kelaparan jika mereka menolak segala jenis daging. Di barat khususnya, pertanyaan juga muncul sehubungan apakah Sangha tidak mendidik umat awam agar mempersembahkan hanya makanan vegetarian. Banyak umat Buddha di barat (dan bukan hanya umat Mahayana) dalam kenyataannya adalah vegetarian.

    Dalam banyak aliran Buddhisme Mahāyāna, vegetarianisme adalah peraturan, dan beberapa penulis melibatkan diri dalam polemik menentang aliran Theravāda dalam hal ini. Hal ini, apapun yang dikatakan, tidak selalu beralasan belas kasihan. Shinran Shonin, pendiri aliran Shin di Jepang, menghapuskan keharusan vegetarianisme bersama dengan hidup selibat karena ia menganggap ini adalah suatu bentuk praktik penebusan. ↩︎

  56. Rujukan pada zat yang disebutkan di atas adalah hal yang menarik. E. Lamotte, The Teaching of Vimalakīrti (terjemahan bahasa Inggris, PTS., London 1976), p.313f., mencantumkan catatan menarik dan terpelajar yang di dalamnya ia merujuk kepada para dewa yang disebutkan dalam MN 36, yang memasukkan zat khusus para dewa ke dalam pori-pori Sang Bodhisatta untuk mempertahankan hidupNya, pada saat pertapaan keras Beliau. Ia membandingkan makanan terakhir Sang Buddha dengan makanan menakjubkan yang diberikan kepada Para Bodhisatva oleh Vimalakīrti, yang memerlukan waktu tujuh hari untuk dicerna, sedangkan sūkara-maddava yang dimakan oleh Sang Buddha hanya dapat dicerna oleh Sang Tathāgata (atau demikianlah yang kita ketahui). Masalahnya, tentu saja, bahwa dalam kenyataannya, bahkan Sang Tathāgata tidak dapat mencernanya! Juga Cf. SN 7.1.9. ↩︎

  57. ‘Syair-syair ini dibuat oleh para bhikkhu yang menyelenggarakan Konsili’ (DA), dan demikian pula pada syair 38, 41. ↩︎

  58. Guru pertama yang didatangi oleh Sang Calon Buddha: baca MN 26. ↩︎

  59. Kisah ini mungkin ditambahkan belakangan. ↩︎

  60. Sungai yang pernah disebutkan oleh Ānanda sebelumnya (paragraf 22). ↩︎

  61. Atau ‘taman-rekreasi (upavattana) milik orang-orang Malla. ↩︎

  62. Biasanya dimengerti bahwa para dewa adalah tidak tercerahkan, tetapi DA di sini menyebutkan – tanpa komentar lanjutan – bahwa mereka adalah Yang-Tidak-Kembali atau bahkan Arahant. ↩︎

  63. Saṁvejanīyāni: ‘membangkitkan saṁvega’ (‘keterdesakan’: Ñāṇamoli dalam VM dan terjemahan Pṭs.). ↩︎

  64. Lumbini (sekarang Rummindei di Nepal). ↩︎

  65. Uruvelā (sekarang Buddha Gayā di Bihar). ↩︎

  66. Taman-rusa di isipatana (sekarang Sarnāth) dekat Vārāṇasī (Benares). ↩︎

  67. Kusinārā. ↩︎

  68. Kalimat singkat ini sepertinya disisipkan secara sembrono pada bagian ini. Cf. SN 35.127. ↩︎

  69. Secara harfiah ‘demi kebaikanmu sendiri’, tetapi DA mengatakan ‘demi tujuan tertinggi, Kearahattaan’. Cf. n.370. ↩︎

  70. Āyasa berarti ‘dari besi’, tetapi DA, tidak menganggap ini cukup baik, menerjemahkannya sebagai ‘dari emas’: tidak mungkin meskipun, seperti yang tercantum dalam catatan Ven. Nyāṇaponika (LDB n.53), ada beberapa dukungan dalam Sanskrit sehubungan dengan arti ini. ↩︎

  71. Mungkin kayu cendana atau pasta berwarna ↩︎

  72. Seorang ‘Buddha diam’ yang meskipun mencapai penerangan sempurna, tetapi tidak mengajarkan. ↩︎

  73. Kata yang digunakan adalah vihāra yang dalam konteks ini tidak mungkin berarti vihara, dan DA menyebutnya Paviliun. Terjemahan yang netral adalah tempat kediaman, yang paling aman. ↩︎

  74. Kapisīsaṁ: secara harfiah ‘kepala monyet’. Arti yang jarang dipakai adalah ‘rangka’ (RD): Ānanda sepertinya terlalu tinggi untuk bersandar pada ini! Definisi dalam DA lebih tidak jelas, tetapi yang dikutip oleh Childers dari Abhidhānapadīpikā abad kedua belas (sumber utamanya) adalah ‘ palang pintu’ (aggaḷathambo) dan aggaḷa digunakan dalam makna ini dalam DN 3.1.8. tetapi Childers juga mengutip sebuah makna Sanskrit ‘bagian atas dinding’. ↩︎

  75. Seorang Arahant. Ānanda dikatakan menjadi Arahant sesaat sebelum Konsili Pertama, setelah Sang Buddha wafat. ↩︎

  76. Ini terlihat seperti satu ‘kualitas menakjubkan’, tetapi ada empat karena dapat dipakai secara sama sehubungan dengan masing-masing dari empat kelompok. ↩︎

  77. Kota Kuvera: baca DN 32.7.40. ↩︎

  78. Paragraf 17-18 diulangi kata demi kata dalam Sutta berikutnya. ↩︎

  79. Ini adalah nama-keluarga (cf., n.179). ↩︎

  80. Aññā-pekho: diterjemahkan oleh RD sebagai ‘dari keinginan akan pengetahuan’, yang selaras dengan DA. Tetapi aññā digunakan untuk ‘pengetahuan tertinggi’, yaitu ‘pencerahan’, dan kita dapat mengasumsikan permainan pada kedua makna (duniawi dan adi-duniawi) atas ‘pencerahan’, kemungkinan yang setara baik dalam Pali maupun dalam bahasa Inggris. ↩︎

  81. Ini, tentu saja, adalah Pemenang-Arus, Yang-Kembali-Sekali, Yang-Tidak-Kembali dan Arahant. ↩︎

  82. Teks PTS menuliskan syair ini hanya sampai baris 6, dan ini diikuti oleh RD dan dalam LDB. Tetapi dalam tambahan atas edisi ke dua tahun 1938, syair ini terlihat sama seperti yang diuliskan di sini (kecuali, mungkin, untuk baris dalam kurung), dan menghilangkan nama Subhadda. ↩︎

  83. Yaitu, memenuhi persyaratan. Kalimat ini juga terdapat pada DN 8.24. ↩︎

  84. Kalimat yang ditambahkan oleh para bhikkhu dalam Konsili (DA). ↩︎

  85. Āvuso. ↩︎

  86. Bhante. Diterjemahkan di sini sebagai ‘Bhagavā’, tetapi dalam terjemahan modern adalah bentuk umum dalam memanggil seorang bhikkhu, diterjemahkan sebagai ‘Yang Mulia.’ Buddhis barat harus memperhatikan bahwa bentuk ini adalah vocative, yaitu digunakan dalam sapaan langsung, dan bukan sejenis kata ganti untuk menunjukkan ‘Yang Mulia ini atau itu.’ ↩︎

  87. Āyasmā: awalan biasa seperti dalam ‘Yang Mulia Ānanda’, dan lain-lain. ↩︎

  88. Sangha tidak mengambil keuntungan dari izin ini, terutama karena Ānanda lupa menanyakan yang manakah dari peraturan-peraturan itu yang dianggap ‘minor’. Tidaklah tepat melibatkan diri di sini dalam perdebatan modern atas topik ini. ↩︎

  89. Brahmadaṇḍa: digunakan dalam makna yang berbeda pada DN 3.1.23. Channa adalah kusir Gotama, dan telah lama bergabung dalam Sangha, namun memperlihatkan sikap yang suka melawan. Perlakuan yang dikenakan kepadanya atas perintah Sang Buddha mengembalikan akal sehatnya. ↩︎

  90. Pasādā: ‘kecerahan, ketenangan pikiran. Menurut DA ‘Yang terakhir’ adalah Ānanda sendiri. ↩︎

  91. Vayadhammā sankhārā. Appamādena sampādetha. Kata-kata ini muncul sebelumnya dalam DN 16.3.51. Terjemahan RD atas dua kata terakhir, ‘Berusahalah dengan tekun’ (dikutip dari Warren) menjadi sangat terkenal. Bahkan Brewster, yang biasanya mengikuti RD, mengubahnya menjadi ‘Selesaikanlah dengan sungguh-sungguh!’, yang jauh lebih baik. Banyak yang telah dilakukan dalam beberapa bagian atas fakta bahwa versi Sarvāstivāda (dan oleh karena itu juga terjemahan Tibet) menghilangkan kata-kata ini. Tetapi kalimat ini diperjelas dalam satu versi China, yang membuat semua kesimpulan menjadi meragukan yang ditarik dari penghilangan ini di tempat lain. Bagaimanapun juga, sepertinya terdapat kerusakan awal dalam naskah, seperti dalam kalimat yang sama pada SN 6.2.5.2, urutan dari kedua kalimat itu dibalik: Appamādena sampādetha. Vayadhammā sankhārā (= S i, 158). Kesimpulannya adalah kata-kata yang dikutip hilang pada tahap awal dalam tradisi Sarvāstivāda. Kalimat SN mungkin mencerminkan tahap menengah dari proses tersebut. ↩︎

  92. RD mengatakan ‘Tidak seorangpun, tentu saja, dapat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi’, karena Anuruddha dikatakan memiliki kekuatan batin yang sangat tinggi, kita tidak dapat memastikan. ↩︎

  93. Perhatikan bahwa Ānanda, yang junior, memanggil Anuruddha seperti yang diinstruksikan oleh Sang Buddha, dan Anuruddha menjawab dengan serupa. ↩︎

  94. Seperti dalam MN 26, dan lain-lain, dan memainkan peranan yang sama dalam DN 14.3.2. ↩︎

  95. Aniccā vata sankhārā uppāda-vaya-dhammino, Uppajitvā nirujjhanti, tesaṁ vupasamo sukho.

    RD menyebutnya ‘Syair terkenal’. Sering dikutip, syair ini menutup DN 17. ↩︎

  96. Satu di antara siswa-siswa besar Sang Buddha, jangan dibingungkan oleh banyak Kassapa lainnya. Ia memiliki kesaktian luar biasa dan dikatakan hidup hingga usia lebih dari 120 tahun. Ia memimpin Konsili pertama. ↩︎

  97. Cf n.66. ↩︎

  98. Tentu saja bukan orang yang sama dengan Subhadda yang disebutkan pada 5.23-30. ↩︎

  99. Sarīra: tulang-belulang (belakangan diterjemahkan sebagai zat yang tidak dapat dihancurkan yang biasa ditemukan alam abu jenazah para Arahant). ↩︎

  100. Beberapa pohon dikatakan memiliki sifat dapat terbakar sendiri. Di Jepang ini disebut Gingko – meskipun banyak bukti yang membantahnya. ↩︎

  101. Ini sepertinya adalah akhir dari Sutta yang sebenarnya. ↩︎

  102. Syair-syair ini, seperti yang jelas dikatakan oleh Buddhghosa (DA), ditambahkan oleh para Bhikkhu Sri Lanka. ↩︎