easter-japanese

[111] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang melakukan perjalanan di sekitar Anga bersama lima ratus bhikkhu, dan ia tiba di Campā. Di Campā Beliau menetap di tepi kolam teratai Gaggarā. Pada waktu itu Brahmana Soṇadaṇḍa sedang menetap di Campā, tempat yang ramai, banyak rumput, kayu, air dan jagung, yang dianugerahkan kepadanya oleh Raja Seniya Bimbisāra dari Magadha sebagai anugerah kerajaan lengkap dengan kekuasaan kerajaan.

2. Dan para Brahmana dan perumah tangga di Campā telah mendengar bahwa: ‘Petapa Gotama dari suku Sakya, yang telah meninggalkan keluarga Sakya sedang melakukan perjalanan di Anga … dan sedang menetap di tepi kolam teratai Gaggarā. Dan sehubungan dengan Sang Bhagavā Gotama telah beredar berita baik: “Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, Buddha yang telah mencapai penerangan empurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku, telah menempuh Sang Jalan dengan sempurna, Pengenal seluruh alam, Penjinak manusia yang harus dijinakkan yang tiada bandingnya, Guru para dewa dan manusia, seorang Buddha, Yang Suci.” Beliau menyatakan dunia ini dengan para dewa, māra, Brahmā, para petapa dan Brahmana bersama dengan para raja dan umat manusia, telah mengetahui dengan pengetahuanNya sendiri. Beliau mengajarkan Dhamma yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir, dalam makna dan kata, dan Beliau memperlihatkan kehidupan suci yang sempurna, murni sepenuhnya. Dan sesungguhnya adalah baik sekali menemui Arahant demikian.’ [112] Lalu para Brahmana dan perumah tangga di Campā, berduyun-duyun meninggalkan Campā, dalam jumlah yang sangat besar, pergi menuju kolam teratai Gaggarā.

3. Pada saat itu, Brahmana Soṇadaṇḍa baru saja naik ke teras rumahnya untuk istirahat siang. Melihat para Brahmana dan perumah tangga berjalan menuju kolam teratai Gaggarā, ia menanyakan alasannya kepada pelayannya.

‘Tuan, ada Petapa Gotama dari suku Sakya … itulah sebabnya mereka pergi menemui Beliau.’

‘Baiklah, pelayan, datangilah para Brahmana dan perumah tangga dari Campā itu dan katakan kepada mereka: “Mohon tunggu, tuan-tuan, Brahmana Soṇadaṇḍa akan turut menemui Petapa Gotama.”’

Dan pelayannya itu menyampaikan pesannya kepada [113] para Brahmana dan perumah tangga dari Campā itu.

4. Pada saat itu terdapat lima ratus Brahmana dari berbagai propinsi sedang berada di Campā untuk suatu urusan, dan mereka mendengar bahwa Soṇadaṇḍa bermaksud untuk mengunjungi Petapa Gotama. Maka mereka memanggilnya dan bertanya apakah itu benar. ‘Jadi demikianlah, tuan-tuan, aku akan mengunjungi Petapa Gotama.’

5. ‘Tuan, jangan mengunjungi Petapa Gotama, tidaklah pantas engkau melakukan hal itu! Jika Yang Mulia Soṇadaṇḍa pergi mengunjungi Petapa Gotama, maka reputasinya akan menurun, dan reputasi Petapa Gotama akan meningkat. Oleh karena itu, tidaklah pantas Yang Mulia Soṇadaṇḍa mengunjungi Petapa Gotama, melainkan Petapa Gotama yang seharusnya mengunjunginya.

‘Yang Mulia Soṇadaṇḍa terlahir mulia baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, keturunan murni hingga tujuh generasi, tidak terputus, kelahiran yang tidak tercela, dan karena itu seharusnya tidak mengunjungi Pertapa Gotama, melainkan Petapa Gotama yang seharusnya mengunjunginya. Yang Mulia Soṇadaṇḍa memiliki harta kekayaan yang banyak … [114] Yang Mulia Soṇadaṇḍa adalah seorang terpelajar, ahli dalam mantra-mantra, sempurna dalam Tiga Veda, pembabar yang terampil dalam hal aturan-aturan dan ritual-ritual, ahli suara-suara dan makna-makna dan, kelima, tradisi oral – seorang penceramah, sangat terampil dalam filosofi alam dan tanda-tanda Manusia Luar Biasa. Yang Mulia Soṇadaṇḍa tampan, menarik, menyenangkan, memiliki kulit yang indah, dalam bentuk dan penampilan menyerupai Brahmā, tidak ada bagian yang berpenampilan rendah. Ia seorang yang berbudi, moralitasnya meningkat, memiliki moralitas yang meningkat. Ia berbicara dengan baik, menyapa dengan cara yang menyenangkan, sopan, dengan pengucapan yang tepat dan jernih, berbicara langsung pada pokoknya. Ia adalah guru dari para guru dari banyak orang, mengajarkan mantra kepada tiga ratus pemuda. Dan banyak anak muda dari berbagai wilayah berharap mempelajari mantra darinya, ingin mempelajarinya darinya. Ia berusia lanjut, tua, terhormat, matang dalam usia, jauh melampaui masa mudanya, sedangkan Pertapa Gotama hanyalah seorang pemuda dan baru saja meninggalkan keduniawian menjadi seorang pengembara. Yang Mulia Soṇadaṇḍa terhormat, dianggap penting, dimuliakan, dipuja, disembah oleh Raja Seniya Bimbisāra dan oleh Brahmana Pokkharasāti. Ia menetap di Campā, tempat yang ramai, banyak rumput, kayu, air dan jagung, yang dianugerahkan kepadanya oleh Raja Seniya Bimbisāra dari Magadha sebagai anugerah kerajaan, dan lengkap dengan kekuasaan kerajaan. Oleh karena itu, tidaklah pantas bahwa ia mengunjungi Petapa Gotama, melainkan sebaliknya Petapa Gotama yang seharusnya mengunjunginya.’1

6. Mendengar kata-kata ini, Soṇadaṇḍa menjawab: [115] ‘Sekarang dengarkan, tuan-tuan, alasan mengapa kita pantas mengunjungi Petapa Gotama, dan mengapa Beliau tidak pantas mengunjungi kita. Petapa Gotama terlahir mulia dari kedua pihak, keturunan murni hingga tujuh generasi, tanpa terputus, kelahiran yang tidak tercela … (seperti paragraf 5). Oleh karena itu kita pantas mengunjungi Beliau. Ia pergi meninggalkan keduniawian, meninggalkan sanak saudaranya. Sesungguhnya ia melepaskan banyak sekali emas dan kekayaan lainnya, baik yang tersimpan maupun yang tidak tersimpan. Petapa Gotama, sewaktu muda, seorang pemuda berambut hitam, dalam masa mudanya, dalam tahap pertama kehidupannya pergi meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah. Meninggalkan orang tuanya yang bersedih, menangis dengan wajah dinodai air mata, setelah mencukur rambut dan janggutnya dan mengenakan jubah kuning, ia menjalani kehidupan tanpa rumah. Ia tampan, … berbudi, … berbicara baik, … guru dari para guru dari banyak orang. Ia telah meninggalkan kenikmatan-indria dan menaklukkan kesombongan. Ia mengajarkan perbuatan dan akibat perbuatan, menghormati kehidupan Brahmana yang tanpa cela. Ia adalah seorang pengembara yang berkelahiran mulia, dari seorang keluarga Khattiya pemimpin. Ia adalah seorang pengembara yang berasal dari keluarga kaya, yang memiliki banyak harta kekayaan. [116] Orang-orang datang untuk berdiskusi dengannya dari kerajaan-kerajaan dan wilayah-wilayah asing. Beribur-ribu dewa telah menerima perlindungan dari Beliau.

‘Berita baik ini telah beredar tentang Beliau: “Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, seorang Buddha yang telah mencapai penerangan sempurna, Sempurna dalam pengetahuan dan perilaku …” (seperti paragraf 2). Ia memiliki tiga puluh dua tanda Manusia Luar Biasa. Beliau menyenangkan, kata-kataNya baik, ramah, hangat, ucapannya jernih dan spontan. Ia dilayani oleh empat kelompok, dihormati, dihargai dan dipuja oleh mereka. Banyak dewa dan manusia mengabdi padaNya. Kapan saja ia menetap di suatu kota atau desa, tempat itu tidak akan diganggu oleh makhluk-makhluk bukan manusia. Ia memiliki sekelompok banyak sekali pengikut, Beliau adalah guru dari banyak orang, Beliau dimintakan pendapatNya oleh berbagai pemimpin sekte. Itu bukanlah cara Petapa Gotama mendapatkan reputasinya, seperti halnya beberapa petapa dan Brahmana, mengenai kepada siapa ini atau itu diberitakan – kemashyuran Petapa Gotama didasarkan pada pencapaian kebijaksanaan dan perilaku yang tanpa tandingan. Sesungguhnya Raja Seniya Bimbisāra dari Magadha telah menyatakan berlindung kepadaNya bersama puteranya, istrinya, para pengikutnya dan para menterinya. Demikian pula Raja Pasenadi dari Kosala, dan Brahmana Pokkharasāti. Ia dihormati, dimuliakan, dihargai dan dipuja oleh mereka. [117]

‘Petapa Gotama telah tiba di Campā dan sedang menetap di tepi kolam teratai Gaggarā. Dan pertapa dan Brahmana manapun yang datang ke wilayah kita adalah tamu kita. Dan kita harus menghormati, memuliakan, menghargai dan memuja tamu. Setelah datang ke kolam teratai Gaggarā, Petapa Gotama adalah tamu, dan harus diperlakukan sebagai tamu. Oleh karena itu tidaklah pantas jika Beliau mengunjungi kita, melainkan sebaliknya kita yang harus mengunjungi Beliau. Betapapun banyaknya aku memuji Petapa Gotama, pujian itu tidaklah cukup, Beliau melampaui semua pujian.’

7. Mendengar hal ini, para Brahmana berkata kepada Soṇadaṇḍa: ‘Tuan, karena engkau begitu memuji Petapa Gotama, maka bahkan jika Beliau berada seratus yojana jauhnya dari sini, adalah pantas bagi mereka yang berkeyakinan untuk pergi dengan membawa tas bahu untuk mengunjungi Beliau, marilah kita semua pergi mengunjungi Petapa Gotama.’ Dan demikianlah Soṇadaṇḍa pergi bersama sejumlah besar Brahmana menuju kolam teratai Gaggarā.

8. Tetapi ketika Soṇadaṇḍa telah melewati hutan belantara, ia berpikir: ‘Jika aku mengajukan pertanyaan kepada Petapa Gotama, ia mungkin berkata: “Itu, Brahmana, bukanlah pertanyaan yang layak, sama sekali bukan pertanyaan yang layak”, dan kemudian teman-temanku akan merendahkan aku, dengan mengatakan: “Soṇadaṇḍa adalah seorang yang bodoh, ia tidak mengerti, [118] ia tidak mampu mengajukan pertanyaan yang layak kepada Petapa Gotama.” Dan jika seseorang direndahkan oleh teman-temannya, reputasinya akan rusak, dan kemudian pendapatannya juga akan rusak, karena pendapatan kami bergantung pada reputasi. Atau jika Petapa Gotama mengajukan pertanyaan kepadaku, jawabanku mungkin tidak memuaskan Beliau, dan Beliau akan berkata: “Itu bukan cara yang benar dalam menjawab pertanyaan ini.” Dan kemudian teman-temanku akan merendahkan aku … Dan jika, setelah sampai di hadapan Petapa Gotama, aku berbalik tanpa memperlihatkan diriku, teman-temanku akan merendahkan aku …’

9. Kemudian Soṇadaṇḍa mendekati Sang Bhagavā, saling bertukar sapa dengan Beliau, dan duduk di satu sisi. Beberapa Brahmana dan perumah tangga bersujud kepada Sang Bhagavā, beberapa bertukar sapa dengan Beliau, beberapa memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan, beberapa menyebutkan nama dan suku mereka, dan beberapa duduk di satu sisi berdiam diri. [119]

10. Demikianlah Soṇadaṇḍa duduk dengan banyak pikiran mengganggu benaknya: ‘Jika aku mengajukan pertanyaan kepada Petapa Gotama, ia mungkin berkata: “Itu, Brahmana, bukanlah pertanyaan yang layak, …” Seandainya saja Petapa Gotama mengajukan pertanyaan yang kukuasai yaitu Tiga Veda! Maka aku akan dapat memberikan jawaban yang akan memuaskanNya!’

11. Dan Sang Bhagavā, membaca pikirannya, berpikir: ‘Soṇadaṇḍa ini gelisah. Baiklah Aku akan mengajukan pertanyaan dari keahliannya sebagai guru dari Tiga Veda!’ Maka Beliau berkata kepada Soṇadaṇḍa: ‘Dengan berapa kualitaskah seorang Brahmana mengenali Brahmana lainnya? Bagaimanakah seseorang menyatakan dengan jujur dan tidak berbohong: “Aku adalah Brahmana”?’

12. Kemudian Soṇadaṇḍa berpikir: [120] ‘Sekarang apa yang kuinginkan, kuharapkan, kunanti-nantikan telah terjadi … Sekarang aku dapat memberikan jawaban yang akan memuaskan Beliau.’

13. Sambil menegakkan badannya, dan melihat ke sekeliling, ia berkata: ‘Yang Mulia Gotama, ada lima kualitas demikian… Apakah itu? Seorang Brahmana terlahir mulia baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, keturunan murni hingga tujuh generasi, … ia adalah seorang terpelajar yang ahli dalam mantra-mantra, … ia tampan, menyenangkan, … berbudi, …terpelajar dan bijaksana, dan adalah yang pertama atau kedua memegang sendok pengorbanan. Ini adalah lima kualitas Brahmana sejati.’

14. ‘Tetapi jika satu dari lima ini diabaikan, tidak dapatkan ia diakui sebagai seorang Brahmana sejati, dengan memiliki empat dari kualitas-kualitas ini?’

‘Mungkin saja, Gotama. Kita boleh mengabaikan penampilan, karena apakah itu penting? Jika seorang Brahmana memiliki empat kualitas lainnya [121] ia dapat diakui sebagai seorang Brahmana sejati.’

15. ‘Tetapi tidak dapatkan satu dari empat kualitas ini diabaikan, menyisakan tiga dimana seseorang dapat diakui sebagai seorang Brahmana sejati?’

‘Mungkin saja, Gotama. Kita boleh mengabaikan mantra-mantra, karena apakah itu penting? Jika seorang Brahmana memiliki tiga kualitas lainnya ia dapat diakui sebagai seorang Brahmana sejati.’

16. ‘Tetapi tidak dapatkan satu dari tiga kualitas ini diabaikan …?’

‘Mungkin saja, Gotama. Kita boleh mengabaikan kelahiran, karena apakah itu penting? Jika seorang Brahmana berbudi, moralitasnya meningkat, … dan jika ia terpelajar dan bijaksana, dan ia adalah yang pertama atau kedua memegang sendok pengorbanan – maka ia dapat diakui sebagai seorang Brahmana sejati dan dengan jujur mengatakan demikian.’ [122]

17. Mendengar kata-kata ini para Brahmana berkata kepada Soṇadaṇḍa: ‘Jangan katakan hal itu, Soṇadaṇḍa jangan katakan hal itu! Jika Soṇadaṇḍa mencela penampilan, mantra-mantra dan kelahiran, ia sebenarnya meniru ucapan Petapa Gotama!’

18. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para Brahmana: ‘Jika kalian berpikir bahwa Brahmana Soṇadaṇḍa tidak berkonsentrasi dalam tugasnya, menggunakan kata-kata yang salah, kurang bijaksana, dan tidak pantas berdiskusi dengan Pertapa Gotama, maka biarlah ia berhenti, dan kalian berdiskusi denganKu. Tetapi jika kalian berpikir bahwa ia terpelajar, berbicara dengan benar, bijaksana dan layak berdiskusi dengan Petapa Gotama, maka kalian berhenti dan biarkan ia bicara.’

19. Kemudian Soṇadaṇḍa berkata kepada Sang Bhagavā: ‘Biarlah, Yang Mulia Gotama, dan tenanglah. Aku akan menjawab persoalan ini.’ Kepada para Brahmana ia berkata: ‘Jangan menganggap bahwa Yang Mulia Soṇadaṇḍa mencela penampilan … dan meniru ucapan Petapa Gotama! [123] Aku tidak mencela penampilan, mantra-mantra, atau kelahiran.’

20. Pada saat itu keponakan Soṇadaṇḍa, seorang pemuda bernama Angaka, sedang duduk dalam kumpulan itu, dan Soṇadaṇḍa berkata: ‘Tuan-tuan, apakah kalian melihat keponakanku Angaka?’ ‘Ya Tuan.’

‘Angaka tampan, menarik, menyenangkan, memiliki kulit yang sangat indah, memiliki bentuk dan penampilan menyerupai Brahmā, tidak ada bagian yang berpenampilan rendah, dan tidak ada seorangpun dalam kumpulan ini yang dapat menyamainya kecuali Petapa Gotama. Ia terpelajar … aku adalah guru-mantra-nya. Ia terlahir mulia dari kedua pihak … aku mengenal orangtuanya. Namun jika Angaka melakukan pembunuhan, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan hubungan seksual yang salah, mengucapkan kebohongan dan meminum minuman keras – apa gunanya penampilan menarik, atau mantra-mantra, atau kelahiran mulia baginya? Tetapi jika karena seorang Brahmana berbudi, … karena ia bijaksana … : sehubungan dengan dua hal ini ia dapat dengan jujur menyatakan “Aku adalah seorang Brahmana.”‘

21. ‘Tetapi, Brahmana, jika seseorang mengabaikan salah satu dari dua itu, dapatkan ia dengan jujur menyatakan: “Aku adalah seorang Brahmana”?’ [124] ‘Tidak, Gotama. Karena kebijaksanaan dimurnikan oleh moralitas, dan moralitas dimurnikan oleh kebijaksanaan; jika yang satu ada, maka yang lain juga ada, orang yang bermoral adalah orang yang bijaksana dan orang yang bijaksana adalah orang yang bermoral, dan kombinasi moralitas dan kebijaksanaan disebut yang tertinggi di dunia ini. Bagaikan satu tangan mencuci tangan lainnya, atau satu kaki mencuci kaki lainnya, demikian pula kebijaksanaan memurnikan moralitas dan kombinasi ini disebut yang tertinggi di dunia.’

22. ‘Jadi demikian, Brahmana. Kebijaksanaan dimurnikan oleh moralitas, dan moralitas dimurnikan oleh kebijaksanaan. Jika yang satu ada, maka yang lain juga ada, orang yang bermoral adalah orang yang bijaksana dan orang yang bijaksana adalah orang yang bermoral, dan kombinasi moralitas dan kebijaksanaan disebut yang tertinggi di dunia ini. Tetapi Brahmana, apakah moralitas ini dan apakah kebijaksanaan ini?’

‘Kami hanya mengetahui sampai sejauh itu, Gotama. Baik sekali jika Yang Mulia Gotama menjelaskan makna dari hal ini.’

23. ‘Maka dengarkanlah, Brahmana, perhatikanlah dengan seksama, dan Aku akan memberitahukan kepadamu.’ ‘Baik, Yang Mulia’, Soṇadaṇḍa menjawab, dan Sang Bhagavā berkata:

‘Brahmana, seorang Tathāgata muncul di dunia ini, seorang Arahant, Buddha yang telah mencapai penerangan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku, telah menempuh Sang Jalan dengan sempurna, Pengenal seluruh alam, Penjinak manusia yang harus dijinakkan yang tiada bandingnya, Guru para dewa dan manusia, Yang Tercerahkan dan Yang Suci. Beliau, setelah mencapainya dengan pengetahuanNya sendiri, menyatakan dunia ini dengan para dewa, māra, Brahmā, para raja dan umat manusia. Beliau membabarkan Dhamma yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir, dalam makna dan kata, dan memperlihatkan kehidupan suci yang sempurna, murni sepenuhnya. Seorang siswa pergi meninggalkan keduniawian dan mempraktikkan moralitas (Sutta 2, paragraf 41-63); ia menjaga pintu-pintu indrianya, dan seterusnya (Sutta 2, paragraf 64-74). Itu, Brahmana, adalah moralitas.2 Ia mencapai empat jhāna (Sutta 2, paragraf 75-82); ia mencapai berbagai pandangan terang (Sutta 2, paragraf 83-95), dan lenyapnya kekotoran (Sutta 2, paragraf 97). Demikianlah ia mengembangkan kebijaksanaan. Itu, Brahmana, adalah kebijaksanaan.’

24. mendengar kata-kata ini, Soṇadaṇḍa berkata: ‘Sungguh indah, Bhagavā, sungguh menakjubkan! Bagaikan seseorang yang menegakkan apa yang terbalik, atau menunjukkan jalan bagi ia yang tersesat, atau menyalakan pelita di dalam gelap, sehingga mereka yang memiliki mata dapat melihat apa yang ada di sana. Demikian pula Sang Bhagavā telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara. Dan aku berlindung kepada Sang Bhagavā Gotama, kepada Dhamma dan kepada Sangha. Semoga Yang Mulia Gotama menerimaku sebagai siswa awam yang telah menerima perlindungan sejak hari ini hingga akhir hidupku! Dan sudilah Yang Mulia Gotama dan para bhikkhu menerima makanan dariku besok!’

Sang Bhagavā menerimanya dengan berdiam diri. Kemudian Soṇadaṇḍa, mengetahui penerimaan itu, bangkit, memberi hormat kepada Sang Bhagavā, berjalan dengan Sang Bhagavā di sisi kanannya dan pergi. Pagi harinya, ia menyiapkan makanan keras dan lunak di rumahnya, dan ketika persiapan selesai ia mengumumkan: ‘Yang Mulia Gotama, waktunya telah tiba; makanan telah siap.’

25. Dan Sang Bhagavā, setelah bangun pagi, pergi dengan membawa jubah dan mangkuknya dan disertai oleh para bhikkhu menuju kediaman Soṇadaṇḍa dan duduk di tempat yang telah disediakan. Dan Soṇadaṇḍa melayani Sang Buddha dan para bhikkhu dengan makanan-makanan terbaik dengan tangannya sendiri sampai mereka puas. Dan ketika Sang Bhagavā selesai makan dan menarik tangannya dari mangkuk, Soṇadaṇḍa mengambil bangku kecil dan duduk di satu sisi. Kemudian ia berkata kepada Sang Bhagavā:

26. ‘Yang Mulia Gotama, jika ketika aku mendatangi pertemuan itu aku bangkit dan memberi hormat kepada Sang Bhagavā, teman-teman akan mencelaku. Dan dengan demikian, reputasiku akan rusak, dan jika reputasi seseorang rusak, maka pendapatannya juga akan rusak … Maka jika, pada pertemuan itu, aku merangkapkan tanganku untuk menyapa, sudilah Yang Mulia Gotama menganggap aku telah bangkit dari dudukku. Dan jika [126] saat memasuki pertemuan aku melepaskan turbanku, sudilah Engkau menganggap aku telah bersujud di kakiMu. Atau jika, ketika mengendarai keretaku, aku turun dan memberi hormat kepada Sang Bhagavā, teman-temanku akan mencelaku … Maka jika, ketika aku mengendarai keretaku, aku mengangkat tongkat kendali, sudilah Engkau menganggap aku telah turun dari keretaku, dan jika aku menurunkan tanganku, sudilah Engkau menganggap aku bersujud di kakiMu.’3

27. Kemudian Sang Bhagavā, setelah memberikan nasihat kepada Soṇadaṇḍa dalam suatu ceramah Dhamma, menginspirasinya, memicu semangatnya dan menggembirakannya, bangkit dari dudukNya dan pergi.


Catatan Kaki
  1. Cf. MN 95.6. ↩︎

  2. Jhāna di sini dimasukkan, bukan dalam moralitas (sīla) tetapi dalam kebijaksanaan (paññā) (RD). Namun tempatnya yang tepat adalah dalam konsentrasi (samādhi), yang tidak disebutkan secara spesifik. Baca n.1127. ↩︎

  3. Seperti yang dikatakan oleh RD, Soṇadaṇḍa ‘hanya memahami hingga batas tertentu’. Karenanya, dalam kasusnya tidak disebutkan munculnya ‘Mata-Dhamma yang murni dan tanpa noda’ seperti dalam kasus Pokkharasāti (DN 3.2.21) dan yang lainnya. Soṇadaṇḍa tetap sebagai seorang puthujjana. baca catatan 6. ↩︎