easter-japanese

[1] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.1 Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang melakukan perjalanan di sepanjang jalan utama antara Rājagaha dan Nāḷandā2 disertai oleh lima ratus bhikkhu. Dan pengembara Suppiya juga sedang melakukan perjalanan di jalan itu bersama muridnya, pemuda Brahmadatta. Dan Suppiya3 mencari kesalahan dalam segala cara sehubungan dengan Buddha, Dhamma dan Sangha, sedangkan muridnya Brahmadatta memuji dalam segala cara. Dan demikianlah kedua orang ini, guru dan murid, masing-masing saling menentang argumentasi yang lainnya, mengikuti persis di belakang Sang Bhagavā dan para bhikkhu.

1.2. Kemudian Sang Bhagavā menginap selama satu malam bersama para bhikkhu di taman kerajaan Ambalaṭṭhikā. Dan Suppiya juga menginap di sana selama semalam bersama muridnya Brahmadatta. Dan Suppiya melanjutkan menghina Buddha, Dhamma dan Sangha, sedangkan muridnya [2] Brahmadatta membela. Dan demikianlah sambil berdebat, mereka mengikuti persis di belakang Sang Buddha dan para bhikkhu.

1.3. Di pagi harinya sejumlah bhikkhu, setelah bangun tidur, berkumpul dan duduk di Paviliun Bundar, dan ini adalah topik pembicaraan mereka: ‘Sungguh indah, teman-teman, sungguh menakjubkan bagaimana Sang Bhagavā, Sang Arahant, Buddha yang telah mencapai penerangan sempurna mengetahui, melihat dan dengan jelas membedakan kecenderungan makhluk-makhluk yang berbeda-beda! Karena di sini ada pengembara Suppiya yang mencari-cari kesalahan dalam segala cara sehubungan dengan Buddha, Dhamma dan Sangha, sedangkan muridnya Brahmadatta dalam berbagai cara membela Buddha, Dhamma dan Sangha. Dan sambil masih berdebat, mereka mengikuti persis di belakang Sang Bhagavā dan para bhikkhu’.

1.4 Kemudian Sang Bhagavā, mengetahui apa yang sedang dibicarakan oleh para bhikkhu, mendatangi Paviliun Bundar dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Kemudian Beliau berkata: ‘Para bhikkhu, Apakah yang sedang kalian bicarakan? Diskusi apakah yang terhenti olehKu?’ dan mereka menceritakannya kepada Beliau.

1.5. ‘Para bhikkhu, jika seseorang menghinaKu, Dhamma atau Sangha, [3] kalian tidak boleh marah, kesal atau terganggu akan hal itu. Jika kalian marah atau tidak senang akan penghinaan itu, maka itu akan menjadi rintangan bagi kalian. Karena jika orang lain menghinaKu, Dhamma atau Sangha, dan kalian marah atau tidak senang, dapatkah kalian mengetahui apakah yang mereka katakan itu benar atau salah?’ ‘Tidak, Bhagavā.’ ‘Jika orang lain menghinaKu, Dhamma atau Sangha, maka kalian harus menjelaskan apa yang tidak benar sebagai tidak benar, dengan mengatakan: “Itu tidak benar, itu salah, itu bukan jalan kami,4 itu tidak ada pada kami.”

1.6. jika orang lain memujiKu, Dhamma atau Sangha, kalian tidak boleh gembira, bahagia atau senang akan hal itu. Jika kalian gembira, bahagia atau senang akan pujian itu, maka itu akan menjadi rintangan bagi kalian. Jika orang lain memujiKu, Dhamma atau Sangha, kalian harus mengakui kebenaran atas apa yang benar, dengan mengatakan: “Itu benar, itu tepat sekali, itu adalah jalan kami, itu ada pada kami.”

1.7. ‘Ini, para bhikkhu, adalah hal-hal mendasar, persoalan kecil dari praktik moral5 bagi kaum duniawi6 yang ingin memuji Sang Tathāgata.7 Dan apakah hal-hal mendasar, persoalan kecil bagi kaum duniawi yang ingin memuji Beliau ini?’

[4] 1.8. ‘“”Dengan menghindari pembunuhan, Petapa Gotama berdiam dengan menjauhi pembunuhan, tanpa tongkat atau pedang, berhati-hati, penuh belas kasih, bergerak demi kesejahteraan semua makhluk hidup.” Demikianlah kaum duniawi akan memuji Sang Tathāgata.9 “Dengan menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, Petapa Gotama berdiam dengan menjauhi mengambil apa yang tidak diberikan, hidup murni, menerima apa yang diberikan, menunggu apa yang diberikan, tanpa mencuri. Menghindari ketidak-sucian, Petapa Gotama hidup jauh darinya, jauh dari praktik kehidupan sosial hubungan seksual.10

1.9. ‘“”Dengan menghindari ucapan salah, Petapa Gotama berdiam dengan menjauhi ucapan salah, seorang pembicara kebenaran, seorang yang dapat diandalkan, dapat dipercaya, dapat dijadikan tempat bergantung, bukan seorang penipu dunia. Dengan menghindari fitnah, Beliau tidak mengulangi di sana apa yang Beliau dengarkan di sini untuk merugikan orang-orang ini, atau mengulangi di sini apa yang Beliau dengarkan di sana untuk merugikan orang-orang itu. Demikianlah Beliau adalah penengah bagi mereka yang bersengketa dan pendorong bagi mereka yang rukun, bahagia dalam kedamaian, menyukainya, gembira di dalamnya, seseorang yang berbicara demi kedamaian. Dengan menghindari ucapan kasar, Beliau menjauhinya. Beliau mengatakan apa yang tanpa-cela, indah di telinga, menyenangkan, menyentuh hati, sopan, indah dan menarik bagi banyak orang. Dengan menghindari gosip, Beliau berbicara di saat yang tepat, apa yang benar dan langsung pada pokok persoalan,11 tentang Dhamma dan disiplin. Beliau adalah seorang pembicara yang kata-katanya harus dihargai, sesuai pada waktunya, [5] beralasan, dijelaskan dengan baik dan berhubungan dengan tujuan.”12 Demikianlah kaum duniawi akan memuji Sang Tathāgata.

1.10. ‘“”Petapa Gotama adalah seorang yang menjauhi merusak benih dan hasil panen. Beliau makan sekali sehari dan tidak makan pada waktu malam, menjauhi makan pada waktu yang salah.13 Beliau menghindari menonton tari-tarian, nyanyian, musik dan pertunjukan. Beliau menghindari memakai karangan bunga, pengharum, kosmetik, riasan dan hiasan. Beliau menghindari menggunakan tempat tidur yang tinggi atau lebar. Beliau menghindari menerima emas dan perak.14 Beliau menghindari menerima beras mentah atau daging mentah, Beliau tidak menerima perempuan atau gadis muda, budak-budak laki-laki atau perempuan, domba dan kambing, ayam dan babi, gajah, sapi, kuda-kuda jantan dan betina, ladang dan lahan tanah;15 Beliau menghindari dari menjadi kurir, dari membeli dan menjual, dari menipu dengan timbangan dan takaran yang salah, dari menyuap dan korupsi, dari penipuan dan kemunafikan, dari melukai, membunuh, memenjarakan, merampok jalanan, dan mengambil makanan dengan paksa.” Demikianlah kaum duniawi akan memuji Sang Tathāgata.

1.11. ‘“”Sementara beberapa petapa dan Brahmana, memakan makanan pemberian mereka yang berkeyakinan, cenderung merusak benih-benih itu yang tumbuh dari akar-akar, dari tangkai, dari ruas-ruas, dari irisan, dari biji, Petapa Gotama menghindari perusakan demikian.” Demikianlah kaum duniawi akan memuji Sang Tathāgata. [6]

1.12. ‘“”Sementara beberapa petapa dan Brahmana, memakan makanan pemberian mereka yang berkeyakinan, cenderung menikmati barang-barang simpanan seperti makanan, minuman, pakaian, kereta, tempat tidur, pengharum, daging, Petapa Gotama menjauhi kenikmatan demikian.

1.13. ‘“”Sementara beberapa petapa dan Brahmana … masih menikmati pertunjukan seperti tarian, nyanyian, musik, penampilan, pelafalan, musik-tangan, simbal dan tambur, pertunjukan-sihir16, akrobatik dan sulap,17 pertandingan gajah, kerbau, sapi, kambing, domba, ayam, burung puyuh, perkelahian dengan tongkat, tinju, gulat, perkelahian pura-pura, parade, pertunjukan manuver dan militer, Petapa Gotama menjauhi dari menikmati pertunjukan demikian.

1.14. ‘“”Sementara beberapa petapa dan Brahmana masih menikmati permainan-permainan dan kegiatan sia-sia seperti catur delapan atau sepuluh baris,18 ‘Catur di udara’,19 permainan jingkat, permainan biji-bijian, permainan dadu, melempar tongkat, ‘lukisan-tangan’, permainan-bola, meniup melalui pipa mainan, permainan dengan bajak mainan, jungkir balik, permainan dengan kincir, pengukuran, kereta [7] dan busur, menebak huruf,20 menebak pikiran,21 meniru penampilan cacat, Petapa Gotama menjauhi kegiatan sia-sia demikian.

1.15. ‘“”Sementara beberapa petapa dan Brahmana masih menyukai tempat tidur yang tinggi dan lebar dan tempat duduk yang tinggi, alas duduk berhiaskan kulit binatang,22 dilapisi wol atau dengan berbagai macam penutup, penutup dengan bulu di kedua sisi atau di satu sisi, penutup sutera, berhiaskan dengan atau tanpa permata, pemadani-kereta, -gajah, -kuda, berbagai selimut dari kulit-kijang, dipan bertenda, atau dengan bantal merah di kedua sisi, Petapa Gotama menjauhi tempat tidur tinggi dan lebar demikian.

1.16. ‘“”Sementara beberapa petapa dan Brahmana masih menyukai bentuk-bentuk hiasan-diri dan perhiasan seperti melumuri tubuh dengan pengharum, memijat, mandi dengan air harum, menggunakan pencuci rambut, menggunakan cermin, salep, kalung bunga, wangi-wangian, bedak, kosmetik, kalung, ikat kepala, tongkat hiasan, botol, pedang, penghalang sinar matahari, sandal berhias, turban, permata, kipas ekor-yak, jubah berumbai, Petapa Gotama menjauhi hiasan-diri demikian.

1.17. ‘“”Sementara beberapa petapa dan Brahmana masih menyukai pembicaraan yang tidak bermanfaat23 seperti tentang raja-raja, perampok-perampok, menteri-menteri, bala tentara, bahaya-bahaya, perang, makanan, minuman, pakaian, tempat tidur, kalung bunga, pengharum, sanak saudara, kereta, desa-desa, pemukiman-pemukiman dan kota-kota, negara-negara, perempuan-perempuan, [8] pahlawan-pahlawan, gosip-sumur dan –jalanan, pembicaraan tentang mereka yang meninggal dunia, pembicaraan yang tidak menentu, spekulasi tentang daratan dan lautan, 24 pembicaraan tentang ke-ada-an dan ke-tiada-an,25 Petapa Gotama menjauhi pembicaraan demikian.

1.18. ‘“”Sementara beberapa petapa dan Brahmana masih menyukai perdebatan seperti: ‘Engkau tidak memahami ajaran dan disiplin ini – Aku memahami!’ ‘Bagaimana engkau dapat memahami ajaran dan disiplin ini?’ ‘Jalanmu sama sekali salah – jalanku yang benar’ ‘Aku konsisten – engkau tidak!’ ‘Engkau mengatakannya belakangan apa yang seharusnya engkau katakana terlebih dulu!’ ‘Apa yang begitu lama engkau pikirkan telah terbantahkan!’ ‘Argumentasimu telah dipatahkan, engkau kalah!’ ‘Pergi, selamatkan ajaranmu – keluarlah dari sana jika engkau mampu!’ Petapa Gotama menjauhi perdebatan demikian. 26

1.19. ‘“”Sementara beberapa petapa dan Brahmana masih menyukai hal-hal seperti menjadi kurir dan penyampai pesan, seperti untuk raja, menteri, para mulia, Brahmana, perumah tangga dan anak muda yang mengatakan: ‘Pergilah ke sini – pergilah ke sana! Bawalah ini ke sana – bawalah itu dari sana!’ Petapa Gotama menjauhi menjadi kurir demikian.

1.20. ‘“”Sementara beberapa petapa dan Brahmana masih menyukai kebohongan, ucapan sia-sia, isyarat, meremehkan, dan selalu berusaha memperoleh keuntungan lebih banyak, Petapa Gotama menjauhi kebohongan demikian.” Demikianlah kaum duniawi akan memuji Sang Tathāgata.’27

1.21. ‘“”Sementara beberapa petapa dan Brahmana, memakan makanan pemberian mereka yang berkeyakinan, berpenghidupan dari keterampilan rendah, penghidupan salah seperti membaca garis tangan,28 meramal dari gambaran-gambaran, tanda-tanda, mimpi, tanda-tanda jasmani, guratan-tikus, pemujaan-api, persembahan dari sesendok sekam, tepung-beras, beras, ghee atau minyak, dari mulut atau dari darah, membaca ujung-jari, pengetahuan-rumah dan -kebun, ahli dalam jimat, pengetahuan-setan, pengetahuan tanah-rumah,29 pengetahuan-ular, pengetahuan-racun, pengetahuan-tikus, pengetahuan-burung, pengetahuan-gagak, meramalkan usia kehidupan seseorang, jimat melawan anak panah, pengetahuan tentang suara-suara binatang, Petapa Gotama menjauhi keterampilan rendah dan penghidupan salah demikian.

1.22. ‘“”Sementara beberapa petapa dan Brahmana berpenghidupan dengan keterampilan rendah seperti menilai tanda-tanda permata, tongkat, pakaian, pedang, tombak, anak panah, senjata, perempuan, laki-laki, anak-anak, gadis-gadis, budak-budak perempuan dan laki-laki, gajah, kuda, kerbau, banteng, sapi, kambing, domba, ayam, burung puyuh, iguana, tikus-bambu,30 kura-kura, rusa, Pertapa Gotama menjauhi keterampilan rendah demikian.

1.23. ‘“”Sementara beberapa petapa dan Brahmana berpenghidupan dengan keterampilan rendah seperti meramalkan: ‘Pemimpin31 akan berjalan keluar – pemimpin akan berjalan kembali’, ‘Pemimpin kita [10] akan bergerak maju dan pemimpin musuh akan bergerak mundur’, ‘Pemimpin kita akan menang dan pemimpin musuh akan kalah’, ‘Pemimpin musuh akan menang dan pemimpin kita akan kalah’, ‘Demikianlah akan ada kemenangan di satu pihak dan kekalahan di pihak lainnya’, Petapa Gotama menjauhi keterampilan rendah demikian.

1.24. ‘“”Sementara beberapa petapa dan Brahmana berpenghidupan dengan keterampilan rendah seperti meramalkan gerhana bulan, matahari, bintang; bahwa matahari dan bulan akan bergerak sesuai jalur yang benar – akan bergerak tidak menentu; bahwa bintang akan bergerak sesuai jalur yang benar – akan bergerak tidak menentu; bahwa akan terjadi hujan meteor, nyala api di langit, gempa bumi, guntur; matahari, bulan dan bintang yang terbit, terbenam, gelap dan terang; dan ‘demikianlah akibat dari benda-benda ini’, Petapa Gotama menjauhi keterampilan rendah dan penghidupan salah demikian. [11]

1.25. ‘“”Sementara beberapa petapa dan Brahmana berpenghidupan dengan keterampilan seperti meramalkan hujan yang baik atau buruk; panen yang baik atau buruk; keamanan, bahaya; penyakit, kesehatan, atau mencatat, menentukan, menghitung, komposisi syair, menjelaskan alasan-alasan, Petapa Gotama menjauhi keterampilan rendah dan penghidupan salah demikian.

1.26. ‘“”Sementara beberapa petapa dan Brahmana berpenghidupan dengan keterampilan rendah seperti mengatur pemberian dan penerimaan dalam suatu pernikahan, pertunangan dan perceraian; [menyatakan waktu untuk] menabung dan belanja, membawa keberuntungan dan kemalangan, melakukan aborsi,32 menggunakan mantra untuk mengikat lidah, mengikat rahang, menyebabkan tangan gemetar, menyebabkan tuli, mencari jawaban dari cermin, menjadi gadis-medium, dewa; memuja matahari atau Mahā Brahmā, meniupkan api, memanggil dewi keberuntungan, Petapa Gotama menjauhi keterampilan rendah dan penghidupan salah demikian.

1.27. ‘“”Sementara beberapa petapa dan Brahmana, memakan makanan pemberian mereka yang berkeyakinan, berpenghidupan dengan keterampilan rendah demikian, penghidupan salah demikian seperti menenangkan para dewa dan menepati janji terhadap para dewa, membuat mantra rumah-tanah, memberikan kekuatan dan kelemahan, mempersiapkan dan mensucikan lokasi bangunan, memberikan upacara pembersihan dan pemandian, memberikan korban, memberikan obat pencahar, obat penawar, obat batuk dan pilek, memberikan obat-telinga, -mata, -hidung, salep dan salep-penawar, pembedahan-mata, pembedahan, pengobatan bayi, menggunakan balsem untuk melawan efek samping dari pengobatan sebelumnya, Petapa Gotama menjauhi keterampilan rendah dan penghidupan salah demikian.”33 Ini para bhikkhu, untuk hal-hal mendasar, persoalan kecil inilah maka kaum duniawi akan memuji Sang Tathāgata.

[12] 1.28. ‘Ada lagi, para bhikkhu, hal-hal lain, yang mendalam, sulit dilihat, sulit dipahami, damai, luhur, melampaui sekedar pikiran, halus, yang harus dialami oleh para bijaksana, yang Sang Tathāgata, setelah mencapainya dengan pengetahuan-agung-Nya sendiri, menyatakan, dan tentang hal-hal yang diucapkan dengan benar oleh mereka yang sungguh-sungguh memuji Sang Tathāgata akan mengatakannya dengan benar. Dan apakah hal-hal ini?’

1.29. ‘Ada, para bhikkhu, beberapa petapa dan Brahmana yang adalah para spekulator tentang masa lampau, memiliki pandangan kuat tentang masa lampau dan yang mengusulkan [13] berbagai teori spekulatif tentang masa lampau, dalam delapan belas cara. Dalam dasar apakah, dalam landasan apakah mereka melakukan hal itu?

1.30. ‘Ada beberapa petapa dan Brahmana yang adalah Penganut Keabadian, yang menyatakan keabadian diri dan dunia dalam empat cara. Atas landasan apakah?

1.31. [Pandangan salah 1]34 ‘Di sini, para bhikkhu, seorang petapa atau Brahmana tertentu melalui usaha, upaya, penerapan, ketekunan dan perhatian benar telah mencapai suatu kondisi tertentu dari konsentrasi pikiran hingga mampu mengingat kehidupan lampau – satu kelahiran, dua kelahiran, tiga, empat, lima, sepuluh, seratus, seribu, seratus ribu kelahiran, beberapa ratus, beberapa ribu, beberapa ratus ribu kelahiran, “Di sana namaku adalah ini, klanku adalah ini, kastaku adalah ini, makananku adalah ini, aku mengalami kondisi menyenangkan dan menyakitkan ini, aku hidup selama ini. Setelah meninggal dunia dari sana, aku muncul di tempat lain. Di sana namaku adalah itu … Dan setelah meninggal dunia dari sana, aku muncul di sini.” Demikianlah ia mengingat berbagai kehidupan, kondisi dan kejadian-kejadian masa lampau [14]. Dan ia berkata: ‘Diri dan dunia adalah abadi, mandul35 bagaikan puncak gunung, kokoh bagaikan tonggak. Makhluk-makhluk ini bergegas berputar, melingkar, meninggal dunia dan muncul kembali, namun hal ini tetap abadi. Mengapa demikian? Akumelalui usaha, upaya, penerapan, ketekunan dan perhatian benar telah mencapai suatu kondisi tertentu dari konsentrasi pikiran hingga mampu mengingat kehidupan lampau … Demikianlah aku mengetahui bahwa diri dan dunia adalah abadi …” Ini adalah cara pertama yang dengannya beberapa petapa dan Brahmana menyatakan keabadian diri dan dunia.

1.32. [Pandangan salah 2] ‘Dan apakah cara ke dua? Di sini, para bhikkhu, seorang petapa atau Brahmana tertentu melalui usaha, upaya … telah mencapai suatu kondisi tertentu dari konsentrasi pikiran hingga mampu mengingat satu periode penyusutan dan pengembangan,36 dua periode, tiga, empat, lima, sepuluh periode penyusutan dan pengembangan … “Di sana namaku adalah ini …” [15] Ini adalah cara ke dua yang dengannya beberapa petapa dan Brahmana menyatakan keabadian diri dan dunia.

1.33. [Pandangan salah 3] ‘Dan apakah cara ke tiga? Di sini, para bhikkhu, seorang petapa atau Brahmana tertentu melalui usaha, upaya … telah mencapai suatu kondisi tertentu dari konsentrasi pikiran hingga mampu mengingat sepuluh, dua puluh, tiga puluh, empat puluh periode penyusutan dan pengembangan. “Di sana namaku adalah ini dan itu …” [16] Ini adalah cara ke tiga yang dengannya beberapa petapa dan Brahmana menyatakan keabadian diri dan dunia.

1.34. [Pandangan salah 4] ‘Dan apakah cara ke empat? Di sini, para bhikkhu, seorang petapa atau Brahmana tertentu adalah seorang yang menggunakan logika,37 yang menggunakan alasan. Mengembangkannya dengan alasan, mengikuti jalan pemikirannya sendiri, ia berpendapat: “Diri dan dunia ini adalah abadi, mandul bagaikan puncak gunung, kokoh bagaikan tonggak. Makhluk-makhluk ini bergegas berputar, melingkar, meninggal dunia dan muncul kembali, namun hal ini tetap selamanya.” Ini adalah cara ke empat yang dengannya beberapa petapa dan Brahmana menyatakan keabadian diri dan dunia.

1.35. ‘Ini adalah ke empat cara yang dengannya petapa-petapa dan Brahmana-brahmana ini yang adalah Penganut Keabadian, dan menyatakan keabadian diri dan dunia di atas empat landasan. Dan pertapa atau Brahmana apapun yang adalah penganut keabadian dan menyatakan keabadian diri dan dunia, mereka melakukannya di atas satu dari ke empat landasan ini. Tidak ada cara lainnya.

1.36. ‘Ini, para bhikkhu, Sang Tathāgata memahami: Sudut-sudut pandang ini yang digenggam dan dianut secara demikian akan membawa menuju alam kelahiran kembali ini dan itu di alam lain. Ini, Sang Tathāgata mengetahui, dan lebih jauh lagi, namun Beliau tidak [17] melekat pada pengetahuan itu. Dan karena tidak melekat, Beliau mengalami bagi diriNya sendiri kedamaian sempurna, dan setelah memahami sepenuhnya muncul dan lenyapnya perasaan, kemenarikan dan bahayanya dan kebebasan darinya, Sang Tathāgata terbebaskan tanpa sisa.

1.37. ‘Ada, para bhikkhu, hal-hal lain, yang mendalam, sulit dilihat, sulit dipahami, damai, luhur, melampaui sekedar pikiran, halus, yang harus dialami oleh para bijaksana, yang Sang Tathāgata, setelah mencapainya dengan pengetahuan-agung-Nya sendiri, menyatakan, dan tentang hal-hal itu yang karenanya mereka yang dengan tulus memuji Sang Tathāgata akan mengatakannya dengan benar. Dan apakah hal-hal ini?’

[Akhir dari bagian-pembacaan pertama]

2.1 ‘Ada, para bhikkhu, beberapa petapa dan Brahmana yang menganut sebagian abadi dan sebagian tidak-abadi, yang menyatakan keabadian sebagian dan ketidak-abadian sebagian akan diri dan dunia dalam empat cara. Atas landasan apakah?

2.2. ‘Akan tiba waktunya, para bhikkhu, cepat atau lambat setelah rentang waktu yang panjang, ketika dunia ini menyusut. Pada saat penyusutan, makhluk-makhluk sebagian besar terlahir di alam Brahmā Ābhassara38. Dan di sana mereka berdiam, dengan ciptaan-pikiran,39 dengan kegembiraan sebagai makanan,40 bercahaya, melayang di angkasa, agung – dan mereka hidup demikian selama waktu yang sangat lama.

2.3. [Pandangan salah 5] ‘Tetapi akan tiba waktunya, cepat atau lambat setelah rentang waktu yang panjang, ketika dunia ini mulai mengembang. Dalam dunia yang mengembang ini, sebuah istana Brahmā41 yang kosong muncul. Dan kemudian satu makhluk, karena habisnya masa kehidupannya atau jasa baiknya, 42 jatuh dari alam Ābhassara dan muncul kembali dalam istana-Brahmā yang kosong. Dan di sana ia berdiam, dengan ciptaan-pikiran, dengan kegembiraan sebagai makanan, bercahaya, melayang di angkasa, agung – dan ia hidup demikian selama waktu yang sangat lama.

2.4. ‘Kemudian dalam diri makhluk ini yang telah menyendiri sekian lama, muncullah kegelisahan, ketidak-puasan dan kekhawatiran, dan ia berpikir: “Oh, seandainya beberapa makhluk lain dapat datang ke sini!” Dan makhluk-makhluk lain, [18] karena habisnya masa kehidupan mereka atau jasa-jasa baik mereka, jatuh dari alam Ābhassara dan muncul kembali di dalam istana-Brahmā sebagai teman-teman bagi makhluk ini. Dan di sana mereka berdiam, dengan ciptaan-pikiran, … dan mereka hidup demikian selama waktu yang sangat lama.

2.5. ‘Dan kemudian, para bhikkhu, makhluk yang pertama muncul di sana berpikir: “Aku adalah Brahmā, Mahā-Brahmā, Sang Penakluk, Yang Tak Tertaklukkan, Maha-Melihat, Maha-Kuasa, Yang Termulia, Pembuat dan Pencipta, Penguasa, Pengambil Keputusan dan Pemberi Perintah, Ayah dari semua yang telah ada dan yang akan ada. Makhluk-makhluk ini diciptakan olehku. Mengapa demikian? Karena pertama-tama aku memiliki pikiran: “Oh, seandainya beberapa makhluk lain dapat datang ke sini!” itu adalah keinginanku, dan kemudian makhluk-makhluk ini muncul!” Tetapi makhluk-makhluk lain yang muncul belakangan berpikir: “Ini, teman-teman, adalah Brahmā, Mahā-Brahmā, Sang Penakluk, Yang Tak Tertaklukkan, Maha-Melihat, Maha-Kuasa, Yang Termulia, Pembuat dan Pencipta, Penguasa, Pengambil Keputusan dan Pemberi Perintah, Ayah dari semua yang telah ada dan yang akan ada. Mengapa demikian? Kita telah melihat bahwa dia adalah yang pertama di sini, dan bahwa kita muncul setelah dia.”

2.6. ‘Dan makhluk yang muncul pertama ini hidup lebih lama, lebih indah dan lebih berkuasa daripada makhluk lainnya. Dan mungkin terjadi bahwa beberapa makhluk jatuh dari alam itu dan muncul di dunia ini. Setelah muncul di dunia ini, ia pergi meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Setelah meninggalkan keduniawian, ia melalui usaha, upaya, penerapan, ketekunan dan perhatian benar telah mencapai suatu kondisi tertentu dari konsentrasi pikiran hingga mampu mengingat kehidupan sebelumnya yang terakhir, tetapi tidak mampu mengingat yang sebelum itu. Dan ia berpikir: “Brahmā itu, … ia menciptakan kami, dan ia kekal, stabil, abadi, tidak mengalami perubahan, sama selamanya. Tetapi kami yang [19] diciptakan oleh Brahmā itu, kami tidak kekal, tidak stabil, berumur pendek, ditakdirkan terjatuh, dan kami datang ke dunia ini.” Ini adalah kasus pertama di mana beberapa pertapa dan Brahmana menganut sebagian abadi dan sebagian tidak-abadi.

2.7. [Pandangan salah 6] ‘Dan apakah cara ke dua? Ada, para bhikkhu, dewa-dewa tertentu yang disebut Rusak oleh Kenikmatan.43 Mereka menghabiskan banyak waktu menikmati kesenangan, bermain dan bersuka ria, sehingga perhatian mereka memudar, dan dengan memudarnya perhatian mereka makhuk-makhluk itu jatuh dari kondisi tersebut.

2.8. ‘Dan mungkin terjadi bahwa satu makhluk, setelah jatuh dari kondisi tersebut, muncul di dunia ini. Setelah muncul di dunia ini, ia pergi meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Setelah pergi, ia melalui usaha, upaya, … telah mengingat kehidupan sebelumnya yang terakhir, tetapi tidak mampu mengingat yang sebelum itu.

2.9. ‘Ia berpikir: “Para dewa mulia itu yang tidak rusak oleh kenikmatan tidak menghabiskan waktu menikmati kesenangan, bermain dan bersuka ria. Karenanya perhatian mereka tidak memudar, dan karena itu mereka tidak jatuh dari kondisi tersebut. Mereka kekal, stabil, abadi, tidak mengalami perubahan, sama selamanya [20]. Tetapi kami, yang rusak oleh kenikmatan, menghabiskan banyak waktu menikmati kesenangan, bermain dan bersuka ria. karena itu kami, dengan memudarnya perhatian, telah jatuh dari kondisi tersebut, kami tidak kekal, tidak stabil, berumur pendek, ditakdirkan terjatuh, dan kami datang ke dunia ini.” Ini adalah kasus ke dua.

2.10. [Pandangan salah 7] ‘Dan apakah cara ke tiga? Ada, para bhikkhu, para dewa tertentu yang disebut Rusak dalam Pikiran.44 Mereka menghabiskan waktu memperhatikan yang lainnya dengan iri hati. Karena pikiran mereka yang rusak, mereka menjadi lelah dalam jasmani dan pikiran. Dan mereka jatuh dari tempat itu.

2.11. ‘Dan mungkin terjadi bahwa satu makhluk, setelah jatuh dari kondisi tersebut, muncul di dunia ini. Ia … mengingat kehidupan sebelumnya yang terakhir, tetapi tidak mampu mengingat yang sebelum itu.

2.12 ‘Ia berpikir: “Para dewa mulia itu yang tidak rusak dalam pikiran tidak menghabiskan banyak waktu memperhatikan yang lainnya dengan iri hati … Mereka tidak rusak dalam pikiran, atau lelah dalam jasmani dan pikiran, dan karenanya mereka tidak jatuh dari kondisi tersebut. Mereka kekal, stabil, abadi … [21] tetapi kami, yang rusak dalam pikiran, … adalah tidak kekal, tidak stabil, berumur pendek, ditakdirkan terjatuh, dan kami datang ke dunia ini.” Ini adalah kasus ke tiga.

2.13. [Pandangan salah 8] ‘Dan apakah cara ke empat? Di sini, para bhikkhu, seorang petapa atau Brahmana tertentu adalah seorang yang menggunakan logika, yang menggunakan alasan. Mengembangkannya dengan alasan, mengikuti jalan pemikirannya sendiri, ia berpendapat: “Apapun yang disebut mata atau telinga atau hidung atau lidah atau badan, adalah tidak kekal, tidak stabil, tidak-abadi, tunduk pada perubahan. Tetapi apa yang disebut pikiran,45 atau batin atau kesadaran, yaitu diri adalah kekal, stabil, abadi, tidak tunduk pada perubahan, sama selamanya!” Ini adalah kasus ke empat.

2.14. “Ini adalah keempat cara yang dengannya para pertapa dan Brahmana ini menganggap sebagian abadi dan sebagian tidak-abadi, Petapa atau Brahmana apapun … menyatakan keabadian sebagian dan ketidak-abadian sebagian akan diri dan dunia, mereka melakukan dalam satu dari keempat cara ini. Tidak ada cara lain.

2.15. ‘Ini, para bhikkhu, Sang Tathāgata memahami: sudut-sudut pandang ini [22] yang digenggam dan dianut secara demikian akan membawa menuju alam kelahiran kembali ini dan itu di alam lain. Ini, Sang Tathāgata mengetahui, dan lebih jauh lagi, namun Beliau tidak melekat pada pengatahuan itu. Dan karena tidak melekat, Beliau mengalami bagi diriNya sendiri kedamaian sempurna, dan setelah memahami sepenuhnya muncul dan lenyapnya perasaan, kemenarikan dan bahayanya dan kebebasan darinya, Sang Tathāgata terbebaskan tanpa sisa.

‘Ini, para bhikkhu, adalah hal-hal lain tersebut, yang mendalam, sulit dilihat, sulit dipahami, damai, luhur, melampaui sekedar pikiran, halus, yang harus dialami oleh para bijaksana, yang Sang Tathāgata, setelah mencapainya dengan pengetahuan-agung-Nya sendiri, menyatakan, dan tentang hal-hal itu yang karenanya mereka yang dengan tulus memuji Sang Tathāgata akan mengatakannya dengan benar.’

2.16. ‘Ada, para bhikkhu, beberapa petapa dan Brahmana yang adalah penganut keterbatasan dan penganut ketidak-terbatasan,46 dan yang menyatakan terbatasnya dan tidak terbatasnya dunia dalam empat cara. Apakah itu?

2.17. [Pandangan salah 9] ‘Di sini, para bhikkhu, seorang petapa atau Brahmana tertentu melalui usaha … telah mencapai suatu kondisi konsentrasi yang di sana ia berdiam dan melihat dunia ini sebagai terbatas. Ia berpikir: “Dunia ini adalah terbatas dan dibatasi oleh sebuah lingkaran. Bagaimanakah demikian? Karena aku telah … mencapai suatu kondisi konsentrasi yang di sana aku berdiam melihat dunia ini sebagai terbatas. Oleh karena itu aku mengetahui bahwa dunia ini adalah terbatas dan dibatasi oleh sebuah lingkaran.” Ini adalah kasus pertama.

2.18. [Pandangan salah 10] ‘Dan apakah cara ke dua? Di sini seorang petapa dan Brahmana tertentu telah [23] mencapai suatu kondisi konsentrasi yang di dalamnya ia berdiam dan melihat dunia ini sebagai tidak terbatas. Ia berpikir: “Dunia ini tidak terbatas dan tidak dibatasi. Petapa dan Brahmana itu yang mengatakan bahwa dunia ini terbatas dan dibatasi adalah keliru. Bagaimanakah demikian? Karena aku telah mencapai kondisi konsentrasi yang di dalamnya aku berdiam dan melihat dunia ini sebagai tidak terbatas. Oleh karena itu aku mengetahui bahwa dunia ini tidak terbatas dan tidak dibatasi.” Ini adalah kasus ke dua.

2.19. [Pandangan salah 11] ‘Dan apakah cara ke tiga? Di sini seorang petapa dan Brahmana tertentu telah mencapai kondisi konsentrasi yang di dalamnya ia berdiam dan melihat dunia ini sebagai terbatas dari atas-dan-bawah, dan tidak terbatas secara melintang. Ia berpikir: “Dunia adalah terbatas dan tidak terbatas. Para petapa dan Brahmana itu yang mengatakan bahwa dunia ini terbatas adalah keliru, dan para petapa dan Brahmana itu yang mengatakan bahwa dunia ini tidak terbatas adalah keliru. Bagaimanakah demikian? Karena aku telah mencapai kondisi konsentrasi yang di dalamnya aku berdiam dan melihat dunia ini sebagai terbatas dari atas-dan-bawah, dan tidak terbatas secara melintang. Oleh karena itu aku mengetahui bahwa dunia ini terbatas dan juga tidak terbatas.” Ini adalah kasus ke tiga.

2.20. [Pandangan salah 12] ‘Dan apakah kasus ke empat? Di sini seorang petapa atau Brahmana tertentu adalah seorang yang menggunakan logika, yang menggunakan alasan. Mengembangkannya dengan alasan, mengikuti jalan pemikirannya sendiri, ia berpendapat: “Dunia ini bukan terbatas juga bukan tidak terbatas. Mereka yang mengatakan terbatas adalah keliru, dan demikian pula mereka [24] yang mengatakan tidak terbatas, dan mereka yang mengatakan terbatas dan tidak terbatas. Dunia ini bukan terbatas dan juga bukan tidak terbatas.” Ini adalah kasus ke empat.47

2.21. ‘Ini adalah keempat cara yang dengannya para petapa dan Brahmana menjadi penganut keterbatasan dan ketidak-terbatasan, dan menyatakan keterbatasan dan ketidak-terbatasan dunia di atas empat landasan. Tidak ada cara lainnya.

2.22. ‘Ini, para bhikkhu, Sang Tathāgata memahami: Sudut-sudut pandang ini yang digenggam dan dianut secara demikian akan membawa menuju alam kelahiran kembali ini dan itu di alam lain … (seperti paragraf 15).

‘Ini, para bhikkhu, adalah hal-hal lain tersebut, yang mendalam, sulit dilihat, sulit dipahami, damai, luhur, melampaui sekedar pikiran, halus, yang harus dialami oleh para bijaksana, yang Sang Tathāgata, setelah mencapainya dengan pengetahuan-agung-Nya sendiri, menyatakan, dan tentang hal-hal itu yang karenanya mereka yang dengan tulus memuji Sang Tathāgata akan mengatakannya dengan benar.

2.23. ‘Ada, para bhikkhu, beberapa petapa dan Brahmana yang adalah Pegeliat-belut.48 Saat ditanya tentang masalah ini atau itu, mereka menggunakan pernyataan-pernyataan menghindar, dan mereka menggeliat bagaikan belut dalam empat cara. Apakah itu?

2.24. [Pandangan salah 13] ‘Dalam hal ini ada seorang petapa atau Brahmana yang tidak mengetahui yang sebenarnya apakah suatu hal adalah baik atau buruk. Ia berpikir: ‘Aku tidak mengetahui sebenarnya apakah hal ini adalah baik [25] atau apakah hal ini buruk. Tanpa mengetahui mana yang benar, aku dapat menyatakan: ‘Itu adalah baik’, atau ‘Itu adalah buruk’, dan hal itu mungkin suatu kebohongan, dan itu akan membuatku menderita. Dan jika aku menderita, itu akan menjadi rintangan bagiku.”49 Demikianlah karena takut berbohong, tidak suka berbohong,50 ia tidak menyatakan suatu hal adalah baik atau buruk, tetapi ketika ia ditanya tentang persoalan ini atau itu, ia memberikan pernyataan menghindar dan menggeliat seperti belut: “Aku tidak mengatakan ini, aku tidak mengatakan itu, aku tidak mengatakan sebaliknya. Aku bukan mengatakan tidak. Aku bukan tidak mengatakan tidak” Ini adalah kasus pertama.

2.25. [Pandangan salah 14] ‘Apakah cara ke dua? Di sini seorang petapa atau Brahmana yang tidak mengetahui yang sebenarnya apakah suatu hal baik atau buruk. Ia berpikir: “Aku dapat menyatakan: ‘Itu adalah baik’, atau ‘Itu adalah buruk’, dan aku akan merasakan keinginan atau nafsu atau kebencian atau penolakan. Jika aku merasakan keinginan atau nafsu atau kebencian atau penolakan, maka itu akan menjadi kemelekatan bagiku. Jika aku merasakan kemelekatan, maka itu akan membuatku menderita, dan jika aku menderita, maka itu akan menjadi rintangan bagiku.” [26] Demikianlah, karena takut akan kemelekatan, tidak menyukai kemelekatan, ia memberikan pernyataan menghindar … Ini adalah kasus ke dua.

2.26. [Pandangan salah 15] ‘Apakah cara ke tiga? Di sini seorang petapa atau Brahmana yang tidak mengetahui yang sebenarnya apakah suatu hal adalah baik atau buruk. Ia berpikir: “Aku dapat menyatakan: ‘Itu adalah baik’, atau ‘Itu adalah buruk’, tetapi ada para petapa dan Brahmana yang bijaksana, terampil, pendebat terlatih, bagaikan pemanah yang dapat membelah rambut, yang mengembara menghancurkan pandangan-pandangan orang lain dengan kebijaksanaan mereka, dan mereka akan menanyaiku, menuntut alasan-alasanku dan berdebat. Dan aku mungkin tidak mampu menjawab. Tidak mampu menjawab akan membuatku menderita, dan jika aku menderita, itu akan menjadi rintangan bagiku.” Demikianlah, karena takut berdebat, tidak suka berdebat, ia memberikan pernyataan menghindar. Ini adalah kasus ke tiga. [27]

2.27. [Pandangan salah 16] ‘Apakah cara ke empat? Di sini, seorang petapa atau Brahmana adalah tumpul dan bodoh.51 Karena ketumpulan dan kebodohannya, ketika ia ditanya, ia akan memberikan pernyataan menghindar dan menggeliat seperti belut: “Jika engkau bertanya kepadaku apakah ada dunia lain – jika aku berpikir demikian, maka aku akan mengatakan ada dunia lain. Tetapi aku tidak mengatakan demikian. Dan aku tidak mengatakan sebaliknya. Dan aku bukan mengatakan tidak ada, dan aku bukan tidak mengatakan tidak ada.” “Apakah tidak ada dunia lain? …” “Apakah ada dunia lain dan juga tidak ada dunia lain? …” “Apakah bukan ada dunia lain dan juga bukan tidak ada dunia lain? …”52 “Apakah ada makhluk-makhluk yang terlahir secara spontan? …”53 “Apakah tidak ada …?” “Keduanya …?” “Bukan keduanya … ?” “Apakah Tathāgata ada setelah kematian? Apakah Beliau tidak ada setelah kematian? Apakah Beliau ada dan juga tidak ada setelah kematian? Apakah Beliau bukan ada dan juga bukan tidak ada setelah kematian? …”54 “Jika aku berpikir demikian, aku akan mengatakan demikian … Aku bukan mengatakan tidak.” Ini adalah kasus ke empat.

2.28. ‘Ini adalah keempat cara [28] yang oleh para petapa dan Brahmana yang adalah Pegeliat-belut gunakan untuk menghindar … Tidak ada cara lain.

2.29. ‘Ini, para bhikkhu, Sang Tathāgata memahami: Sudut-sudut pandang ini yang digenggam dan dianut secara demikian akan membawa menuju alam kelahiran kembali ini dan itu di alam lain … (seperti paragraf 15).

‘Ini, para bhikkhu, adalah hal-hal lain tersebut, yang mendalam, sulit dilihat, … yang Sang Tathāgata, setelah mencapainya dengan pengetahuan-agung-Nya sendiri, menyatakan, dan tentang hal-hal itu yang karenanya mereka yang dengan tulus memuji Sang Tathāgata akan mengatakannya dengan benar.

2.30. ‘Ada, para bhikkhu, beberapa petapa dan Brahmana yang adalah Penganut Asal-Mula-Kebetulan, dan yang menyatakan asal-mula kebetulan dari diri dan dunia di atas dua landasan. Apakah itu?

2.31. [Pandangan salah 17] ‘Ada, para bhikkhu, para dewa tertentu yang disebut Tanpa Persepsi.55 Segera setelah suatu persepsi muncul dalam diri mereka, para dewa itu jatuh dari alam tersebut. Dan mungkin terjadi bahwa suatu makhluk jatuh dari alam tersebut dan muncul di alam ini. Ia … mengingat kehidupan sebelumnya, tetapi tidak mengingat [29] yang sebelum itu. Ia berpikir: “Diri dan dunia muncul secara kebetulan. Bagaimanakah demikian? Sebelum ini aku tidak ada. Sekarang dari tidak ada aku menjadi ada.” Ini adalah kasus pertama.

2.32. [Pandangan salah 18] ‘Apakah kasus ke dua? Di sini seorang petapa atau Brahmana tertentu adalah seorang yang menggunakan logika, yang menggunakan alasan. Ia Mengembangkan pendapatnya sendiri dan menyatakan: “Diri dan dunia muncul secara kebetulan.” Ini adalah cara ke dua.

2.33. ‘Ini adalah ke dua cara yang dengannya para petapa dan Brahmana yang adalah Penganut Asal-mula-Kebetulan menyatakan asal-mula kebetulan dari diri dan dunia. Tidak ada cara lain.

2.34. ‘Ini, para bhikkhu, Sang Tathāgata memahami …

‘Ini, para bhikkhu, adalah hal-hal lain tersebut, yang mendalam, sulit dilihat, … yang Sang Tathāgata, setelah mencapainya dengan pengetahuan-agung-Nya sendiri, menyatakan, dan tentang hal-hal itu yang karenanya mereka yang [30] dengan tulus memuji Sang Tathāgata akan mengatakannya dengan benar.

2.35. ‘Dan ini, para bhikkhu, adalah delapan belas cara yang dengannya para petapa dan Brahmana yang adalah spekulator tentang masa lampau … Tidak ada cara lain.

2.36. ‘Ini, para bhikkhu, Sang Tathāgata memahami …

2.37. ‘Ada, para bhikkhu, beberapa petapa dan Brahmana yang adalah spekulator tentang masa depan, memiliki pandangan kuat pada masa depan dan yang mengusulkan berbagai teori spekulatif tentang masa depan, dalam empat puluh empat cara berbeda. Atas dasar apakah, atas landasan apakah mereka melakukan hal itu?

2.38. ‘Ada, para bhikkhu, beberapa petapa dan Brahmana yang [31] menyatakan suatu ajaran tentang Persepsi yang bertahan setelah kematian, dan mereka melakukannya dalam enam belas cara yang berbeda. Dalam landasan apakah?

[Pandangan salah 19-34] ‘Mereka menyatakan bahwa diri setelah kematian adalah sehat dan memiliki persepsi dan (1) bermateri,56 (2) tanpa materi,57 (3) bermateri dan juga tanpa materi, (4) bukan bermateri dan juga bukan tanpa materi, (5) terbatas, (6) tidak terbatas, (7) keduanya, (8) bukan keduanya, (9) memiliki persepsi yang seragam, (10) memiliki persepsi yang berbeda-beda, (11) memiliki persepsi yang terbatas, (12) memiliki persepsi tidak terbatas, (13) bahagia sepenuhnya, (14) menderita sepenuhnya, (15) keduanya, (16) bukan keduanya.

2.39. ‘Ini adalah keenambelas cara yang dengannya para petapa dan Brahmana ini menyatakan suatu ajaran kesadaran yang bertahan setelah kematian. Tidak ada cara lainnya.

2.40. ‘Ini, para bhikkhu, Sang Tathāgata memahami …

‘Ini, para bhikkhu, adalah hal-hal lain tersebut, yang mendalam, sulit dilihat, … yang Sang Tathāgata, setelah mencapainya dengan pengetahuan-agung-Nya sendiri, [32] menyatakan, dan tentang hal-hal itu yang karenanya mereka yang dengan tulus memuji Sang Tathāgata akan mengatakannya dengan benar.

[Akhir dari Bagian Pembacaan Ke Dua]

3.1 ‘Ada, para bhikkhu, beberapa petapa dan Brahmana yang menyatakan ajaran Tanpa persepsi yang Bertahan Setelah Kematian, dan mereka melakukannya dalam delapan cara. Atas landasan apakah?

3.2. [Pandangan salah 35-42] ‘Mereka menyatakan bahwa diri setelah kematian adalah sehat dan tanpa persepsi dan (1) bermateri, (2) tanpa materi, (3) keduanya, (4) bukan keduanya, (5) terbatas, (6) tidak terbatas, (7) keduanya, (8) bukan keduanya.58

3.3. ‘Ini adalah delapan cara bagi para petapa dan Brahmana menyatakan ajaran Tanpa persepsi yang bertahan setelah kematian. Tidak ada cara lain.

3.4. ‘Ini, para bhikkhu, Sang Tathāgata memahami …Ini, para bhikkhu, adalah hal-hal lain tersebut, yang mendalam, sulit dilihat, … yang Sang Tathāgata, setelah mencapainya dengan pengetahuan-agung-Nya sendiri, menyatakan, [33] dan tentang hal-hal itu yang karenanya mereka yang dengan tulus memuji Sang Tathāgata akan mengatakannya dengan benar.

3.5. ‘Ada beberapa petapa dan Brahmana yang menyatakan ajaran Bukan Memiliki Persepsi dan Juga Bukan Tanpa Persepsi yang bertahan setelah kematian, dan mereka melakukannya dalam delapan cara. Atas landasan apakah?

3.6. [Pandangan salah 43-50] ‘Mereka menyatakan bahwa diri setelah kematian adalah sehat dan bukan memiliki persepsi dan juga bukan tanpa persepsi dan (1) bermateri, (2) tanpa materi, (3) keduanya, (4) bukan keduanya, (5) terbatas, (6) tidak terbatas, (7) keduanya, (8) bukan keduanya.59

3.7. ‘Ini adalah delapan cara bagi para pertapa dan Brahmana menyatakan ajaran Bukan Memiliki Persepsi dan Juga Bukan Tanpa Persepsi yang bertahan setelah kematian. Tidak ada cara lain.

3.8. ‘Ini, para bhikkhu, Sang Tathāgata memahami …Ini, para bhikkhu, adalah hal-hal lain tersebut, yang mendalam, sulit dilihat, … yang Sang Tathāgata, setelah mencapainya dengan pengetahuan-agung-Nya sendiri, menyatakan, dan tentang hal-hal itu yang karenanya mereka yang dengan tulus memuji Sang Tathāgata akan mengatakannya dengan benar. [34]

3.9. ‘Ada, para bhikkhu, beberapa petapa dan Brahmana yang menganut Pemusnahan, yang menyatakan pemusnahan, penghancuran dan ke-tiada-an makhluk-makhluk, dan mereka melakukannya dalam tujuh cara. Atas landasan apakah?

3.10. [Pandangan salah 51] ‘Di sini seorang petapa atau Brahmana tertentu menyatakan dan menganut pandangan: “Karena diri ini adalah materi dan tersusun dari empat unsur,60 produk dari ibu dan ayah,61 saat hancurnya jasmani, diri ini musnah dan binasa, dan tidak ada setelah kematian. Inilah caranya diri ini musnah.” Itulah bagaimana beberapa orang menyatakan pemusnahan, penghancuran dan ke-tiada-an makhluk-makhluk.

3.11. [Pandangan salah 52] ‘Yang lain berkata kepadanya: “Tuan, ada diri seperti yang engkau katakan. Aku tidak menyangkalnya. Namun diri itu tidak sepenuhnya musnah. Karena ada diri yang lain, dewa,62 bermateri, yang berdiam di alam-indria,63 memakan makanan nyata.64 Engkau tidak mengetahuinya atau melihatnya, tetapi aku mengetahuinya dan melihatnya. Adalah diri ini yang pada saat hancurnya jasmani binasa, …”65

3.12. [Pandangan salah 53] ‘Yang lain berkata kepadanya: “Tuan, ada diri seperti yang engkau katakan. Aku tidak menyangkalnya. Namun diri itu tidak sepenuhnya musnah. Karena ada diri yang lain, dewa, bermateri, ciptaan-pikiran,66 lengkap dengan semua bagian-bagian tubuhnya, tidak cacat dalam semua organ-indrianya … Adalah diri ini yang pada saat hancurnya jasmani binasa, …”

3.13. [Pandangan salah 54] ‘Yang lain berkata kepadanya: “Tuan, ada diri seperti yang engkau katakan … Ada diri yang lain yang, dengan sepenuhnya melampaui sensasi jasmani, dengan lenyapnya semua penolakan dan dengan ketidak-tertarikan pada persepsi yang beraneka-ragam, melihat bahwa ruang adalah tidak terbatas, telah mencapai Alam Ruang Tanpa Batas.67 [35] Adalah diri ini yang pada saat hancurnya jasmani binasa, …”

3.14. [Pandangan salah 55] ‘Yang lain berkata kepadanya: “‘Ada diri yang lain yang, dengan sepenuhnya melampaui alam ruang tanpa batas, melihat bahwa kesadaran adalah tanpa batas, telah mencapai alam Kesadaran Tanpa Batas. Adalah diri ini yang pada saat hancurnya jasmani binasa, …”

3.15. [Pandangan salah 56] ‘Yang lain berkata kepadanya: “‘Ada diri yang lain yang, dengan sepenuhnya melampaui Alam Kesadaran Tanpa Batas, melihat bahwa tidak ada apapun, telah mencapai Alam Kekosongan. Adalah diri ini yang pada saat hancurnya jasmani binasa, …”

3.16. [Pandangan salah 57] ‘Yang lain berkata kepadanya: “Tuan, ada diri seperti yang engkau katakan. Aku tidak menyangkalnya. Namun diri itu tidak sepenuhnya musnah. Karena ada diri yang lain, yang dengan sepenuhnya melampaui alam Kekosongan dan melihat bahwa: ‘Ini adalah damai, ini adalah luhur’, telah mencapai alam Bukan Persepsi Juga Bukan Bukan-Persepsi. Engkau tidak mengetahuinya atau melihatnya, tetapi aku mengetahuinya dan melihatnya. Adalah diri ini yang pada saat hancurnya jasmani, akan musnah dan binasa, dan tidak ada setelah kematian. Inilah caranya diri ini musnah sepenuhnya.” Itulah bagaimana beberapa orang menyatakan pemusnahan, penghancuran dan ke-tiada-an makhluk-makhluk.

3.17. ‘Ini adalah ketujuh cara bagi para petapa dan Brahmana menyatakan ajaran pemusnahan, penghancuran dan ke-tiada-an makhluk-makhluk … [36] Tidak ada cara lain.

3.18. ‘Ini, para bhikkhu, Sang Tathāgata memahami … Ini, para bhikkhu, adalah hal-hal lain tersebut, yang mendalam, sulit dilihat, … yang Sang Tathāgata, setelah mencapainya dengan pengetahuan-agung-Nya sendiri, menyatakan, dan tentang hal-hal itu yang karenanya mereka yang dengan tulus memuji Sang Tathāgata akan mengatakannya dengan benar.

3.19. ‘Ada, para bhikkhu, beberapa petapa dan Brahmana yang menyatakan Nibbāna di Sini dan Saat ini, dan yang menyatakan Nibbāna di sini dan saat ini bagi makhluk hidup saat ini dalam lima cara. Atas landasan apakah?

3.20. [Pandangan salah 58] ‘Di sini seorang petapa atau Brahmana tertentu menyatakan dan menganut pandangan: “Dalam diri ini, yang dilengkapi dan memiliki lima kenikmatan-indria, menikmatinya, maka itulah saatnya diri mencapai Nibbāna tertinggi di sini dan saat ini.”68 Demikianlah beberapa menyatakannya.

3.21. [Pandangan salah 59] ‘Yang lain berkata kepadanya: “Tuan, ada diri seperti yang engkau katakan. Aku tidak menyangkalnya. Tetapi itu bukanlah di mana diri mencapai Nibbāna tertinggi di sini dan saat ini. Mengapa demikian? Karena, Tuan, kenikmatan-indria tidak kekal, penuh penderitaan dan mengalami perubahan, dan dari perubahan dan transformasinya muncullah kesedihan, ratapan, dukacita dan kesusahan. Tetapi [37] ketika diri ini, terlepas dari kenikmatan-indria, terlepas dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, masuk dan berdiam dalam jhāna pertama,69 yang disertai oleh pemikiran dan pertimbangan,70 dan kegembiraan71 dan kebahagiaan72 yang muncul dari keterlepasan, itulah saatnya diri mencapai Nibbāna tertinggi di sini dan saat ini.”

3.22. [Pandangan salah 60] ‘Yang lain berkata kepadanya: “Tuan, ada diri seperti yang engkau katakan. Tetapi itu bukanlah di mana diri mencapai Nibbāna tertinggi di sini dan saat ini. Mengapa demikian? Karena dengan adanya pemikiran dan pertimbangan, kondisi itu dianggap kasar. Tetapi ketika diri dengan meredanya pemikiran dan pertimbangan memasuki dan berdiam dalam jhāna ke dua, dengan ketenangan dan keterpusatan pikiran, yang bebas dari pemikiran dan pertimbangan dan yang muncul dari konsentrasi,73 dan disertai oleh kegembiraan dan kebahagiaan, itulah saatnya diri mencapai Nibbāna tertinggi di sini dan saat ini.”

3.23. [Pandangan salah 61] ‘Yang lain berkata kepadanya: “Tuan, ada diri seperti yang engkau katakan. Tetapi itu bukanlah di mana diri mencapai Nibbāna tertinggi di sini dan saat ini. Mengapa demikian? Karena dengan adanya kegembiraan maka ada kegembiraan batin, dan kondisi itu dianggap kasar. Tetapi ketika diri ini, dengan meluruhnya kegembiraan, berdiam dalam keseimbangan,74 penuh perhatian dan sadar jernih,75 dalam tubuhnya sendiri mengalami kebahagiaan itu yang karenanya Para Mulia mengatakan: ‘Kediaman bahagia bagi seseorang yang memiliki keseimbangan dan perhatian’, dan dengan demikian masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, itulah saatnya diri mencapai Nibbāna tertinggi di sini dan saat ini.”

3.24. [Pandangan salah 62] ‘Yang lain berkata kepadanya: “Tuan, ada diri seperti yang engkau katakan. Aku tidak menyangkalnya. Tetapi itu bukanlah di mana diri mencapai Nibbāna tertinggi di sini dan saat ini. Mengapa demikian? Karena pikiran mengandung gagasan kegembiraan, dan kondisi itu dianggap kasar. Tetapi ketika, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dengan lenyapnya kegembiraan dan kesedihan sebelumnya, [38] seseorang masuk dan berdiam dalam kondisi yang melampaui kenikmatan dan kesakitan dalam jhāna ke empat, yang dimurnikan oleh keseimbangan dan perhatian, itulah saatnya diri mencapai Nibbāna tertinggi di sini dan saat ini.” Demikianlah beberapa orang menyatakan Nibbāna tertinggi di sini dan saat ini bagi makhluk hidup saat ini.

3.25. ‘Ini adalah lima cara yang digunakan oleh beberapa petapa dan Brahmana untuk menyatakan Nibbāna di Sini dan Saat ini. Tidak ada cara lain.

3.26. ‘Ini, para bhikkhu, Sang Tathāgata memahami …

3.27. ‘Ini adalah empat puluh empat cara yang digunakan oleh beberapa petapa dan Brahmana yang adalah spekulator tentang masa depan, memiliki pandangan kuat akan masa depan untuk mengusulkan berbagai teori spekulatif tentang masa depan. Tidak ada cara lain.

3.28. ‘Ini, para bhikkhu, Sang Tathāgata memahami … [39]

3.29. ‘Ini adalah enam puluh dua cara yang digunakan oleh beberapa petapa dan Brahmana yang adalah spekulator tentang masa lampau, masa depan, atau keduanya, untuk mengusulkan berbagai teori spekulatif tentang hal-hal ini. Tidak ada cara lain.

3.30. ‘Ini, para bhikkhu, Sang Tathāgata memahami: Sudut-sudut pandang ini yang digenggam dan dianut secara demikian akan membawa menuju alam kelahiran kembali ini dan itu di alam lain. Ini, Sang Tathāgata mengetahui, dan lebih jauh lagi, namun Beliau tidak melekat pada pengetahuan itu. Dan karena tidak melekat, Beliau mengalami bagi diriNya sendiri kedamaian sempurna, dan setelah memahami sepenuhnya muncul dan lenyapnya perasaan, kemenarikan dan bahayanya dan kebebasan darinya, Sang Tathāgata terbebaskan tanpa sisa.

3.31. ‘Ini, para bhikkhu, adalah hal-hal lain tersebut, yang mendalam, sulit dilihat, sulit dipahami, damai, luhur, melampaui sekedar pikiran, halus, yang harus dialami oleh para bijaksana, yang Sang Tathāgata, setelah mencapainya dengan pengetahuan-agung-Nya sendiri, menyatakan, dan tentang hal-hal itu yang karenanya mereka yang dengan tulus memuji Sang Tathāgata akan mengatakannya dengan benar.

3.32. [Pandangan salah 1-4] ‘Demikianlah, para bhikkhu, ketika para petapa dan Brahmana itu yang adalah Penganut Keabadian menyatakan keabadian diri dan dunia dalam empat [40] cara, itu hanyalah sekedar perasaan dari mereka yang tidak mengetahui dan tidak melihat, kekhawatiran dan kebingungan dari mereka yang tenggelam dalam ketagihan.

3.33. [Pandangan salah 5-8] ‘Ketika mereka yang adalah penganut Keabadian sebagian dan ketidak-abadian sebagian menyatakan keabadian sebagian dan kKtidak-abadian sebagian dari diri dan dunia dalam empat cara, itu hanyalah sekedar perasaan dari mereka yang tidak mengetahui dan tidak melihat …

3.34. [Pandangan salah 9-12] ‘Ketika mereka yang menganut keterbatasan dan ketidak-terbatasan menyatakan keterbatasan dan ketidak-terbatasan dunia atas empat landasan, itu hanyalah sekedar perasaan dari mereka yang tidak mengetahui dan tidak melihat …

3.35 [Pandangan salah 13-16] ‘Ketika mereka yang adalah Pegeliat-Belut memberikan pernyataan menghindar, dan menggeliat seperti belut di atas empat landasan, itu hanyalah sekedar perasaan …

3.36. [Pandangan salah 17-18] ‘Ketika mereka yang menganut Asal-Mula Kebetulan menyatakan asal-mula yang kebetulan pada diri dan dunia di atas dua landasan, itu hanyalah perasaan …

3.37. [Pandangan salah 1-18] ‘Ketika mereka yang adalah para spekulator tentang masa lampau, memiliki pandangan kokoh tentang masa lampau, mengusulkan teori-teori spekulatif tentang masa lampau dalam delapan belas cara berbeda, ini hanyalah sekedar perasaan dari mereka yang tidak mengetahui dan tidak melihat, kekhawatiran dan kebingungan dari mereka yang tenggelam dalam ketagihan.

3.38. [Pandangan salah 19-34] ‘Ketika mereka yang menyatakan ajaran Persepsi yang Bertahan Setelah Kematian mengungkapkannya dalam enam belas cara berbeda, itu hanyalah sekedar perasaan … [41]

3.39. [Pandangan salah 35-42] ‘Ketika mereka yang menyatakan ajaran Tanpa-Persepsi yang Bertahan Setelah Kematian mengungkapkannya dalam delapan cara berbeda, itu hanyalah sekedar perasaan …

3.40. [Pandangan salah 43-50] ‘Ketika mereka yang menyatakan ajaran Bukan Memiliki Persepsi dan juga Bukan Tanpa-Persepsi yang Bertahan Setelah Kematian mengungkapkannya dalam delapan cara, itu hanyalah sekedar perasaan …

3.41. [Pandangan salah 51-57] ‘Ketika mereka yang menganut Pemusnahan menyatakan pemusnahan, penghancuran dan ke-tiada-an makhluk-makhluk dalam tujuh cara, itu hanyalah sekedar perasaan …

3.42. [Pandangan salah 58-62] ‘Ketika mereka yang menganut Nibbāna di Sini dan Saat ini menyatakan Nibbāna di sini dan saat ini bagi makhluk-makhluk hidup saat ini di atas lima landasan, itu hanyalah sekedar perasaan …

3.43. [Pandangan salah 19-62] ‘Ketika mereka yang adalah para spekulator tentang masa depan dalam empat puluh empat cara berbeda …

3.44. [Pandangan salah 1-62] ‘Ketika para petapa dan Brahmana itu yang adalah para spekulator tentang masa lampau, masa depan, atau keduanya, memiliki pandangan kokoh, mengusulkan pandangan-pandangan dalam enam puluh dua cara berbeda, ini hanyalah sekedar perasaan dari mereka yang tidak mengetahui dan tidak melihat, kekhawatiran dan kebingungan dari mereka yang tenggelam dalam ketagihan.

3.45. ‘Ketika para pertapa dan Brahmana itu yang adalah [42] penganut Keabadian menyatakan keabadian atas diri dan dunia dalam empat cara, itu dikondisikan oleh kontak.76

3.46. ‘Ketika mereka yang adalah penganut Keabadian Sebagian dan Ketidak-abadian sebagian…

3.47. ‘Ketika mereka yang adalah penganut Keterbatasan dan Ketidak-terbatasan …

3.48. ‘Ketika mereka yang adalah Pegeliat-belut …

3.49. ‘Ketika mereka yang adalah penganut Asal-mula Kebetulan …

3.50. ‘Ketika mereka yang adalah para spekulator tentang masa lampau dalam delapan belas cara …

3.51. ‘Ketika mereka yang menyatakan ajaran Persepsi yang Bertahan Setelah Kematian …

3.52. ‘Ketika mereka yang menyatakan ajaran Tanpa-Persepsi yang Bertahan Setelah Kematian …

3.53. ‘Ketika mereka yang menyatakan ajaran Bukan Memiliki Persepsi dan juga Bukan Tanpa-Persepsi yang Bertahan Setelah Kematian …

3.54. ‘Ketika mereka yang adalah penganut Pemusnahan …

3.55. ‘Ketika mereka yang menyatakan Nibbāna Di Sini dan Saat ini …

3.56. ‘Ketika mereka yang adalah para spekulator tentang masa depan … [43]

3.57. ‘Ketika para petapa dan Brahmana itu yang adalah para spekulator tentang masa lampau, masa depan, atau keduanya, memiliki pandangan kokoh, mengusulkan pandangan-pandangan dalam enam puluh dua cara berbeda, itu dikondisikan oleh kontak.

3.58-70. ‘Bahwa semua ini (Penganut Keabadian dan seterusnya) harus mengalami perasaan tanpa kontak adalah mustahil. [44]

3.71. ‘Sehubungan dengan semua ini …, [45] mereka mengalami perasaan-perasaan ini melalui kontak yang berulang-ulang melalui enam landasan-indria;77 perasaan mengkondisikan ketagihan; ketagihan mengkondisikan kemelekatan; kemelekatan mengkondisikan penjelmaan; penjelmaan mengkondisikan kelahiran; kelahiran mengkondisikan penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesedihan dan kesusahan.78

‘Ketika, para bhikkhu, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya muncul dan lenyapnya enam landasan kontak, kemenarikan dan bahayanya, dan kebebasan darinya, ia mengetahui apa yang melampaui semua pandangan ini.

3.72. ‘Petapa dan Brahmana manapun yang adalah para spekulator tentang masa lampau atau masa depan atau keduanya, yang memiliki pandangan kokoh pada persoalan tersebut dan mengusulkan pandangan spekulatif, semua ini terperangkap dalam jaring dengan enam puluh dua bagian, dan kemanapun mereka masuk dan mencoba untuk keluar, mereka tertangkap dan terkurung dalam jaring ini. Bagaikan seorang nelayan ahli atau pembantunya yang menutup sebagian air dengan jaring yang baik, berpikir: “Makhluk besar apapun yang ada di air ini, mereka semuanya terperangkap dalam jaring, [46] dan terkurung dalam jaring”, demikian pula dengan semua ini: mereka terperangkap dan tertangkap dalam jaring ini.

3.73. ‘Para bhikkhu, jasmani Sang Tathāgata yang berdiri tegak dengan unsur-unsur yang menghubungkannya dengan jasmani akan menjadi hancur.79 Selama jasmani ini ada, para dewa dan manusia dapat melihatnya. Tetapi saat hancurnya jasmani dan habisnya umur kehidupan, para dewa dan manusia tidak akan melihatnya lagi. Para bhikkhu, bagaikan ketika tangkai serumpun mangga dipotong, maka semua mangga pada rumpun itu akan jatuh bersamanya, demikian pula jasmani Sang Tathāgata dengan unsur-unsurnya yang menghubungknnya dengan penjelmaan telah terpotong. Selama jasmani ini ada, para dewa dan manusia dapat melihatnya. Tetapi saat hancurnya jasmani dan habisnya umur kehidupan, para dewa dan manusia tidak akan melihatnya lagi.’

3.74. Setelah kata-kata tersebut Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā: ‘Menakjubkan, Bhagavā, sungguh indah. Apakah nama dari pembabaran Dhamma ini?’

‘Ānanda, engkau boleh mengingat pembabaran Dhamma ini sebagai Jaring Manfaat,80 Jaring Dhamma, Jaring Tertinggi, Jaring Pandangan-pandangan, atau sebagai Kemenangan Tanpa Tandingan dalam Pertempuran.’

Demikianlah Sang Bhagavā berkata, dan para bhikkhu bergembira dan bersukacita mendengar kata-kata Beliau. Dan ketika pembabaran ini sedang disampaikan, sepuluh ribu alam-semesta berguncang.


Catatan Kaki
  1. Ada terjemahan lain dari Sutta ini oleh Bhikkhu Bodhi, The All-Embracing Net of Views: The Brahmajāla Sutta and its Commentaries (BPS 1978). Ini adalah sangat penting pada bagian pendahuluan serta terjemahan komentarnya. Selain terjemahan oleh Rhys Davids (RD) juga ada terjemahan ringkas oleh Mrs A.A.G. Bennet dalam Long Discourses of the Buddha (Bombay 1964, hanya Sutta 1-16 saja), dan juga oleh David Maurice dalam The Lion’s Roar (London 1962), yang keduanya saya anggap berguna. Saya juga mempelajari terjemahan sebagian dari Jerman (Sutta 1,2,3,4,5,8,9,11,13,16,21,26,27) oleh R.O. Franke (1913), dan, sejauh yang diijinkan oleh pengetahuan saya atas bahasa Thai yang terbatas, terjemahan dalam bahasa Thai (2nd ed., Bangkok 2521(1978)). Brahma – dalam judul memiliki makna ‘tertinggi’. ↩︎

  2. Nāḷandā, sesudahnya adalah lokasi sebuah universitas Buddhist yang terkenal, terletak kira-kira 12 km utara Rājagaha (sekarang Rajgir), ibukota Magadha. ↩︎

  3. Seorang pengikut dari Sañjaya Belaṭṭhaputta (Baca DN 2.31f). Sāriputta dan Moggallāna, siswa Buddha yang paling terkenal, mulanya adalah pengikut Sañjaya, dan karena kepergian merekalah, selain hilangnya keuntungannya, yang memicu kemarahan Suppiya (DA). ↩︎

  4. Secara harfiah ‘Itu tidak ada dalam diri kami’ ↩︎

  5. DA menunjukkan bahwa ‘Moralitas lebih rendah dibandingkan dengan kualitas yang lebih tinggi, karena moralitas tidak mencapai konsentrasi yang luhur, juga tidak mencapai konsentrasi kebijaksanaan agung’. Cf. paragraf 28. ↩︎

  6. Puthujjana: seorang ‘biasa’ yang, belum menghancurkan tiga belenggu pertama (pandangan tentang diri, keragu-raguan, kemelekatan pada upacara dan ritual), belum ‘memasuki arus’ dan belum mulai menapaki jalan yang lebih tinggi (adi-duniawi). ↩︎

  7. Cara yang biasanya digunakan oleh Sang Buddha untuk merujuk pada diri sendiri. Baca pendahuluan, p.46. ↩︎

  8. Tiga bagian ini tentang moralitas muncul secara persis dalam seluruh dari 13 Sutta pertama dan dapat dikelompokkan menjadi suatu ‘bagian’ terpisah (RD). ↩︎

  9. Kata ‘menjauhi’ ini diulang di seluruh naskah. ↩︎

  10. Brahmacariyā adalah cara hidup suci yang tertinggi, yaitu hidup selibat. DA menunjukkan bahwa hal ini termasuk menjauhi segala bentuk perilaku erotis selain hubungan seksual. ↩︎

  11. Atthavādī: attha juga berarti ‘yang bermanfaat’ (baca catatan selanjutnya). ↩︎

  12. Atthasaṁhitaṁ: Di sini makna attha jelas sebagai ‘bermanfaat’. ↩︎

  13. ‘Pada waktu yang salah’ artinya antara tengah hari dan fajar keesokan harinya. ↩︎

  14. Paragraf 8-9 mencakup empat sila pertama yang dilaksanakan oleh sāmaṇera. Penjelasan atas berbagai bentuk ucapan salah di sini (dan dibagian lain) mencerminkan pentingnya mengendalikan lidah. Yang mengherankan adalah tidak adanya aturan menghindari kemabukan, tetapi digantikan dengan sebuah rujukan pada ‘merusak benih dan hasil panen’. Lima aturan berikutnya sesuai dengan sila sāmaṇera 6-10. ↩︎

  15. Akan tetapi Sang Buddha sendiri menerima tanah dari Anāthapiṇḍika dan yang lainnya untuk Sangha. ↩︎

  16. Sobha-nagarakaṁ: ‘dari kota Sobha’ (ini adalah kota para gandhabba atau musisi surgawi). RD berpikir tentang sebuah pertunjukan balet yang diperankan oleh peri-peri. BB menterjemahkannya sebagai ‘pertunjukan seni’ – yang tentu saja memberikan kesan yang keliru bagi pembaca masa kini! ↩︎

  17. Caṇḍālaṁ vaṁsaṁ dhopanaṁ: tidak jelas. Pelakunya diduga berkasta rendah. DA berpikir tentang sebuah bola besi (yang digunakan untuk sulap?). ↩︎

  18. Catur, dengan 64 atau 100 kotak, berasal dari india. Meskipun sebelumnya tidak dikenal, namun diperkenalkan di Eropa oleh orang-orang Kristen. ↩︎

  19. Catur pikiran, yang dimainkan tanpa papan catur. ↩︎

  20. Ditulis di udara, atau di punggung seseorang. Tulisannya sudah ada, tetapi belum digunakan oleh Sang Buddha atau guru-guru lainnya pada masa itu. ↩︎

  21. Permainan tebak-tebakan, bukan telepati. ↩︎

  22. Pallanka: (darimana, yang tertinggi, ‘tandu’ kita), juga berarti ‘duduk bersila’ (baca n.519, 520). ↩︎

  23. Tiracchāna-kathā: secara harfiah: pembicaraan-binatang. Ketika binatang-binatang berjalan bersama-sama, jadi pembicaraan ini tidak mengarah menuju ke atas (DA). Baca juga n.244. ↩︎

  24. Lokakhāyīkaṁ: spekulasi filosofis dari jenis para materialis (DA). ↩︎

  25. Iti-bhavābhava-kathā: juga diartikan sebagai ‘untung dan rugi’, namun makna filosofis (seperti dalam terjemahan Horner dan Ñāṇamolli dari MN 76) lebih disukai. ↩︎

  26. Juga pada MN 77, dan SN 46.9. ↩︎

  27. Untuk keterangan terperinci mengenai praktik ini, baca VM 1.61-82. ↩︎

  28. Angaṁ: termasuk telapak kaki serta telapak tangan. ↩︎

  29. Mengetahui jimat yang digunakan oleh seseorang yang berdiam dalam sebuah rumah tanah. ↩︎

  30. Kaṇṇika-lakkhaṇaṁ: dari kaṇṇa ‘telinga’. DA berpikir bahwa ini artinya giwang atau sudut atap rumah, keduanya tidak cocok di sini. Saya mengikuti terjemahan Thai yang, mungkin mengikuti tradisi kuno, memiliki tun ‘tikus bambu’ (Baca McFarland, Thai-English Dictionary, p.371). Franke mengatakan ‘seekor binatang yang selalu disebut kelinci’, dan diduga bahwa tentunya berarti sekor binatang bertelinga panjang. ↩︎

  31. Raññaṁ: yaitu pemimpin bersama dari suatu negara republik. ↩︎

  32. Viruddha-gabbha-karaṇaṁ: atau mungkin ‘menghidupkan janin’. ↩︎

  33. Yaitu praktik pengobatan untuk mendapatkan keuntungan yang dicela di sini. ↩︎

  34. Pandangan-pandangan salah ini disimpulkan dalam paragraf 3.32ff. ↩︎

  35. Yaitu, tidak menghasilkan sesuatu yang baru. ↩︎

  36. Saṁvaṭṭaṁ-vivaṭṭaṁ: ‘definisi PED seharusnya dibalik’ (BB). Baca VM 13.28ff. ↩︎

  37. Takkī: BB menterjemahkan ini sebagai ‘rasionalis’, yang sepertinya keliru. ↩︎

  38. Ini adalah bagian dari alam Berbentuk (rūpaloka) yang menghindari penghancuran. Untuk hal ini dan ‘lokasi’ lainnya baca pendahuluan, p.37. ↩︎

  39. Manomayā: diciptakan oleh pikiran, bukan melalui hubungan seksual. Mereka adalah para dewa. Dalam pengertian lain, semua dhamma dikatakan adalah ciptakan pikiran (Dhp. 1-2). ↩︎

  40. Tidak membutuhkan makanan material, tetapi bertahan dari faktor jhāna pīti ‘kegembiraan’ (n.81). ↩︎

  41. Brahmā menempati posisi rendah, dan fungsi-penciptaannya ditiadakan dalam Buddhisme. Baca juga MN 49.8 (=MLS i, 391). ↩︎

  42. Umur kehidupan mahkluk-makhluk adalah tetap di beberapa alam, dan berlainan di alam lain. Jasa (puñña) adalah perbuatan baik secara karma, mengarah menuju kelahiran kembali yang baik. ↩︎

  43. Khiḍḍapadosikā: para dewa ini dan kelompok berikutnya hanya disebutkan di sini dan dalam Sutta 20, 24. Mereka menggambarkan akibat dari keinginan dan penolakan bahkan dalam alam-alam (yang relatif) ‘lebih tinggi’. Kemajuan moral nyaris mustahil di luar alam manusia, jadi mereka sebenarnya beruntung terjatuh ke kondisi itu. Perhatian (sati) adalah yang paling penting. DA mengatakan tubuh para dewa ini begitu halusnya hingga jika mereka lalai makan satu kali saja, maka mereka akan meninggal dunia dari alam tersebut. Bahkan jika mereka makan segera setelahnya, sudah terlambat. ↩︎

  44. Manopadosikā. DA mengatakan ini berdiam di alam Empat Raja Dewa (yaitu persis di atas alam manusia). Yang menarik, jika hanya satu dari dewa tersebut yang marah sedangkan yang lain tetap tenang, hal ini akan mencegah yang pertama meninggal dunia, yang sepertinya menggambarkan pemikiran Dhp. 5, 6. Pada intinya para dewa ini tidak berbeda dengan yang disebutkan dalam paragraf 1-2, tetapi pada tingkat yang lebih rendah. ↩︎

  45. Citta: lebih kurang sinonim dengan mano ‘pikiran’, tetapi lebih sering digunakan seperti ‘hati’ dalam bahasa indonesia (mengetahu isi hati seseorang, dan sebagainya). ↩︎

  46. Antānantikā: atau ‘Extensionist’ (RD) ↩︎

  47. DA menghubungkan berbagai pandangan ini dengan jhāna yang lebih tinggi (baca pendahuluan, p. 42), yang diperoleh dengan bantuan kasiṇa (piringan berwarna, dan sebagainya, cf. VM chs.4,5). DA mengatakan: ‘(1) Tanpa memperluas gambaran hingga batas dunia, ia berdiam merasakan dunia sebagai terbatas. (2) Tetapi ia yang memperluas gambaran-kasiṇa hingga batas dunia merasakan dunia sebagai tidak terbatas. (3) Tanpa memperluas ke arah atas dan ke bawah, namun memperluasnya secara melintang, ia merasakan dunia sebagai terbatas dari atas ke bawah, dan tidak terbatas secara melintang. (4) Ajaran dari mereka yang menggunakan logika harus dipahami dengan metode yang telah disebutkan.’ [Ini tidak dijelaskan, walaupun Sub-Komentar mencoba memberikan penjelasan: ‘Jika diri adalah terbatas, maka kelahiran kembali di tempat yang jauh tidak akan dapat diingat. Dan jika tidak terbatas, seseorang yang hidup di alam ini akan dapat mengalami kebahagiaan alam surga dan penderitaan alam neraka, dan sebagainya. Jika seseorang menganggapnya sebagai terbatas dan tidak terbatas, maka seseorang akan menimbulkan kesalahan atas kedua posisi sebelumnya. Oleh karena itu diri tidak dapat dinyatakan sebagai terbatas atau tidak terbatas.’] (diterjemahkan oleh BB, pp.172, 171). ↩︎

  48. Amarā-vikheppikā: dapat diterjemahkan sebagai ‘geliat-belut’ (RD) atau ‘pernyataan membingungkan tanpa ujung’ (BB): amarā (lit. ‘tanpa kematian’) adalah nama dari seekor ikan yang licin, mungkin seekor belut, yang menghindari tangkapan dengan menggeliat (DA). Ini juga kemungkinan dimaksudkan sebagai permainan kata. ↩︎

  49. Bertujuan untuk latihan yang lebih tinggi atau untuk kelahiran kembali di alam surga (DA). Cf. paragraf 1.5, yang mana yang dimaksudkan adalah yang pertama. ↩︎

  50. Karena rasa malu bermoral dan rasa takut bermoral (hiri-ottappa) (DA), yaitu, malu dalam melakukan perbuatan salah, dan takut terhadap kesalahan. Kedua kualitas ini disebut ‘Pengawal dunia’ (cf. Nyāṇaponika Thera, Abhidhamma Studies, 2nd., Colombo 1965, p.80). Dengan demikian dianggap bahwa tiga kelompok pertama dari geliat-belut memiliki rasa malu. Pernyataan menghindar mereka berpangkal pada kurangnya pengetahuan, bukan karena berhati-hati. ↩︎

  51. Pandangan-pandngan berikut dalam DN 2.31f. diduga bersumber dari Sañjaya (baca n.13). ↩︎

  52. Empat ‘alternatif’ dari logika india: suatu hal (a) ada, (b) tidak ada, (c) ada dan juga tidak ada, (d) bukan ada dan juga bukan tidak ada. ↩︎

  53. Opapātika: di sini dalam pengertian spesifik dari yang-tidak-kembali (anāgāmī). Baca n.185. ↩︎

  54. Baca juga DN 9.25 dan n.219. ↩︎

  55. Setelah mencapai penyerapan tinggi, dan takut akan bahaya kelahiran persepsi, maka mereka mengharapkan, dan mendapatkan, keadaan tanpa-persepsi. Akan tetapi, Dengan dorongan persepsi pertama, namun, mereka jatuh dari alam itu (DA). ↩︎

  56. Pandangan para Ājīvika (DA): baca DN 2.19-20 dan nn.102-109. Cf. A.L. Basham, History and Doctrine of the Ājīvka, (London 1951). ↩︎

  57. Ini adalah pandangan para penganut Jain. DA mengatakan pandangan-pandangan lainnya yang disebutkan adalah didasarkan pada berbagai pengalaman meditasi. ↩︎

  58. Sub-Komentar (baca BB, p.190) sangat membantu di sini: (1) didasarkan pada pengalaman atas alam tanpa-persepsi (baca n.65), (2) menganggap persepsi sebagai diri, (3) menganggap materi, atau dhamma materi dan tanpa-materi + persepsi sebagai diri, (4) didasarkan pada logika, (5-8) harus dipahami seperti pada n.57. ↩︎

  59. (1) didasarkan pada persepsi halus yang tidak mampu melakukan fungsi ini pada saat kematian dan saat merangkai kelahiran kembali (baca n.125). Selebihnya seperti pada n.68. ↩︎

  60. ‘Tanah’ (paṭhavī) atau keluasan, ‘air’ (apo) atau kohesi, ‘api’ (tejo) atau temperatur, ‘angin’ (vāyo) atau gerakan: nama tradisional untuk empat kualitas ini muncul, dalam proporsi yang berbeda-beda, dalam segala hal. ↩︎

  61. Dalam pandangan Buddhist, ada tambahan yang diperlukan akan kehadiran gandhabba atau ‘makhluk-yang-akan-dilahirkan’, yaitu kemunculan ‘arus kesadaran’ yang baru yang bergantung pada kesadaran dari makhluk-makhluk yang baru meninggal dunia. Cf. MN 38.1-7. Baca p.45. ↩︎

  62. Dibba (Skt. Divya): diturunkan dari tangkai yang sama dengan deva: cf. Latin divus↩︎

  63. Kāmāvacara: alam indria (kāmaloka), yang terendah di antara tiga alam. ↩︎

  64. Kabalinkārāhāra biasanya berarti ‘makanan materi’. Di sini merupakan jenis makanan yang dikonsumsi oleh para dewa tingkat rendah. ↩︎

  65. DA mengatakan yang satu ini mengambil bentuk dewata (dibb’atthabhāva), yaitu, bentuk para dewa dari alam indria, untuk diri. Anggapannya adalah bahwa makhluk ini bertahan terhadap hancurnya tubuh fisik selama beberapa waktu tertentu (dalam waktu yang tidak ditentukan), ‘pemusnahan’ terjadi pada pelenyapannya, dan serupa untuk ‘diri-diri’ lainnya. Seperti yang ditunjukkan oleh BB (p.32), ‘Hanya bentuk pertama dari pemusnahan yang adalah materialistis; enam mengakui bahwa ajaran ini dapat mengambil penampilan spiritual.’ ↩︎

  66. ‘Dihasilkan oleh pikiran-jhāna (DA). ↩︎

  67. Empat berikutnya berhubungan dengan ‘pembebasan’ ke 4-7 (DN 15:35) atau empat yang lebih tinggi, jhāna-jhāna ‘tanpa bentuk’. ↩︎

  68. Tentu saja, hal ini bukan Nibbāna sesungguhnya dalam Buddhisme (baca pendahuluan, p.27). DA mengatakan meredanya penderitaan (dukkhavūpasama) dalam bentuk individu ini (mereda sebagai sesuatu yang jauh dari pelenyapan). Sub-Komentar yang baru (dikutip oleh BB, p.197) menambahkan: ‘Ini bukanlah buah tertinggi dan bukan unsur yang tidak terkondisi (asankhata-dhàtu = nibbāna), karena ini melampaui wilayah dari para penganut teori ini.’ ↩︎

  69. Berbagai jhāna yang secara keliru dianggap Nibbāna ↩︎

  70. Vitakka-vicāra: kadang-kadang diterjemahkan ‘awal pikiran dan kelangsungan pikiran’. Saya berutang pada L.S. Cousins atas sarannya bahwa saya harus meminjam terjemahan dari Ven. Ñāṇamoli ‘pemikiran dan pertimbangan’ (diganti oleh penyunting) dalam terjemahan MN darinya (yang akan datang). Cf. n.611. ↩︎

  71. Pīti: kata yang sulit diterjemahkan. Terjemahan bervariasi dari ‘minat’ hingga ‘semangat’ dan ‘gairah’. Ini dikelompokkan bukan sebagai perasaan (vedanā) tetapi sebagai bagian dari kelompok bentukan-bentukan pikiran (sankharā), yaitu, sebagai suatu reaksi pikiran. BDic mengatakan: ‘Ini dapat dijelaskan secara psikologis sebagai “minat gembira”’ – istilah sederhananya mungkin adalah ‘kegembiraan meluap’. ↩︎

  72. Sukha: perasaan menyenangkan, jasmani atau batin (meskipun untuk batin tersedia kata somanassa). Perbedaan antara kata ini dengan pīti terlihat kecil namun penting. ↩︎

  73. Samādhi di sini memiliki makna dasar ‘konsentrasi’ ↩︎

  74. Upekkhaka↩︎

  75. Sampajāna: bukan ‘terkendali’ seperti yang sering diartikan oleh banyak penerjemah setelah RD. ↩︎

  76. Phassa adalah ‘kontak’ antara landasan-indria dan objeknya, misalnya, mata dengan objek terlihat. Kontak demikian adalah landasan bagi perasaan (vedanā). ↩︎

  77. Mata, telinga, hidung, lidah, badan sebagai landasan indria nyata, dan pikiran (yang selalu merupakan indria keenam dalam Buddhisme). ↩︎

  78. Ini adalah penjelasan pertama, sebagian dari sebab akibat yang saling bergantungan (paṭicca-samuppādà) dalam Kanon. Baca Pendahuluan, p.34, dan Sutta 14, 15. ↩︎

  79. Semuanya yang sebelumnya mengikatnya pada lingkaran kelahiran kembali. ↩︎

  80. Attha: cf. nn.21 dan 22 ↩︎