easter-japanese

“Dikatakan, teman, ‘terbebaskan melalui kebijaksanaan, terbebaskan melalui kebijaksanaan.’ Dengan cara bagaimanakah Sang Bhagavā membabarkan tentang seorang yang terbebaskan melalui kebijaksanaan?”1

(1) “Di sini, teman, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … dan ia memahaminya dengan kebijaksanaan. Hingga sejauh ini Sang Bhagavā telah membabarkan tentang seorang yang terbebaskan melalui kebijaksanaan dalam makna sementara.

(2)-(4) “Kemudian, teman, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat … dan ia memahaminya dengan kebijaksanaan. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang seorang yang terbebaskan melalui kebijaksanaan dalam makna sementara.

(5)-(8) “Kemudian, teman, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, [dengan menyadari] ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas … landasan kesadaran tanpa batas … landasan kekosongan … landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi; dan ia memahaminya dengan kebijaksanaan. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang seorang yang terbebaskan melalui kebijaksanaan dalam makna sementara. [453]

(9) “Kemudian, teman, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan, dan setelah melihatnya dengan kebijaksanaan, noda-nodanya sepenuhnya dihancurkan; dan ia memahaminya dengan kebijaksanaan. Hingga sejauh ini, teman, Sang Bhagavā telah membabarkan tentang seorang yang terbebaskan melalui kebijaksanaan dalam makna bukan-sementara.”


Catatan Kaki
  1. Sekali lagi, tegasnya, menurut definisi formal pada MN 70.16, I 477,33-36, seorang yang terbebaskan melalui kebijaksanaan (paññāvimutta) adalah seorang Arahant yang tidak mencapai pembebasan tanpa bentuk atau lenyapnya persepsi dan perasaan. Demikian pula, agar sesuai dengan persyaratan formal bagi “terbebaskan dalam kedua aspek” (pada sutta berikutnya), seorang siswa bukan hanya harus merealisasikan Kearahattaan tetapi juga harus mencapai pembebasan tanpa bentuk, seperti disebutkan pada MN 70.15, I 477,25-28. ↩︎