easter-japanese

“Dikatakan, teman, ‘seorang saksi tubuh, seorang saksi tubuh.’1 Dengan cara bagaimanakah Sang Bhagavā membabarkan tentang seorang saksi tubuh?”

(1) “Di sini, teman, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … ia berdiam setelah menyentuh landasan itu dengan tubuhnya dalam cara apa pun [itu dicapai].2 Hingga sejauh ini Sang Bhagavā telah membabarkan tentang seorang saksi tubuh dalam makna sementara. [452]

(2)-(4) “Kemudian, teman, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat … Ia berdiam setelah menyentuh landasan itu dengan tubuhnya dalam cara apa pun [itu dicapai]. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang seorang saksi tubuh dalam makna sementara.

(5)-(8) “Kemudian, teman, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, [dengan menyadari] ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas … landasan kesadaran tanpa batas … landasan kekosongan … landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ia berdiam setelah menyentuh landasan itu dengan tubuhnya dalam cara apa pun [itu dicapai]. Hingga sejauh ini juga Sang Bhagavā telah membabarkan tentang seorang saksi tubuh dalam makna sementara.

(9) “Kemudian, teman, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan, dan setelah melihatnya dengan kebijaksanaan, noda-nodanya sepenuhnya dihancurkan. Ia berdiam setelah menyentuh landasan itu dengan tubuhnya dalam cara apa pun [itu dicapai]. Hingga sejauh ini, teman, Sang Bhagavā telah membabarkan tentang seorang saksi tubuh dalam makna bukan-sementara.”3


Catatan Kaki
  1. MN 70.17, I 478,4-8 memberikan definisi formal atas saksi tubuh (kāyasakkhī) sebagai seorang yang “menyentuh dengan tubuhnya dan berdiam dalam pembebasan-pembebasan itu yang damai dan tanpa bentuk, melampaui bentuk-bentuk, dan beberapa nodanya dihancurkan dengan melihatnya melalui kebijaksanaan.” Akan tetapi, dalam sutta sekarang ini, kata “saksi tubuh” tidak sesuai dengan definisi formal tersebut melainkan dijelaskan berdasarkan pada permainan kata. Tegasnya, seorang yang mencapai hancurnya noda-noda sepenuhnya adalah bukan lagi seorang saksi tubuh, yang merupakan kelompok dari mereka yang masih berlatih. ↩︎

  2. Yathā yathā ca tadāyatanaṃ tathā tathā naṃ kāyena phusitvā viharati. Mp: “Melalui cara apa pun atau dalam jalan apa pun landasan itu yang terdapat dalam jhāna pertama, dengan cara yang sama itu, atau dalam jalan yang sama itu, ia berdiam setelah menyentuh pencapaian itu dengan tubuh batin pendamping (sahajātanāmakāyena phusitvā).” ↩︎

  3. Seperti disiratkan dalam catatan sebelumnya, di sini kata “makna bukan-sementara” digunakan dalam makna yang bebas, “sementara”. Dalam makna tepat, bukan-sementara, siswa demikian bukanlah seorang saksi tubuh, karena seorang saksi tubuh yang sesungguhnya masih belum mencapai Kearahattaan. ↩︎