A iv 355
Meghiya
Di terjemahkan dari pāḷi oleh
Bhikkhu Bodhi
ShortUrl:
Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Cālikā di Gunung Cālikā.2 Pada saat itu Yang Mulia Meghiya adalah pelayan Sang Bhagavā. Kemudian Yang Mulia Meghiya mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, berdiri di satu sisi, dan berkata kepada Beliau: “Bhante, aku ingin memasuki Jantugāma untuk menerima dana makanan.”
“Engkau boleh pergi, Meghiya.”
Kemudian pada pagi harinya, Yang Mulia Meghiya merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahnya, dan memasuki Jantugāma untuk menerima dana makanan. Ketika ia telah berjalan menerima dana makanan, setelah makan, ketika kembali dari perjalanan menerima dana makanan di Jantugāma di tepi Sungai Kimikālā. Ketika ia sedang berjalan dan berkeliling untuk berolah-raga di sepanjang tepi Sungai Kimikālā, Yang Mulia Meghiya melihat [355]
sebuah hutan mangga yang indah dan menyenangkan. Ia berpikir: “Hutan mangga ini sungguh indah dan menyenangkan, cocok untuk seorang anggota keluarga yang bertekad pada usaha. Jika Sang Bhagavā mengizinkan, aku akan kembali ke hutan mangga ini untuk berusaha.”
Kemudian Yang Mulia Meghiya mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata: “Pagi ini, Bhante, aku merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahku, dan memasuki Jantugāma untuk menerima dana makanan … [Semuanya seperti di atas, tetapi sebagai orang pertama.] … Aku berpikir: ‘Hutan mangga ini sungguh indah dan menyenangkan, cocok untuk seorang anggota keluarga yang bertekad pada usaha. Jika Sang Bhagavā mengizinkan, aku akan kembali ke hutan mangga ini untuk berusaha.’ Maka jika Sang Bhagavā mengizinkan, aku akan kembali ke hutan mangga itu untuk berusaha.”
“Karena kita sendirian, Meghiya, tunggulah sampai seorang bhikkhu lainnya datang.”3
Untuk ke dua kalinya Yang Mulia Meghiya berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, bagi Sang Bhagavā tidak ada lagi yang harus dilakukan dan tidak [perlu lagi] meningkatkan apa yang telah dilakukan.4 Tetapi, Bhante, aku memiliki sesuatu yang harus dilakukan dan [perlu] meningkatkan apa yang telah dilakukan. Jika Sang Bhagavā mengizinkan, aku akan kembali ke hutan mangga itu untuk berusaha.”
“Karena kita sendirian, Meghiya, tunggulah sampai seorang bhikkhu lainnya datang.” [356]
Untuk ke tiga kalinya Yang Mulia Meghiya berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, bagi Sang Bhagavā tidak ada lagi yang harus dilakukan dan tidak [perlu lagi] meningkatkan apa yang telah dilakukan. Tetapi, Bhante, aku memiliki sesuatu yang harus dilakukan dan [perlu] meningkatkan apa yang telah dilakukan. Jika Sang Bhagavā mengizinkan, aku akan kembali ke hutan mangga itu untuk berusaha.”
“Karena engkau mengatakan tentang berusaha, Meghiya, apa lagi yang dapat Kukatakan kepadamu? Engkau boleh pergi, Meghiya.”
Kemudian Yang Mulia Meghiya bangkit dari duduknya, bersujud kepada Sang Bhagavā, mengelilingi Beliau dengan sisi kanannya menghadap Beliau, dan pergi ke hutan mangga. Kemudian, sewaktu Yang Mulia Meghiya sedang berdiam di hutan mangga, tiga jenis pikiran buruk yang tidak bermanfaat selalu mendatangi pikirannya: pikiran indriawi, pikiran berniat buruk, dan pikiran mencelakai. Ia berpikir: “Sungguh menakjubkan dan mengagumkan! Aku telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, namun aku masih saja dikejar oleh ketiga pikiran tidak bermanfaat ini, pikiran indriawi, pikiran berniat buruk, dan pikiran mencelakai.”5
Kemudian Yang Mulia Meghiya mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata: “Di sini, Bhante, sewaktu aku sedang berdiam di hutan mangga, tiga jenis pikiran buruk yang tidak bermanfaat selalu mendatangi pikiranku: pikiran indriawi, pikiran berniat buruk, dan pikiran mencelakai. Aku berpikir: ‘Sungguh menakjubkan dan mengagumkan! Aku telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, namun [357]
aku masih saja dikejar oleh ketiga pikiran tidak bermanfaat ini, pikiran indriawi, pikiran berniat buruk, dan pikiran mencelakai.’”
“Meghiya, ketika kebebasan pikiran belum matang, lima hal mengarah pada kematangannya.6 Apakah lima ini?
(1) “Di sini, Meghiya, seorang bhikkhu memiliki teman-teman yang baik, kawan-kawan yang baik, sahabat-sahabat yang baik. Ketika kebebasan pikiran belum matang, ini adalah hal pertama yang mengarah pada kematangannya.
(2) “Kemudian, seorang bhikkhu bermoral; ia berdiam dengan terkendali oleh Pātimokkha, memiliki perilaku dan tempat kunjungan yang baik, melihat bahaya dalam pelanggaran-pelanggaran kecil. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya. Ketika kebebasan pikiran belum matang, ini adalah hal ke dua yang mengarah pada kematangannya.
(3) “Kemudian, seorang bhikkhu dapat mendengar sesuai kehendak, tanpa kesulitan atau kesusahan, khotbah yang berhubungan dengan kehidupan pertapaan yang kondusif untuk membuka pikiran, yaitu khotbah tentang keinginan yang sedikit, tentang kepuasan, tentang ketidak-terikatan [dengan orang lain], tentang pembangkitan kegigihan, tentang perilaku bermoral, tentang konsentrasi, tentang kebijaksanaan, tentang kebebasan, tentang pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan. Ketika kebebasan pikiran belum matang, ini adalah hal ke tiga yang mengarah pada kematangannya.
(4) “Kemudian, seorang bhikkhu telah membangkitkan kegigihan untuk meninggalkan kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat dan mendapatkan kualitas-kualitas yang bermanfaat; ia kuat, kokoh dalam usaha, tidak mengabaikan tugas melatih kualitas-kualitas bermanfaat. Ketika kebebasan pikiran belum matang, ini adalah hal ke empat yang mengarah pada kematangannya.
(5) “Kemudian, seorang bhikkhu bijaksana, ia memiliki kebijaksanaan yang melihat muncul dan lenyapnya, yang mulia dan menembus dan mengarah menuju kehancuran penderitaan sepenuhnya. Ketika kebebasan pikiran belum matang, ini adalah hal ke lima yang mengarah pada kematangannya.
“Ketika, Meghiya, seorang bhikkhu telah memiliki teman-teman yang baik, kawan-kawan yang baik, sahabat-sahabat yang baik, maka dapat diharapkan bahwa ia akan menjadi bermoral, menjadi seorang yang berdiam dengan terkendali oleh Pātimokkha … [358]
… akan berlatih di dalamnya.
“Ketika seorang bhikkhu telah memiliki teman-teman yang baik, kawan-kawan yang baik, sahabat-sahabat yang baik, maka dapat diharapkan bahwa ia akan dapat mendengar sesuai kehendak, tanpa kesulitan atau kesusahan, khotbah yang berhubungan dengan kehidupan pertapaan yang kondusif untuk membuka pikiran, yaitu khotbah tentang keinginan yang sedikit … tentang pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan.
“Ketika seorang bhikkhu telah memiliki teman-teman yang baik, kawan-kawan yang baik, sahabat-sahabat yang baik, maka dapat diharapkan bahwa ia akan membangkitkan kegigihan untuk meninggalkan kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat … tidak mengabaikan tugas melatih kualitas-kualitas bermanfaat.
“Ketika seorang bhikkhu telah memiliki teman-teman yang baik, kawan-kawan yang baik, sahabat-sahabat yang baik, maka dapat diharapkan bahwa ia akan menjadi bijaksana, memiliki kebijaksanaan yang melihat muncul dan lenyapnya, yang mulia dan menembus dan mengarah menuju kehancuran penderitaan sepenuhnya.
“Setelah mendasarkan dirinya atas kelima hal ini, bhikkhu itu harus mengembangkan empat hal [lainnya] lebih jauh lagi. (6) [Persepsi] ketidak-menarikan harus dikembangkan untuk meninggalkan nafsu. (7) Cinta-kasih harus dikembangkan untuk meninggalkan niat-buruk. (8) Perhatian pada pernapasan harus dikembangkan untuk memotong pemikiran-pemikiran. (9) Persepsi ketidak-kekalan harus dikembangkan untuk melenyapkan keangkuhan ‘aku.’ Ketika ia mempersepsikan ketidak-kekalan, maka persepsi tanpa-diri menjadi stabil. Seorang yang mempersepsikan tanpa-diri melenyapkan keangkuhan ‘aku,’ [yang merupakan] nibbāna dalam kehidupan ini.”
Sembilan campuran lainnya lagi, diperoleh dengan menggabungkan lima hal yang mengarah pada kematangan pikiran dan empat subjek meditasi, dengan tambahan kerangka narasi. Sutta ini juga ditemukan sebagai Ud 4:1, 34-37, dengan tambahan “ucapan inspiratif.” ↩︎
Mp mengatakan bahwa Cālikā adalah nama sebuah kota dan di dekatnya terdapat sebuah gunung yang juga bernama Cālikā. Mereka membangun sebuah vihara besar di sana dan Sang Bhagavā menetap di vihara itu, dengan disokong oleh kota itu. ↩︎
Bersama Ce dan Be membaca āgacchati, bukan seperti Ee dissatu, “terlihat.” ↩︎
Sebenarnya, apa yang terjadi “untuk ke dua kalinya” hanyalah permohonan izin, bukan pernyataan lengkap. Mp: “Tidak ada lagi yang harus dilakukan (natthi kiñci uttariṃ karanīyaṃ): karena keempat fungsi telah dilakukan sehubungan dengan keempat kebenaran. Dan tidak [perlu lagi] meningkatkan apa yang telah dilakukan (katassa vā paṭicayo): tidak ada pengulangan atas apa yang telah Beliau capai. Karena jalan yang telah dikembangkan tidak perlu dikembangkan lagi, dan tidak ada pengulangan meninggalkan kekotoran-kekotoran yang telah ditinggalkan.” ↩︎
Mp: “Dalam lima ratus kehidupan berturut-turut ia adalah seorang raja. Di sana ada sebuah batu datar di mana ia biasanya duduk. Ia datang disertai oleh tiga barisan gadis penari untuk berekreasi di taman. Sejak saat Meghiya duduk di sana, sepertinya seolah-olah ia bukan lagi seorang bhikkhu melainkan seorang raja yang duduk di atas dipan agung di bawah payung putih, dikelilingi oleh para gadis penari. Ketika ia menikmati keagungannya, pikiran indriawi muncul padanya. Kemudian, ia seolah-olah melihat dua pencuri ditangkap oleh para pengawalnya dan dibawa ke hadapannya. Dalam memerintahkan agar salah satunya dieksekusi, pikiran berniat buruk muncul padanya; dan dalam memerintahkan yang lainnya agar dipenjara, pikiran mencelakai muncul. Demikianlah ia diselimuti oleh pikiran-pikiran tidak bermanfaat itu bagaikan sebatang pohon diselimuti oleh tanaman rambat, atau bagaikan pemakan-madu diselimuti oleh lebah madu.” ↩︎
Mp: “Kebebasan pikiran (cetovimutti): kebebasan pikiran dari kekotoran. Dalam tahap persiapan praktik, pikiran terbebaskan dari kekotoran melalui [kebebasan dalam] aspek tertentu (tadaṅgavasena) dan melalui penekanan (vikkhambhanavasena). Dalam tahap selanjutnya, pikiran terbebaskan melalui pelenyapan (samucchedavasena) dan melalui penenangan (paṭipassadhivasena). Ketika watak telah dibangkitkan dan matang, pandangan terang memunculkan sang jalan, dan ketika pandangan terang mencapai kematangan, kebebasan pikiran dikatakan telah matang. Tetapi jika tidak ada maka dikatakan belum matang.” ↩︎