easter-japanese

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian Yang Mulia Sāriputta mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

“Bhante, aku telah menyelesaikan masa pengasingan musim hujan di Sāvatthī. Aku ingin pergi dalam suatu perjalanan menuju daerah pedalaman.”

“Engkau boleh pergi, Sāriputta.”

Kemudian Yang Mulia Sāriputta bangkit dari duduknya, bersujud kepada Sang Bhagavā, mengelilingi Beliau dengan sisi kanannya menghadap Beliau, dan pergi. [374] Kemudian, tidak lama setelah Yang Mulia Sāriputta pergi, seorang bhikkhu tertentu berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, Yang Mulia Sāriputta memukulku dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf.”1

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada seorang bhikkhu tertentu: “Pergilah, bhikkhu, panggil Sāriputta atas namaKu, [katakan kepadanya]: ‘Sang Guru memanggilmu, teman Sāriputta.’”2

“Baik, Bhante,” bhikkhu itu menjawab. Kemudian ia mendatangi Yang Mulia Sāriputta dan berkata: “Sang Guru memanggilmu, teman Sāriputta.”

“Baik, teman,” Yang Mulia Sāriputta menjawab.

Pada saat itu Yang Mulia Mahāmoggallāna dan Yang Mulia Ānanda membawa kunci dan mendatangi tempat tinggal demi tempat tinggal, [sambil menyerukan]: “Datanglah, para mulia! Datanglah, para mulia! Sekarang Yang Mulia Sāriputta akan mengaumkan auman singanya di hadapan Sang Bhagavā!”

Kemudian Yang Mulia Sāriputta mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Sāriputta, salah satu dari teman-temanmu para bhikkhu telah mengajukan keluhan terhadapmu, [dengan mengatakan]: ‘Bhante, Yang Mulia Sāriputta memukulku dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf.’”

(1) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian yang diarahkan pada jasmani sehubungan dengan jasmaninya sendiri mungkin memukul seorang bhikkhu di sini dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya mereka membuang benda-benda yang murni maupun tidak murni di atas tanah – kotoran tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah – namun tanah ini tidak menolak, tidak muak, dan tidak jijik karena itu; demikian [375] pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran seperti tanah, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

(2) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian yang diarahkan pada jasmani sehubungan dengan jasmaninya sendiri mungkin memukul seorang bhikkhu di sini dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya mereka mencuci benda-benda yang murni maupun tidak murni di air – kotoran tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah – namun air itu tidak menolak, tidak muak, dan tidak jijik karena itu; demikian pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran seperti air, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

(3) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian yang diarahkan pada jasmani sehubungan dengan jasmaninya sendiri mungkin memukul seorang bhikkhu di sini dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya api membakar benda-benda yang murni maupun tidak murni – kotoran tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah – namun api itu tidak menolak, tidak muak, dan tidak jijik karena itu; demikian pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran seperti api, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

(4) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian yang diarahkan pada jasmani sehubungan dengan jasmaninya sendiri mungkin memukul seorang bhikkhu di sini dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya udara meniup benda-benda yang murni maupun tidak murni – kotoran tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah – namun udara itu tidak menolak, tidak muak, dan tidak jijik karena itu; demikian pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran seperti udara, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

(5) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian yang diarahkan pada jasmani sehubungan dengan jasmaninya sendiri mungkin memukul seorang bhikkhu di sini dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. [376] Seperti halnya sebuah sikat yang menghapuskan benda-benda yang murni maupun tidak murni – kotoran tinja, air kencing, ludah, nanah, dan darah – namun sikat itu tidak menolak, tidak muak, dan tidak jijik karena itu; demikian pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran seperti sebuah sikat, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

(6) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian yang diarahkan pada jasmani sehubungan dengan jasmaninya sendiri mungkin memukul seorang bhikkhu di sini dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya seorang anak laki-laki atau anak perempuan dari kasta terbuang, yang berpakaian dari kain bertambalan dan memegang kendi, memasuki sebuah desa atau pemukiman dengan pikiran rendah hati; demikian pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran seperti anak laki-laki dari kasta buangan itu, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

(7) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian yang diarahkan pada jasmani sehubungan dengan jasmaninya sendiri mungkin memukul seorang bhikkhu di sini dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya seekor sapi jantan dengan tanduk terpotong, yang lembut, yang dijinakkan dengan baik dan dilatih dengan baik, berkeliaran dari jalan ke jalan dan dari lapangan ke lapangan tanpa melukai siapa pun dengan kaki atau tanduknya; demikian pula, Bhante, aku berdiam dengan pikiran bagaikan pikiran sapi jantan yang tanduknya terpotong itu, luas, luhur, dan tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

(8) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian yang diarahkan pada jasmani sehubungan dengan jasmaninya sendiri mungkin memukul seorang bhikkhu di sini dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya seorang perempuan atau laki-laki - muda, berpenampilan muda, dan menyukai perhiasan, dengan kepala dicuci – akan [377] mundur, muak, dan jijik jika bangkai ular, anjing, atau manusia, dikalungkan di lehernya; demikian pula, Bhante, aku mundur, muak, dan jijik oleh tubuh busuk ini.

(9) “Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian yang diarahkan pada jasmani sehubungan dengan jasmaninya sendiri mungkin memukul seorang bhikkhu di sini dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf. Seperti halnya seseorang yang membawa mangkuk retak dan berlubang berisi cairan lemak yang tumpah dan menetes; demikian pula, Bhante, aku membawa tubuh yang retak dan berlubang ini yang tumpah dan menetes.

“Bhante, seorang yang belum menegakkan perhatian yang diarahkan pada jasmani sehubungan dengan jasmaninya sendiri mungkin memukul seorang bhikkhu di sini dan kemudian pergi melakukan perjalanan tanpa meminta maaf.”

Kemudian bhikkhu [penuduh] itu bangkit dari duduknya, merapikan jubahnya di satu bahunya, bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā, dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, aku telah melakukan pelanggaran karena aku begitu dungu, bodoh, dan tidak terampil telah memfitnah Yang Mulia Sāriputta atas dasar yang tidak benar, tanpa dasar, dan salah. Bhante, sudilah Sang Bhagavā menerima pelanggaranku yang dilihat sebagai pelanggaran demi pengendalian di masa depan.”

“Tentu saja, bhikkhu, engkau telah melakukan pelanggaran karena engkau begitu dungu, bodoh, dan tidak terampil telah memfitnah Yang Mulia Sāriputta atas dasar yang tidak benar, tanpa dasar, dan salah. Tetapi karena engkau melihat pelanggaranmu sebagai pelanggaran dan melakukan perbaikan sesuai Dhamma, maka Kami menerimanya. Karena adalah kemajuan dalam disiplin Yang Mulia bahwa seseorang melihat pelanggarannya sebagai pelanggaran, melakukan perbaikan sesuai Dhamma, dan melakukan pengendalian di masa depan.” [378]

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Sāriputta: “Sāriputta maafkanlah manusia kosong ini sebelum kepalanya pecah menjadi tujuh keping di sana.”

“Aku akan memaafkan yang mulia ini, Bhante, jika yang mulia ini mengatakan kepadaku: ‘Dan sudilah yang mulia memaafkan aku.’”3


Catatan Kaki
  1. Mp mengemas āsajja sebagai ghaṭṭetvā, yang menyiratkan kekerasan fisik, dan appaṭinissajja sebagai akkhamāpetvā, “tanpa meminta maaf.” Mp melanjutkan: “Mengapa ia kesal [terhadap Sāriputta]? Dikatakan bahwa setelah sesepuh itu bersujud kepada Sang Buddha, ujung jubahnya mengenai tubuh bhikkhu tersebut ketika ia sedang berjalan … Karena ini bhikkhu itu menjadi kesal, jadi ketika ia melihat sesepuh itu pergi bersama dengan banyak pengikut, karena iri ia berpikir untuk menghalangi perjalanannya, demikianlah ia mengatakan itu.” ↩︎

  2. Mp menjelaskan bahwa jika Sang Buddha mencoba untuk membebaskan Sāriputta dari tuduhan, maka bhikkhu itu akan berpikir bahwa Sang Guru memihak siswa utamaNya dan tidak memihak bhikkhu junior; dengan demikian ia akan memendam kebencian terhadap Sang Buddha juga. Dengan memanggil Sāriputta dan menanyainya tentang persoalan itu, Sang Buddha menyerahkan kepada Sāriputta untuk membebaskan dirinya sendiri. ↩︎

  3. Khamāmahaṃ bhante tassa āyasmato sace maṃ so āyasmā evaṃ āha “khamatu ca me so āyasmā” ti. Saya memahami kalimat ini bahwa Sāriputta hanya mengatakan bahwa ia akan memaafkan bhikkhu penuduh itu jika ia meminta maaf padanya. Akan tetapi Mp menjelaskan kalimat itu sebaliknya: “Sesepuh [Sāriputta], setelah memaafkan bhikkhu itu atas pelanggarannya, meminta maaf kepadanya di hadapan Sang Buddha.” Penjelasan ini, tampaknya telah mempengaruhi terjemahan dalam Gradual Sayings: “Bhagavā, aku memaafkan yang mulia ini, jika ia mengatakannya kepadaku, dan semoga ia juga memaafkan aku” (4:252). Juga tercermin dalam NDB 233: “Aku akan memaafkannya, Bhagavā, jika yang mulia ini meminta maaf kepadaku. Dan semoga ia juga memaafkan aku.” Akan tetapi, teks itu sendiri tidak mengatakan apa pun tentang Sāriputta meminta maaf pada penuduhnya, karena ia tidak melakukan apa pun yang memerlukan maaf. Sāriputta tidak mengucapkan kata-kata ini kepada bhikkhu itu; ia mengatakan bahwa bhikkhu itu harus mengucapkan kata-kata ini kepadanya untuk mendapatkan maaf. Dengan kata lain, sejauh ini bhikkhu itu telah meminta maaf pada Sang Buddha, tidak pada Sāriputta. Prinsipnya, Sāriputta hanya dapat memaafkan bhikkhu itu jika bhikkhu itu meminta maaf padanya. Kata ca, “dan,” yang muncul dalam kalimat ini diucapkan oleh bhikkhu itu, mungkin bermakna “selain Sang Buddha, semoga Sāriputta juga memaafkan aku.” ↩︎