easter-japanese

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Campā di tepi Kolam Seroja Gaggārā. Pada saat itu para bhikkhu sedang mengecam seorang bhikkhu atas suatu pelanggaran. Ketika sedang dikecam, bhikkhu itu menjawab dengan cara mengelak, mengalihkan pembicaraan pada topik yang tidak berhubungan, dan memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan.1 Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: [169] “Para bhikkhu, usir orang ini! Para bhikkhu, usir orang ini!2 Orang ini harus dikeluarkan. Mengapakah putra orang lain harus menjengkelkan kalian?3

“Di sini, para bhikkhu, selama para bhikkhu tidak melihat pelanggarannya, seseorang tertentu memiliki gaya yang sama dalam hal (1) berjalan pergi dan (2) berjalan kembali, (3) melihat ke depan dan (4) berpaling, (5) membungkukkan badan dan (6) menegakkan bagian-bagian tubuhnya, dan (7) mengenakan jubah dan (8) membawa jubah luar dan mangkuknya seperti para bhikkhu baik lainnya.4 Akan tetapi, ketika mereka melihat pelanggarannya, maka mereka mengenalinya sebagai kerusakan di antara para petapa, bagaikan sekam dan sampah di antara para petapa. Kemudian mereka mengusirnya. Karena alasan apakah? Agar ia tidak merusak para bhikkhu yang baik.

“Misalkan ketika sebuah lahan gandum sedang tumbuh, setangkai gandum yang rusak akan muncul yang hanya berupa sekam dan sampah di antara gandum-gandum lainnya. Selama buahnya belum muncul, akarnya akan tampak sama seperti [tanaman] lainnya, gandum-gandum yang baik; tangkainya akan tampak sama seperti [tanaman] lainnya, gandum-gandum yang baik; dedaunannya akan tampak sama seperti [tanaman] lainnya, gandum-gandum yang baik. Akan tetapi, ketika buahnya muncul, mereka mengenalinya sebagai gandum rusak, hanya sekam [170] dan sampah di antara gandum-gandum lainnya. Maka mereka mencabutnya di akarnya dan membuangnya keluar dari lahan gandum. Karena alasan apakah? Agar gandum rusak itu tidak merusak gandum-gandum yang baik.

“Demikian pula selama para bhikkhu tidak melihat pelanggarannya, seseorang tertentu di sini memiliki gaya yang sama dalam hal berjalan pergi … dan membawa jubah luar dan mangkuknya seperti para bhikkhu baik lainnya. Akan tetapi, ketika mereka melihat pelanggarannya, mereka mengenalinya sebagai kerusakan di antara para petapa, hanya sekam dan sampah di antara para petapa. Maka mereka mengusirnya. Karena alasan apakah? Agar ia tidak merusak para bhikkhu yang baik.

“Misalkan ketika sebuah tumpukan besar padi sedang ditampi, padi-padi yang utuh dan berbiji membentuk suatu tumpukan di satu sisi, dan angin meniup padi-padi yang rusak dan sekam ke sisi lainnya. Kemudian si pemilik mengambil sapu dan menyapunya lebih jauh lagi. Karena alasan apakah? Agar padi-padi rusak dan sekam itu tidak merusak padi-padi yang baik.

“Demikian pula selama para bhikkhu tidak melihat pelanggarannya, seseorang tertentu di sini memiliki gaya yang sama dalam hal berjalan maju … dan membawa jubah luar dan mangkuknya seperti para bhikkhu baik lainnya. Akan tetapi, ketika mereka melihat pelanggarannya, mereka mengenalinya sebagai [171] kerusakan di antara para petapa, hanya sekam dan sampah di antara para petapa. Maka mereka mengusirnya. Karena alasan apakah? Agar ia tidak merusak para bhikkhu yang baik.

“Misalkan seseorang memerlukan sebuah saluran untuk sumur. Ia akan membawa kapak tajam dan pergi ke hutan. Ia akan memukul sejumlah pohon dengan bilah kapaknya.5 Ketika dipukul, pohon yang kokoh dan padat akan memberikan suara yang padat, tetapi pohon yang lapuk, rusak, dan membusuk di dalam akan memberikan suara yang kosong. Orang itu akan memotong pohon itu pada akarnya, memotong pucuknya, dan membersihkannya dengan seksama, dan menggunakannya sebagai saluran pada sumurnya.

“Demikian pula selama para bhikkhu tidak melihat pelanggarannya, seseorang tertentu di sini memiliki gaya yang sama dalam hal berjalan maju … dan membawa jubah luar dan mangkuknya seperti para bhikkhu baik lainnya. Akan tetapi, ketika mereka melihat pelanggarannya, mereka mengenalinya sebagai kerusakan di antara para petapa, hanya sekam dan sampah di antara para petapa. Maka mereka mengusirnya. Karena alasan apakah? Agar ia tidak merusak para bhikkhu yang baik.” [172]

Dengan hidup bersama dengannya, mengenalinya sebagai seorang pemarah yang berkeinginan jahat; seorang pencemar, keras kepala, dan kurang-ajar, iri, kikir, dan menipu.

Ia berbicara kepada orang-orang bagaikan seorang petapa, [berkata kepada mereka] dengan suara tenang, tetapi diam-diam ia melakukan perbuatan jahat, Menganut pandangan sesat, dan tanpa hormat.

Walaupun ia penuh tipu daya, pengucap kebohongan; kalian harus mengenalinya sebagaimana adanya ia sesungguhnya; kemudian kalian seluruhnya harus berkumpul dalam kerukunan dan dengan tegas mengusirnya.

Tinggalkanlah sampah! Lenyapkan teman-teman yang rusak! Sapulah sekam, bukan-petapa yang menganggap diri mereka sendiri adalah para petapa!

Setelah mengusir mereka yang berkeinginan jahat, yang berperilaku dan memiliki tempat kunjungan yang buruk, berdiam dalam kerukunan, senantiasa penuh perhatian, yang murni dengan yang murni; maka, dalam kerukunan, awas, kalian akan mengakhiri penderitaan.


Catatan Kaki
  1. Aññenāññaṃ paṭicarati, bahiddhā kathaṃ apanāmeti, kopañca dosañca appaccayañca pātukaroti↩︎

  2. Bersama Ce dan Be saya membaca niddhamath’etaṃ … niddhamath’etaṃ, bukan seperti Ee dhammath’etaṃ … niddhamath’etaṃ↩︎

  3. Semua tulisan atas kalimat ini tampaknya membingungkan. Ce menuliskan kiṃ vo paraputto vihethīyati, di mana kata kerja pasif tampaknya tidak sesuai. Ee menuliskan kiṃ vo paraputtā viheṭheti, yang menghubungkan sebuah subjek jamak pada kata kerja aktif tunggal. Be menuliskan kiṃ vo tena paraputtena visodhitena, “Apakah hubungan antara engkau dengan putra orang lain yang telah murni?” yang tidak sesuai dalam konteks ini. Ee mencantumkan variasi lainnya lagi dalam catatan kaki. Saya menganggap tulisan yang seharusnya adalah: kiṃ vo paraputto viheṭheyya. Mp tidak memberikan penjelasan, tetapi maknanya tampaknya adalah bahwa si bhikkhu yang bermasalah, karena perilakunya, bukanlah seorang siswa sejati Sang Buddha dan oleh karena itu dapat dianggap sebagai “putra” (yaitu, siswa) dari guru lain. ↩︎

  4. Aññesaṃ bhaddakānaṃ bhikkhūnaṃ. Saya menganggap bahwa ini adalah delapan modus perilaku di atas yang mendasari klasifikasi sutta ini dalam Kelompok Delapan. ↩︎

  5. Kuṭhāripāsena. DOP ragu-ragu atas makna ini tetapi mengusulkan bahwa ini adalah cincin atau bilah dari kapak. PED menuliskan “lemparan kapak.” ↩︎