easter-japanese

“Di masa lampau, para bhikkhu, terdapat seorang guru bernama Araka, pendiri suatu sekte spiritual, seorang yang tanpa nafsu pada kenikmatan-kenikmatan indria. Guru Araka memiliki ratusan siswa yang kepada mereka ia mengajarkan Dhamma sebagai berikut: ‘Para brahmana, kehidupan manusia adalah singkat, terbatas dan cepat berlalu; memiliki banyak penderitaan, banyak kesengsaraan. Seseorang harus memahami hal ini dengan bijaksana. [137] Ia harus melakukan apa yang bermanfaat dan menjalani kehidupan spiritual; karena tidak ada yang terlahir yang dapat membebaskan diri dari kematian.

(1) “‘Bagaikan setetes embun di ujung helai rumput akan dengan cepat lenyap ketika matahari terbit dan tidak bertahan lama, demikian pula, para brahmana, kehidupan manusia adalah seperti setetes embun. Terbatas dan cepat berlalu; memiliki banyak penderitaan, banyak kesengsaraan. Seseorang harus memahami hal ini dengan bijaksana. Ia harus melakukan apa yang bermanfaat dan menjalani kehidupan spiritual; karena tidak ada yang terlahir yang dapat membebaskan diri dari kematian.

(2) “‘Bagaikan, ketika butiran besar hujan turun, gelembung airnya akan dengan cepat lenyap dan tidak bertahan lama, demikian pula, para brahmana, kehidupan manusia adalah seperti gelembung air. Terbatas … karena tidak ada yang terlahir yang dapat membebaskan diri dari kematian.

(3) “‘Bagaikan garis yang digoreskan di atas air dengan sebatang kayu akan dengan cepat lenyap dan tidak bertahan lama, demikian pula, para brahmana, kehidupan manusia adalah seperti garis yang digoreskan di atas air dengan sebatang kayu. Terbatas … karena tidak ada yang terlahir yang dapat membebaskan diri dari kematian.

(4) “‘Bagaikan sungai yang mengalir dari sebuah gunung, mengalir jauh, dengan arus yang cepat, membawa serta banyak puing-puing, tidak akan berhenti bahkan untuk sesaat, sekejap, sedetik, melainkan akan terus mendorong, berpusar, dan mengalir, demikian pula, para brahmana, kehidupan manusia adalah seperti sungai di gunung. Terbatas … karena tidak ada yang terlahir yang dapat membebaskan diri dari kematian.

(5) “‘Bagaikan seorang kuat yang dapat membentuk segumpal ludah diujung lidahnya dan meludahkannya keluar tanpa kesulitan, demikian pula, para brahmana, kehidupan manusia adalah seperti segumpal ludah. Terbatas … karena tidak ada yang terlahir yang dapat membebaskan diri dari kematian.

(6) “‘Bagaikan [138] sepotong daging yang dilemparkan ke dalam panci besi yang telah dipanaskan sepanjang hari akan dengan cepat lenyap dan tidak bertahan lama, demikian pula, para brahmana, kehidupan manusia adalah seperti sepotong daging ini. Terbatas … karena tidak ada yang terlahir yang dapat membebaskan diri dari kematian.

(7) “‘Bagaikan, ketika seekor sapi yang akan disembelih sedang dituntun menuju rumah penjagalan, kaki mana pun yang ia angkat, ia mendekati penjagalan, mendekati kematian, demikian pula, para brahmana, kehidupan manusia adalah seperti seekor sapi yang akan disembelih. Terbatas dan cepat berlalu; memiliki banyak penderitaan, banyak kesengsaraan. Seseorang harus memahami hal ini dengan bijaksana. Ia harus melakukan apa yang bermanfaat dan menjalani kehidupan spiritual; karena tidak ada yang terlahir yang dapat membebaskan diri dari kematian.’

“Tetapi pada masa itu, para bhikkhu, umur kehidupan manusia adalah 60.000 tahun, dan gadis-gadis menikah pada usia lima ratus tahun. Pada masa itu, orang-orang hanya memiliki enam kesengsaraan: dingin, panas, lapar, haus, buang air besar, dan buang air kecil. Walaupun orang-orang memiliki umur yang demikian panjang dan hidup begitu lama, dan walaupun kesengsaraan mereka begitu sedikit, akan tetapi tetap saja, Guru Araka memberikan ajaran demikian kepada para siswanya: ‘Para brahmana, kehidupan manusia adalah singkat … karena tidak ada yang terlahir yang dapat membebaskan diri dari kematian.’

“Tetapi pada masa sekarang ini, seseorang dapat dengan benar mengatakan: ‘Kehidupan manusia adalah singkat, terbatas, dan cepat berlalu; memiliki banyak penderitaan, banyak kesengsaraan. Seseorang harus memahami hal ini dengan bijaksana. Ia harus melakukan apa yang bermanfaat dan menjalani kehidupan spiritual; karena tidak ada yang terlahir yang dapat membebaskan diri dari kematian.’ Karena pada masa sekarang seorang yang berumur panjang hidup selama seratus tahun atau sedikit lebih dari itu. Dan ketika hidup selama seratus tahun, ia hanya hidup selama tiga ratus musim: seratus musim dingin, seratus musim panas, dan seratus musim hujan. Ketika hidup selama tiga ratus musim, ia hanya hidup selama seribu dua ratus bulan: empat ratus [139] bulan musim dingin, empat ratus bulan musim panas, dan empat ratus bulan musim hujan. Ketika hidup selama seribu dua ratus bulan, ia hanya hidup selama dua ribu empat ratus dwi-mingguan: delapan ratus dwi-mingguan musim dingin, delapan ratus dwi-mingguan musim panas, dan delapan ratus dwi-mingguan musim hujan.

“Dan ketika hidup selama dua ribu empat ratus dwi-mingguan, ia hanya hidup selama 36.000 malam: 12.000 malam musim dingin, 12.000 malam musim panas, dan 12.000 malam musim hujan.1 Dan ketika hidup selama 36.000 malam, ia hanya makan sebanyak 72.000 kali: 24.000 kali di musim dingin, 24.000 kali di musim panas, dan 24.000 kali di musim hujan. Dan ini termasuk meminum susu ibu dan [masa-masa ketika terdapat] halangan untuk makan. Berikut ini adalah rintangan-rintangan untuk makan: seorang yang marah2 tidak memakan makanannya, seorang yang kesakitan tidak memakan makanannya, seorang yang sakit tidak memakan makanannya, seorang yang sedang menjalani uposatha tidak memakan makanannya, dan ketika tidak memperoleh [makanan] ia tidak makan.

“Demikianlah, para bhikkhu, bagi manusia dengan umur kehidupan seratus tahun, Aku telah menghitung umur kehidupannya, batasan umur kehidupannya, jumlah musim, tahun, bulan, dan dwi-mingguan [dalam hidupnya]; jumlah malam, hari,3 dan makanan, dan rintangan untuk makan. Apa pun itu, para bhikkhu, yang harus dilakukan oleh seorang guru demi belas kasihan pada siswa-siswanya, demi kesejahteraan mereka, telah Aku lakukan untuk kalian. Ini adalah bawah pepohonan, ini adalah gubuk-gubuk kosong. Bermeditasilah, para bhikkhu, jangan lengah. Jangan menyebabkan penyesalan kelak. Ini adalah instruksi kami kepada kalian.” [140]


Catatan Kaki
  1. Teks menggunakan kata ratti, “malam” sebagai perhitungan periode dua puluh empat jam, seperti yang biasa dalam literatur kanonis Buddhis. ↩︎

  2. Bersama dengan Ce dan Ee membaca kupito, tidak seperti Be kapimiddho, “tidur monyet.” ↩︎

  3. Saya mengikuti Ce dan Be, yang membaca rattipi saṅkhātā, divāpi saṅkhātā. ↩︎