easter-japanese

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian, pada pagi harinya, Yang Mulia Sāriputta merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahnya, dan memasuki Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Kemudian ia berpikir: [35] “Masih terlalu pagi untuk berjalan menerima dana makanan di Sāvatthī. Biarlah aku pergi ke taman para pengembara sekte lain.”

Kemudian Yang Mulia Sāriputta mendatangi taman para pengembara sekte lain. Ia saling bertukar sapa dengan para pengembara itu dan, ketika mereka telah mengakhiri ramah-tamah itu, ia duduk di satu sisi. Pada saat itu para pengembara telah berkumpul dan duduk bersama ketika percakapan ini berlangsung di antara mereka: “Teman-teman, Siapa pun juga yang menjalani kehidupan spiritual yang lengkap dan murni selama dua belas tahun adalah layak disebut seorang bhikkhu ‘tanpa-sepuluh.’”

Kemudian Yang Mulia Sāriputta tidak menerima juga tidak menolak pernyataan para pengembara itu, melainkan bangkit dari duduknya dan pergi, [dengan berpikir]: “Aku akan mengetahui apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā sehubungan dengan pernyataan ini.”

Kemudian, ketika Yang Mulia Sāriputta telah berjalan menerima dana makanan di Sāvatthī, setelah makan, ketika kembali dari perjalanan menerima dana makanan itu, ia mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. [Di sini ia menceritakan kata demi kata keseluruhan perbincangan itu dan menanyakan:] [36] “Mungkinkah, Bhante, dalam Dhamma dan disiplin ini menggambarkan seorang bhikkhu sebagai ‘tanpa-sepuluh’ hanya dengan menghitung tahun-tahunnya?”

“Dalam Dhamma dan disiplin ini, Sāriputta, tidaklah mungkin untuk menggambarkan seorang bhikkhu sebagai ‘tanpa-sepuluh’ hanya dengan menghitung tahun-tahunnya. Ada, Sāriputta, tujuh landasan ini bagi [makhluk] ‘tanpa-sepuluh’ yang telah Kunyatakan setelah merealisasikannya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung.1 Apakah tujuh ini? Di sini, (1) seorang bhikkhu memiliki keinginan kuat untuk menjalankan latihan dan tidak kehilangan kegemarannya untuk menjalankan latihan di masa depan. (2) Ia memiliki keinginan kuat untuk mengingat Dhamma dan tidak kehilangan kegemarannya untuk mengingat Dhamma di masa depan. (3) Ia memiliki keinginan kuat untuk melenyapkan keinginan sia-sia dan tidak kehilangan kegemarannya untuk melenyapkan keinginan sia-sia di masa depan. (4) Ia memiliki keinginan kuat pada keterasingan dan tidak kehilangan kegemarannya pada keterasingan di masa depan. (5) Ia memiliki keinginan kuat untuk membangkitkan kegigihan dan tidak kehilangan kegemarannya untuk membangkitkan kegigihan di masa depan. (6) Ia memiliki keinginan kuat pada perhatian dan keawasan dan tidak kehilangan kegemarannya pada perhatian dan keawasan di masa depan. (7) Ia memiliki keinginan kuat untuk menembus melalui pandangan dan tidak kehilangan kegemarannya untuk menembus melalui pandangan di masa depan. Ini adalah ketujuh landasan bagi [makhluk] ‘tanpa-sepuluh’ yang telah Kunyatakan setelah merealisasikannya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung.

“Sāriputta, jika seorang bhikkhu memiliki ketujuh landasan bagi [makhluk] ‘tanpa-sepuluh’ ini, maka, jika ia menjalani kehidupan spiritual yang lengkap dan murni selama dua belas tahun, maka ia layak disebut seorang bhikkhu ‘tanpa-sepuluh.’ Jika ia menjalani kehidupan spiritual yang lengkap dan murni selama dua puluh empat tahun, maka ia juga [37] layak disebut seorang bhikkhu ‘tanpa-sepuluh.’ Jika ia menjalani kehidupan spiritual yang lengkap dan murni selama tiga puluh enam tahun, maka ia juga layak disebut seorang bhikkhu ‘tanpa-sepuluh.’ Jika ia menjalani kehidupan spiritual yang lengkap dan murni selama empat puluh delapan tahun, maka ia juga layak disebut seorang bhikkhu ‘tanpa-sepuluh.’”


Catatan Kaki
  1. Baca 7:20↩︎