easter-japanese

Pada suatu ketika Yang Mulia Phagguṇa sedang sakit, menderita, sakit keras. Kemudian Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepadaNya, duduk di satu sisi, dan berkata: “Bhante, Yang Mulia Phagguṇa sedang sakit, menderita, sakit keras. Sudilah Sang Bhagavā mengunjunginya demi belas kasihan.” Sang Bhagavā menyanggupi dengan berdiam diri.

Kemudian, pada malam harinya, Sang Bhagavā keluar dari keterasingan dan mendatangi Yang Mulia Phagguṇa. Dari kejauhan Yang Mulia Phagguṇa melihat kedatangan Sang Bhagavā dan bergerak di atas tempat tidurnya. Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Cukup, Phagguṇa, jangan bergerak di atas tempat tidurmu. Sudah ada tempat-tempat duduk ini yang telah dipersiapkan. Aku akan duduk di sini.”

Sang Bhagavā duduk dan berkata kepada Yang Mulia Phagguṇa: “Aku harap engkau dapat bertahan, Phagguṇa. Aku harap engkau menjadi lebih baik. Aku harap perasaan sakit yang engkau rasakan mereda dan bukan bertambah, dan bahwa meredanya, bukan bertambahnya, yang terlihat.”

“Bhante, aku tidak dapat bertahan, aku tidak menjadi lebih baik. Perasaan menyakitkan yang kuat bertambah dalam diriku, bukan mereda, dan bertambahnya, bukan meredanya, yang terlihat.1 Bagaikan seorang kuat mengasah kepalaku dengan ujung pedang tajam, demikian pula, angin kencang [380] membelah kepalaku. Aku tidak dapat bertahan … Bagaikan seorang kuat mengencangkan sabuk kulit yang kuat di sekeliling kepalaku menjadi ikat kepala, demikian pula ada sakit kepala hebat di dalam kepalaku. Aku tidak dapat bertahan … Bagaikan seorang tukang jagal daging yang terampil atau muridnya membelah perut [seekor sapi] dengan sebilah pisau daging yang tajam, demikian pula, angin kencang membelah perutku. Aku tidak dapat bertahan … Bagaikan dua orang kuat menangkap seorang lemah pada kedua lengannya dan membakar dan memanggangnya di atas sebuah lubang bara api, demikian pula, ada kebakaran hebat di dalam tubuhku. Aku tidak dapat bertahan, Bhante, aku tidak menjadi lebih baik. Perasaan menyakitkan yang kuat bertambah dalam diriku, bukan mereda, dan bertambahnya, bukan meredanya, yang terlihat.”

Kemudian Sang Bhagavā mengajarkan, mendorong, menginspirasi, dan menggembirakan Yang Mulia Phagguṇa dengan khotbah Dhamma, setelah itu Beliau bangkit dari duduknya dan pergi. Tidak lama setelah Sang Bhagavā pergi, Yang Mulia Phagguṇa meninggal dunia. Pada saat kematiannya, indria-indrianya tenang.

Kemudian Yang Mulia Ānanda [381] mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata: “Bhante, tidak lama setelah Sang Bhagavā pergi, Yang Mulia Phagguṇa meninggal dunia. Pada saat kematiannya, indria-indrianya tenang.”

“Mengapakah, Ānanda, indria-indria Bhikkhu Phagguṇa bisa tidak tenang? Walaupun pikirannya sebelumnya masih belum terbebaskan dari kelima belenggu yang lebih rendah, namun ketika ia mendengarkan khotbah Dhamma, pikirannya terbebaskan dari kelima belenggu yang lebih rendah.2

“Ada, Ānanda, enam manfaat ini dalam mendengarkan Dhamma pada saat yang tepat dan memeriksa maknanya pada saat yang tepat.3 Apakah enam ini?

(1) “Di sini, Ānanda, pikiran seorang bhikkhu masih belum terbebaskan dari kelima belenggu yang lebih rendah, tetapi pada saat kematiannya ia dapat bertemu Sang Tathāgata. Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma kepadanya yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir, dengan kata-kata dan makna yang benar; Beliau mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna. Ketika bhikkhu itu mendengarkan khotbah Dhamma, pikirannya terbebaskan dari kelima belenggu yang lebih rendah. Ini adalah manfaat pertama mendengarkan Dhamma pada saat yang tepat.

(2) “Kemudian, pikiran seorang bhikkhu masih belum terbebaskan dari kelima belenggu yang lebih rendah. Pada saat kematiannya ia tidak dapat bertemu Sang Tathāgata, tetapi ia dapat bertemu seorang siswa Sang Tathāgata. Siswa Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma kepadanya … mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna. Ketika bhikkhu itu mendengarkan khotbah Dhamma, pikirannya terbebaskan dari kelima belenggu yang lebih rendah. Ini adalah manfaat ke dua mendengarkan Dhamma pada saat yang tepat.

(3) “Kemudian, pikiran seorang bhikkhu masih belum terbebaskan dari kelima [382] belenggu yang lebih rendah. Pada saat kematiannya ia tidak dapat melihat Sang Tathāgata atau siswa Sang Tathāgata, tetapi ia mempertimbangkan, memeriksa, dan dalam pikiran menyelidiki Dhamma seperti yang ia dengar dan ia pelajari. Ketika ia melakukan itu, pikirannya terbebaskan dari kelima belenggu yang lebih rendah. Ini adalah manfaat ke tiga mendengarkan Dhamma pada saat yang tepat.

(4) “Di sini, Ānanda, pikiran seorang bhikkhu telah terbebaskan dari kelima belenggu yang lebih rendah, tetapi masih belum terbebaskan dalam pemadaman tertinggi atas perolehan-perolehan.4 Pada saat kematiannya ia dapat bertemu Sang Tathāgata. Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma kepadanya … Beliau mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna. Ketika bhikkhu itu mendengarkan khotbah Dhamma, pikirannya terbebaskan dalam pemadaman tertinggi atas perolehan-perolehan. Ini adalah manfaat ke empat mendengarkan Dhamma pada saat yang tepat.

(5) “Kemudian, pikiran seorang bhikkhu telah terbebaskan dari kelima belenggu yang lebih rendah, tetapi masih belum terbebaskan dalam pemadaman tertinggi atas perolehan-perolehan. Pada saat kematiannya ia tidak dapat bertemu Sang Tathāgata, tetapi ia dapat bertemu seorang siswa Sang Tathāgata. Siswa Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma kepadanya … mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna. Ketika bhikkhu itu mendengarkan khotbah Dhamma, pikirannya terbebaskan dalam pemadaman tertinggi atas perolehan-perolehan. Ini adalah manfaat ke lima mendengarkan Dhamma pada saat yang tepat.

(6) “Kemudian, pikiran seorang bhikkhu telah terbebaskan dari kelima belenggu yang lebih rendah [383] tetapi masih belum terbebaskan dalam pemadaman tertinggi atas perolehan-perolehan. Pada saat kematiannya ia tidak dapat melihat Sang Tathāgata atau siswa Sang Tathāgata, tetapi ia mempertimbangkan, memeriksa, dan dalam pikiran menyelidiki Dhamma seperti yang ia dengar dan ia pelajari. Ketika ia melakukan itu, pikirannya terbebaskan dalam pemadaman tertinggi atas perolehan-perolehan. Ini adalah manfaat ke enam mendengarkan Dhamma pada saat yang tepat.

“Ini, Ānanda, adalah keenam manfaat mendengarkan Dhamma pada saat yang tepat dan memeriksa maknanya pada saat yang tepat.”


Catatan Kaki
  1. Perumpamaan yang mengikuti terdapat juga di tempat-tempat lain, pada MN 97.29, II 193,1-19, dan SN 35:87, IV 56,17-57,5. ↩︎

  2. Ini berarti bahwa ia meninggal dunia sebagai seorang yang-tidak-kembali. ↩︎

  3. Saya mengikuti Be dan Ee, yang mana manfaat pertama, ke dua, ke empat, dan ke lima berasal dari mendengarkan Dhamma pada waktu yang tepat (kālena dhammasavane), yang ke tiga dan ke enam berasal dari memeriksa makna pada waktu yang tepat (kālena atth’upaparikkhāya). Ce menggabungkan keduanya pada hal ke tiga dan ke enam, yang kurang memuaskan, karena dalam kedua situasi ini bhikkhu itu tidak mendengarkan Dhamma. ↩︎

  4. Anuttare upadhisaṅkhaye. Mp mengidentifikasikan hal ini sebagai nibbāna. Tentang perolehan (upadhi), baca Jilid 1 p.500, catatan 219. ↩︎