A iii 374
Soṇa
Di terjemahkan dari pāḷi oleh
Bhikkhu Bodhi
ShortUrl:
Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Gunung Puncak Hering. Pada saat itu Yang Mulia Soṇa sedang menetap di Rājagaha di Hutan Sejuk.1
Kemudian, ketika Yang Mulia Soṇa sedang sendirian dalam keterasingan, pemikiran berikut ini muncul padanya: “Aku adalah seorang siswa Sang Bhagavā yang paling bersemangat, namun pikiranku masih belum terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan. Sekarang keluargaku memiliki kekayaan, dan adalah mungkin bagiku untuk menikmati kekayaanku dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa. Biarlah aku meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah, agar aku dapat menikmati kekayaanku dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa.”
Kemudian, setelah dengan pikiranNya sendiri mengetahui pemikiran Yang Mulia Soṇa, bagaikan seorang kuat yang merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, Sang Bhagavā lenyap dari Gunung Puncak Hering dan muncul di Hutan Sejuk di hadapan Yang Mulia Soṇa. Sang Bhagavā duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Yang Mulia Soṇa bersujud kepada Beliau dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya sebagai berikut: [375]
“Soṇa, ketika engkau sedang sendirian dalam keterasingan tidakkah pemikiran berikut ini muncul padamu: ‘Aku adalah seorang siswa Sang Bhagavā yang paling bersemangat, namun pikiranku masih belum terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan. Sekarang keluargaku memiliki kekayaan, dan adalah mungkin bagiku untuk menikmati kekayaanku dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa. Biarlah aku meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah, agar aku dapat menikmati kekayaanku dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa.’?”
“Benar, Bhante.”
“Katakan padaKu, Soṇa, di masa lalu, ketika engkau menetap di rumah, bukankah engkau terampil dalam bermain kecapi?”
“Benar, Bhante.”
“Bagaimana menurutmu, Soṇa? ketika senarnya terlalu kencang, apakah kecapimu tertala dengan baik dan mudah dimainkan?”
“Tidak, Bhante.”
“Ketika senarnya terlalu kendur, apakah kecapimu tertala dengan baik dan mudah dimainkan?”
“Tidak, Bhante.”
“Tetapi, Soṇa, ketika senarnya tidak terlalu kencang juga tidak terlalu kendur, melainkan diatur pada nada yang seimbang, apakah kecapimu tertala dengan baik dan mudah dimainkan?”
“Benar, Bhante.”
“Demikian pula, Soṇa, jika kegigihan dibangkitkan terlalu kuat maka ini mengarah pada kegelisahan, dan jika kegigihan terlalu kendur maka ini mengarah pada kemalasan. Oleh karena itu, Soṇa, bertekadlah pada kegigihan yang seimbang, capailah kesetaraan indria-indria spiritual, dan peganglah objek di sana.”2
“Baik, Bhante,” Yang Mulia Soṇa menjawab.
Ketika Sang Bhagavā telah selesai menasihati Yang Mulai Soṇa, bagaikan seorang kuat yang merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, Sang Bhagavā lenyap dari Hutan Sejuk dan muncul kembali di Gunung Puncak Hering. [376]
Kemudian, beberapa lama kemudian, Yang Mulia Soṇa bertekad pada kegigihan yang seimbang, mencapai kesetaraan indria-indria spiritual, dan memegang objek di sana. Kemudian, dengan berdiam sendirian, terasing, waspada, tekun, dan bersungguh-sungguh, dalam waktu tidak lama Yang Mulia Soṇa merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kesempurnaan kehidupan spiritual yang tidak terlampaui yang karenanya anggota-anggota keluarga dengan benar meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Ia secara langsung mengetahui: “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun.” Dan Yang Mulia Soṇa menjadi salah satu di antara para Arahant.
Setelah mencapai Kearahattaan, Yang Mulia Soṇa berpikir: “Aku akan menemui Sang Bhagavā dan menyatakan pengetahuan akhir di hadapanNya.” Kemudian ia mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata:
“Bhante, ketika seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant, seorang yang noda-nodanya telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan spiritual, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuannya, telah sepenuhnya menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan telah sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir, ia bersungguh-sungguh pada enam hal: pada pelepasan keduniawian, pada keterasingan, pada ketanpa-susahan, pada hancurnya ketagihan, pada hancurnya kemelekatan, dan pada ketidak-bingungan.3
(1) “Adalah mungkin, Bhante, bahwa seorang yang mulia di sini berpikir: ‘Mungkinkah yang mulia ini bersungguh-sungguh pada pelepasan keduniawian hanya karena keyakinan?’ Tetapi hal itu tidak boleh dilihat demikian. Seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan spiritual dan telah menyelesaikan tugasnya, tidak melihat dalam dirinya apa pun yang harus dilakukan lebih jauh lagi atau [perlu] meningkatkan apa pun yang telah dilakukan.4 Ia bersungguh-sungguh pada pelepasan keduniawian karena ia hampa dari nafsu melalui hancurnya nafsu; karena ia hampa dari kebencian melalui hancurnya kebencian; karena ia hampa dari delusi melalui hancurnya delusi. [377]
(2) “Adalah mungkin bahwa seorang yang mulia di sini berpikir: ‘Mungkinkah yang mulia ini bersungguh-sungguh pada keterasingan karena mengharapkan perolehan, penghormatan, dan pujian?’ Tetapi hal itu tidak boleh dilihat demikian. Seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan spiritual dan telah menyelesaikan tugasnya, tidak melihat dalam dirinya apa pun yang harus dilakukan lebih jauh lagi atau [perlu] meningkatkan apa pun yang telah dilakukan. Ia bersungguh-sungguh pada keterasingan karena ia hampa dari nafsu melalui hancurnya nafsu; karena ia hampa dari kebencian melalui hancurnya kebencian; karena ia hampa dari delusi melalui hancurnya delusi.
(3) “Adalah mungkin bahwa seorang yang mulia di sini berpikir: ‘Mungkinkah yang mulia ini bersungguh-sungguh pada ketanpa-susahan karena ia telah jatuh pada genggaman keliru pada perilaku dan upacara sebagai intinya?’5 Tetapi hal itu tidak boleh dilihat demikian. Seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan spiritual dan telah menyelesaikan tugasnya, tidak melihat dalam dirinya apa pun yang harus dilakukan lebih jauh lagi atau [perlu] meningkatkan apa pun yang telah dilakukan. Ia bersungguh-sungguh pada ketanpa-kesusahan karena ia hampa dari nafsu melalui hancurnya nafsu; karena ia hampa dari kebencian melalui hancurnya kebencian; karena ia hampa dari delusi melalui hancurnya delusi.
(4) “…. Ia bersungguh-sungguh pada hancurnya ketagihan karena ia hampa dari nafsu melalui hancurnya nafsu; karena ia hampa dari kebencian melalui hancurnya kebencian; karena ia hampa dari delusi melalui hancurnya delusi.6
(5) “…. Ia bersungguh-sungguh pada hancurnya kemelekatan karena ia hampa dari nafsu melalui hancurnya nafsu; karena ia hampa dari kebencian melalui hancurnya kebencian; karena ia hampa dari delusi melalui hancurnya delusi.
(6) “…. Ia bersungguh-sungguh pada ketidak-bingungan karena ia hampa dari nafsu melalui hancurnya nafsu; karena ia hampa dari kebencian melalui hancurnya kebencian; karena ia hampa dari delusi melalui hancurnya delusi.
“Bhante, ketika seorang bhikkhu terbebaskan sempurna demikian dalam pikiran, bahkan jika bentuk-bentuk yang kuat yang dapat dikenali oleh mata masuk dalam jangkauan mata, bentuk-bentuk itu tidak menguasai pikirannya; pikirannya sama sekali tidak terpengaruh. Pikirannya tetap kokoh, mencapai ketanpa-gangguan, dan ia mengamati lenyapnya.7 [378]
Bahkan jika suara-suara yang kuat yang dapat dikenali oleh telinga masuk dalam jangkauan telinga … Bahkan jika bau-bauan yang kuat yang dapat dikenali oleh hidung masuk dalam jangkauan hidung … Bahkan jika rasa-rasa kecapan yang kuat yang dapat dikenali oleh lidah masuk dalam jangkauan lidah… Bahkan jika objek-objek sentuhan yang kuat yang dapat dikenali oleh badan masuk dalam jangkauan badan … Bahkan jika fenomena-fenomena yang kuat yang dapat dikenali oleh pikiran masuk dalam jangkauan pikiran, fenomena-fenomena itu tidak menguasai pikirannya; pikirannya sama sekali tidak terpengaruh. Pikirannya tetap kokoh, mencapai ketanpa-gangguan, dan ia mengamati lenyapnya.
“Misalkan, Bhante, terdapat sebuah gunung batu, tanpa jurang atau celah, batu yang padat. Jika hujan badai kencang datang dari timur, hujan badai itu tidak dapat membuat gunung batu itu berguncang, bergoyang, dan bergetar; jika hujan badai kencang datang dari barat … dari utara … dari selatan, hujan badai itu tidak dapat membuat gunung batu itu berguncang, bergoyang, dan bergetar. Demikian pula, ketika seorang bhikkhu terbebaskan sempurna demikian dalam pikiran, bahkan jika bentuk-bentuk yang kuat yang dapat dikenali oleh mata masuk dalam jangkauan mata … Bahkan jika fenomena-fenomena yang kuat yang dapat dikenali oleh pikiran masuk dalam jangkauan pikiran, fenomena-fenomena itu tidak menguasai pikirannya; pikirannya sama sekali tidak terpengaruh. Pikirannya tetap kokoh, mencapai ketanpa-gangguan, dan ia mengamati lenyapnya.”
Jika seseorang bersungguh-sungguh pada pelepasan keduniawian dan terasing dalam pikiran; jika ia bersungguh-sungguh pada ketidak-susahan dan hancurnya kemelekatan; jika ia bersungguh-sungguh pada hancurnya ketagihan dan ketidak-bingungan pikiran: ketika ia melihat munculnya landasan-landasan indria, maka pikirannya sepenuhnya terbebaskan.
Bagi seorang bhikkhu dengan pikiran yang damai, seorang yang sepenuhnya terbebaskan, tidak ada lagi yang harus dilakukan lebih jauh, tidak [ada yang perlu] ditingkatkan pada apa yang telah dilakukan.
[379]
Bagaikan sebuah gunung batu yang padat, tidak tergerak oleh angin, demikian pula tidak ada bentuk-bentuk, suara-suara, bau-bauan, dan objek-objek sentuhan, menggerakkan pikiran seorang yang stabil. Pikirannya kokoh dan terbebaskan, dan ia mengamati lenyapnya.
Ini adalah Soṇa Koḷivīsa, yang dinyatakan oleh Sang Buddha sebagai yang terunggul di antara mereka yang membangkitkan kegigihan (baca 1:205). Syair-syairnya terdapat pada Th 632-44. Th 638-39 merujuk pada perumpamaan kecapi; Th 640-44 identik dengan syair-syair di akhir sutta ini. Kisah Soṇa ini tampaknya merupakan versi panjang dari Vin I 179-85, di mana hal ini mengarah pada keputusan Sang Buddha mengizinkan para bhikkhu mengenakan sandal. ↩︎
Bersama dengan Ce dan Ee membaca: Viriyasamataṃ adhiṭṭhaha, indriyānaṃ ca samataṃpaṭivijjha, tattha ca nimittaṃ gaṇhāhi. Di mana Ce dan Ee menuliskan viriyasamataṃ, Be menuliskan vīriyasamathaṃ (tetapi persis di bawah, indriyānañca samataṃ). Mp (Ce) juga membaca viriyasamathaṃ dalam lema. Penjelasan dalam Mp tampaknya mendukung viriyasamathaṃ.
Mp: “Bertekadlah pada kegigihan yang seimbang: Bertekad pada ketenangan yang digabungkan dengan kegigihan (viriyasampayuttaṃ samathaṃ adhiṭṭhaha). Maknanya adalah, ‘Menghubungkan kegigihan dengan ketenangan.’ Capailah kesetaraan indria-indria spiritual: Mempertahankan kesetaraan, keseimbangan indria-indria spiritual keyakinan, dan seterusnya. Ketika keyakinan dihubungkan dengan kebijaksanaan dan kebijaksanaan dihubungkan dengan keyakinan, ketika kegigihan dihubungkan dengan konsentrasi dan konsentrasi dihubungkan dengan kegigihan, maka keseimbangan indria-indria terjaga. Tetapi perhatian adalah berguna di segala tempat, maka harus selalu kuat … Tangkaplah objek di sana: Ketika ada keseimbangan demikian, maka objek dapat muncul dengan jelas, bagaikan pantulan wajah seseorang pada cermin; dan engkau harus memegang (gaṇhāhi) objek ini – memunculkan (nibbattehi) objek ketenangan, pandangan terang, sang jalan, dan buah. Demikianlah Sang Buddha menjelaskan subjek meditasi kepadanya, yang menuntunnya menuju ke Kearahattaan.”
Paralel China atas paragraf ini memberikan tulisan yang sangat berbeda pada instruksi Sang Buddha, sebagai berikut: T I 612a28-29: “Oleh karena itu engkau harus membedakan saat ini (mungkinkah samataṃ telah berubah menjadi samayaṃ?), memeriksa tanda ini, dan jangan lengah” (是故汝當分別此時。觀察此相。莫得放逸); T II 62c17-18: “Oleh karena itu engkau harus berlatih dengan memegang [objek] secara seimbang; jangan melekat, jangan lengah, dan jangan mencengkeram tanda-tanda” (是故汝當平等修習攝受,莫著,莫放逸,莫取相); T II 612b19-20: “Jika engkau dapat bertahan di tengah, maka ini adalah latihan tertinggi” (若龍在中者。此則上行); T XXII 844c1-2 adalah yang paling dekat dengan Pāli: “Engkau harus menyeimbangkan kegigihanmu, menyeimbangkan indria-indriamu” (應等精進等於諸根). ↩︎
Dalam Pāli: nekkhammādhimutto, pavivekādhimutto, abyāpajjhādhimutto, taṇhakkhayādhimutto, upādānakkhayādhimutto, asammohādhimutto. Mp mengatakan bahwa tiap-tiap ungkapan ini menyiratkan Kearahattaan. ↩︎
Karaṇīyaṃ attano asamanupassanto katassa vā paṭicayaṃ. Mp mengemas paṭicayaṃ sebagai “pertumbuhan melalui aktivitas berulang-ulang” (punappunaṃ karaṇena vaḍḍhiṃ). ↩︎
Sīlabbataparāmāsaṃ … sārato paccāgacchanto. Ungkapan ini biasanya merujuk pada praktik ekstrim dari mereka yang meyakininya sebagai inti dari pelatihan spiritual. Baca 3:78. ↩︎
Seluruh tiga edisi menyingkat tiga hal terakhir seperti yang dilakukan di sini. ↩︎
Vayañc’assānupassati. Mp: “Ia melihat muncul dan lenyapnya pikiran itu” (tassa c’esa cittassa uppādampi vayampi passati). ↩︎