easter-japanese

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian, pada suatu pagi, Sang Bhagavā merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahnya, dan memasuki Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Ketika Beliau telah melakukan perjalanan menerima dana makanan, setelah makan, ketika kembali dari perjalanan itu, Beliau berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Marilah, Ānanda, kita pergi ke istana Migāramātā di Taman Timur [345] untuk melewatkan hari.”

”Baik, Bhante,” Yang Mulia Ānanda menjawab.

Kemudian Sang Bhagavā, bersama dengan Yang Mulia Ānanda, pergi ke Istana Migāramātā di Taman Timur.

Kemudian pada malam harinya Sang Bhagavā keluar dari keterasingan dan berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Marilah, Ānanda, kita pergi ke gerbang timur untuk mandi.”

“Baik, Bhante,” Yang Mulia Ānanda menjawab.

Kemudian Sang Bhagavā, bersama dengan Yang Mulia Ānanda, pergi ke gerbang timur untuk mandi. Setelah mandi di gerbang timur dan keluar dari sana, Beliau berdiri dengan mengenakan satu jubah untuk mengeringkan badan. Pada saat itu, gajah besar1 milik Raja Pasenadi Kosala bernama “Seta” sedang mendekat melalui gerbang timur diiringi oleh musik instrumental dan tabuhan genderang. Orang-orang melihatnya dan berkata: “Gajah besar milik raja berpenampilan cantik! Gajah besar milik raja berpenampilan indah! Gajah besar milik raja berpenampilan anggun! Gajah besar milik raja sangat besar! Ia adalah seekor nāga, benar-benar seekor nāga.”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Udāyī berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, apakah hanya ketika orang-orang melihat seekor gajah yang memiliki tubuh yang sangat besar maka mereka berkata: ‘Seekor nāga, benar-benar seekor nāga!’ atau apakah orang-orang juga mengatakan hal ini ketika mereka melihat benda-benda [lain] yang memiliki tubuh yang sangat besar?”

“(1) Udāyī, ketika orang-orang melihat seekor gajah yang memiliki tubuh yang sangat besar, maka mereka berkata: ‘Seekor nāga, benar-benar seekor nāga!’ (2) Ketika orang-orang melihat seekor kuda yang memiliki tubuh yang sangat besar, maka mereka berkata: ‘Seekor nāga, benar-benar seekor nāga!’ (3) Ketika orang-orang melihat seekor sapi jantan yang memiliki tubuh yang sangat besar, maka mereka berkata: ‘Seekor nāga, benar-benar seekor nāga!’ (4) Ketika orang-orang melihat seekor ular yang memiliki tubuh yang sangat besar, maka mereka berkata: ‘Seekor nāga, benar-benar seekor nāga!’ (5) Ketika orang-orang melihat sebatang pohon [346] yang memiliki batang yang sangat besar, maka mereka berkata: ‘Seekor nāga, benar-benar seekor nāga!’ (6) Ketika orang-orang melihat sesosok manusia yang memiliki tubuh yang sangat besar, maka mereka berkata: ‘Seekor nāga, benar-benar seekor nāga!’ Tetapi, Udāyī, di dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam populasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia, Aku menyebut seseorang sebagai nāga pada siapa pun yang tidak melakukan perbuatan jahat melalui jasmani, ucapan, dan pikiran.”2

“Betapa menakjubkan dan mengagumkan, Bhante, betapa baiknya hal ini dinyatakan oleh Sang Bhagavā: ‘Tetapi, Udāyī, di dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam populasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia, Aku menyebut seseorang sebagai nāga pada siapa pun yang tidak melakukan perbuatan jahat melalui jasmani, ucapan, dan pikiran.’ Aku bergembira, Bhante, mendengar pernyataan yang baik dari Sang Bhagavā melalui syair-syair ini:3

“Seorang manusia yang tercerahkan sempurna, jinak dan terkonsentrasi, menapaki jalan brahmā, ia bersenang dalam kedamaian pikiran.

“Aku telah mendengar dari Sang Arahant yang bahkan para deva menghormatiNya, kepada orang yang sama umat manusia menghormat, seorang yang telah melampaui segalanya.

“Beliau telah melampaui segala belenggu dan keluar dari belantara menuju ruang terbuka;4 bersenang dalam pelepasan kenikmatan indria, Beliau bagaikan emas murni yang bebas dari bijih besi.

“Beliau adalah nāga yang mengalahkan segalanya, bagaikan Himalaya di tengah-tengah pegunungan lainnya. Di antara segala sesuatu yang bernama nāga, Beliau, yang tidak terlampaui, adalah seorang yang sungguh benar dinamai demikian.5

“Aku akan memuji sang nāga untuk kalian: sesungguhnya, Beliau tidak melakukan kejahatan. Lembut dan tidak berbahaya adalah kedua kaki sang nāga.

“Pertapaan keras dan hidup selibat adalah kedua kaki lainnya dari sang nāga.6 Keyakinan adalah belalai besar sang nāga, dan keseimbangan adalah taring gadingnya.

“Perhatian adalah lehernya, kepalanya adalah kebijaksanaan, penyelidikan, dan refleksi atas fenomena-fenomena.7 Dhamma adalah panas seimbang dalam perutnya, dan keterasingan adalah ekornya.8

“Meditator ini, bersenang dalam penghiburan,9 terkonsentrasi baik dalam pikiran. Ketika berjalan, sang nāga terkonsentrasi; ketika berdiri, sang nāga terkonsentrasi.

“Ketika berbaring, sang nāga terkonsentrasi; ketika duduk juga, sang nāga terkonsentrasi. [347] di mana-mana, sang nāga terkendali: ini adalah kesempurnaan sang nāga.

“Beliau memakan makanan tanpa cela, tetapi tidak memakan apa yang tercela. Ketika Beliau memperoleh makanan dan jubah, Beliau menghindari menyimpannya.

“Setelah memotong semua belenggu dan ikatan, apakah yang kasar maupun yang halus, ke arah mana pun Beliau pergi, Beliau pergi tanpa cemas.

“Bunga teratai tumbuh dan besar dalam air, namun tidak terkotori oleh air melainkan tetap harum dan indah.

“Demikian pula Sang Buddha, terlahir dengan baik di dunia, berdiam di dunia,10 namun tidak terkotori oleh dunia bagaikan teratai [yang tidak terkotori] oleh air.

“Api besar menyala berkobar menjadi tenang ketika kehabisan bahan bakar, dan ketika semua bara telah berhenti menyala, maka dikatakan sebagai padam.11

“Perumpamaan ini, yang menyampaikan makna, diajarkan oleh Sang Bijaksana. Para nāga agung akan mengenali nāga yang diajarkan oleh sang nāga.12

“Hampa dari nafsu, hampa dari kebencian, hampa dari delusi, tanpa noda, sang nāga, meninggalkan jasmaniNya, tanpa noda, padam sepenuhnya dan mencapai nibbāna akhir.”13


Catatan Kaki
  1. Berbagai penggunaan kata nāga akan dijelaskan persis di bawah. Gajah besar milik Raja Pasenadi disebut “Seta” (“Putih”) karena tubuhnya berwarna putih. ↩︎

  2. Yang dimaksudkan di sini adalah suatu permainan kata. Pernyataan Sang Buddha - āguṃ na karoti – secara main-main menurunkan kata nāga dari na + āguṃ, “tanpa kejahatan.” Dengan demikian nāga menjadi suatu gelar bagi Sang Buddha, atau, secara lebih luas, bagi Arahant. Baca Sn 527: Aguṃ na karoti kiñci loke … nāgo tādi pavuccate tathattā (“Seorang yang tidak melakukan kejahatan di dunia … yang stabil karena alasan demikian maka disebut nāga”). Baca juga Th 1249 (= SN 8:8, I 192,34): Nāganāmo’si bhagavā (“Engkau dinamai Nāga, O Bhagavā”). ↩︎

  3. Mp mengidentifikasikan Udāyī ini sebagai Kāludāyī. Akan tetapi, syair yang sama pada Th 689-704 diduga berasal dari Udāyī, sedangkan syair berbeda pada Th (527-36) diduga berasal dari Kāludāyī. Hal ini membuktikan bahwa identifikasi Mp atas penggubah syair itu tidak benar. Terdapat paralel China dari sutta ini, MĀ 118 (pada T I 608b2 -609a3), yang pada beberapa hal terbukti membantu saya dalam membaca syair-syair Pāli. ↩︎

  4. Saya bersama Be membaca vanā nibbanam āgataṃ. Ce dan Ee menuliskan nibbānam pada tempat nibbanam. Mp menarik permainan kata: “Dari belantara kekotoran, ia telah keluar ke ruang terbuka; ia telah mencapai nibbāna, yang hampa dari belantara kekotoran” (kilesavanato nibbanaṃ kilesavanarahitaṃ nibbānaṃ āgataṃ sampattaṃ). Tampaknya Ce dan Ee telah mengubah kata nibbāna dari kemasan ke dalam teks itu sendiri. Versi China pada T I 608c2 menuliskan 於林離林去, “dari hutan ia telah meninggalkan hutan,” yang mendukung tulisan Be. ↩︎

  5. Saccanāmo bukanlah “seorang yang namanya berarti kebenaran,” melainkan “seorang yang dinamai dengan benar,” yang namanya sesuai dengan orangnya. Mp: “Beliau adalah seorang yang dinamai dengan benar, dinamai sesuai kenyataan, dinamai dengan tepat sebagai ‘nāga’ karena tidak melakukan kejahatan” (tacchanāmo bhūtanāmo āguṃ akaraṇeneva nāgoti evaṃ avitathanāmo). Versi China (pada T I 608c7) menuliskan 一切龍中龍,真諦無上龍, “Beliau adalah nāga di antara semua nāga, sebenarnya nāga yang tidak terlampaui.” ↩︎

  6. Terdapat permainan kata di sini antara kedua makna caraṇa, “perbuatan, perilaku” dan “kaki.” Mp mengemas: “Itu adalah kedua kaki belakang nāga Sang Buddha.” ↩︎

  7. Sati gīvā siro paññā vimaṃsā dhammacintanā. Saya menerjemahkan kata-kata ini secara cukup literal. Akan tetapi, Mp mengatakan: “Ujung belalai gajah disebut penyelidikan (vimaṃsā) karena [menyelidiki] benda-benda untuk menentukan apakah keras atau lunak, dapat dimakan atau tidak dapat dimakan, dan sebagainya. Kemudian gajah itu menolak apa yang harus ditolak dan mengambil apa yang harus diambil. Demikian pula, bagi nāga Sang Buddha, refleksi atas fenomena-fenomena (dhammacintanā) – merujuk pada pengetahuanNya yang menentukan kelompok-kelompok fenomena – adalah [alat] penyelidikanNya. Dengan pengetahuan ini Beliau mengetahui siapa yang mampu dan siapa yang tidak mampu.” Versi China pada 608c11 menerjemahkan kalimat ini secara lebih langsung: 智慧頭思惟分別法, “kebijaksanaan adalah kepalanya, refleksi atas dan pembedaan fenomena-fenomena.” ↩︎

  8. Dalam pāda c saya bersama Be dan Ee membaca samātapo, bukan seperti Ce samāvāpo. Mp: “Adalah konsentrasi jhāna ke empat yang di sini disebut dhamma. Karena dengan berdasarkan pada ini maka kekuatan-kekuatan batin itu berhasil. Oleh karena itu disebut panas seimbang dalam perutnya (kucchisamātapo). Keterasingan (viveka) merujuk pada keterasingan jasmani, keterasingan pikiran, dan keterasingan dari perolehan (kāyacittaupadhiviveko). Seperti halnya gajah menggunakan ekornya untuk menghalau nyamuk-nyamuk, demikian pula Sang Tathāgata mendatangi keterasingan untuk menghalau perumah tangga dan para bhikkhu.” Versi China menuliskan bait (pada 608c12) sebagai 受持諸法腹,樂遠離雙臂, “menegakkan dharma adalah perutnya, dan kesenangan dalam keterasingan adalah sepasang lengannya.” Jelas dalam penyampaian ini, kata vāladhi dalam Pāli telah berubah menjadi bāhūni↩︎

  9. Assāsa dapat berarti penarikan napas dan juga dapat berarti penghiburan, arti ke dua merujuk pada Kearahattaan. Mp mengatakan bahwa seperti halnya menarik napas dan mengembuskan napas adalah apa yang mempertahankan gajah tetap hidup, demikian pula buah Kearahattaan (phalasamāpatti) adalah penting bagi Sang Buddha, dan adalah di sana Beliau bersenang. ↩︎

  10. Bersama dengan Be membaca loke viharati. Ce dan Ee loke virajjati bermakna “menjadi terlepas di dunia,” yang tidak sesuai dengan perumpamaan. ↩︎

  11. Pada tempat saṅkhāresūpasantesu dalam pāda c (tulisan pada seluruh tiga edisi), di sini saya membaca sepasang naskah Burma (yang dirujuk dalam sebuah catatan dalam Ee): aṅgāresu ca santesu, nibbutoti pavuccati. Tulisan ini juga terdapat pada Th 702. Vanarata menunjukkan bahwa “keseluruhan syair adalah perumpamaan dan nibbuto [yang berarti padamnya api dan juga dapat berarti seorang yang telah mencapai nibbāna] merujuk pada api.” Versi China (pada 608c27), sesuai dengan Th dan naskah Burma, menuliskan 無薪火不傳,此火謂之滅, “Tanpa kayu api, api tidak dapat terus menyala. Maka api ini dikatakan sebagai telah padam.” ↩︎

  12. Mp: “Nāga Arahant lainnya akan mengenali Nāga-Buddha yang diajarkan oleh sang nāga, sesepuh Udāyī.” Terlepas dari Mp, saya curiga bahwa teks itu sendiri bermaksud bahwa Sang Buddha sendiri sebagai seorang yang mengajarkan tentang nāga. Versi China (pada 608c29) mendukung kecurigaan saya: 龍中龍所說, “dikatakan oleh sang nāga di antara para nāga.” ↩︎

  13. Bersama dengan Ee membaca parinibbāti ‘nāsavo, bukan seperti Ce dan Be parinibbissati anāsavo. Syair ini melengkapi perumpamaan api. Analogi ini menjadi lebih jelas dalam versi China (pada 609a2), di mana 此龍謂之滅, “nāga ini dikatakan telah mencapai nibbāna,” diulang pada 608c27, 此火謂之滅, “api ini dikatakan telah padam.” Saya mencoba untuk menangkap efek ini dengan menerjemahkan parinibbāti dua kali, pertama sebagai makna padam dan kemudian dalam hal makna doktrinnya. ↩︎