easter-japanese

“Para bhikkhu, ada enam subjek pengingatan ini.1 Apakah enam ini?

(1) “Di sini, para bhikkhu, seorang siswa mulia mengingat Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, sempurna menempuh sang jalan, pengenal dunia, pelatih terbaik bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat Sang Tathāgata, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan, membebaskan dirinya dari keserakahan, keluar dari keserakahan. ‘Keserakahan,’ para bhikkhu, adalah sebutan untuk kelima objek kenikmatan indria. Setelah menjadikan hal ini sebagai landasan,2 beberapa makhluk di sini dimurnikan dengan cara demikian.

(2) “Kemudian, seorang siswa mulia mengingat Dhamma sebagai berikut: ‘Dhamma telah dibabarkan dengan baik oleh Sang Bhagavā, terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat Dhamma, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan … beberapa makhluk di sini dimurnikan dengan cara demikian.

(3) “Kemudian, seorang siswa mulia mengingat Saṅgha sebagai berikut: ‘Saṅgha para siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang baik, mempraktikkan jalan yang lurus, mempraktikkan jalan yang benar, mempraktikkan jalan yang selayaknya; yaitu empat pasang makhluk, delapan jenis individu - Saṅgha para siswa Sang Bhagavā ini layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.’ Ketika [313] seorang siswa mulia mengingat Saṅgha, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan … beberapa makhluk di sini dimurnikan dengan cara demikian.

(4) “Kemudian, seorang siswa mulia mengingat perilaku bermoralnya sendiri yang tidak rusak, tidak cacat, tanpa noda, tanpa bercak, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak digenggam, mengarah pada konsentrasi. Ketika seorang siswa mulia mengingat perilaku bermoralnya, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan … beberapa makhluk di sini dimurnikan dengan cara demikian.

(5) “Kemudian, seorang siswa mulia mengingat kedermawanannya sendiri sebagai berikut: ‘Sungguh ini adalah keberuntungan bagiku bahwa di dalam populasi yang dikuasai oleh noda kekikiran, aku berdiam di rumah dengan pikiran yang hampa dari noda kekikiran, dermawan dengan bebas, bertangan terbuka, bersenang dalam pelepasan, menekuni derma, bersenang dalam memberi dan berbagi.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat kedermawanannya, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan … beberapa makhluk di sini dimurnikan dengan cara demikian.

(6) “Kemudian, seorang siswa mulia mengingat para dewata sebagai berikut: ‘Ada para deva [yang dipimpin oleh] empat raja deva, para deva Tāvatiṃsa, para deva Yāma, para deva Tusita, para deva yang bersenang-senang dalam penciptaan, para deva yang mengendalikan apa yang diciptakan oleh para deva lain, para deva [314] pengikut Brahmā, dan para deva yang bahkan lebih tinggi daripada deva-deva ini. Keyakinan demikian juga ada padaku seperti yang dimiliki oleh para dewata itu yang karenanya, ketika mereka meninggal dunia dari sini, mereka terlahir kembali di sana; perilaku bermoral demikian juga ada padaku … pembelajaran demikian … kedermawanan demikian … kebijaksanaan demikian juga ada padaku seperti yang dimiliki oleh para dewata itu yang karenanya, ketika mereka meninggal dunia dari sini, mereka terlahir kembali di sana.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat keyakinan, perilaku bermoral, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaan dalam dirinya dan dalam diri para dewata itu, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus. Ia telah menjauh dari keserakahan, membebaskan dirinya dari keserakahan, keluar dari keserakahan. ‘Keserakahan,’ para bhikkhu, adalah sebutan untuk kelima objek kenikmatan indria. Setelah menjadikan hal ini sebagai landasan, juga, beberapa makhluk di sini dimurnikan dengan cara demikian.

“Ini, para bhikkhu, adalah keenam subjek pengingatan itu.”


Catatan Kaki
  1. Mp mengemas anussatiṭṭhānāni sebagai anussatikāranāni, “sebab-sebab ingatan,” yang mengenainya Mp-t mengatakan: “Pengingatan-pengingatan itu sendiri adalah ‘sebab-sebab ingatan’ dalam hal bahwa pengingatan-pengingatan itu berfungsi sebagai penyebab (hetubhāvato) bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang berhubungan dengan kehidupan sekarang dan kehidupan mendatang.” ↩︎

  2. Idampi kho bhikkhave ārammaṇaṃ karitvā. Dalam Nikāya-nikāya kata ārammaṇa tidak selalu berarti “objek kesadaran” dalam makna umum, seperti dalam Abhidhamma dan komentar. Kadang-kadang dalam Nikāya-nikāya ārammaṇa menyiratkan suatu objek meditasi, tetapi peran ini biasanya diambil oleh nimitta, yang tidak harus berarti “gambaran pendamping” seperti dalam komentar. Saya tidak menginterpretasikan teks yang sekarang ini sebagai mengatakan bahwa seseorang mengingat Sang Buddha sebagai suatu objek, melainkan bahwa ia menjadikannya sebagai landasan, atau titik awal, untuk menjauh dari keserakahan. Untuk hal ini, saya menarik dukungan dari Mp-ṭ, yang mengemas ārammaṇaṃ karitvā sebagai berikut: “Setelah menjadikannya sebagai kondisi, setelah menjadikannya sebagai landasan” (paccayaṃ karitvā pādakaṃ katvā). Mp-ṭ menganggap “ini” (idam) dalam lema di atas sebagai konsentrasi akses (upacārajjhāna) yang diperoleh melalui pengingatan pada Sang Buddha. Mp menjelaskan “dimurnikan” (visujjhanti) berarti “mereka mencapai nibbāna akhir, kemurnian tertinggi.” ↩︎