easter-japanese

“Para bhikkhu, ada enam elemen jalan membebaskan diri ini.1 Apakah enam ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu mungkin berkata sebagai berikut: ‘Aku telah mengembangkan dan melatih kebebasan pikiran melalui cinta kasih, menjadikannya sebagai kendaraan dan landasan, menjalankannya, memperkuatnya, dan dengan benar melakukannya, namun niat buruk masih menguasai pikiranku.’ Ia harus diberitahu: ‘Tidak begitu! Jangan berkata seperti itu. Jangan salah menafsirkan Sang Bhagavā; karena adalah tidak baik menafsirkan Sang Bhagavā secara keliru. Sang Bhagavā pasti tidak berkata seperti demikian. Adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan, teman, bahwa seseorang yang mengembangkan dan melatih kebebasan pikiran melalui cinta kasih, menjadikannya sebagai kendaraan dan landasan, menjalankannya, memperkuatnya, dan dengan benar melakukannya, namun [291] niat buruk masih menguasai pikirannya. Tidak ada kemungkinan seperti itu. Karena ini, teman, adalah jalan membebaskan diri dari niat buruk, yaitu, kebebasan pikiran melalui cinta kasih.’

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu mungkin berkata sebagai berikut: ‘Aku telah mengembangkan dan melatih kebebasan pikiran melalui belas kasihan, menjadikannya sebagai kendaraan dan landasan, menjalankannya, memperkuatnya, dan dengan benar melakukannya, namun pikiran mencelakai masih menguasai pikiranku.’ Ia harus diberitahu: ‘Tidak begitu! Jangan berkata seperti itu. Jangan salah menafsirkan Sang Bhagavā; karena adalah tidak baik menafsirkan Sang Bhagavā secara keliru. Sang Bhagavā pasti tidak berkata seperti demikian. Adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan, teman, bahwa seseorang yang mengembangkan dan melatih kebebasan pikiran melalui belas kasihan, menjadikannya sebagai kendaraan dan landasan, menjalankannya, memperkuatnya, dan dengan benar melakukannya, namun pikiran mencelakai masih menguasai pikirannya. Tidak ada kemungkinan seperti itu. Karena ini, teman, adalah jalan membebaskan diri dari pikiran mencelakai, yaitu, kebebasan pikiran melalui belas kasihan.’

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu mungkin berkata sebagai berikut: ‘Aku telah mengembangkan dan melatih kebebasan pikiran melalui kegembiraan altruistik, menjadikannya sebagai kendaraan dan landasan, menjalankannya, memperkuatnya, dan dengan benar melakukannya, namun ketidak-puasan masih menguasai pikiranku.’2 Ia harus diberitahu: ‘Tidak begitu! Jangan berkata seperti itu. Jangan salah menafsirkan Sang Bhagavā; karena adalah tidak baik menafsirkan Sang Bhagavā secara keliru. Sang Bhagavā pasti tidak berkata seperti demikian. Adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan, teman, bahwa seseorang yang mengembangkan dan melatih kebebasan pikiran melalui kegembiraan altruistik, menjadikannya sebagai kendaraan dan landasan, menjalankannya, memperkuatnya, dan dengan benar melakukannya, namun ketidak-puasan masih menguasai pikirannya. Tidak ada kemungkinan seperti itu. Karena ini, teman, adalah jalan membebaskan diri dari ketidak-puasan, yaitu, kebebasan pikiran melalui kegembiraan altruistik.’

(4) “Kemudian, seorang bhikkhu mungkin berkata sebagai berikut: ‘Aku telah mengembangkan dan melatih kebebasan pikiran melalui keseimbangan, menjadikannya sebagai kendaraan dan landasan, menjalankannya, memperkuatnya, dan dengan benar melakukannya, namun nafsu masih menguasai pikiranku.’ Ia harus diberitahu: ‘Tidak begitu! Jangan berkata seperti itu. Jangan salah menafsirkan Sang Bhagavā; karena adalah tidak baik menafsirkan Sang Bhagavā secara keliru. Sang Bhagavā pasti tidak berkata seperti demikian. Adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan, teman, bahwa seseorang yang mengembangkan dan melatih kebebasan pikiran melalui keseimbangan, menjadikannya sebagai kendaraan dan landasan, menjalankannya, memperkuatnya, dan dengan benar melakukannya, [292] namun nafsu masih menguasai pikirannya. Tidak ada kemungkinan seperti itu. Karena ini, teman, adalah jalan membebaskan diri dari nafsu, yaitu, kebebasan pikiran melalui keseimbangan.’3

(5) “Kemudian, seorang bhikkhu mungkin berkata sebagai berikut: ‘Aku telah mengembangkan dan melatih kebebasan pikiran tanpa gambaran,4 menjadikannya sebagai kendaraan dan landasan, menjalankannya, memperkuatnya, dan dengan benar melakukannya, namun kesadaranku masih mengikuti gambaran-gambaran.’5 Ia harus diberitahu: ‘Tidak begitu! Jangan berkata seperti itu. Jangan salah menafsirkan Sang Bhagavā; karena adalah tidak baik menafsirkan Sang Bhagavā secara keliru. Sang Bhagavā pasti tidak berkata seperti demikian. Adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan, teman, bahwa seseorang yang mengembangkan dan melatih kebebasan pikiran tanpa gambaran, menjadikannya sebagai kendaraan dan landasan, menjalankannya, memperkuatnya, dan dengan benar melakukannya, namun kesadarannya masih mengikuti gambaran-gambaran. Tidak ada kemungkinan seperti itu. Karena ini, teman, adalah jalan membebaskan diri dari segala gambaran, yaitu, kebebasan pikiran tanpa gambaran.’

(6) “Kemudian, seorang bhikkhu mungkin berkata sebagai berikut: ‘Aku telah meninggalkan [gagasan] “Aku,” dan aku tidak menganggap [apa pun sebagai] “Ini adalah aku,” namun anak panah keragu-raguan dan kebingungan masih menguasai pikiranku.’ Ia harus diberitahu: ‘Tidak begitu! Jangan berkata seperti itu. Jangan salah menafsirkan Sang Bhagavā; karena adalah tidak baik menafsirkan Sang Bhagavā secara keliru. Sang Bhagavā pasti tidak berkata seperti demikian. Adalah tidak mungkin dan tidak terbayangkan, teman, bahwa ketika [gagasan] “Aku” telah ditinggalkan, dan seseorang tidak menganggap [apa pun sebagai] “Ini adalah aku,” namun anak panah keragu-raguan dan kebingungan masih menguasai pikirannya. Tidak ada kemungkinan seperti itu. Karena ini, teman, adalah jalan membebaskan diri dari anak panah keragu-raguan dan kebingungan, yaitu, tercabutnya keangkuhan “aku.”’6

“Ini, para bhikkhu, adalah keenam elemen jalan membebaskan diri itu.


Catatan Kaki
  1. Nissāraṇīyā dhātuyo. Bandingkan dengan 5:200, yang menjelaskan kelompok “elemen membebaskan diri” yang berbeda. ↩︎

  2. Arati. Kata ini biasanya menunjukkan ketidak-puasan terhadap kehidupan melepaskan keduniawian. ↩︎

  3. Teks ini menggunakan kata rāga, yang dalam konteks ini mungkin lebih bermakna kecenderungan pribadi daripada keinginan indria. Yang menarik, pada MN I 424,33-34, upekkhā dilawankan dengan paṭigha, penolakan, kutub berlawanan dari rāga. Dengan asumsi bahwa upekkhā adalah suatu kondisi ketenangan batin yang melampaui ketertarikan dan penolakan, tidaklah mengherankan jika hal ini diberikan sebagai penawar bagi kedua kualitas berlawanan itu. ↩︎

  4. Animittā cetovimutti. Mp: “Kebebasan pikiran tanpa gambaran: pandangan terang yang kuat (balavavipassanā). Tetapi para pelafal Dīgha Nikāya mengatakan bahwa ini adalah pencapaian meditatif dari buah Kearahattaan (arahattaphalasamāpattī); dikatakan tanpa gambaran karena tidak ada gambaran nafsu, dan seterusnya, gambaran bentuk, dan seterusnya, dan gambaran kekekalan, dan seterusnya (sā hi rāganimittādīnañc’eva rūpanimittādīnañca niccanimittādīnañca abhāvā animittā ti vuttā). ↩︎

  5. Nimittānusārī. Mp: “Mengikuti gambaran: mengikuti gambaran-gambaran yang telah disebutkan.” “Gambaran-gambaran yang telah disebutkan” adalah gambaran-gambaran yang disebutkan dalam catatan sebelumnya. ↩︎

  6. Dalam hubungan standar antara tahap-tahapan pencapaian dan pelenyapan kekotoran, keragu-raguan dan kebingungan bersama dengan pandangan “Ini adalah aku” dilenyapkan melalui pencapaian tingkat memasuki-arus, dan keangkuhan “aku” melalui pencapaian Kearahattaan (baca SN 22:89, III 126-32). Dalam paragraf yang sekarang ini, keragu-raguan yang membandel dianggap sebagai satu kriteria untuk menentukan bahwa seseorang belum melenyapkan keangkuhan “aku.” ↩︎