easter-japanese

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di antara para penduduk Sakya di Kapilavatthu di Taman Pohon Banyan. Kemudian Mahānāma orang Sakya mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Bhante, bagaimanakah seorang siswa mulia yang telah sampai pada buah dan telah memahami ajaran sering kali berdiam?”1

“Mahānāma, seorang siswa mulia [285] yang telah sampai pada buah dan telah memahami ajaran sering kali berdiam dengan cara ini:2

(1) “Di sini, Mahānāma, seorang siswa mulia mengingat Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, sempurna menempuh sang jalan, pengenal dunia, pelatih terbaik bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat Sang Tathāgata, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus, berdasarkan pada Sang Tathāgata. Seorang siswa mulia yang pikirannya lurus memperoleh inspirasi dalam makna, memperoleh inspirasi dalam Dhamma, memperoleh kegembiraan yang berhubungan dengan Dhamma. Ketika ia bergembira, maka sukacita muncul. Pada seseorang yang pikirannya bersukacita, maka jasmaninya menjadi tenang. Seorang yang jasmaninya tenang merasakan kenikmatan. Pada seseorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi. Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam seimbang di tengah-tengah populasi yang tidak seimbang,3 yang berdiam tanpa sengsara di tengah-tengah populasi yang sengsara. Sebagai seorang yang telah memasuki arus Dhamma,4 ia mengembangkan pengingatan pada Sang Buddha.

(2) “Kemudian, Mahānāma, seorang siswa mulia mengingat Dhamma sebagai berikut: ‘Dhamma telah dibabarkan dengan baik oleh Sang Bhagavā, terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat Dhamma, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus, berdasarkan pada Dhamma. Seorang siswa mulia yang pikirannya lurus memperoleh inspirasi dalam makna, memperoleh inspirasi dalam Dhamma, memperoleh kegembiraan yang berhubungan dengan Dhamma. Ketika ia bergembira, maka sukacita muncul. Pada seseorang yang pikirannya bersukacita, maka jasmaninya menjadi tenang. Seorang yang jasmaninya tenang merasakan kenikmatan. Pada seseorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi. Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam seimbang di tengah-tengah populasi yang tidak seimbang, yang berdiam tanpa sengsara di tengah-tengah populasi yang sengsara. [286] Sebagai seorang yang telah memasuki arus Dhamma, ia mengembangkan pengingatan pada Dhamma.

(3) “Kemudian, Mahānāma, seorang siswa mulia mengingat Saṅgha sebagai berikut: ‘Saṅgha para siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang baik, mempraktikkan jalan yang lurus, mempraktikkan jalan yang benar, mempraktikkan jalan yang selayaknya; yaitu empat pasang makhluk, delapan jenis individu - Saṅgha para siswa Sang Bhagavā ini layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat Saṅgha, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus, berdasarkan pada Saṅgha. Seorang siswa mulia yang pikirannya lurus memperoleh inspirasi dalam makna, memperoleh inspirasi dalam Dhamma, memperoleh kegembiraan yang berhubungan dengan Dhamma. Ketika ia bergembira, maka sukacita muncul. Pada seseorang yang pikirannya bersukacita, maka jasmaninya menjadi tenang. Seorang yang jasmaninya tenang merasakan kenikmatan. Pada seseorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi. Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam seimbang di tengah-tengah populasi yang tidak seimbang, yang berdiam tanpa sengsara di tengah-tengah populasi yang sengsara. Sebagai seorang yang telah memasuki arus Dhamma, ia mengembangkan pengingatan pada Saṅgha.

(4) “Kemudian, Mahānāma, seorang siswa mulia mengingat perilaku bermoralnya sendiri yang tidak rusak, tidak cacat, tanpa noda, tanpa bercak, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak digenggam, mengarah pada konsentrasi. Ketika seorang siswa mulia mengingat perilaku bermoralnya, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus, berdasarkan pada perilaku bermoral. Seorang siswa mulia yang pikirannya lurus memperoleh inspirasi dalam makna, memperoleh inspirasi dalam Dhamma, memperoleh kegembiraan yang berhubungan dengan Dhamma. Ketika ia bergembira, maka sukacita muncul. Pada seseorang yang pikirannya bersukacita, maka jasmaninya menjadi tenang. Seorang yang jasmaninya tenang merasakan kenikmatan. Pada seseorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi. [287] Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam seimbang di tengah-tengah populasi yang tidak seimbang, yang berdiam tanpa sengsara di tengah-tengah populasi yang sengsara. Sebagai seorang yang telah memasuki arus Dhamma, ia mengembangkan pengingatan pada perilaku bermoral.

(5) “Kemudian, Mahānāma, seorang siswa mulia mengingat kedermawanannya sendiri sebagai berikut: ‘Sungguh ini adalah keberuntungan bagiku bahwa di dalam populasi yang dikuasai oleh noda kekikiran, aku berdiam di rumah dengan pikiran yang hampa dari noda kekikiran, dermawan dengan bebas, bertangan terbuka, bersenang dalam pelepasan, menekuni derma, bersenang dalam memberi dan berbagi.’ Ketika seorang siswa mulia mengingat kedermawanannya, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus, berdasarkan pada kedermawanan. Seorang siswa mulia yang pikirannya lurus memperoleh inspirasi dalam makna, memperoleh inspirasi dalam Dhamma, memperoleh kegembiraan yang berhubungan dengan Dhamma. Ketika ia bergembira, maka sukacita muncul. Pada seseorang yang pikirannya bersukacita, maka jasmaninya menjadi tenang. Seorang yang jasmaninya tenang merasakan kenikmatan. Pada seseorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi. Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam seimbang di tengah-tengah populasi yang tidak seimbang, yang berdiam tanpa sengsara di tengah-tengah populasi yang sengsara. Sebagai seorang yang telah memasuki arus Dhamma, ia mengembangkan pengingatan pada kedermawanan.

(6) “Kemudian, Mahānāma, seorang siswa mulia mengingat para dewata sebagai berikut: ‘Ada para deva [yang dipimpin oleh] empat raja deva, para deva Tāvatiṃsa, para deva Yāma, para deva Tusita, para deva yang bersenang-senang dalam penciptaan, para deva yang mengendalikan apa yang diciptakan oleh para deva lain, para deva pengikut Brahmā, dan para deva yang bahkan lebih tinggi daripada deva-deva ini.5 Keyakinan demikian juga ada padaku seperti yang dimiliki oleh para dewata itu yang karenanya, ketika mereka meninggal dunia dari sini, mereka terlahir kembali di sana; perilaku bermoral demikian juga ada padaku … pembelajaran demikian … kedermawanan demikian … kebijaksanaan demikian juga ada padaku seperti yang dimiliki oleh para dewata itu yang karenanya, ketika mereka meninggal dunia dari sini, mereka terlahir kembali di sana.’ Ketika [288] seorang siswa mulia mengingat keyakinan, perilaku bermoral, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaan dalam dirinya dan dalam diri para dewata itu, maka pada saat itu pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu pikirannya lurus, berdasarkan pada para dewata. Seorang siswa mulia yang pikirannya lurus memperoleh inspirasi dalam makna, memperoleh inspirasi dalam Dhamma, memperoleh kegembiraan yang berhubungan dengan Dhamma. Ketika ia bergembira, maka sukacita muncul. Pada seseorang yang pikirannya bersukacita, maka jasmaninya menjadi tenang. Seorang yang jasmaninya tenang merasakan kenikmatan. Pada seseorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi. Ini disebut seorang siswa mulia yang berdiam seimbang di tengah-tengah populasi yang tidak seimbang, yang berdiam tanpa sengsara di tengah-tengah populasi yang sengsara. Sebagai seorang yang telah memasuki arus Dhamma, ia mengembangkan pengingatan pada para dewata.

“Mahānāma, seorang siswa mulia yang telah sampai pada buah dan telah memahami ajaran sering kali berdiam dengan cara ini.”


Catatan Kaki
  1. Ariyasāvako āgataphalo viññātasāsano. Mp mengatakan bahwa Mahānāma bertanya tentang pendukung vital pemasuk-arus (sotāpannassa nissayavihāraṃ). ↩︎

  2. Enam pengingatan berikut ini dikomentari secara terperinci dalam Vism bab 7. ↩︎

  3. Visamagatāya pajāya samappatto. Mp: “Di antara makhluk-makhluk yang telah menjadi tidak seimbang (visamagatesu) melalui nafsu, kebencian, dan delusi, ia telah mencapai kedamaian dan ketenangan (samaṃ upasamaṃ patto hutvā).” Dari hal ini, jelas bahwa Mp menganggap kata Pāli sama sebagai sama dengan Skt śama, damai. Tetapi karena teks mempertentangkan visama, ketidak-seimbangan (atau ketidak-bajikan) yang karenanya orang-orang biasa hidup, dengan sama yang telah dicapai oleh siswa mulia, maka lebih mungkin bahwa Pāli sama bersesuaian dengan Skr sama. Dua paralel China mendukung dugaan ini. SĀ^2^ 156, pada T II 432c15-16, menuliskan 怨家及已親族。於此二人。無怨憎想。心常平等 (“Apakah musuh-musuhnya atau sanak saudaranya, terhadap kedua jenis orang ini ia tidak memiliki pikiran bermusuhan, melainkan pikirannya seimbang”). Yang lainnya, T 1537.8 pada T XXVI 492c13-15, menuliskan 於不平等諸有情類。得住平等。於有惱害諸有情類。住無惱害 (“Di tengah-tengah makhluk-makhluk hidup yang tidak seimbang, ia memperoleh keseimbangan; di antara makhluk-makhluk yang menderita ia berdiam tanpa penderitaan”). Walaupun berlawanan dengan interpretasi sama dari Mp, namun hal ini menegaskan makna yang nyata dari sutta. ↩︎

  4. Dhammasotaṃ samāpanno. Mp: “Ia telah memasuki arus Dhamma yang terdapat dalam pandangan terang.” Karena ungkapan Pāli ini dapat dengan mudah disingkat menjadi sotāpanna, saya tidak melihat mengapa Mp menginterpretasikan dhammasota sebagai pandangan terang (vipassanā) bukan sebagai jalan mulia (ariyamagga). Dalam SN 55:5, pada V 347,24-25, sota digunakan sebagai suatu metafora bagi jalan mulia berunsur delapan. ↩︎

  5. Enam pertama adalah para dewata di enam alam surga indriawi. Para deva pengikut Brahmā (brahmakāyikā deva) adalah para dewata di alam brahmā. “Para deva yang bahkan lebih tinggi daripada deva-deva ini” adalah para deva yang lebih tinggi di alam berbentuk dan alam tanpa bentuk. ↩︎