easter-japanese

“Para bhikkhu, ada lima jenis prajurit ini terdapat di dunia. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, seorang prajurit mengambil pedang dan perisai, [94] mempersenjatai dirinya dengan busur dan anak panah, dan memasuki medan perang. Ia berjuang dan mengerahkan usahanya dalam pertempuran, tetapi lawannya membunuhnya dan menewaskannya. Ada, para bhikkhu, prajurit demikian di sini. Ini adalah jenis prajurit pertama yang terdapat di dunia.

(2) “Kemudian, seorang prajurit mengambil pedang dan perisai, mempersenjatai dirinya dengan busur dan anak panah, dan memasuki medan perang. Ia berjuang dan mengerahkan usahanya dalam pertempuran, tetapi lawannya melukainya. [Teman-temannya] mengangkatnya dan membawanya kepada sanak saudaranya. Sewaktu ia sedang dibawa kepada sanak saudaranya, ia meninggal dunia dalam perjalanan sebelum sampai di sana. Ada, para bhikkhu, prajurit demikian di sini. Ini adalah jenis prajurit ke dua yang terdapat di dunia.

(3) “Kemudian, seorang prajurit mengambil pedang dan perisai, mempersenjatai dirinya dengan busur dan anak panah, dan memasuki medan perang. Ia berjuang dan mengerahkan usahanya dalam pertempuran, tetapi lawannya melukainya. [Teman-temannya] mengangkatnya dan membawanya kepada sanak saudaranya. Sanak saudaranya mengobatinya dan merawatnya, tetapi ketika mereka sedang melakukan hal itu ia meninggal dunia karena lukanya. Ada, para bhikkhu, prajurit demikian di sini. Ini adalah jenis prajurit ke tiga yang terdapat di dunia.

(4) “Kemudian, seorang prajurit mengambil pedang dan perisai, mempersenjatai dirinya dengan busur dan anak panah, dan memasuki medan perang. Ia berjuang dan mengerahkan usahanya dalam pertempuran, tetapi lawannya melukainya. [Teman-temannya] mengangkatnya dan membawanya kepada sanak saudaranya. Sanak saudaranya mengobatinya dan merawatnya, dan sebagai akibatnya ia sembuh dari luka itu. Ada, para bhikkhu, prajurit demikian di sini. Ini adalah jenis prajurit ke empat yang terdapat di dunia.

(5) “Kemudian, seorang prajurit mengambil pedang dan perisai, mempersenjatai dirinya dengan busur dan anak panah, dan memasuki medan perang. Setelah memenangkan pertempuran, ia keluar sebagai pemenang [95] dan menempati posisi di garis depan medan perang. Ada, para bhikkhu, prajurit demikian di sini. Ini adalah jenis prajurit ke lima yang terdapat di dunia.

“Ini adalah kelima jenis prajurit itu yang terdapat di dunia.

“Demikian pula, ada lima jenis orang ini yang serupa dengan para prajurit itu terdapat di antara para bhikkhu. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan bergantung pada suatu desa atau pemukiman tertentu. Pada pagi hari, ia merapikan jubah, membawa jubah dan mangkuknya, dan memasuki desa atau pemukiman untuk menerima dana makanan, dengan jasmani, ucapan, dan pikiran tidak terjaga, tanpa menegakkan perhatian, organ-organ indrianya tidak terkendali. Di sana ia melihat para perempuan dengan pakaian berantakan dan terbuka. Ketika ia melihat mereka, nafsu menyerang pikirannya. Dengan pikirannya diserang oleh nafsu, ia melakukan hubungan seksual tanpa mengungkapkan kelemahannya dan tanpa meninggalkan latihan. Orang ini, Aku katakan, adalah serupa dengan prajurit yang mengambil pedang dan perisai, mempersenjatai dirinya dengan busur dan anak panah, dan memasuki medan perang. Ia berjuang dan mengerahkan usahanya dalam pertempuran, tetapi lawannya membunuhnya dan menewaskannya. Ada, para bhikkhu, orang seperti demikian di sini. Ini adalah orang jenis pertama yang serupa dengan seorang prajurit yang terdapat di antara para bhikkhu.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu berdiam dengan bergantung pada suatu desa atau pemukiman tertentu. Pada pagi hari, ia merapikan jubah, membawa jubah dan mangkuknya, dan memasuki desa atau pemukiman untuk menerima dana makanan … [dan] nafsu menyerang pikirannya. Dengan pikirannya diserang oleh nafsu, ia terbakar secara jasmani dan secara pikiran [oleh demam nafsu]. Ia berpikir: ‘Biarlah aku kembali di vihara [96] dan memberitahu para bhikkhu: “Teman-teman, aku dikuasai oleh nafsu, tertindas oleh nafsu. Aku tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Setelah mengungkapkan kelemahanku dalam latihan, aku akan meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.”’ Sewaktu ia berjalan kembali ke vihara, bahkan sebelum sampai, ia mengungkapkan kelemahannya dalam latihan, meninggalkan latihan, dan kembali kepada kehidupan rendah dalam perjalanan itu. Orang ini, Aku katakan, adalah serupa dengan prajurit yang mengambil pedang dan perisai, mempersenjatai dirinya dengan busur dan anak panah, dan memasuki medan perang, terluka oleh lawannya sewaktu ia berjuang dan mengerahkan usahanya dalam pertempuran, dan diangkat dan dibawa kepada sanak saudaranya tetapi meninggal dunia dalam perjalanan bahkan sebelum sampai. Ada, para bhikkhu, orang seperti demikian di sini. Ini adalah orang jenis ke dua yang serupa dengan seorang prajurit yang terdapat di antara para bhikkhu.

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu berdiam dengan bergantung pada suatu desa atau pemukiman tertentu. Pada pagi hari, ia merapikan jubah, membawa jubah dan mangkuknya, dan memasuki desa atau pemukiman untuk menerima dana makanan … [dan] nafsu menyerang pikirannya. Dengan pikirannya diserang oleh nafsu, ia terbakar secara jasmani dan secara pikiran [oleh demam nafsu]. Ia berpikir: ‘Biarlah aku kembali di vihara dan memberitahu para bhikkhu: “Teman-teman, aku dikuasai oleh nafsu, tertindas oleh nafsu. Aku tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Setelah mengungkapkan kelemahanku dalam latihan, aku akan meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.”’ Ia kembali ke vihara dan memberitahu para bhikkhu: ‘Teman-teman, aku dikuasai oleh nafsu, tertindas oleh nafsu. Aku tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Setelah mengungkapkan kelemahanku dalam latihan, aku akan meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.’ Teman-temannya para bhikkhu menasihatinya dan mengajarinya: [97] ‘Teman, Sang Bhagavā telah menyatakan bahwa kenikmatan-kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan dan kesengsaraan, dan bahwa bahaya di dalamnya lebih banyak lagi.1 Dengan perumpamaan tulang-belulang Sang Bhagavā telah menyatakan bahwa kenikmatan-kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan dan kesengsaraan, dan bahwa bahaya di dalamnya lebih banyak lagi. Dengan perumpamaan sepotong daging … dengan perumpamaan obor rumput … dengan perumpamaan lubang bara api … dengan perumpamaan mimpi … dengan perumpamaan barang-barang pinjaman … dengan perumpamaan buah-buahan di atas pohon … dengan perumpamaan pisau dan papan pemotong tukang daging … dengan perumpamaan pedang pancang … dengan perumpamaan kepala ular, Sang Bhagavā telah menyatakan bahwa kenikmatan-kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan dan kesengsaraan, dan bahwa bahaya di dalamnya lebih banyak lagi. Nikmatilah kehidupan spiritual. Jangan berpikir bahwa engkau tidak mampu mengikuti latihan, meninggalkannya, dan kembali kepada kehidupan rendah.’ Sewaktu ia sedang dinasihati dan diajari oleh teman-temannya para bhikkhu dengan cara ini, ia membantah: ‘Teman-teman, walaupun Sang Bhagavā telah menyatakan bahwa kenikmatan-kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan dan kesengsaraan, dan bahwa bahaya di dalamnya lebih banyak lagi, tetap saja, aku tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Setelah mengungkapkan kelemahanku dalam latihan, aku akan meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.’ Setelah mengungkapkan kelemahannya dalam latihan, ia meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah. Orang ini, Aku katakan, adalah serupa dengan prajurit yang mengambil pedang dan perisai, mempersenjatai dirinya dengan busur dan anak panah, dan memasuki medan perang, terluka oleh lawannya sewaktu ia berjuang dan mengerahkan usahanya dalam pertempuran, dan diangkat [98] dan dibawa kepada sanak saudaranya, yang mengobati dan merawatnya, tetapi meninggal dunia karena luka itu. Ada, para bhikkhu, orang seperti demikian di sini. Ini adalah orang jenis ke tiga yang serupa dengan seorang prajurit yang terdapat di antara para bhikkhu.

(4) “Kemudian, seorang bhikkhu berdiam dengan bergantung pada suatu desa atau pemukiman tertentu. Pada pagi hari, ia merapikan jubah, membawa jubah dan mangkuknya, dan memasuki desa atau pemukiman untuk menerima dana makanan … nafsu menyerang pikirannya. Dengan pikirannya diserang oleh nafsu, ia terbakar secara jasmani dan secara pikiran [oleh demam nafsu]. Ia berpikir: ‘Biarlah aku kembali di vihara dan memberitahu para bhikkhu: “Teman-teman, aku dikuasai oleh nafsu, tertindas oleh nafsu. Aku tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Setelah mengungkapkan kelemahanku dalam latihan, aku akan meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.”’ Ia kembali ke vihara dan memberitahu para bhikkhu: ‘Teman-teman, aku dikuasai oleh nafsu, tertindas oleh nafsu. Aku tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Setelah mengungkapkan kelemahanku dalam latihan, aku akan meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.’ Teman-temannya para bhikkhu menasihatinya dan mengajarinya: ‘Teman, Sang Bhagavā telah menyatakan bahwa kenikmatan-kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan dan kesengsaraan, dan bahwa bahaya di dalamnya lebih banyak lagi. Dengan perumpamaan tulang-belulang … [99] … dengan perumpamaan kepala ular, Sang Bhagavā telah menyatakan bahwa kenikmatan-kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan dan kesengsaraan, dan bahwa bahaya di dalamnya lebih banyak lagi. Nikmatilah kehidupan spiritual. Jangan berpikir bahwa engkau tidak mampu mengikuti latihan, meninggalkannya, dan kembali kepada kehidupan rendah.’ Sewaktu ia sedang dinasihati dan diajari oleh teman-temannya para bhikkhu dengan cara ini, ia berkata: ‘Aku akan berusaha, teman-teman, aku akan melanjutkan, aku akan menikmatinya. Aku tidak akan berpikir bahwa aku tidak mampu mengikuti latihan, meninggalkannya, dan kembali kepada kehidupan rendah.’ Orang ini, Aku katakan, adalah serupa dengan prajurit yang mengambil pedang dan perisai, mempersenjatai dirinya dengan busur dan anak panah, dan memasuki medan perang, terluka oleh lawannya sewaktu ia berjuang dan mengerahkan usahanya dalam pertempuran, dan diangkat dan dibawa kepada sanak saudaranya, yang mengobati dan merawatnya, dan yang kemudian sembuh dari luka itu. Ada, para bhikkhu, orang seperti demikian di sini. Ini adalah orang jenis ke empat yang serupa dengan seorang prajurit yang terdapat di antara para bhikkhu.

(5) “Kemudian, seorang bhikkhu berdiam dengan bergantung pada suatu desa atau pemukiman tertentu. Pada pagi hari, ia merapikan jubah, membawa jubah dan mangkuknya, dan memasuki desa atau pemukiman untuk menerima dana makanan dengan jasmani, ucapan, dan pikiran terjaga, dengan perhatian ditegakkan, dan organ-organ indrianya terkendali. Setelah melihat suatu bentuk dengan mata, ia tidak menggenggam tanda-tanda dan ciri-cirinya. Karena, jika ia membiarkan indria mata tidak terkendali, maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat berupa kerinduan dan kesedihan akan dapat menyerangnya, ia berlatih mengendalikannya; ia menjaga indria mata, ia menjalankan pengendalian indria mata. Setelah mendengar suatu suara dengan telinga … Setelah mencium suatu bau dengan hidung … Setelah mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah … [100] … Setelah merasakan suatu objek sentuhan dengan badan … Setelah mengenali suatu fenomena pikiran dengan pikiran, ia tidak menggenggam tanda-tanda dan ciri-cirinya. Karena, jika ia membiarkan indria pikiran tidak terkendali, maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat berupa kerinduan dan kesedihan akan dapat menyerangnya, ia berlatih mengendalikannya; ia menjaga indria pikiran, ia menjalankan pengendalian indria pikiran. Setelah makan, setelah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, ia mendatangi tempat tinggal terasing: hutan, bawah pohon, gunung, jurang, gua di lereng gunung, tanah pemakaman, hutan pegunungan, ruang terbuka, tumpukan jerami. Setelah pergi ke hutan, ke bawah pohon, atau ke gubuk kosong, ia duduk bersila, menegakkan tubuhnya, dan menegakkan perhatian di depannya. Setelah meninggalkan kerinduan pada dunia … [seperti pada 5:75] … ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan.

“Setelah meninggalkan kelima rintangan ini, kekotoran-kekotoran pikiran yang melemahkan kebijaksanaan, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat, yang tidak menyakitkan juga tidak menyenangkan, dengan pemurnian perhatian melalui keseimbangan.

“Ketika pikirannya terkonsentrasi demikian, murni, bersih, tanpa noda, bebas dari kotoran, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai ketanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda. Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’ … ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun.’ Orang ini, Aku katakan, adalah serupa dengan prajurit yang mengambil pedang dan perisai, mempersenjatai dirinya dengan busur dan anak panah, dan memasuki medan perang, dan setelah memenangkan pertempuran, ia keluar sebagai pemenang dan menempati posisi di garis depan medan perang. Ada, para bhikkhu, orang seperti demikian di sini. Ini adalah orang jenis ke lima yang serupa dengan seorang prajurit yang terdapat di antara para bhikkhu.

“Ini adalah kelima jenis orang itu yang serupa dengan para prajurit itu terdapat di antara para bhikkhu.”


Catatan Kaki
  1. Nasihat berikut ini juga terdapat dalam MN 22,3, I 130,23-31. Banyak dari perumpamaan bagi kenikmatan-kenikmatan indria ini dijelaskan dalam MN 54.15-21, I 364-67. ↩︎