easter-japanese

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Istana Migāramāta di Taman Timur. Pada saat itu, pada hari Uposatha, Sang Bhagavā sedang duduk dikelilingi oleh Saṅgha para bhikkhu. Kemudian, setelah mengamati kesenyapan Saṅgha para bhikkhu, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu:

“Para bhikkhu, kumpulan ini bebas dari ocehan; kumpulan ini adalah tanpa ocehan, murni, kokoh dalam intinya. Saṅgha para bhikkhu yang demikian, kumpulan yang demikian, adalah jarang terlihat di dunia. Saṅgha para bhikkhu yang demikian, kumpulan yang demikian, adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Bahkan sedikit yang diberikan kepada Saṅgha para bhikkhu yang demikian, kumpulan yang demikian, akan menjadi banyak, sedangkan banyak yang diberikan akan menjadi lebih banyak lagi. Adalah layak untuk menempuh perjalanan sejauh banyak yojana untuk menemui Saṅgha para bhikkhu yang demikian, kumpulan yang demikian, bahkan sambil menyandang tas bahu. Demikianlah Saṅgha para bhikkhu ini. [184]

“Ada para bhikkhu dalam Saṅgha ini yang berdiam setelah mencapai kondisi para deva. Ada para bhikkhu dalam Saṅgha ini yang berdiam setelah mencapai kondisi para brahmā. Ada para bhikkhu dalam Saṅgha ini yang berdiam setelah mencapai ketanpa-gangguan. Ada para bhikkhu dalam Saṅgha ini yang berdiam setelah mencapai kondisi para mulia.

(1) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu telah mencapai kondisi seorang deva? Di sini, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, yang disertai oleh pemikiran dan pemeriksaan. Dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki ketenangan internal dan keterpusatan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi, tanpa pemikiran dan pemeriksaan. Dengan memudarnya sukacita, ia berdiam seimbang dan, penuh perhatian dan memahami dengan jernih, ia mengalami kenikmatan pada jasmani; ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga yang dinyatakan oleh para mulia: ‘Ia seimbang, penuh perhatian, seorang yang berdiam dengan bahagia.’ Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya atas kegembiraan dan kesedihan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan, dengan pemurnian perhatian melalui keseimbangan. Dengan cara inilah seorang bhikkhu mencapai kondisi seorang deva.

(2) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu telah mencapai kondisi seorang brahmā? Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, demikian pula arah ke dua, arah ke tiga, dan arah ke empat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, luas, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk. Ia berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan belas kasihan … dengan pikiran yang dipenuhi dengan kegembiraan altruistik … dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, demikian pula arah ke dua, arah ke tiga, dan arah ke empat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, luas, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk. Dengan cara inilah seorang bhikkhu mencapai kondisi seorang brahmā.

(3) Dan bagaimanakah seorang bhikkhu telah mencapai ketanpa-gangguan? Di sini, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, [dengan menyadari] ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, [dengan menyadari] ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ ia masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas. Dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [dengan menyadari] ‘tidak ada apa-apa,’ ia masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, ia masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Dengan cara inilah seorang bhikkhu mencapai ketanpa-gangguan.

(4) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu telah mencapai kondisi seorang mulia? Di sini, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Dengan cara inilah seorang bhikkhu mencapai kondisi seorang mulia.” [185]