easter-japanese

“Para bhikkhu, ada tiga otoritas ini. Apakah tiga ini? Diri sendiri sebagai otoritas seseorang, dunia sebagai otoritas seseorang, dan Dhamma sebagai otoritas seseorang.1

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, diri sendiri sebagai otoritas seseorang? Di sini, setelah pergi ke hutan, ke bawah pohon, atau ke gubuk kosong, seorang bhikkhu merefleksikan: ‘Aku tidak meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah demi jubah, makanan, atau tempat tinggal, atau demi menjadi ini atau itu,2 melainkan [dengan pikiran]: “Aku tenggelam dalam kelahiran, penuaan, dan kematian; dalam dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan. Aku tenggelam dalam penderitaan, didera oleh penderitaan. Mungkin akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini dapat terlihat.” [148] Sebagai seorang yang telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, tidaklah selayaknya bagiku untuk mencari kenikmatan-kenikmatan indria yang serupa atau lebih buruk dari apa yang telah kutinggalkan.’ Kemudian ia merefleksikan sebagai berikut: ‘Kegigihan harus dibangkitkan dalam diriku tanpa mengendur; perhatian harus ditegakkan tanpa kacau; tubuhku harus tenang tanpa gangguan; pikiranku harus dikonsentrasikan dan terpusat.’ Setelah menjadikan dirinya sendiri sebagai otoritasnya, ia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat dan mengembangkan apa yang bermanfaat; ia meninggalkan apa yang tercela dan mengembangkan apa yang tidak tercela; ia mempertahankan dirinya dalam kemurnian. Ini disebut diri sendiri sebagai otoritas.

(2) “Dan apakah, para bhikkhu, dunia sebagai otoritas seseorang? Di sini, setelah pergi ke hutan, ke bawah pohon, atau ke gubuk kosong, seorang bhikkhu merefleksikan: ‘Aku tidak meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah demi jubah … melainkan [dengan pikiran]: “Aku terbenam dalam kelahiran, penuaan, dan kematian … Mungkin akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini dapat terlihat.” Sebagai seorang yang telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, aku mungkin memikirkan pikiran-pikiran indriawi, pikiran-pikiran berniat buruk, atau pikiran-pikiran mencelakai. Tetapi bidang dunia ini sangat luas. Dalam luasnya dunia ini terdapat para petapa dan brahmana yang memiliki kekuatan batin dan mata dewa yang mengetahui pikiran makhluk-makhluk lain. Mereka melihat benda-benda yang jauh tetapi mereka sendiri tidak terlihat bahkan ketika mereka berada cukup dekat; mereka mengetahui pikiran [makhluk-makhluk lain] dengan pikiran mereka sendiri. Mereka akan mengetahuiku sebagai berikut: “Lihatlah orang ini: walaupun ia telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, namun ia ternoda oleh kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat.” Juga ada para dewa dengan kekuatan batin dan mata dewa yang mengetahui pikiran makhluk-makhluk lain. Mereka melihat benda-benda yang jauh tetapi mereka sendiri tidak terlihat bahkan ketika mereka berada cukup dekat; mereka mengetahui pikiran [makhluk-makhluk lain] dengan pikiran mereka sendiri. Mereka juga akan mengetahuiku sebagai berikut: “Lihatlah orang ini: walaupun ia telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, namun ia ternoda oleh kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat.”’ Kemudian ia merefleksikan sebagai berikut: ‘Kegigihan harus dibangkitkan dalam diriku [149] tanpa mengendur; perhatian harus ditegakkan tanpa kacau; tubuhku harus tenang tanpa gangguan; pikiranku harus dikonsentrasikan dan terpusat.’ Setelah menjadikan dunia sebagai otoritasnya, ia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat dan mengembangkan apa yang bermanfaat; ia meninggalkan apa yang tercela dan mengembangkan apa yang tidak tercela; ia mempertahankan dirinya dalam kemurnian. Ini disebut dunia sebagai otoritas.

(3) “Dan apakah, para bhikkhu, Dhamma sebagai otoritas seseorang? Di sini, setelah pergi ke hutan, ke bawah pohon, atau ke gubuk kosong, seorang bhikkhu merefleksikan: ‘Aku tidak meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah demi jubah … melainkan [dengan pikiran]: “Aku terbenam dalam kelahiran, penuaan, dan kematian … Mungkin akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini dapat terlihat.” Dhamma telah dibabarkan dengan baik oleh Sang Bhagavā, terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana. Ada sahabat-sahabatku para bhikkhu yang mengetahui dan melihat. Sebagai seorang yang telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah dalam Dhamma dan disiplin yang telah dibabarkan dengan sempurna ini, adalah tidak selayaknya bagiku untuk bermalas-malasan dan lalai.’ Kemudian ia merefleksikan sebagai berikut: ‘Kegigihan harus dibangkitkan dalam diriku tanpa mengendur; perhatian harus ditegakkan tanpa kacau; tubuhku harus tenang tanpa gangguan; pikiranku harus dikonsentrasikan dan terpusat.’ Setelah menjadikan Dhamma sebagai otoritasnya, ia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat dan mengembangkan apa yang bermanfaat; ia meninggalkan apa yang tercela dan mengembangkan apa yang tidak tercela; ia mempertahankan dirinya dalam kemurnian. Ini disebut Dhamma sebagai otoritas.

“Ini, para bhikkhu, adalah tiga otoritas.”

Bagi seorang yang melakukan perbuatan jahat tidak ada tempat yang dikatakan “tersembunyi.” Diri di dalammu sendiri mengetahui, O manusia, apakah itu benar atau salah.3

Sesungguhnya, Tuan, engkau adalah saksi meremehkan dirimu yang baik; engkau menyembunyikan dirimu yang jahat yang terdapat di dalam dirimu sendiri.4 [150]

Para deva dan Tathāgata melihat si dungu berbuat tidak baik di dunia. Oleh karena itu seseorang harus mengembara dengan penuh perhatian, menjadikan diri sendiri sebagai otoritas; awas dan meditatif, menjadikan dunia sebagai otoritas; dan mengembara sesuai Dhamma, dengan menjadikan Dhamma sebagai otoritas. Sungguh-sungguh mengerahkan dirinya, seorang bijaksana tidak akan mundur.

Setelah menaklukkan Māra dan mengatasi pembuat-akhir, sang pejuang telah menyelesaikan kelahiran. Seorang petapa demikian, bijaksana, seorang pengenal-dunia, tidak mengidentifikasikan sebagai apa pun sama sekali.5


Catatan Kaki
  1. Dalam Pāli: attādhipateyyaṃ lokādhipateyyaṃ dhammādhipateyyaṃ. Walaupun Bucknell (2004) tidak mencantumkan paralel China dari sutta ini dalam daftar, tetapi secara kebetulan saya menemukan sebuah paralel yang terdapat dalam *Śāriputrābhidharmaśāstra, pada T XXVIII 679c22-680a27. Walaupun bagian prosa di sana lebih sederhana daripada yang terdapat dalam Pāli, namun keduanya pada intinya menyampaikan makna yang sama. Syair-syairnya, dengan pengecualian syair terakhir, bersesuaian sangat erat. ↩︎

  2. Na itibhavābhavahetu. Mp menganggap bahwa vokal panjang yang menghubungkan kedua kata bhava sebagai menyiratkan pengulangan, bukan negasi: “Bukan demi penjelmaan yang makmur di masa depan ini atau itu, [dengan harapan]: ‘[Semoga aku mendapatkan] penjelmaan ini [atau] penjelmaan itu’” (iti bhavo, iti bhavo ti evaṃ āyatiṃ na tassa tassa sampattibhavassa hetu). ↩︎

  3. Attā te purisa jānāti saccaṃ vā yadi vā musā. Mp: “Engkau sendiri yang mengetahui, apa pun yang engkau lakukan, apakah bersifat ini atau itu. Karena alasan ini, harus dimengerti bahwa, bagi seorang yang melakukan perbuatan jahat, maka tidak ada tempat di dunia ini yang dapat disebut ‘tersembunyi.’” ↩︎

  4. Versi Pāli tidak jelas di sini dan Mp tidak membantu dalam memecahkan kesulitan ini. Paralel China (pada 680a20-21, tetapi mengikuti tulisan Song, Yuan, Ming) menuliskan 言無虛者勝, 是則不自毀, 若已有違犯, 知而不 覆藏. Ini menyampaikan hal yang agak berbeda, yang saya terjemahkan: “Seorang yang mengatakan ‘ini tidak salah’ adalah lebih baik, karena dengan begitu ia tidak merusak dirinya sendiri. Jika suatu pelanggaran terjadi dan ia mengetahuinya, jangan menyembunyikannya.” ↩︎

  5. Versi China (pada 680a26-27) agak berbeda: 遠離捨六情, 滅苦不受有, 已沒不復還, 永離於生死 saya menerjemahkan: “Setelah melenyapkan dan meninggalkan keenam organ indria, ia mengakhiri penderitaan dan tidak mengambil penjelmaan [lainnya]. Setelah meninggal dunia, ia tidak kembali, karena selamanya terbebaskan dari kelahiran dan kematian.” ↩︎