easter-japanese

Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

“Bhante, dapatkah seorang bhikkhu mencapai kondisi konsentrasi sedemikian sehingga (1) ia tidak memiliki pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan sehubungan dengan tubuh yang sadar ini; (2) ia tidak memiliki pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan pada objek-objek eksternal; dan (3) ia masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, yang melaluinya tidak ada lagi pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan bagi seorang yang masuk dan berdiam di dalamnya?”1

“Dapat, Ānanda.”

“Tetapi bagaimanakah, Bhante, ia dapat mencapai kondisi konsentrasi demikian?” [133]

“Di sini, Ānanda, seorang bhikkhu berpikir sebagai berikut: ‘Ini damai, ini luhur, yaitu, tenangnya segala aktivitas, lepasnya segala perolehan, hancurnya ketagihan, kebosanan, lenyapnya, nibbāna.’ Dengan cara inilah, Ānanda, seorang bhikkhu dapat mencapai kondisi konsentrasi sedemikian sehingga ia tidak memiliki pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan sehubungan dengan tubuh yang sadar ini; ia tidak memiliki pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan sehubungan dengan objek-objek eksternal; dan ia masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan, yang melaluinya tidak ada lagi pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan bagi seorang yang masuk dan berdiam di dalamnya. Dan adalah sehubungan dengan hal ini maka Aku berkata kepada Pārāyana, dalam ‘Pertanyaan Puṇṇaka’:2

“Setelah memahami ketinggian dan kerendahan dalam dunia, ia tidak terganggu oleh apa pun di dunia. damai, tanpa kabut, tidak terganggu, tanpa keinginan, ia, Aku katakan, telah menyeberangi kelahiran dan usia tua.”


Catatan Kaki
  1. Mp menjelaskan kata majemuk ahaṅkāramamaṅkāramānānusayā sebagai “pembentukan-aku melalui pandangan-pandangan, pembentukan-milikku melalui ketagihan, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan. Ini adalah kekotoran-kekotoran sehubungan dengan diri sendiri dan orang lain.” Mp menjelaskan bahiddhā ca sabbanimittesu (“dan semua objek eksternal”) sebagai lima objek indria, pandangan eternalis (dan yang lainnya), individu-individu, dan Dhamma. Samādhi ini disebut buah pencapaian Kearahattaan (arahattaphalasamāpatti). ↩︎

  2. Sn 1048. Pārāyana, bab ke lima dan terakhir dari Suttanipāta, merupakan suatu kisah latar belakang dan enam belas bagian yang dalam masing-masingnya Sang Buddha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh murid-murid brahmana senior bernama Bāvāri. Syair-syair dari Pārāyana dicantumkan dan dijelaskan di tempat lain dalam AN dan Nikāya-nikāya lainnya, yang membuktikan keantikannya. Teks ini pasti telah ada sebagai suatu karya yang berdiri sendiri sebelum dimasukkan ke dalam Sn. Pārāyana adalah topik dari suatu komentar kanonis kuno, Cūḷaniddesa, yang termasuk dalam Khuddaka Nikāya. ↩︎