easter-japanese

“Para bhikkhu, bahkan seorang raja pemutar-roda, seorang raja yang adil yang memerintah sesuai Dhamma, tidak memutar roda tanpa raja di atasnya.”

Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu tertentu berkata kepada Sang Bhagavā: “Tetapi, Bhante, siapakah raja di atas seorang raja pemutar-roda, seorang raja yang adil yang memerintah sesuai Dhamma?”

“Yaitu Dhamma, bhikkhu,” Sang Bhagavā berkata.1 “Di sini, bhikkhu, seorang raja pemutar-roda, seorang raja yang adil yang memerintah sesuai Dhamma, hanya mengandalkan Dhamma, menghormati, menghargai, dan memuliakan Dhamma, menjadikan Dhamma sebagai patokan, panji, dan otoritasnya, memberikan perlindungan, naungan, dan penjagaan yang selayaknya kepada para penduduk di wilayahnya. Kemudian, seorang raja pemutar-roda, seorang raja yang adil yang memerintah sesuai Dhamma, yang hanya mengandalkan Dhamma, yang menghormati, menghargai, dan memuliakan Dhamma, yang menjadikan Dhamma sebagai patokan, panji, dan otoritasnya, yang memberikan perlindungan, naungan, dan penjagaan yang selayaknya kepada para pengikut khattiya, bala tentara, [110] para brahmana, dan para perumah tangga, para penduduk pemukiman dan desa, para petapa dan brahmana, dan binatang-binatang dan burung-burung. Setelah memberikan perlindungan, naungan, dan penjagaan yang selayaknya demikian kepada semua makhluk-makhluk ini, ia memutar roda hanya melalui Dhamma,2 sebuah roda yang tidak dapat diputar balik oleh manusia jahat mana pun juga.3

(1) “Demikian pula, bhikkhu, Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, Raja Dhamma yang baik, hanya mengandalkan Dhamma, menghormati, menghargai, dan memuliakan Dhamma, menjadikan Dhamma sebagai patokan, panji, dan otoritasNya, memberikan perlindungan, naungan, dan penjagaan yang selayaknya sehubungan dengan perbuatan jasmani, dengan mengatakan: ‘Perbuatan jasmani demikian harus dilatih; perbuatan jasmani demikian tidak boleh dilatih.’

(2) “Kemudian, Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, Raja Dhamma yang baik, hanya mengandalkan Dhamma, menghormati, menghargai, dan memuliakan Dhamma, menjadikan Dhamma sebagai patokan, panji, dan otoritasNya, memberikan perlindungan, naungan, dan penjagaan yang selayaknya sehubungan dengan perbuatan ucapan, dengan mengatakan: ‘Perbuatan ucapan demikian harus dilatih; perbuatan ucapan demikian tidak boleh dilatih.’

(3) “Kemudian, Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, Raja Dhamma yang baik, hanya mengandalkan Dhamma, menghormati, menghargai, dan memuliakan Dhamma, menjadikan Dhamma sebagai patokan, panji, dan otoritasNya, memberikan perlindungan, naungan, dan penjagaan yang selayaknya sehubungan dengan perbuatan pikiran, dengan mengatakan: ‘Perbuatan pikiran demikian harus dilatih; perbuatan pikiran demikian tidak boleh dilatih.’

“Setelah memberikan perlindungan, naungan, dan penjagaan yang selayaknya demikian sehubungan dengan perbuatan jasmani, perbuatan ucapan, dan perbuatan pikiran, Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, Raja Dhamma yang baik memutar roda Dhamma yang tiada bandingnya hanya melalui Dhamma, sebuah roda yang tidak dapat diputar balik oleh petapa, brahmana, deva, Māra, atau Brahmā mana pun, atau oleh siapa pun di dunia.”


Catatan Kaki
  1. Mp mengemas dhamma di sini sebagai “Dhamma sepuluh kamma bermanfaat” (dasakusalakammapathadhammo). Ini tentu saja terlalu sempit, tetapi jelas bahwa “Dhamma” di sini bukan berarti ajaran Sang Buddha. Melainkan, adalah prinsip kebaikan dan kebenaran universal yang diikuti oleh orang-orang bermoral dari berbagai keyakinan agamanya. Dengan berdasarkan pada Dhamma ini raja pemutar roda memberikan perlindungan baik budi (dhammika) kepada seluruh wilayahnya. ↩︎

  2. Mp: “Ia memutar roda hanya dengan Dhamma dari sepuluh kamma bermanfaat.” Ce dan Be membaca kata kerja di sini sebagai vatteti, tetapi di bawah, sehubungan dengan Sang Buddha, sebagai pavatteti; Ee menuliskan pavatteti sehubungan dengan keduanya. Jika vatteti adalah tulisan aslinya, perubahan kata kerja ini mungkin dimaksudkan untuk menyiratkan bahwa raja pemutar roda tidak memulai aturan kebaikan melainkan melanjutkan dari warisan leluhurnya, sedangkan seorang Buddha memutar roda Dhamma yang belum diketahui sebelumnya. ↩︎

  3. Kenaci manussabhūtena paccatthikena pāṇinā. Lit. “oleh makhluk jahat mana pun yang telah menjadi manusia.” Mp: “para dewa, dikatakan, dapat melakukan apa pun yang mereka inginkan. Oleh karena itu mereka tidak termasuk, tetapi ‘manusia’ disebutkan.” Ini berlawanan dengan Sang Buddha, yang rodanya tidak dapat diputar balik oleh makhluk apa pun juga termasuk para dewa. ↩︎