easter-japanese

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, ada dua cacat ini. Apakah dua ini? Cacat yang berhubungan dengan kehidupan sekarang dan cacat yang berhubungan dengan kehidupan mendatang.

“Dan apakah cacat yang berhubungan dengan kehidupan sekarang? Di sini, seseorang melihat ketika raja-raja menangkap seorang perampok, seorang kriminal, mereka menjatuhkan berbagai hukuman kepadanya: mereka mencambuknya dengan cemeti, memukulnya dengan rotan, memukulnya dengan tongkat pemukul; mereka memotong tangannya, memotong kakinya, memotong tangan dan kakinya; memotong telinganya, memotong hidungnya, memotong telinga dan hidungnya; mereka menjatuhkan kepadanya siksaan ‘panci bubur,’ ‘cukuran kulit kerang yang digosok,’ ‘mulut Rāhu,’ ‘lingkaran api,’ ‘tangan menyala,’ ‘helai rumput,’ [48] ‘pakaian kulit kayu,’ ‘antelop,’ ‘kail daging,’ ‘kepingan uang,’ ‘cairan asam,’ ‘tusukan berporos,’ ‘gulungan tikar jerami’; dan mereka menyiramnya dengan minyak mendidih, dan mereka membuangnya agar dimangsa oleh anjing-anjing, dan dalam keadaan hidup ia ditusuk dengan kayu pancang, dan kepalanya dipenggal dengan pedang.1

“Ia berpikir: ‘Ketika raja-raja menangkap seorang perampok, seorang kriminal, mereka menjatuhkan berbagai hukuman kepadanya: mereka mencambuknya dengan cemeti … kepalanya dipenggal dengan pedang. Sekarang jika aku melakukan perbuatan jahat itu, dan jika raja-raja menangkapku, maka mereka akan menjatuhkan hukuman yang sama kepadaku. Mereka akan mencambukku dengan cemeti … dan kepalaku akan dipenggal dengan pedang.’ Takut pada cacat yang berhubungan dengan kehidupan sekarang, ia tidak merampas barang-barang milik orang lain.2 Ini disebut cacat yang berhubungan dengan kehidupan sekarang.

“Dan apakah cacat yang berhubungan dengan kehidupan mendatang? Di sini, seseorang merenungkan sebagai berikut: ‘Perbuatan buruk melalui jasmani memiliki akibat yang buruk dan menyakitkan3 di masa depan; perbuatan buruk melalui ucapan memiliki akibat yang buruk dan menyakitkan di masa depan; perbuatan buruk melalui pikiran memiliki akibat yang buruk dan menyakitkan di masa depan. Sekarang jika aku melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, maka, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, aku akan terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan kelahiran yang buruk, di alam rendah, di neraka!’ [49] Takut pada cacat yang berhubungan dengan kehidupan mendatang, ia meninggalkan perbuatan buruk melalui jasmani dan mengembangkan perbuatan baik melalui jasmani; ia meninggalkan perbuatan buruk melalui ucapan dan mengembangkan perbuatan baik melalui ucapan; ia meninggalkan perbuatan buruk melalui pikiran dan mengembangkan perbuatan baik melalui pikiran. Ini disebut cacat yang berhubungan dengan kehidupan mendatang.

“Ini, para bhikkhu, adalah dua cacat. Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan takut pada cacat yang berhubungan dengan kehidupan sekarang; kami akan takut pada cacat yang berhubungan dengan kehidupan mendatang. Kami akan takut pada cacat dan melihat bahaya dalam cacat.’ Dengan cara demikianlah kalian harus berlatih. Dapat diharapkan bahwa seorang yang takut pada cacat dan melihat bahaya dalam cacat akan terbebas dari segala cacat.”

“Para bhikkhu, ada dua usaha ini yang sulit dicapai di dunia ini. Apakah dua ini? Usaha dari umat awam yang berdiam di rumah dengan tujuan untuk mempersembahkan jubah [kepada kaum monastik], makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit, dan usaha dari mereka yang telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah dengan tujuan untuk melepaskan segala perolehan. Ini adalah dua usaha yang sulit dicapai di dunia ini.

“Di antara kedua usaha ini, para bhikkhu, yang paling unggul adalah usaha untuk melepaskan segala perolehan.4 Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan berusaha untuk melepaskan segala perolehan.’ Dengan cara demikianlah kalian harus berlatih.”

“Para bhikkhu, ada dua hal ini yang menyebabkan siksaan. Apakah dua ini? Di sini, seseorang melibatkan diri dalam perilaku salah melalui jasmani tetapi tidak melibatkan diri dalam perilaku benar melalui jasmani; melibatkan diri dalam perilaku salah melalui ucapan tetapi tidak melibatkan diri dalam perilaku benar melalui ucapan; melibatkan diri dalam perilaku salah melalui pikiran tetapi tidak melibatkan diri dalam perilaku benar melalui pikiran. Ia menjadi tersiksa, [dengan berpikir]: ‘Aku telah melibatkan diri dalam perilaku salah melalui jasmani’; ia menjadi tersiksa, [dengan berpikir]: ‘Aku tidak melibatkan diri dalam perilaku benar melalui jasmani’; ia menjadi tersiksa, [dengan berpikir]: ‘Aku telah melibatkan diri dalam perilaku salah melalui ucapan’; ia menjadi tersiksa, [dengan berpikir]: ‘Aku tidak melibatkan diri dalam perilaku benar melalui ucapan’; ia menjadi tersiksa, [dengan berpikir]: ‘Aku telah melibatkan diri dalam perilaku salah melalui pikiran’; ia menjadi tersiksa, [dengan berpikir]: ‘Aku tidak melibatkan diri dalam perilaku benar melalui pikiran.’ Ini, para bhikkhu, adalah dua hal yang menyebabkan siksaan.”5

“Para bhikkhu, ada dua hal ini yang tidak menyebabkan siksaan. [50] Apakah dua ini? Di sini, seseorang melibatkan diri dalam perilaku benar melalui jasmani dan menghindari melibatkan diri dalam perilaku salah melalui jasmani; melibatkan diri dalam perilaku benar melalui ucapan dan menghindari melibatkan diri dalam perilaku salah melalui ucapan; melibatkan diri dalam perilaku benar melalui pikiran dan menghindari melibatkan diri dalam perilaku salah melalui pikiran. Ia tidak menjadi tersiksa, [dengan mengetahui]: ‘Aku telah melibatkan diri dalam perilaku benar melalui jasmani’; ia tidak menjadi tersiksa, [dengan mengetahui]: ‘Aku telah menghindari melibatkan diri dalam perilaku salah melalui jasmani’; ia tidak menjadi tersiksa, [dengan mengetahui]: ‘Aku telah melibatkan diri dalam perilaku benar melalui ucapan’; ia tidak menjadi tersiksa, [dengan mengetahui]: ‘Aku telah menghindari melibatkan diri dalam perilaku salah melalui ucapan’; ia tidak menjadi tersiksa, [dengan mengetahui]: ‘Aku telah melibatkan diri dalam perilaku benar melalui pikiran’; ia tidak menjadi tersiksa, [dengan mengetahui]: ‘Aku telah menghindari melibatkan diri dalam perilaku salah melalui pikiran.’ Ini, para bhikkhu, adalah dua hal yang tidak menyebabkan siksaan.”

“Para bhikkhu, Aku telah secara pribadi mengetahui dua hal: ketidak-puasan sehubungan dengan kualitas-kualitas bermanfaat dan tidak mengenal lelah dalam berusaha.6 Aku berusaha dengan tidak mengenal lelah, [dengan bertekad]: ‘Aku bertekad, biarlah hanya kulit, urat, dan tulang-belulangKu yang tersisa, dan biarlah daging dan darahKu mengering dalam tubuhKu, tetapi Aku tidak akan mengendurkan kegigihanKu selama Aku belum mencapai apa yang dapat dicapai dengan kekuatan, kegigihan, dan pengerahan usaha manusia.’7 Adalah dengan kesungguh-sungguhan maka Aku mencapai pencerahan, para bhikkhu; adalah dengan kesungguh-sungguhan maka Aku mencapai keamanan tertinggi dari keterikatan.8

“Jika, para bhikkhu, kalian juga berusaha tanpa mengenal lelah, [dengan bertekad]: ‘Aku bertekad, biarlah hanya kulit, urat, dan tulang-belulangku yang tersisa, dan biarlah daging dan darahku mengering dalam tubuhku, tetapi aku tidak akan mengendurkan kegigihanku selama aku belum mencapai apa yang dapat dicapai dengan kekuatan, kegigihan, dan pengerahan usaha manusia.’ Maka kalian juga akan, dalam waktu tidak lama, akan merealisasi untuk diri kalian sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kesempurnaan kehidupan spiritual yang tidak terlampaui yang demi hal itu orang-orang dengan benar meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dan setelah memasukinya, kalian akan berdiam di dalamnya. Oleh karena itu, para bhikkhu, maka kalian harus berlatih: ‘Kami akan berusaha tanpa mengenal lelah, [dengan bertekad]: “Aku bertekad, biarlah hanya kulit, urat, dan tulang-belulangku yang tersisa, dan biarlah daging dan darahku mengering dalam tubuhku, tetapi aku tidak akan mengendurkan kegigihanku selama aku belum mencapai apa yang dapat dicapai dengan kekuatan, kegigihan, dan pengerahan usaha manusia.”’ Demikianlah kalian harus berlatih.”

“Para bhikkhu, ada dua hal ini. Apakah dua ini? Perenungan terhadap kepuasan dalam segala sesuatu yang dapat membelenggu dan perenungan terhadap kekecewaan dalam segala sesuatu yang dapat membelenggu.9 Seseorang yang berdiam dengan merenungkan kepuasan dalam segala sesuatu yang dapat membelenggu [51] tidak meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi. Karena tidak meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi, ia tidak terbebas dari kelahiran, dari penuaan dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, keputus-asaan, dan kesedihan; ia tidak terbebas dari penderitaan, Aku katakan. Seseorang yang berdiam dengan merenungkan kekecewaan dalam segala sesuatu yang dapat membelenggu akan meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi. Setelah meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi, ia terbebas dari kelahiran, dari penuaan dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, keputus-asaan, dan kesedihan; ia terbebas dari penderitaan, Aku katakan. Ini, para bhikkhu, adalah kedua hal itu.”

“Para bhikkhu, ada dua kualitas gelap ini. Apakah dua ini? Tanpa rasa malu dan tanpa rasa takut. Ini adalah kedua kualitas gelap itu.”

“Para bhikkhu, ada dua kualitas terang ini. Apakah dua ini? rasa malu dan rasa takut.10 Ini adalah kedua kualitas terang itu.”

“Para bhikkhu, dua kualitas terang ini melindungi dunia. Apakah dua ini? Rasa malu dan rasa takut. Jika kedua kualitas terang ini tidak melindungi dunia, maka tidak akan terlihat di sini [pengendalian apa pun sehubungan dengan] ibu dan bibi seseorang, atau para istri dari para gurunya dan orang-orang [lainnya] yang dihormati.11 Dunia akan menjadi tempat perilaku seksual yang tidak pandang bulu, seperti kambing dan domba, ayam dan babi, anjing dan serigala. Tetapi karena kedua kualitas terang ini melindungi dunia, maka di sini terlihat [pengendalian sehubungan dengan] ibu dan bibi seseorang, atau para istri dari para gurunya, dan orang-orang [lainnya] yang dihormati.”

“Para bhikkhu, ada dua [waktu] ini untuk memasuki masa keberdiaman musim hujan.12 Apakah dua ini? Yang pertama dan yang kedua. Ini adalah kedua [waktu] untuk memasuki masa keberdiaman musim hujan.” [52]


Catatan Kaki
  1. Mp memberikan penjelasan terperinci tentang hukuman-hukuman ini. Saya hanya menerjemahkan sedikit bagian pertama dan menyerahkan sisanya kepada imajinasi pembaca. (1) Panci bubur (bilaṅgathālika): mereka memecahkan tengkoraknya, mengambil sebuah bola besi panas dengan penjepit, dan meletakkan bola itu ke dalamnya, dan mendidihkan otaknya hingga meluap. (2) Cukuran kulit kerang yang digosok (saṅkhamuṇḍika): mereka menyayat kulitnya [pada bagian] yang dibatasi dengan bibir atasnya, bawah telinga, dan tenggorokan, mengikat rambutnya menjadi satu simpul, mengikatnya di sebatang tongkat, dan menariknya, sehingga kulit bersama dengan rambut kepalanya terlepas; kemudian mereka menggosok tengkoraknya dengan pasir kasar dan mencucinya, sehingga berwarna menyerupai kulit kerang. (3) Mulut Rāhu (sāhumukha): mereka membuka paksa mulutnya dengan sebatang tombak dan menyalakan pelita di dalam mulutnya, atau mereka menggali ke dalam mulutnya menggunakan sekop hingga darah mengalir dan memenuhi mulutnya. (4) Lingkaran api (jotimālika): mereka menggulung kain yang telah dibasahi minyak ke seluruh tubuhnya dan membakarnya. (5) Tangan menyala (hatthapajjotika): mereka menggulung kain yang telah dibasahi minyak ke lengannya dan membakarnya hingga menyala bagaikan pelita. ↩︎

  2. Mp: “Bahkan jika suatu gumpalan berisikan seribu [keping emas] terjatuh di jalan, ia tidak akan mencurinya dengan pikiran untuk menyokong dirinya dengan emas itu, tetapi ia akan membalikkannya dengan kakinya dan melanjutkan perjalanannya, dengan pikiran: ‘Kebutuhan apa yang kuperlukan dengan ini?’” ↩︎

  3. Baik Ce maupun Be menuliskan pāpako dukkho vipāko di sini, tidak seperti Ee pāpako vipāko↩︎

  4. Sabbūpadhipaṭinissagga. Mp menyebutkan tiga jenis “perolehan” (upadhi): kelima kelompok unsur kehidupan, kekotoran-kekotoran, dan aktivitas-aktivitas berkehendak (khandha, kilesa, abhisaṅkhārā). Pelepasan hal-hal ini adalah sinonim untuk nibbāna. Usaha untuk mencapai ini adalah kegigihan yang muncul bersamaan dengan pandangan terang dan sang jalan. ↩︎

  5. Kedua hal yang menyebabkan siksaan (dhammā tapanīya) tidak disebutkan demikian dalam teks, tetapi jelas bahwa hal-hal itu adalah (1) terlibat dalam perbuatan salah, dan (2) tidak terlibat dalam perbuatan baik. Hal yang sama berlaku, dengan perubahan seperlunya, pada sutta berikutnya. ↩︎

  6. Mp: “Dengan ketidak-puasan sehubungan dengan kualitas-kualitas bermanfaat (asantuṭṭhitā kusalesu dhammesu) Beliau menunjukkan: ‘Karena tidak puas hanya dengan jhāna atau gambaran cemerlang [dari konsentrasi], Aku membangkitkan jalan Kearahattaan. Sebelum itu muncul, Aku tidak merasa puas. Dan karena tidak puas dalam usaha, Aku melanjutkan usaha, berdiri kokoh tanpa mundur.’ ‘Tidak kenal lelah’ (appaṭivānitā) berarti tidak berpaling, tidak melangkah mundur. Dengan Aku berusaha tanpa mengenal lelah, apa yang dimaksudkan adalah ini: ‘Ketika Aku masih seorang Bodhisatta, Aku berusaha, tidak melangkah mundur, bercita-cita untuk mencapai kemahatahuan.’” ↩︎

  7. Tekad ini terdapat di tempat-tempat lain dalam Nikāya-nikāya: dalam AN pada 8:13 §8, IV 190,8-12; MN 70.27, I 481,1-5; dan SN 12:22, II 28,24-28. ↩︎

  8. Mp: “Kewaspadaan (appamāda) terdapat dalam ketidak-berpisahan dari perhatian. Keamanan tertinggi dari keterikatan (anuttara yogakkhema): dengan kewaspadaan Beliau mencapai bukan hanya pencerahan tetapi juga keamanan trtinggi dari keterikatan, yang terdapat dalam buah Kearahattaan dan nibbāna.” ↩︎

  9. Baca SN 12:53, II 86; SN 12:54, II 87; SN 12:57-59, II 89-91. ↩︎

  10. Rasa malu (hiri) adalah kejijikan pada perbuatan buruk melalui jasmani dan ucapan; rasa takut (ottappa) adalah rasa takut terhadap perbuatan salah itu. Rasa malu diarahkan ke dalam. Muncul dari penghormatan diri sendiri dan mengarahkan seseorang untuk menolak perbuatan salah yang berdasarkan pada martabatnya. Rasa takut diarahkan keluar. Muncul dari ketakutan akan celaan dan mengarahkan seseorang untuk menolak perbuatan salah yang berdasarkan pada rasa takut akan akibatnya. Untuk penjelasan lebih lanjut, baca CMA 86, seperti pada 124-25, dan Vism 464,31 – 465,4, Ppn 14.142. ↩︎

  11. Mātucchā adalah bibi dari pihak ibu; mātulāni, adalah istri dari saudara laki-laki dari ibu. Demi kepraktisan saya merujuk keduanya sebagai “bibi.” ↩︎

  12. Vassūpanāyikā. Tiga bulan keberdiaman musim hujan dilaksanakan oleh kaum monastik selama musim hujan di India. Selama masa ini, para bhikkhu dan bhikkhunī harus menetap selama tiga bulan di tempat-tempat kediaman yang mereka pilih, walaupun mereka diperbolehkan untuk pergi hingga selama tujuh hari jika ada alasan yang tepat. Tiga bulan masa musim hujan pertama jatuh pada hari setelah hari purnama bulan Āsāḷha (biasanya jatuh pada bulan Juli atau awal Agustus) hingga hari purnama bulan Kattika (biasanya jatuh pada bulan Oktober atau awal November). Tiga bulan masa musim hujan berikutnya dimulai dan diakhiri satu bulan setelah masa musim hujan pertama. ↩︎