easter-japanese

“Para bhikkhu, ada sepuluh hal ini yang harus sering direfleksikan oleh seorang yang telah meninggalkan keduniawian. Apakah sepuluh ini?

(1) “Seorang yang telah meninggalkan keduniawian harus sering merefleksikan: ‘Aku telah memasuki kondisi tanpa kasta.’1

(2) “Seorang yang telah meninggalkan keduniawian harus sering merefleksikan: ‘Penghidupanku bergantung pada orang lain.’2 [88]

(3) “Seorang yang telah meninggalkan keduniawian harus sering merefleksikan: ‘Sikapku harus berbeda.’3

(4) “Seorang yang telah meninggalkan keduniawian harus sering merefleksikan: ‘Apakah aku mencela diriku sendiri sehubungan dengan perilaku bermoral?’4

(5) “Seorang yang telah meninggalkan keduniawian harus sering merefleksikan: ‘Apakah teman-temanku para bhikkhu yang bijaksana, setelah menyelidiki, mencelaku sehubungan dengan perilaku bermoral?’

(6) “Seorang yang telah meninggalkan keduniawian harus sering merefleksikan: ‘Aku pasti berpisah dan ditinggal oleh siapa pun dan apa pun yang kusayangi dan menyenangkan bagiku.’5

(7) “Seorang yang telah meninggalkan keduniawian harus sering merefleksikan: ‘Aku adalah pemilik kammaku, pewaris kammaku; aku memiliki kamma sebagai asal-mulaku, kamma sebagai sanak saudaraku, kamma sebagai pelindungku; aku akan mewarisi kamma apa pun, baik atau buruk, yang kulakukan.’

(8) “Seorang yang telah meninggalkan keduniawian harus sering merefleksikan: ‘Bagaimanakah aku melewati malam dan siangku?’

(9) “Seorang yang telah meninggalkan keduniawian harus sering merefleksikan: ‘Apakah aku bersenang dalam gubuk kosong?’

(10) “Seorang yang telah meninggalkan keduniawian harus sering merefleksikan: ‘Sudahkah aku mencapai keluhuran apa pun yang melampaui manusia dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia, sehingga pada hari terakhirku, ketika aku ditanya oleh teman-temanku para bhikkhu, aku tidak akan merasa malu?’

“Ini, para bhikkhu, adalah kesepuluh hal itu yang harus sering direfleksikan oleh seorang yang telah meninggalkan keduniawian.”


Catatan Kaki
  1. Vevaṇṇiy’amhi ajjhupagato. Empat kasta utama dalam masyarakat India pada masa Sang Buddha dirujuk sebagai vaṇṇa, lit., “warna,” dan dengan demikian bentuk turunan, vivaṇṇa, berarti “tanpa kasta.” Vevaṇṇiya adalah kata benda abstrak, “ketanpa-kastaan,” yang menyiratkan bahwa mereka yang telah meninggalkan keduniawian melepaskan status mereka sebelumnya sebagai brahmana, khattiya, vessa, sudda, atau kasta buangan, dan menjadi dikenal hanya sebagai para petapa yang mengikuti putra Sakya (baca *8:19 §4). ***Pada masa komentar makna sebenarnya tampaknya telah terlupakan, dan dengan demikian Mp menganggap kata ini bermakna “polos” atau “tanpa hiasan”: “Vevaṇṇiya ada dua jenis: sehubungan dengan tubuh dan sehubungan dengan benda-benda yang digunakan. Vevaṇṇiya sehubungan dengan tubuh berarti mencukur rambut dan janggut. Vevaṇṇiya sehubungan dengan benda-benda yang digunakan berarti mengenakan jubah kuning yang terbuat dari potongan-potongan kain yang dijahit; memakan makanan yang dicampur menjadi satu menggunakan air dalam mangkuk besi atau tanah; tidur di bawah pohon, dan sebagainya, dan berbaring di atas alas yang terbuat dari buluh dan rumput, dan sebagainya; duduk di atas sehelai kain atau kulit, dan sebagainya; dan menggunakan air kencing sapi yang difermentasikan, dan sebagainya, sebagai obat. Ketika seseorang merefleksikan demikian, kemarahan dan keangkuhan ditinggalkan.” ↩︎

  2. Parapaṭibaddhā me jīvikā. Kaum monastik tidak bekerja pada pekerjaan-pekerjaan bayaran untuk mencari uang yang dengannya mereka membeli benda-benda kebutuhan melainkan menerima semua materi-materi penyokong mereka – jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan – sebagai persembahan dari komunitas awam. Seseorang tidak menggunakan keempat benda kebutuhan ini tanpa merefleksikannya. ↩︎

  3. Añño me ākappo karaṇīyo. Mp: “Orang-orang awam berjalan dengan menggembungkan dada mereka, mengangkat kepala mereka tinggi-tinggi, dalam sikap bangga, dengan langkah yang tidak teratur. Tetapi sikapku harus berbeda, aku harus berjalan dengan organ-organ indria yang tenang, dengan pikiran yang tenang, dengan langkah yang perlahan dan teratur, seperti sebuah kereta melewati air atau tempat yang kasar”. ↩︎

  4. Di sini dan refleksi berikutnya makna yang dimaksudkan tersampaikan dengan lebih jelas dalam Bahasa Inggris jika na tidak diterjemahkan. ↩︎

  5. Ini dan refleksi berikutnya terdapat pada 5:57↩︎