easter-japanese

“Para bhikkhu, ketidak-tahuan – yang disertai dengan rasa tidak tahu malu dan moralitas yang sembrono – adalah pelopor dalam memasuki kualitas-kualitas tidak bermanfaat.1 (1) Pada seorang dungu yang tenggelam dalam ketidak-tahuan, maka pandangan salah muncul. (2) Pada seorang yang memiliki pandangan salah, maka kehendak salah muncul. (3) Pada seorang yang memiliki kehendak salah, maka ucapan salah muncul. (4) Pada seorang yang memiliki ucapan salah, maka perbuatan salah muncul. (5) Pada seorang yang memiliki perbuatan salah, maka penghidupan salah muncul. (6) Pada seorang yang memiliki penghidupan salah, maka usaha salah muncul. (7) Pada seorang yang memiliki usaha salah, maka perhatian salah muncul. (8) Pada seorang yang memiliki perhatian salah, maka konsentrasi salah muncul. (9) Pada seorang yang memiliki konsentrasi salah, maka pengetahuan salah muncul. (10) Pada seorang yang memiliki pengetahuan salah, maka kebebasan salah muncul.

“Para bhikkhu, pengetahuan sejati – yang disertai dengan rasa malu dan rasa takut – adalah pelopor dalam memasuki kualitas-kualitas bermanfaat. (1) Pada seorang bijaksana yang telah sampai pada pengetahuan sejati, maka pandangan benar muncul. (2) Pada seorang yang memiliki pandangan benar, maka kehendak benar muncul. (3) Pada seorang yang memiliki kehendak benar, maka ucapan benar muncul. (4) Pada seorang yang memiliki ucapan benar, maka perbuatan benar muncul. (5) Pada seorang yang memiliki perbuatan benar, maka penghidupan benar muncul. (6) Pada seorang yang memiliki penghidupan benar, maka usaha benar muncul. (7) Pada seorang yang memiliki usaha benar, maka perhatian benar muncul. (8) Pada seorang yang memiliki perhatian benar, maka konsentrasi benar muncul. (9) Pada seorang yang memiliki konsentrasi benar, maka pengetahuan benar muncul. (10) Pada seorang yang memiliki pengetahuan benar, maka kebebasan benar muncul.”2 [215]


Catatan Kaki
  1. Sutta yang sama, tetapi hanya sejauh micchāsamādhi dan sammāsamādhi, adalah SN 45:1, V 1-2. Mp tidak memberikan komentar yang substantif di sini, tetapi Spk III 116,5-6, mengomentari kalimat yang sama pada SN 45:1, menjelaskan bahwa ketidak-tahuan adalah pelopor (pubbaṅgama) dalam dua cara, sebagai kondisi yang muncul bersama-sama (sahajāta, sebuah kondisi bagi fenomena yang muncul bersamaan) dan sebagai kondisi pendukung-keputusan (upanissaya, kondisi yang kuat bagi fenomena yang muncul berikutnya). Spk-pṭ II 103 (edisi VRI) menambahkan bahwa ketidak-tahuan adalah pelopor yang muncul bersamaan ketika ketidak-tahuan itu membuat keadaan yang bersamaan yang selaras dengan kebingungannya sehubungan dengan objek, sehingga menggenggam fenomena yang tidak kekal sebagai kekal, dan seterusnya. Sebagai pelopor yang muncul bersamaan dan pelopor pendukung keputusan ketika seseorang yang dikuasai oleh delusi, dengan tidak melihat bahaya, melakukan perbuatan membunuh, mencuri, melakukan hubungan seksual yang salah, berbohong, dan perbuatan-perbuatan tidak bermoral lainnya. ↩︎

  2. Pada Spk III 117,27-31 dikatakan bahwa hal-hal ini tidak terjadi sekaligus dalam jalan duniawi melainkan muncul sekaligus dalam jalan yang melampaui-duniawi. Bahkan dalam pengembangan jalan duniawi adalah kekeliruan untuk menganggap bahwa delapan faktor ini muncul secara berurutan. Pandangan benar adalah penuntun bagi faktor-faktor jalan lainnya dan kondisi langsung bagi kehendak benar. Pandangan benar dan kehendak benar secara bersama-sama mengkondisikan ucapan benar, perbuatan benar, dan penghidupan benar. Ini pada gilirannya adalah landasan bagi usaha benar dan perhatian benar. Konsentrasi benar dihasilkan dari usaha benar dan perhatian benar yang saling mempengaruhi. Pengetahuan benar (sammā ñāṇa) adalah kebijaksanaan jalan Kearahattaan, dan kebebasan benar (sammā vimutti) adalah kebebasan dari āsava yang muncul melalui pengetahuan benar. Puncaknya adalah anāsava cetovimutti paññāvimutti (“kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan”) dari Arahant. ↩︎