easter-japanese

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kalian tentang keragaman unsur.1 Dengarkan dan perhatikanlah, Aku akan menjelaskan.”

“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Dan apakah, para bhikkhu, keragaman unsur? Unsur mata, unsur bentuk, unsur kesadaran-mata; unsur telinga, unsur suara, unsur kesadaran-telinga; unsur hidung, unsur bau-bauan, unsur kesadaran-hidung; unsur lidah, unsur rasa kecapan, unsur kesadaran-lidah; unsur badan, unsur objek sentuhan, unsur kesadaran-badan; unsur pikiran, unsur fenomena-pikiran, unsur kesadaran-pikiran. Ini, para bhikkhu, disebut keragaman unsur.”2

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, adalah dengan bergantung pada keragaman unsur maka muncul keragaman kontak. Dan apakah, para bhikkhu, keragaman unsur? Unsur mata, unsur telinga, unsur hidung, unsur lidah, unsur badan, unsur pikiran. Ini disebut keragaman unsur.

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, bahwa dengan bergantung pada keragaman unsur maka muncul keragaman kontak? Dengan bergantung pada unsur mata maka muncul kontak-mata; dengan bergantung pada unsur telinga maka muncul kontak-telinga; dengan bergantung pada unsur hidung maka muncul kontak-hidung; [141] dengan bergantung pada unsur lidah maka muncul kontak-lidah; dengan bergantung pada unsur badan maka muncul kontak-badan; dengan bergantung pada unsur pikiran maka muncul kontak pikiran.3 Demikianlah, para bhikkhu, bahwa dengan bergantung pada keragaman unsur maka muncul keragaman kontak.”

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, adalah dengan bergantung pada keragaman unsur maka muncul keragaman kontak. Keragaman unsur tidak muncul dengan bergantung pada keragaman kontak.

“Dan apakah, para bhikkhu, keragaman unsur? Unsur mata … unsur pikiran. Ini disebut keragaman unsur.

“Dan apakah, para bhikkhu, bahwa dengan bergantung keragaman unsur maka muncul keragaman kontak; bahwa keragaman unsur tidak muncul dengan bergantung pada keragaman kontak?

“Dengan bergantung pada unsur mata maka muncul kontak-mata; unsur mata tidak muncul dengan bergantung pada kontak-mata … Dengan bergantung pada unsur pikiran maka muncul kontak-pikiran; unsur pikiran tidak muncul dengan bergantung pada kontak-pikiran.4 Demikianlah, para bhikkhu, bahwa dengan bergantung pada keragaman unsur maka muncul keragaman kontak; bahwa keragaman unsur tidak muncul dengan bergantung pada keragaman kontak.”

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, adalah dengan bergantung pada keragaman unsur maka muncul keragaman kontak; dengan bergantung pada keragaman kontak maka muncul keragaman perasaan.

“Dan apakah, para bhikkhu, keragaman unsur? [142] Unsur mata … unsur pikiran. Ini disebut keragaman unsur.

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, bahwa dengan bergantung pada keragaman unsur maka muncul keragaman kontak; bahwa dengan bergantung pada keragaman kontak maka muncul keragaman perasaan? Dengan bergantung pada unsur mata maka muncul kontak-mata; dengan bergantung pada kontak-mata maka muncul perasaan yang timbul dari kontak-mata. Dengan bergantung pada unsur telinga maka muncul kontak-telinga; dengan bergantung pada kontak-telinga maka muncul perasaan yang timbul dari kontak-telinga. Dengan bergantung pada unsur hidung maka muncul kontak-hidung; dengan bergantung pada kontak-hidung maka muncul perasaan yang timbul dari kontak-hidung. Dengan bergantung pada unsur lidah maka muncul kontak-lidah; dengan bergantung pada kontak-lidah maka muncul perasaan yang timbul dari kontak-lidah. Dengan bergantung pada unsur badan maka muncul kontak-badan; dengan bergantung pada kontak-badan maka muncul perasaan yang timbul dari kontak-badan. Dengan bergantung pada unsur pikiran maka muncul kontak-pikiran; dengan bergantung pada kontak-pikiran maka muncul perasaan yang timbul dari kontak-pikiran.

“Demikianlah, para bhikkhu, bahwa dengan bergantung pada keragaman unsur maka muncul keragaman kontak; bahwa dengan bergantung pada keragaman kontak maka muncul keragaman perasaan”

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, adalah dengan bergantung pada keragaman unsur maka muncul keragaman kontak; dengan bergantung pada keragaman kontak maka muncul keragaman perasaan. Keragaman kontak tidak muncul dengan bergantung pada keragaman perasaan; keragaman unsur tidak muncul dengan bergantung pada keragaman kontak.

“Dan apakah, para bhikkhu, keragaman unsur? Unsur mata … unsur pikiran. Ini disebut keragaman unsur.

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, bahwa dengan bergantung pada keragaman unsur maka muncul keragaman kontak; bahwa dengan bergantung pada keragaman kontak maka muncul keragaman perasaan? Bahwa keragaman kontak tidak muncul dengan bergantung pada keragaman perasaan; bahwa keragaman unsur tidak muncul dengan bergantung pada keragaman kontak?

“Dengan bergantung pada unsur mata maka muncul kontak-mata; dengan bergantung pada kontak-mata maka muncul perasaan yang timbul dari kontak-mata. Kontak-mata tidak muncul dengan bergantung pada perasaan yang timbul dari kontak-mata; [143] unsur mata tidak muncul dengan bergantung pada kontak-mata … Dengan bergantung pada unsur pikiran maka muncul kontak-pikiran; dengan bergantung pada kontak-pikiran maka muncul perasaan yang timbul dari kontak-pikiran. Kontak-pikiran tidak muncul dengan bergantung pada perasaan yang timbul dari kontak-pikiran; unsur pikiran tidak muncul dengan bergantung pada kontak-pikiran.

“Demikianlah, para bhikkhu, bahwa dengan bergantung pada keragaman unsur maka muncul keragaman kontak … keragaman unsur tidak muncul dengan bergantung pada keragaman kontak.”

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kalian tentang keragaman unsur. Dengarkan dan perhatikanlah, Aku akan menjelaskan …

“Dan apakah, para bhikkhu, keragaman unsur? Unsur bentuk, unsur suara, unsur bau-bauan, unsur rasa-kecapan, unsur objek-sentuhan, unsur fenomena pikiran. Ini, para bhikkhu, disebut keragaman unsur.”

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, dengan bergantung pada keragaman unsur maka muncul keragaman persepsi; dengan bergantung pada keragaman persepsi maka muncul keragaman kehendak; dengan bergantung pada keragaman kehendak maka muncul keragaman keinginan; dengan bergantung pada keragaman keinginan maka muncul keragaman nafsu; dengan bergantung pada keragaman nafsu maka muncul keragaman pencarian.

“Dan apakah, para bhikkhu, keragaman unsur? Unsur bentuk … unsur fenomena pikiran. Ini, para bhikkhu, disebut keragaman unsur. [144]

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, bahwa dengan bergantung pada unsur-unsur maka muncul keragaman persepsi … bahwa dengan bergantung pada keragaman nafsu maka muncul keragaman pencarian?

“Dengan bergantung pada unsur bentuk maka muncul persepsi bentuk; dengan bergantung pada persepsi bentuk maka muncul kehendak sehubungan dengan bentuk; dengan bergantung pada kehendak sehubungan dengan bentuk maka muncul keinginan pada bentuk; dengan bergantung pada keinginan pada bentuk maka muncul nafsu pada bentuk; dengan bergantung pada nafsu pada bentuk maka muncul pencarian bentuk …5

“Dengan bergantung pada unsur fenomena-pikiran maka muncul persepsi fenomena pikiran; dengan bergantung pada persepsi fenomena pikiran maka muncul kehendak sehubungan dengan fenomena pikiran; dengan bergantung pada kehendak sehubungan dengan fenomena pikiran maka muncul keinginan pada fenomena pikiran; dengan bergantung pada keinginan pada fenomena pikiran maka muncul nafsu pada fenomena pikiran; dengan bergantung pada nafsu pada fenomena pikiran maka muncul pencarian fenomena pikiran.

“Demikianlah, para bhikkhu, bahwa dengan bergantung pada keragaman unsur maka muncul keragaman persepsi … bahwa dengan bergantung pada keragaman nafsu maka muncul keragaman pencarian.”

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, adalah dengan bergantung pada keragaman unsur maka muncul keragaman persepsi … (seperti pada sutta sebelumnya) …dengan bergantung pada keragaman nafsu maka muncul keragaman pencarian. Keragaman nafsu tidak muncul dengan bergantung pada keragaman pencarian; [145] keragaman keinginan tidak muncul dengan bergantung pada keragaman nafsu; keragaman kehendak tidak muncul dengan bergantung pada keragaman keinginan; keragaman persepsi tidak muncul dengan bergantung pada keragaman kehendak; keragaman unsur tidak muncul dengan bergantung pada keragaman persepsi.6

“Dan apakah, para bhikkhu, keragaman unsur? Unsur bentuk … unsur fenomena pikiran. Ini, para bhikkhu, disebut keragaman unsur.

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, bahwa dengan bergantung pada keragaman unsur maka muncul keragaman persepsi … bahwa dengan bergantung pada keragaman nafsu maka muncul keragaman pencarian? Bahwa keragaman nafsu tidak muncul dengan bergantung pada keragaman pencarian … bahwa keragaman unsur tidak muncul dengan bergantung pada keragaman persepsi?

“Dengan bergantung pada unsur bentuk maka muncul persepsi bentuk; [ … dengan bergantung pada nafsu pada bentuk maka muncul pencarian bentuk. Nafsu pada bentuk tidak muncul dengan bergantung pada pencarian bentuk; keinginan pada bentuk tidak muncul dengan bergantung pada nafsu pada bentuk; kehendak sehubungan dengan bentuk tidak muncul dengan bergantung pada keinginan pada bentuk; persepsi bentuk tidak muncul dengan bergantung pada kehendak sehubungan dengan bentuk; unsur bentuk tidak muncul dengan bergantung pada persepsi bentuk.] …7

“Dengan bergantung pada fenomena-pikiran maka muncul persepsi fenomena-pikiran; [146] … dengan bergantung pada nafsu pada fenomena-pikiran maka muncul pencarian fenomena-pikiran. Nafsu pada fenomena-pikiran tidak muncul dengan bergantung pada pencarian fenomena-pikiran … unsur fenomena-pikiran tidak muncul dengan bergantung pada persepsi fenomena-pikiran.

“Demikianlah, para bhikkhu, bahwa dengan bergantung pada keragaman unsur maka muncul keragaman persepsi … bahwa dengan bergantung pada keragaman nafsu maka muncul keragaman pencarian. Bahwa keragaman nafsu tidak muncul dengan bergantung pada keragaman pencarian … bahwa keragaman unsur tidak muncul dengan bergantung pada keragaman persepsi.”

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, dengan bergantung pada keragaman unsur maka muncul keragaman persepsi; dengan bergantung pada keragaman persepsi maka muncul keragaman kehendak; dengan bergantung pada keragaman kehendak maka muncul keragaman kontak; dengan bergantung pada keragaman kontak maka muncul keragaman perasaan; dengan bergantung pada keragaman perasaan maka muncul keragaman keinginan; dengan bergantung pada keragaman keinginan maka muncul keragaman nafsu; dengan bergantung pada keragaman nafsu maka muncul keragaman pencarian; dengan bergantung pada keragaman pencarian maka muncul keragaman perolehan.8

“Dan apakah, para bhikkhu, keragaman unsur? Unsur bentuk … unsur fenomena pikiran. Ini, para bhikkhu, disebut keragaman unsur.

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, bahwa dengan bergantung pada keragaman unsur [147] maka muncul keragaman persepsi … bahwa dengan bergantung pada keragaman pencarian maka muncul keragaman perolehan?

“Dengan bergantung pada unsur bentuk maka muncul persepsi bentuk; dengan bergantung pada persepsi bentuk maka muncul kehendak sehubungan dengan bentuk; dengan bergantung pada kehendak sehubungan dengan bentuk maka muncul kontak dengan bentuk; dengan bergantung pada kontak dengan bentuk maka muncul perasaan yang timbul dari kontak dengan bentuk; dengan bergantung pada perasaan yang timbul dari kontak dengan bentuk maka muncul keinginan pada bentuk; dengan bergantung pada keinginan pada bentuk maka muncul nafsu pada bentuk; dengan bergantung pada nafsu pada bentuk maka muncul pencarian bentuk; dengan bergantung pada pencarian bentuk maka muncul perolehan bentuk …

“Dengan bergantung pada unsur fenomena-pikiran maka muncul persepsi fenomena-pikiran; dengan bergantung pada persepsi fenomena-pikiran maka muncul kehendak sehubungan dengan fenomena-pikiran … kontak dengan fenomena-pikiran … perasaan yang timbul dari kontak dengan fenomena-pikiran … keinginan pada fenomena-pikiran … nafsu pada fenomena-pikiran … pencarian fenomena-pikiran; dengan bergantung pada pencarian fenomena-pikiran maka muncul perolehan fenomena-pikiran.

“Demikianlah, para bhikkhu, bahwa dengan bergantung pada keragaman unsur maka muncul keragaman persepsi … bahwa dengan bergantung pada keragaman pencarian maka muncul keragaman perolehan.”

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, dengan bergantung pada keragaman unsur maka muncul keragaman persepsi … [148] (seperti pada sutta sebelumnya) … dengan bergantung pada keragaman pencarian maka muncul keragaman perolehan. Keragaman pencarian tidak muncul dengan bergantung pada keragaman perolehan; keragaman nafsu tidak muncul dengan bergantung pada keragaman pencarian … keragaman unsur tidak muncul dengan bergantung pada keragaman persepsi.

“Dan apakah, para bhikkhu, keragaman unsur? Unsur bentuk … unsur fenomena pikiran. Ini, para bhikkhu, disebut keragaman unsur.

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, bahwa dengan bergantung pada keragaman unsur maka muncul keragaman persepsi …bahwa dengan bergantung pada keragaman pencarian maka muncul keragaman perolehan? Bahwa keragaman pencarian tidak muncul dengan bergantung pada keragaman perolehan … bahwa keragaman unsur tidak muncul dengan bergantung pada keragaman persepsi?

“Dengan bergantung pada unsur bentuk maka muncul persepsi bentuk … dengan bergantung pada unsur fenomena-pikiran maka muncul persepsi fenomena-pikiran … dengan bergantung pada pencarian fenomena-pikiran maka muncul perolehan fenomena-pikiran. Pencarian fenomena-pikiran tidak muncul dengan bergantung pada perolehan fenomena-pikiran; nafsu pada fenomena-pikiran tidak muncul dengan bergantung pada pencarian fenomena-pikiran; [149] keinginan pada fenomena-pikiran tidak muncul dengan bergantung pada nafsu pada fenomena-pikiran; perasaan yang timbul dari kontak dengan fenomena-pikiran tidak muncul dengan bergantung pada keinginan pada fenomena-pikiran; kontak dengan fenomena-pikiran tidak muncul dengan bergantung pada perasaan yang timbul dari kontak dengan fenomena-pikiran; kehendak sehubungan dengan fenomena-pikiran tidak muncul dengan bergantung pada kontak dengan fenomena-pikiran; persepsi fenomena pikiran tidak muncul dengan bergantung pada kehendak sehubungan dengan fenomena-pikiran; unsur fenomena-pikiran tidak muncul dengan bergantung pada persepsi fenomena-pikiran.

“Demikianlah, para bhikkhu, bahwa dengan bergantung pada keragaman unsur maka muncul keragaman persepsi … bahwa dengan bergantung pada keragaman pencarian maka muncul keragaman perolehan; bahwa keragaman pencarian tidak muncul dengan bergantung pada keragaman perolehan … bahwa keragaman unsur tidak muncul dengan bergantung pada keragaman persepsi.”

Di Sāvatthī. [150] “Para bhikkhu, Terdapat tujuh unsur ini. Apakah tujuh ini? Unsur cahaya, unsur keindahan, unsur landasan ruang tanpa batas, unsur kesadaran tanpa batas, unsur landasan kekosongan, unsur landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, unsur lenyapnya persepsi dan perasaan. Ini adalah tujuh unsur.”9

Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu bertanya kepada Sang Bhagavā:

“Yang Mulia, sehubungan dengan unsur cahaya … unsur lenyapnya persepsi dan perasaan; dengan bergantung pada apakah unsur-unsur ini terlihat?”

“Bhikkhu, unsur cahaya terlihat dengan bergantung pada kegelapan. Unsur keindahan terlihat dengan bergantung pada keburukan. Unsur landasan ruang tanpa batas terlihat dengan bergantung pada bentuk. Unsur landasan kesadaran tanpa batas terlihat dengan bergantung pada landasan ruang tanpa batas. Unsur landasan kekosongan terlihat dengan bergantung pada landasan kesadaran tanpa batas. Unsur landasan bukan-persepsi juga bukan bukan-persepsi terlihat dengan bergantung pada landasan kekosongan. Unsur lenyapnya persepsi dan perasaan terlihat dengan bergantung pada lenyapnya.”10

“Tetapi, Yang Mulia, sehubungan dengan unsur cahaya … unsur lenyapnya persepsi dan perasaan: bagaimanakah pencapaian unsur-unsur ini dicapai?”

“Unsur cahaya, unsur keindahan, unsur landasan ruang tanpa batas, unsur kesadaran tanpa batas, [151] dan unsur landasan kekosongan: unsur-unsur ini dicapai sebagai pencapaian dengan persepsi. Unsur landasan bukan-persepsi juga bukan bukan-persepsi: unsur ini dicapai sebagai suatu pencapaian dengan sisa bentukan-bentukan.11 Unsur lenyapnya persepsi dan perasaan dicapai sebagai pencapaian lenyapnya.”

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, pikiran indriawi muncul dengan sumber, bukan tanpa sumber; pikiran permusuhan muncul dengan sumber, bukan tanpa sumber; pikiran mencelakai muncul dengan sumber, bukan tanpa sumber. Dan bagaimanakah hal ini terjadi demikian?

“Dengan bergantung pada unsur indriawi maka muncul persepsi indriawi;12 dengan bergantung pada persepsi indriawi maka muncul kehendak indriawi; dengan bergantung pada kehendak indriawi maka muncul keinginan indriawi; dengan bergantung pada keinginan indriawi maka muncul nafsu indriawi; dengan bergantung pada nafsu indriawi maka muncul pencarian indriawi; kaum duniawi yang tidak terpelajar berperilaku salah dalam tiga cara – melalui jasmani, ucapan, dan pikiran.

“Dengan bergantung pada unsur permusuhan maka muncul persepsi permusuhan;13 dengan bergantung pada persepsi permusuhan maka muncul kehendak permusuhan; dengan bergantung pada kehendak permusuhan maka muncul keinginan [yang didorong oleh] permusuhan; dengan bergantung pada keinginan [yang didorong oleh] permusuhan maka muncul nafsu [yang didorong oleh] permusuhan; dengan bergantung pada nafsu [yang didorong oleh] permusuhan maka muncul pencarian [yang didorong oleh] permusuhan; dengan melakukan pencarian [yang didorong oleh] permusuhan, kaum duniawi yang tidak terpelajar berperilaku salah dalam tiga cara – melalui jasmani, ucapan, dan pikiran.

“Dengan bergantung pada unsur mencelakai maka muncul persepsi mencelakai;14 dengan bergantung pada persepsi mencelakai maka muncul kehendak untuk mencelakai; dengan bergantung pada kehendak untuk mencelakai maka muncul keinginan untuk mencelakai; dengan bergantung pada keinginan untuk mencelakai maka muncul nafsu untuk mencelakai; dengan bergantung pada nafsu untuk mencelakai maka muncul pencarian untuk mencelakai. Dengan melakukan pencarian untuk mencelakai, [152] kaum duniawi yang tidak terpelajar berperilaku salah dalam tiga cara – melalui jasmani, ucapan, dan pikiran.

“Misalkan, para bhikkhu, seseorang menjatuhkan sebuah obor rumput yang menyala ke atas rerumputan kering. Jika ia tidak segera memadamkannya dengan tangan dan kakinya, maka makhluk-makhluk yang hidup di rerumputan dan kayu itu akan menemui bencana dan malapetaka. Demikian pula, jika petapa dan brahmana mana pun tidak cepat meninggalkan, mengusir, menghapuskan, dan melenyapkan persepsi jahat yang telah muncul dalam dirinya, maka ia berdiam dalam penderitaan dalam kehidupan ini, dengan kegundahan, dengan keputus-asaan, dan demam; dan dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, alam kelahiran yang buruk akan menghampirinya.

“Para bhikkhu, pikiran pelepasan keduniawian muncul dengan sumber, bukan tanpa sumber; pikiran tanpa-permusuhan muncul dengan sumber, bukan tanpa sumber; pikiran tidak-mencelakai muncul dengan sumber, bukan tanpa sumber. Dan bagaimanakah hal ini terjadi demikian?

“Dengan bergantung pada unsur pelepasan keduniawian maka muncul persepsi pelepasan keduniawian;15 dengan bergantung pada persepsi pelepasan keduniawian maka muncul kehendak pelepasan keduniawian; dengan bergantung pada kehendak pelepasan keduniawian maka muncul keinginan pelepasan keduniawian; dengan bergantung pada keinginan pelepasan keduniawian maka muncul nafsu pada pelepasan keduniawian; dengan bergantung pada nafsu pada pelepasan keduniawian maka muncul pencarian pelepasan keduniawian; siswa mulia yang terpelajar berperilaku benar dalam tiga cara – melalui jasmani, ucapan, dan pikiran.

“Dengan bergantung pada unsur tanpa-permusuhan maka muncul persepsi tanpa-permusuhan;16 dengan bergantung pada persepsi tanpa-permusuhan maka muncul kehendak tanpa-permusuhan; dengan bergantung pada kehendak tanpa-permusuhan maka muncul keinginan [yang dituntun oleh] tanpa-permusuhan; dengan bergantung pada keinginan [yang dituntun oleh] tanpa-permusuhan maka muncul nafsu [yang dituntun oleh] tanpa-permusuhan; dengan bergantung pada nafsu [yang dituntun oleh] tanpa-permusuhan maka muncul pencarian [yang dituntun oleh] tanpa-permusuhan; dengan melakukan pencarian [yang dituntun oleh] tanpa-permusuhan, siswa mulia yang terpelajar berperilaku benar dalam tiga cara – melalui jasmani, ucapan, dan pikiran.

“Dengan bergantung pada unsur tidak-mencelakai maka muncul persepsi tidak-mencelakai;17 [153] dengan bergantung pada persepsi tidak-mencelakai maka muncul kehendak untuk tidak-mencelakai; dengan bergantung pada kehendak untuk tidak-mencelakai maka muncul keinginan untuk tidak-mencelakai; dengan bergantung pada keinginan untuk tidak-mencelakai maka muncul nafsu untuk tidak-mencelakai; dengan bergantung pada nafsu untuk tidak-mencelakai maka muncul pencarian untuk tidak-mencelakai. Dengan melakukan pencarian untuk tidak-mencelakai, siswa mulia yang terpelajar berperilaku benar dalam tiga cara – melalui jasmani, ucapan, dan pikiran.

“Misalkan, para bhikkhu, seseorang menjatuhkan sebuah obor rumput yang menyala ke atas rerumputan kering. Jika ia dengan segera memadamkannya dengan tangan dan kakinya, maka makhluk-makhluk yang hidup di rerumputan dan kayu itu tidak akan menemui bencana dan malapetaka. Demikian pula, jika petapa dan brahmana mana pun dengan segera meninggalkan, mengusir, menghapuskan, dan melenyapkan persepsi jahat yang telah muncul dalam dirinya, maka ia berdiam dalam kebahagiaan dalam kehidupan ini, tanpa kegundahan, tanpa keputus-asaan, dan tanpa demam; dan dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, alam kelahiran yang bahagia akan menghampirinya.”

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Ñātika di Aula Bata. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, dengan bergantung pada suatu unsur maka muncul persepsi, di sana muncul pandangan, di sana muncul pikiran.”18

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Saddha Kaccāyana berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, sehubungan dengan mereka yang belum tercerahkan sempurna, ketika pandangan muncul, ‘Mereka ini adalah Yang Tercerahkan Sempurna,’ dengan bergantung pada apakah pandangan ini terlihat?”19

“Sungguh kuat, Kaccāyana, unsur ini, unsur ketidaktahuan. [154] Dengan bergantung pada suatu unsur rendah, Kaccāyana, maka muncul persepsi rendah, pandangan rendah, pikiran rendah, kehendak rendah, kerinduan rendah, pengharapan rendah, orang rendah, ucapan rendah. Ia menjelaskan, mengajarkan, menyatakan, menegakkan, mengungkapkan, menganalisis, dan menguraikankan yang rendah. Kelahiran kembalinya, Aku katakan, adalah rendah.

“Dengan bergantung pada suatu unsur menengah, Kaccāyana, maka muncul persepsi menengah, pandangan menengah, pikiran menengah, kehendak menengah, kerinduan menengah, pengharapan menengah, orang menengah, ucapan menengah. Ia menjelaskan, mengajarkan, menyatakan, membentuk, mengungkapkan, menganalisis, dan membabarkan yang menengah. Kelahiran kembalinya, Aku katakan, adalah menengah.

“Dengan bergantung pada suatu unsur mulia, Kaccāyana, maka muncul persepsi mulia, pandangan mulia, pikiran mulia, kehendak mulia, kerinduan mulia, pengharapan mulia, orang mulia, ucapan mulia. Ia menjelaskan, mengajarkan, menyatakan, membentuk, mengungkapkan, menganalisis, dan membabarkan yang mulia. Kelahiran kembalinya, Aku katakan, adalah mulia.”

Di Sāvatthī, “Para bhikkhu, adalah melalui unsur-unsur maka makhluk-makhluk berkumpul dan bersatu. Mereka yang berwatak rendah berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berwatak rendah; mereka yang berwatak baik berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berwatak baik.20 Di masa lalu, melalui unsur-unsur maka makhluk-makhluk berkumpul dan bersatu … Di masa depan juga, melalui unsur-unsur maka makhluk-makhluk akan berkumpul dan bersatu … [155] Sekarang juga, di masa kini, melalui unsur-unsur maka makhluk-makhluk berkumpul dan bersatu. Mereka yang berwatak rendah berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berwatak rendah; mereka yang berwatak baik berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berwatak baik.”

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Puncak Gunung Hering. Pada saat itu, tidak jauh dari Sang Bhagavā, Yang Mulia Sāriputta sedang berjalan mondar-mandir bersama dengan sejumlah bhikkhu; Yang Mulia Mahāmoggallāna … Yang Mulia Mahākassapa … Yang Mulia Anuruddha … Yang Mulia Puṇṇa Mantāniputta … Yang Mulia Upāli … Yang Mulia Ānanda sedang berjalan mondar-mandir bersama dengan sejumlah bhikkhu. Dan tidak jauh dari Sang Bhagavā, Devadatta juga sedang berjalan mondar-mandir bersama dengan sejumlah bhikkhu.

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, apakah kalian melihat Sāriputta berjalan mondar-mandir bersama dengan sejumlah bhikkhu?”21

“Ya, Yang Mulia.”

“Semua bhikkhu itu memiliki kebijaksanaan tinggi. Apakah kalian melihat Moggallāna berjalan mondar-mandir bersama dengan sejumlah bhikkhu?”

“Ya, Yang Mulia.”

“Semua bhikkhu itu memiliki kekuatan spiritual tinggi. Apakah kalian melihat Kassapa berjalan mondar-mandir bersama dengan sejumlah bhikkhu?” [156]

“Ya, Yang Mulia.”

“Semua bhikkhu itu adalah pendukung praktik pertapaan. Apakah kalian melihat Anuruddha berjalan mondar-mandir bersama dengan sejumlah bhikkhu?”

“Ya, Yang Mulia.”

“Semua bhikkhu itu memiliki mata dewa. Apakah kalian melihat Puṇṇa Mantāniputta berjalan mondar-mandir bersama dengan sejumlah bhikkhu?”

“Ya, Yang Mulia.”

“Semua bhikkhu itu adalah pembabar Dhamma. Apakah kalian melihat Upāli berjalan mondar-mandir bersama dengan sejumlah bhikkhu?”

“Ya, Yang Mulia.”

“Semua bhikkhu itu adalah penjunjung Disiplin. Apakah kalian melihat Ānanda berjalan mondar-mandir bersama dengan sejumlah bhikkhu?”

“Ya, Yang Mulia.”

“Semua bhikkhu itu adalah sangat terpelajar. Apakah kalian melihat Devadatta berjalan mondar-mandir bersama dengan sejumlah bhikkhu?”

“Ya, Yang Mulia.”

“Semua bhikkhu itu memiliki keinginan jahat.

“Para bhikkhu, adalah melalui unsur-unsur maka makhluk-makhluk berkumpul dan bersatu. Mereka yang berwatak rendah berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berwatak rendah; mereka yang berwatak baik berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berwatak baik. Di masa lalu mereka demikian, di masa depan mereka demikian, [157] dan sekarang di masa kini mereka juga demikian.”

Di Sāvatthī.22 “Para bhikkhu, adalah melalui unsur-unsur maka makhluk-makhluk berkumpul dan bersatu: mereka yang berwatak rendah berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berwatak rendah. Di masa lalu mereka demikian, di masa depan mereka demikian, dan sekarang di masa kini mereka juga demikian.

“Bagaikan kotoran badan berkumpul dan bersatu dengan kotoran badan, air seni dengan air seni, air ludah dengan air ludah, nanah dengan nanah, dan darah dengan darah, demikian pula, para bhikkhu, adalah melalui unsur-unsur maka makhluk-makhluk berkumpul dan bersatu. Mereka yang berwatak rendah berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berwatak rendah Di masa lalu mereka demikian, di masa depan mereka demikian, dan sekarang di masa kini mereka juga demikian. [158]

“Para bhikkhu, adalah melalui unsur-unsur maka makhluk-makhluk berkumpul dan bersatu. Mereka yang berwatak baik berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berwatak baik. Di masa lalu mereka demikian, di masa depan mereka demikian, dan sekarang di masa kini mereka juga demikian.

“Bagaikan susu berkumpul dan bersatu dengan susu, minyak dengan minyak, ghee dengan ghee, madu dengan madu, dan sirup dengan sirup, demikian pula, para bhikkhu, adalah melalui unsur-unsur maka makhluk-makhluk berkumpul dan bersatu. Mereka yang berwatak baik berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berwatak baik Di masa lalu mereka demikian, di masa depan mereka demikian, dan sekarang di masa kini mereka juga demikian.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan ini, Yang Sempurna, lebih lanjut mengatakan:

“Dari pergaulan maka hutan nafsu muncul,23 Oleh tanpa-pergaulan hutan ditebang. Bagaikan seseorang yang telah menaiki sebilah papan Akan tenggelam di lautan yang bergelora, Demikian pula seorang yang hidup bermoral tenggelam Dengan berkumpul bersama orang malas.

“Demikianlah seseorang seharusnya menghindari orang yang demikian – Orang malas; tanpa semangat. Hanya bergaul dengan para bijaksana, Dengan para meditator yang tekun, Dengan para mulia yang berdiam dalam keheningan, Semangat mereka meningkat secara konstan.” [159]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, adalah melalui unsur-unsur maka makhluk-makhluk berkumpul dan bersatu. Mereka yang kurang berkeyakinan berkumpul dan bersatu dengan mereka yang kurang berkeyakinan, mereka yang tidak memiliki rasa malu berkumpul dan bersatu dengan mereka yang tidak memiliki rasa malu, mereka yang tidak takut melakukan perbuatan salah berkumpul dan bersatu dengan mereka yang tidak takut melakukan perbuatan salah, mereka yang tidak terpelajar berkumpul dan bersatu dengan mereka yang tidak terpelajar, mereka yang malas berkumpul dan bersatu dengan mereka yang malas, mereka yang berpikiran kacau berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berpikiran kacau, mereka yang tidak bijaksana berkumpul dan bersatu dengan mereka yang tidak bijaksana. Di masa lalu mereka demikian, di masa depan mereka demikian; [160] dan sekarang di masa kini mereka juga demikian.

“Para bhikkhu, adalah melalui unsur-unsur maka makhluk-makhluk berkumpul dan bersatu. Mereka yang berkeyakinan berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berkeyakinan, mereka yang memiliki rasa malu berkumpul dan bersatu dengan mereka yang memiliki rasa malu, mereka yang takut melakukan perbuatan salah berkumpul dan bersatu dengan mereka yang takut melakukan perbuatan salah, mereka yang terpelajar berkumpul dan bersatu dengan mereka yang terpelajar, mereka yang bersemangat berkumpul dan bersatu dengan mereka yang bersemangat, mereka yang penuh perhatian berkumpul dan bersatu dengan mereka yang penuh perhatian, mereka yang bijaksana berkumpul dan bersatu dengan mereka yang bijaksana. Di masa lalu mereka demikian, di masa depan mereka demikian, dan sekarang di masa kini mereka juga demikian.”

(i)

“Para bhikkhu, adalah melalui unsur-unsur maka makhluk-makhluk berkumpul dan bersatu. [161] Mereka yang kurang berkeyakinan berkumpul dan bersatu dengan mereka yang kurang berkeyakinan, mereka yang tidak memiliki rasa malu dengan mereka yang tidak memiliki rasa malu, mereka yang tidak bijaksana dengan mereka yang tidak bijaksana. Mereka yang berkeyakinan berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berkeyakinan, mereka yang memiliki rasa malu dengan mereka yang memiliki rasa malu, mereka yang bijaksana dengan mereka yang bijaksana. Di masa lalu mereka demikian, di masa depan mereka demikian, dan sekarang di masa kini mereka juga demikian.”

(Empat bagian selanjutnya dari sutta ini menggantikan berikut ini dengan yang ke dua, “tidak memiliki rasa malu” menjadi “memiliki rasa malu”:)

(ii) mereka yang tidak takut melakukan pelanggaran, mereka yang takut melakukan pelanggaran;

(iii) mereka yang tidak terpelajar, mereka yang terpelajar; [162]

(iv) mereka yang malas, mereka yang bersemangat;

(v) mereka yang berpikiran kacau, mereka yang penuh perhatian.

(i)

“Para bhikkhu, adalah melalui unsur-unsur maka makhluk-makhluk berkumpul dan bersatu. Mereka yang tidak memiliki rasa malu berkumpul dan bersatu dengan mereka yang tidak memiliki rasa malu, [163] mereka yang tidak takut melakukan perbuatan salah dengan mereka yang tidak takut melakukan perbuatan salah, mereka yang tidak bijaksana dengan mereka yang tidak bijaksana. Mereka yang memiliki rasa malu berkumpul dan bersatu dengan mereka yang memiliki rasa malu, mereka yang takut melakukan perbuatan salah dengan mereka yang takut melakukan perbuatan salah, mereka yang bijaksana dengan mereka yang bijaksana. [Di masa lalu mereka demikian, di masa depan mereka demikian, dan sekarang di masa kini mereka juga demikian.]”

(Tiga bagian selanjutnya dari sutta ini menggantikan berikut ini dengan yang ke dua, “tidak takut melakukan pelanggaran” menjadi “takut melakukan pelanggaran”:)

(ii) mereka yang tidak terpelajar, mereka yang terpelajar;

(iii) mereka yang malas, mereka yang bersemangat;

(iv) mereka yang berpikiran kacau, mereka yang penuh perhatian.

(i)

[164] “Para bhikkhu, adalah melalui unsur-unsur maka makhluk-makhluk berkumpul dan bersatu. Mereka yang tidak takut melakukan perbuatan salah berkumpul dan bersatu dengan mereka yang tidak takut melakukan perbuatan salah; mereka yang tidak terpelajar dengan mereka yang tidak terpelajar; mereka yang tidak bijaksana dengan mereka yang tidak bijaksana. Mereka yang takut melakukan perbuatan salah berkumpul dan bersatu dengan mereka yang takut melakukan perbuatan salah; mereka yang terpelajar dengan mereka yang terpelajar; mereka yang bijaksana dengan mereka yang bijaksana. Di masa lalu mereka demikian, di masa depan mereka demikian, dan sekarang di masa kini mereka juga demikian.”

(Dua bagian selanjutnya dari sutta ini menggantikan berikut ini dengan yang ke dua, “tidak terpelajar” menjadi “terpelajar”:)

(ii) mereka yang malas, mereka yang bersemangat;

(iii) mereka yang berpikiran kacau, mereka yang penuh perhatian.

(i)

“Para bhikkhu, adalah melalui unsur-unsur maka makhluk-makhluk berkumpul dan bersatu. Mereka yang tidak terpelajar berkumpul dan bersatu dengan mereka yang tidak terpelajar; mereka yang malas dengan mereka yang malas; mereka yang tidak bijaksana dengan mereka yang tidak bijaksana. Mereka yang terpelajar berkumpul dan bersatu dengan mereka yang terpelajar; mereka yang bersemangat [165] dengan mereka yang bersemangat; mereka yang bijaksana dengan mereka yang bijaksana. Di masa lalu mereka demikian, di masa depan mereka demikian, dan sekarang di masa kini mereka juga demikian.”

(ii)

“Mereka yang tidak terpelajar berkumpul dan bersatu dengan mereka yang tidak terpelajar, mereka yang berpikiran kacau dengan mereka yang berpikiran kacau, mereka yang tidak bijaksana dengan mereka yang tidak bijaksana. Mereka yang terpelajar berkumpul dan bersatu dengan mereka yang terpelajar; mereka yang penuh perhatian dengan mereka yang penuh perhatian, mereka yang bijaksana dengan mereka yang bijaksana. Di masa lalu mereka demikian, di masa depan mereka demikian, dan sekarang di masa kini mereka juga demikian.”

“Para bhikkhu, adalah melalui unsur-unsur maka makhluk-makhluk berkumpul dan bersatu. Mereka yang malas berkumpul dan bersatu dengan mereka yang malas; mereka yang berpikiran kacau dengan mereka yang berpikiran kacau, mereka yang tidak bijaksana dengan mereka yang tidak bijaksana. Mereka yang bersemangat berkumpul dan bersatu dengan mereka yang bersemangat, mereka yang penuh perhatian dengan mereka yang penuh perhatian, mereka yang bijaksana dengan mereka yang bijaksana. Di masa lalu mereka demikian, di masa depan mereka demikian, dan sekarang di masa kini mereka juga demikian.”

[166]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, adalah melalui unsur-unsur maka makhluk-makhluk berkumpul dan bersatu. Mereka yang kurang berkeyakinan berkumpul dan bersatu dengan mereka yang kurang berkeyakinan, mereka yang tidak memiliki rasa malu dengan mereka yang tidak memiliki rasa malu, mereka yang tidak takut melakukan perbuatan salah dengan mereka yang tidak takut melakukan perbuatan salah, mereka yang tidak terkonsentrasi dengan mereka yang tidak terkonsentrasi, mereka yang tidak bijaksana dengan mereka yang tidak bijaksana.

“Mereka yang berkeyakinan berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berkeyakinan, mereka yang memiliki rasa malu dengan mereka yang memiliki rasa malu, mereka yang takut melakukan perbuatan salah dengan mereka yang takut melakukan perbuatan salah, mereka yang terkonsentrasi dengan mereka yang terkonsentrasi, mereka yang bijaksana dengan mereka yang bijaksana.”

(Seperti di atas dengan menggantikan “tidak terkonsentrasi” dan “terkonsentrasi” menjadi “tidak bermoral” dan “bermoral”.) [167]

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, adalah melalui unsur-unsur maka makhluk-makhluk berkumpul dan bersatu. Mereka yang membunuh berkumpul dan bersatu dengan mereka yang membunuh; mereka yang mengambil apa yang tidak diberikan … yang melakukan perbuatan seksual yang salah … yang mengucapkan kebohongan … yang menikmati anggur, minuman keras, dan minuman memabukkan yang menyebabkan kelengahan berkumpul dan bersatu dengan mereka yang menikmati demikian.

“Mereka yang menghindari membunuh berkumpul dan bersatu dengan mereka yang menghindari membunuh; mereka yang menghindari perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan … menghindari perbuatan seksual yang salah … menghindari kebohongan … menghindari anggur, minuman keras, dan minuman memabukkan yang menyebabkan kelengahan berkumpul dan bersatu dengan mereka yang menghindari demikian.”

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, adalah melalui unsur-unsur maka makhluk-makhluk berkumpul dan bersatu. Mereka yang membunuh berkumpul dan bersatu dengan mereka yang membunuh; mereka yang mengambil apa yang tidak diberikan … yang melakukan perbuatan seksual yang salah … yang mengucapkan kebohongan … yang mengucapkan kata yang mengakibatkan perpecahan … yang berkata kasar … yang bergosip berkumpul dan bersatu dengan mereka yang menikmati demikian.

“Mereka yang menghindari membunuh berkumpul dan bersatu dengan mereka yang menghindari membunuh; mereka yang menghindari perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan … menghindari perbuatan seksual yang salah … menghindari kebohongan … menghindari ucapan yang mengakibatkan perpecahan … menghindari ucapan kasar … menghindari bergosip berkumpul dan bersatu dengan mereka yang menghindari demikian.”

Di Sāvatthī. [168] “Para bhikkhu, adalah melalui unsur-unsur maka makhluk-makhluk berkumpul dan bersatu. Mereka yang membunuh berkumpul dan bersatu dengan mereka yang membunuh; mereka … (seperti di atas, dilanjutkan dengan:) … yang tamak … yang memendam permusuhan … yang berpandangan salah berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berpandangan salah.

“Mereka yang menghindari membunuh berkumpul dan bersatu dengan mereka yang menghindari membunuh … (seperti di atas) … yang tidak tamak … yang tidak memendam permusuhan … yang berpandangan benar berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berpandangan benar.”

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, adalah melalui unsur-unsur maka makhluk-makhluk berkumpul dan bersatu. Mereka yang berpandangan salah berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berpandangan salah; mereka yang berkehendak salah … ucapan salah … perbuatan salah … penghidupan salah … usaha salah … perhatian salah … konsentrasi salah berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berkonsentrasi salah.

“Mereka yang berpandangan benar berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berpandangan benar; mereka yang berkehendak benar … ucapan benar … perbuatan benar … penghidupan benar … usaha benar … perhatian benar … konsentrasi benar berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berkonsentrasi benar.”

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, adalah melalui unsur-unsur maka makhluk-makhluk berkumpul dan bersatu. Mereka yang berpandangan salah … (seperti di atas) [169] konsentrasi salah … pengetahuan salah … pembebasan salah berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berpembebasan salah.

Mereka yang berpandangan benar … (seperti di atas) konsentrasi benar … pengetahuan benar … pembebasan benar berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berpembebasan benar.”24

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika …

“Para bhikkhu, terdapat empat unsur ini. Apakah empat ini? Unsur tanah, unsur air, unsur panas, unsur angin. Ini adalah keempat unsur itu.”25

Di Sāvatthī. [170] “Para bhikkhu, sebelum pencerahanKu, sewaktu Aku masih seorang Bodhisatta, belum tercerahkan sempurna, Aku berpikir: ‘Apakah kepuasan, apakah bahayanya, apakah jalan membebaskan diri dari unsur tanah? Apakah kepuasan, apakah bahayanya, apakah jalan membebaskan diri dari unsur air … unsur panas … unsur angin?’

“Kemudian, para bhikkhu, Aku berpikir: ‘Kesenangan dan kegembiraan yang muncul dengan bergantung pada unsur tanah: ini adalah kepuasan di dalam unsur tanah. Bahwa unsur tanah adalah tidak kekal, penuh penderitaan, dan tunduk pada perubahan: ini adalah bahaya dalam unsur tanah. Melenyapkan dan meninggalkan keinginan dan nafsu pada unsur tanah: ini adalah jalan membebaskan diri dari unsur tanah.26

“’Kesenangan dan kegembiraan yang muncul dengan bergantung pada unsur air … unsur panas … unsur angin: ini adalah kepuasan di dalam unsur angin. Bahwa unsur angin adalah tidak kekal, penuh penderitaan, dan tunduk pada perubahan: ini adalah bahaya dalam unsur angin. Melenyapkan dan meninggalkan keinginan dan nafsu pada unsur angin: ini adalah jalan membebaskan diri dari unsur angin.’27

“Selama, para bhikkhu, Aku belum mengetahui secara langsung sebagaimana adanya kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan empat unsur ini, Aku tidak menyatakan telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tiada bandingnya di dunia ini dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam generasi ini dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia. Tetapi ketika Aku mengetahui secara langsung semua ini sebagaimana adanya, maka Aku menyatakan telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tiada bandingnya di dunia ini dengan … para deva dan manusia. [171]

“Pengetahuan dan penglihatan muncul dalam diriKu: ‘Kebebasan batinKu tidak tergoyahkan;28 ini adalah kelahiran terakhirKu; sekarang tidak ada lagi penjelmaan baru.”

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, Aku mengembara mencari kepuasan dalam unsur tanah. Kepuasan apa pun yang terdapat dalam unsur tanah – yang Kutemukan. Aku telah dengan jelas melihatnya dengan kebijaksanaan seberapa jauh kepuasan dalam unsur tanah itu.

“Para bhikkhu, Aku mengembara mencari bahaya dalam unsur tanah. Bahaya apa pun yang terdapat dalam unsur tanah – yang Kutemukan. Aku telah dengan jelas melihatnya dengan kebijaksanaan seberapa jauh bahaya dalam unsur tanah itu.

“Para bhikkhu, Aku mengembara mencari jalan membebaskan diri dari unsur tanah. Jalan membebaskan diri apapun yang terdapat dalam unsur tanah – yang Kutemukan. Aku telah dengan jelas melihatnya dengan kebijaksanaan seberapa jauh jalan membebaskan diri dari unsur tanah itu.

“Para bhikkhu, Aku mengembara mencari kepuasan dalam … bahaya dalam … jalan membebaskan diri dari unsur air … unsur panas … unsur angin. Jalan membebaskan diri apa pun yang terdapat dalam unsur angin – yang Kutemukan. Aku telah dengan jelas melihatnya dengan kebijaksanaan seberapa jauh jalan membebaskan diri unsur angin itu.

“Selama, para bhikkhu, Aku belum mengetahui secara langsung sebagaimana adanya kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri dalam hal keempat unsur ini … (seperti di atas) [172] … para deva dan manusia.

“Pengetahuan dan penglihatan muncul dalam diriKu: ‘Kebebasan batinKu tidak tergoyahkan: ini adalah kelahiran terakhirKu; sekarang tidak ada lagi penjelmaan baru.”

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, jika tidak ada kepuasan dalam unsur tanah, maka makhluk-makhluk tidak akan menjadi tertarik padanya; tetapi karena ada kepuasan dalam unsur tanah, maka makhluk-makhluk menjadi tertarik padanya. Jika tidak ada bahaya dalam unsur tanah, maka makhluk-makhluk tidak akan mengalami kejijikan terhadapnya; tetapi karena ada bahaya dalam unsur tanah, maka makhluk-makhluk mengalami kejijikan terhadapnya. Jika tidak ada jalan membebaskan diri dari unsur tanah, maka makhluk-makhluk tidak akan bebas darinya; tetapi karena ada jalan membebaskan diri dari unsur tanah, maka makhluk-makhluk terbebaskan darinya.

“Para bhikkhu, jika tidak ada kepuasan dalam unsur air … unsur panas … unsur angin, maka makhluk-makhluk tidak akan menjadi tertarik padanya … [173] … tetapi karena ada jalan membebaskan diri dari unsur angin, maka makhluk-makhluk terbebaskan darinya.

“Selama, para bhikkhu, makhluk-makhluk belum mengetahui secara langsung sebagaimana adanya kepuasan sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri sebagai jalan membebaskan diri dalam hal keempat unsur, mereka belum membebaskan diri dari dunia ini dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dari generasi ini dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia; mereka belum terlepas darinya, terbebas darinya, mereka juga tidak berdiam dengan pikiran bebas dari rintangan. Tetapi ketika makhluk-makhluk telah mengetahui secara langsung sebagaimana adanya, maka mereka telah terbebas dari dunia ini dengan para deva dan manusia … mereka telah terlepas darinya, terbebas darinya, dan mereka berdiam dengan pikiran bebas dari rintangan.”29

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, jika unsur tanah ini semata-mata adalah hanya penderitaan, tenggelam dalam penderitaan, curam menuju penderitaan, dan jika [juga] tidak curam menuju kesenangan, maka makhluk-makhluk tidak akan menyukainya. Tetapi karena unsur tanah adalah menyenangkan,30 tenggelam dalam kenikmatan, curam menuju kenikmatan, dan tidak [hanya] curam menuju penderitaan, maka makhluk-makhluk menyukainya. [174]

“Para bhikkhu, jika unsur air ini semata-mata adalah hanya penderitaan … jika unsur panas ini semata-mata adalah hanya penderitaan … jika unsur angin ini semata-mata adalah hanya penderitaan, tenggelam dalam penderitaan, curam menuju penderitaan, dan jika [juga] tidak curam menuju kenikmatan, maka makhluk-makhluk tidak akan menyukainya. Tetapi karena unsur angin adalah menyenangkan, tenggelam dalam kesenangan, curam menuju kenikmatan, dan tidak [hanya] curam menuju penderitaan, maka makhluk-makhluk menyukainya.

“Para bhikkhu, jika unsur tanah ini semata-mata adalah hanya menyenangkan, tenggelam dalam kenikmatan, curam menuju kenikmatan, dan jika [juga] tidak curam menuju penderitaan, maka makhluk-makhluk tidak akan mengalami kejijikan terhadapnya. Tetapi karena unsur tanah adalah penderitaan, tenggelam dalam penderitaan, curam menuju penderitaan, dan tidak [hanya] curam menuju kenikmatan, maka makhluk-makhluk mengalami kejijikan terhadapnya.

“Para bhikkhu, jika unsur air ini semata-mata adalah hanya menyenangkan … jika unsur panas ini semata-mata adalah hanya menyenangkan … jika unsur angin ini semata-mata adalah hanya menyenangkan, tenggelam dalam kesenangan, curam menuju kesenangan, dan jika [juga] tidak curam menuju penderitaan, maka makhluk-makhluk tidak akan mengalami kejijikan terhadapnya. Tetapi karena unsur angin adalah penderitaan, tenggelam dalam penderitaan, curam menuju penderitaan, dan tidak [hanya] curam menuju kenikmatan, maka makhluk-makhluk mengalami kejijikan terhadapnya.”

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, seseorang yang mencari kesenangan dalam unsur tanah, mencari dalam penderitaan. Seseorang yang mencari kesenangan dalam penderitaan, Aku katakan, adalah tidak terbebas dari penderitaan. Seseorang yang mencari kesenangan dalam unsur air … dalam unsur panas … dalam unsur angin, mencari kesenangan dalam penderitaan. Seseorang yang mencari kesenangan dalam penderitaan, Aku katakan, adalah tidak terbebas dari penderitaan. [175]

“Seseorang yang tidak mencari kesenangan dalam unsur tanah … dalam unsur angin, tidak mencari kesenangan dalam penderitaan. Seseorang yang tidak mencari kesenangan dalam penderitaan, Aku katakan, adalah terbebas dari penderitaan.

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, kemunculan, keberlangsungan, produksi, dan manifestasi dari unsur tanah adalah kemunculan penderitaan, keberlangsungan penyakit, manifestasi penuaan-dan-kematian.31 Kemunculan, keberlangsungan, produksi, dan manifestasi dari unsur air … unsur panas … unsur angin adalah kemunculan penderitaan, keberlangsungan penyakit, manifestasi penuaan-dan-kematian.

“Berhentinya, meredanya, dan menghilangnya unsur tanah … unsur angin adalah berhentinya penderitaan, meredanya penyakit, menghilangnya penuaan-dan-kematian.”

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, terdapat empat unsur ini. Apakah empat ini? Unsur tanah, unsur air, unsur panas, unsur angin.

“Para petapa dan brahmana itu, para bhikkhu, yang tidak memahami sebagaimana adanya kepuasan, bahaya dan jalan membebaskan diri dari keempat unsur ini: [176] mereka ini tidak Kuanggap sebagai petapa di antara para petapa atau brahmana di antara para brahmana, dan para mulia ini tidak, dengan merealisasikannya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini masuk dan berdiam dalam tujuan pertapaan atau tujuan kebrahmanaan.

“Tetapi, para bhikkhu, para petapa dan brahmana itu yang memahami sebagaimana adanya kepuasan, bahaya dan jalan membebaskan diri dari keempat unsur ini: mereka ini Kuanggap sebagai petapa di antara para petapa atau brahmana di antara para brahmana, dan para mulia ini, dengan merealisasikannya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini masuk dan berdiam dalam tujuan pertapaan dan tujuan kebrahmanaan.”

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, terdapat empat unsur ini. Apakah empat ini? Unsur tanah, unsur air, unsur panas, unsur angin.

“Para petapa dan brahmana itu, para bhikkhu, yang tidak memahami sebagaimana adanya asal-mula dan lenyapnya, kepuasan, bahaya dan jalan membebaskan diri dari keempat unsur ini: mereka ini tidak Kuanggap sebagai petapa di antara para petapa …

“Tetapi para petapa dan brahmana itu, para bhikkhu, yang memahami sebagaimana adanya asal-mula dan lenyapnya, kepuasan, bahaya dan jalan membebaskan diri dari keempat unsur ini: mereka ini Kuanggap sebagai petapa di antara para petapa atau brahmana di antara para brahmana, dan para mulia ini, dengan merealisasikannya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini masuk dan berdiam dalam tujuan pertapaan dan tujuan kebrahmanaan.”

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, para petapa dan brahmana itu yang tidak memahami unsur tanah, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya; [177] yang tidak memahami unsur air … unsur panas … unsur angin, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya: mereka ini tidak Kuanggap sebagai petapa di antara para petapa …

“Tetapi, para bhikkhu, para petapa dan brahmana itu yang memahami hal-hal ini: mereka ini Kuanggap sebagai petapa di antara para petapa dan brahmana di antara para brahmana, dan para mulia ini, dengan merealisasikannya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini masuk dan berdiam dalam tujuan pertapaan dan tujuan kebrahmanaan.”

Anamataggasaṃyutta

Khotbah Berhubungan tentang Tanpa Awal

I. SUB BAB PERTAMA

(Rumput dan Kayu)

1 (1) Rumput dan Kayu

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan.32 Titik pertama tidak terlihat oleh makhluk-makhluk yang berkelana dan mengembara yang terhalangi oleh ketidaktahuan dan terbelenggu oleh ketagihan. Misalkan, para bhikkhu, seseorang memotong semua rumput, kayu, dahan, dan dedaunan di Jambudīpa ini dan mengumpulkannya semua dalam satu tumpukan. Setelah melakukan itu, ia akan memindahkannya satu demi satu, dengan mengatakan [untuk tiap-tiap potongan]: “Ini adalah ibuku, ini adalah ibu dari ibuku.” Urutan dari ibu dan nenek dari orang itu tidak akan berakhir, namun rumput, kayu, dahan, dan dedaunan di Jambudīpa ini sudah habis dipindahkan. Karena alasan apakah? Karena, para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan. Titik pertama tidak terlihat oleh makhluk-makhluk yang berkelana dan mengembara yang terhalangi oleh ketidaktahuan dan terbelenggu oleh ketagihan. Sejak lama, para bhikkhu, kalian telah mengalami penderitaan, kesedihan, dan bencana, dan meramaikan tanah pemakaman. Cukuplah untuk mengalami kejijikan terhadap segala bentukan, cukuplah untuk menjadi bosan terhadapnya, cukuplah untuk terbebaskan darinya.” [179]

2 (2) Bumi

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan. Titik pertama tidak terlihat oleh makhluk-makhluk yang berkelana dan mengembara yang terhalangi oleh ketidaktahuan dan terbelenggu oleh ketagihan. Misalkan para bhikkhu, seseorang membentuk bola-bola tanah berukuran biji jujube dari seluruh tanah di bumi ini dan memindahkannya satu demi satu, dengan mengatakan [untuk tiap-tiap butirnya]: “Ini adalah ayahku, ini adalah ayah dari ayahku.” Urutan dari ayah dan kakek dari orang itu tidak akan berakhir, namun seluruh tanah di bumi ini sudah habis dipindahkan. Karena alasan apakah? Karena, para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan. Titik pertama tidak terlihat oleh makhluk-makhluk yang berkelana dan mengembara yang terhalangi oleh ketidaktahuan dan terbelenggu oleh ketagihan. Sejak lama, para bhikkhu, kalian telah mengalami penderitaan, kesedihan, dan bencana, dan meramaikan tanah pemakaman. Cukuplah untuk mengalami kejijikan terhadap segala bentukan, cukuplah untuk menjadi bosan terhadapnya, cukuplah untuk terbebaskan darinya.”

3 (3) Air Mata

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan. Titik pertama tidak terlihat oleh makhluk-makhluk yang berkelana dan mengembara yang terhalangi oleh ketidaktahuan dan terbelenggu oleh ketagihan. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu, manakah yang lebih banyak: air mata yang telah kalian teteskan ketika kalian berkelana dan mengembara dalam perjalanan panjang ini, menangis dan meratap karena berkumpul dengan yang tidak menyenangkan dan berpisah dari yang menyenangkan – ini atau air di empat samudra raya?”33

“Seperti yang kami pahami dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, Yang Mulia, [180] air mata yang telah kami teteskan ketika kami berkelana dan mengembara dalam perjalanan panjang ini, menangis dan meratap karena berkumpul dengan yang tidak menyenangkan dan berpisah dari yang menyenangkan – ini saja adalah lebih banyak daripada air di empat samudra raya.”

“Bagus, bagus, para bhikkhu! Bagus sekali kalian memahami Dhamma yang Kuajarkan seperti itu. air mata yang telah kalian teteskan ketika kalian berkelana dan mengembara dalam perjalanan panjang ini, menangis dan meratap karena berkumpul dengan yang tidak menyenangkan dan berpisah dari yang menyenangkan – ini saja adalah lebih banyak daripada air di empat samudra raya. Sejak lama, para bhikkhu, kalian telah mengalami kematian ibu; ketika kalian mengalami ini, menangis dan meratap karena berkumpul dengan yang tidak menyenangkan dan berpisah dari yang menyenangkan, tetesan air mata yang telah kalian teteskan adalah lebih banyak daripada air di empat samudra raya.

“Sejak lama, para bhikkhu, kalian telah mengalami kematian ayah … kematian saudara laki-laki … kematian saudara perempuan … kematian putra … kematian putri … kehilangan sanak saudara … kehilangan kekayaan … kehilangan karena penyakit; ketika kalian mengalami ini, menangis dan meratap karena berkumpul dengan yang tidak menyenangkan dan berpisah dari yang menyenangkan, tetesan air mata yang telah kalian teteskan adalah lebih banyak daripada air di empat samudra raya. Karena alasan apakah? Karena, para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan … Cukuplah untuk mengalami kejijikan terhadap segala bentukan, cukuplah untuk menjadi bosan terhadapnya, cukuplah untuk terbebaskan darinya.”

4 (4) Susu Ibu

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan. Titik pertama tidak terlihat oleh makhluk-makhluk yang berkelana dan mengembara yang terhalangi oleh ketidaktahuan dan terbelenggu oleh ketagihan. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu, manakah yang lebih banyak: [181] air susu ibu yang telah kalian minum ketika kalian berkelana dan mengembara dalam perjalanan panjang ini – ini atau air di empat samudra raya?”

“Seperti yang kami pahami dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagava, Yang Mulia, air susu ibu yang telah kami minum ketika kami berkelana dan mengembara dalam perjalanan panjang ini – ini saja adalah lebih banyak daripada air di empat samudra raya.”

“Bagus, bagus, para bhikkhu! Bagus sekali kalian memahami Dhamma yang Kuajarkan seperti itu. Air susu ibu yang telah kalian minum ketika kalian berkelana dan mengembara dalam perjalanan panjang ini – ini saja adalah lebih banyak daripada air di empat samudra raya. Karena alasan apakah? Karena, para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan … cukuplah untuk terbebaskan darinya.”

5 (5) Gunung

Di Sāvatthī. Seorang bhikkhu mendekati Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau: “Yang Mulia, berapa lamakah satu kappa?”34

“Satu kappa adalah sangat lama, bhikkhu. Tidaklah mudah menghitungnya dan menyebutkannya dalam berapa tahun, atau berapa ratus tahun, atau berapa ribu tahun, atau berapa ratus ribu tahun.”

“Kalau begitu mungkinkah dengan memberikan perumpamaan, Yang Mulia?”

“Mungkin saja, bhikkhu,” Sang Bhagavā berkata. “Misalkan, bhikkhu, terdapat sebuah gunung batu dengan panjang satu yojana, lebar satu yojana, dan tingginya satu yojana, tanpa lubang atau celah, sebuah batu padat yang besar. Di akhir setiap seratus tahun seseorang akan menggosoknya dengan sehelai kain Kāsi.35 Dengan usaha ini gunung batu itu lama-kelamaan akan terkikis habis tetapi kappa itu masih belum berakhir. Demikian lamanya satu kappa itu, bhikkhu. [182] Dan dari kappa-kappa yang selama itu, kita telah mengembara melalui begitu banyak kappa, ratusan kappa, ribuan kappa, ratusan ribu kappa. Karena alasan apakah? Karena, bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan … cukuplah untuk terbebaskan darinya.”

6 (6) Biji Moster

Di Sāvatthī. Seorang bhikkhu mendekati Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau: “Yang Mulia, berapa lamakah satu kappa?”

“Satu kappa adalah sangat lama, bhikkhu. Tidaklah mudah menghitungnya dan menyebutkannya dalam berapa tahun, atau berapa ratus tahun, atau berapa ribu tahun, atau berapa ratus ribu tahun.”

“Kalau begitu mungkinkah dengan memberikan perumpamaan, Yang Mulia?”

“Mungkin saja, bhikkhu,” Sang Bhagavā berkata. “Misalkan, bhikkhu, terdapat sebuah kota dengan tembok besi satu yojana panjangnya, satu yojana lebarnya, dan satu yojana tingginya, diisi penuh dengan biji moster hingga sepadat rambut yang terikat. Di akhir setiap seratus tahun seseorang mengambil sebutir biji moster dari sana. Dengan usaha ini tumpukan biji moster itu lama-kelamaan akan habis tetapi kappa itu masih belum berakhir. Demikian lamanya satu kappa itu, bhikkhu. dan dari kappa-kappa yang selama itu, kita telah mengembara melalui begitu banyak kappa, ratusan kappa, ribuan kappa, ratusan ribu kappa. Karena alasan apakah? Karena, bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan … cukuplah untuk terbebaskan darinya.”

7 (7) Para Siswa

Di Sāvatthī. [183] Sejumlah bhikkhu mendekati Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau: “Yang Mulia, berapa banyakkah kappa yang telah lewat dan berlalu?”

“Para bhikkhu, banyak kappa telah lewat dan berlalu. Tidaklah mudah menghitungnya dan menyebutkannya dalam berapa kappa, atau berapa ratus kappa, atau berapa ribu kappa, atau berapa ratus ribu kappa.”

“Kalau begitu mungkinkah dengan memberikan perumpamaan, Yang Mulia?”

“Mungkin saja, bhikkhu,” Sang Bhagavā berkata. “Misalkan, bhikkhu, terdapat empat siswa di sini yang masing-masing memiliki umur kehidupan selama seratus tahun, hidup selama seratus tahun, dan setiap hari mereka masing-masing mengingat seratus ribu kappa. Masih ada banyak kappa yang belum teringat oleh mereka ketika empat siswa tersebut yang masing-masing memiliki umur kehidupan seratus tahun, hidup selama seratus tahun, meninggal dunia di akhir seratus tahun itu.36 Tidaklah mudah menghitungnya dan menyebutkannya dalam berapa kappa, atau berapa ratus kappa, atau berapa ribu kappa, atau berapa ratus ribu kappa. Karena alasan apakah? Karena, para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan … cukuplah untuk terbebaskan darinya.”

8 (8) Sungai Gangga

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Kemudian seorang brahmana mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka mengakhiri ramah-tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Beliau: “Guru Gotama, berapa banyakkah kappa yang telah lewat dan berlalu?”

“Brahmana, banyak kappa yang telah lewat dan berlalu. Tidaklah mudah menghitungnya dan menyebutkannya dalam berapa kappa, atau berapa ratus kappa, atau berapa ribu kappa, atau berapa ratus ribu kappa.” [184]

“Kalau begitu mungkinkah dengan memberikan perumpamaan, Guru Gotama?”

“Mungkin saja, brahmana,” Sang Bhagavā berkata. “Misalkan, brahmana, butiran pasir dari mulai Sungai Gangga ini bersumber hingga titik di mana sungai ini memasuki samudra raya: tidaklah mudah menghitungnya dan menyebutkannya dalam berapa butir, atau berapa ratus butir, atau berapa ribu butir, atau berapa ratus ribu butir. Brahmana, kappa-kappa yang telah lewat dan berlalu adalah jauh lebih banyak dari butiran pasir itu. Tidaklah mudah menghitungnya dan menyebutkannya dalam berapa kappa, atau berapa ratus kappa, atau berapa ribu kappa, atau berapa ratus ribu kappa. Karena alasan apakah? Karena, para brahmana, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan … cukuplah untuk terbebaskan darinya.”

Ketika hal ini dikatakan brahmana itu berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! … Sejak hari ini, sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang pengikut awam yang telah berlindung seumur hidupku.”

9 (9) Tongkat Kayu

“Para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan. Titik pertama tidak terlihat oleh makhluk-makhluk yang berkelana dan mengembara yang terhalangi oleh ketidaktahuan dan terbelenggu oleh ketagihan. Bagaikan sebatang tongkat kayu yang dilemparkan ke air akan jatuh kadang-kadang pada bagian bawahnya, kadang-kadang pada bagian sisinya, dan kadang-kadang pada bagian atasnya, demikian pula [185] makhluk-makhluk yang berkelana dan mengembara karena terhalangi oleh ketidaktahuan dan terbelenggu oleh ketagihan, kadang-kadang pergi dari dunia ini ke dunia lain, kadang-kadang datang dari dunia lain ke dunia ini.37 Karena alasan apakah? Karena, para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan … cukuplah untuk terbebaskan darinya.”

10 (10) Seorang

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Rājagaha di Gunung Puncak Hering. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu!”38

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan. Titik pertama tidak terlihat oleh makhluk-makhluk yang berkelana dan mengembara yang terhalangi oleh ketidaktahuan dan terbelenggu oleh ketagihan. Seseorang, berkelana dan mengembara dengan terhalangi oleh ketidaktahuan dan terbelenggu oleh ketagihan, akan meninggalkan tumpukan tulang-belulang, timbunan tulang-belulang, gundukan tulang-belulang sebesar Gunung Vepulla ini, jika ada seseorang yang mengumpulkannya dan apa yang dikumpulkan itu tidak akan musnah.39 Karena alasan apakah? Karena, para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan … cukuplah untuk terbebaskan darinya.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan ini, Yang Sempurna, Sang Guru, lebih jauh lagi berkata sebagai berikut:

“Timbunan tulang-belulang yang ditinggalkan oleh seseorang

Dengan berlalunya satu kappa

Akan membentuk tumpukan sebesar gunung:

Demikianlah dikatakan oleh Sang Bijaksana Agung.

Ini dikatakan sebagai sebanyak

Dan setinggi Gunung Vepulla

Yang berdiri di utara Puncak Hering

Di barisan pegunungan di Magadha.

“Tetapi ketika seseorang melihat dengan kebijaksanaan benar

Kebenaran para mulia –

Penderitaan dan asal-mulanya,

Melampaui penderitaan,

Dan Jalan Mulia Berunsur Delapan

Yang menuju pada penenangan penderitaan –

Maka orang itu, setelah mengembara

Selama paling banyak tujuh kali lagi, [186]

Mengakhiri penderitaan

Dengan menghancurkan segala belenggu.”

I. SUB BAB KE DUA

(Ketidak-beruntungan)

1 (1) Ketidak-beruntungan

Pada suatu ketika, sewaktu sedang menetap di Sāvatthī, Sang Bhagavā berkata sebagai berikut: “Para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan. Titik pertama tidak terlihat oleh makhluk-makhluk yang berkelana dan mengembara yang terhalangi oleh ketidaktahuan dan terbelenggu oleh ketagihan. Kapan saja kalian melihat seseorang dalam ketidak-beruntungan, dalam kesengsaraan, kalian dapat menyimpulkan: ‘Kami juga telah mengalami hal yang sama dalam perjalanan panjang ini.’ Karena alasan apakah? Karena, para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan … cukuplah untuk terbebaskan darinya.”

12 (2) Kebahagiaan

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan … Kapan saja kalian melihat seseorang dalam kebahagiaan dan keberuntungan, [187] kalian dapat menyimpulkan: ‘Kami juga telah mengalami hal yang sama dalam perjalanan panjang ini.’ Karena alasan apakah? Karena, para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan … cukuplah untuk terbebaskan darinya.”

13 (3) Tiga puluh Bhikkhu

Di Rājagaha di Hutan Bambu. Tiga puluh bhikkhu dari Pāvā mendatangi Sang Bhagavā – semuanya adalah penghuni hutan, pemakan makanan persembahan, pemakai jubah potongan-kain, pemakai jubah tiga potong, namun semuanya masih terbelenggu.40 Setelah mendekat, mereka memberi hormat kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berpikir: “Tiga puluh bhikkhu ini semuanya adalah penghuni hutan, pemakan makanan persembahan, pemakai jubah potongan-kain, pemakai jubah tiga potong, namun semuanya masih terbelenggu. Aku akan mengajarkan Dhamma sedemikian agar mereka selagi duduk di tempat ini pikiran mereka akan terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan.”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu itu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan. Titik pertama tidak terlihat oleh makhluk-makhluk yang berkelana dan mengembara karena terhalangi oleh ketidaktahuan dan terbelenggu oleh ketagihan. Bagaimana menurutmu, para bhikkhu, mana yang lebih banyak: darah yang telah kalian teteskan saat kalian dipenggal ketika berkelana dan mengembara melalui perjalanan panjang ini – ini atau air di empat samudra raya?”

“Seperti yang kami pahami dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, Yang Mulia, darah yang telah kami teteskan saat kepala kami dipenggal ketika berkelana dan mengembara dalam perjalanan panjang ini – ini saja [188] adalah lebih banyak daripada air di empat samudra raya.”

“Bagus, bagus, para bhikkhu! Bagus sekali kalian memahami Dhamma yang Kuajarkan seperti itu. Darah yang telah kalian teteskan ketika kalian berkelana dan mengembara dalam perjalanan panjang ini – ini saja adalah lebih banyak daripada air di empat samudra raya. Dalam waktu yang lama, para bhikkhu, kalian telah menjadi sapi, dan ketika sebagai sapi kalian dipenggal, darah yang kalian teteskan adalah lebih banyak daripada air di empat samudra raya. Dalam waktu yang lama kalian telah menjadi kerbau, domba, kambing, rusa, ayam, dan babi … Dalam waktu yang lama kalian telah ditangkap sebagai pencuri, penyamun, dan pencabul, dan ketika kalian dipenggal, darah yang kalian teteskan adalah lebih banyak daripada air di empat samudra raya. Karena alasan apakah? Karena, para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan … cukuplah untuk terbebaskan darinya.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Gembira, para bhikkhu itu bersukacita dalam kata-kata Sang Bhagavā. [189] Dan ketika penjelasan ini dibabarkan, pikiran ketiga puluh bhikkhu dari Pāvā itu terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan.

14 (4) – 19 (9) Ibu, dan seterusnya

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan … Tidaklah mudah, para bhikkhu, menemukan makhluk yang dalam perjalanan panjang ini belum pernah sebelumnya menjadi ibumu … ayahmu … saudara laki-lakimu … saudara perempuanmu … [190] … putramu … putrimu. Karena alasan apakah? Karena, para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan … cukuplah untuk terbebaskan darinya.”

20 (10) Gunung Vepulla

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Gunung Puncak Hering. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan. Titik pertama tidak terlihat oleh makhluk-makhluk yang berkelana dan mengembara yang terhalangi oleh ketidaktahuan dan terbelenggu oleh ketagihan. Di masa lampau, para bhikkhu, Gunung Vepulla ini disebut Pācinavaṃsa, [191] dan pada saat itu orang-orang ini disebut Tivara. Umur kehidupan Tivara adalah 40.000 tahun.41 Mereka sanggup mendaki Gunung Pānavaṃsa dalam empat hari dan turun dalam empat hari. Pada saat itu Sang Buddha Kakusandha, seorang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, telah muncul di dunia ini. kedua Siswa UtamaNya bernama Vidhura dan Sañjiva, pasangan yang baik. Lihatlah, para bhikkhu! Nama gunung itu telah lenyap, orang-orang itu telah mati, dan Sang Bhagavā itu telah mencapai Nibbāna akhir. Begitu tidak kekalnya segala bentukan, para bhikkhu, begitu tidak stabil, begitu tidak dapat diandalkan. Cukuplah, para bhikkhu, untuk mengalami kejijikan terhadap segala bentukan, cukuplah untuk menjadi bosan terhadapnya, cukuplah untuk terbebaskan darinya.

“[Di waktu lainnya] di masa lampau, para bhikkhu, Gunung Vepulla ini disebut Vaṅkaka, dan pada saat itu orang-orang ini disebut Rohitassa. Umur kehidupan para Rohitassa adalah 30.000 tahun.42 Mereka sanggup mendaki Gunung Vaṅkaka dalam tiga hari dan turun dalam tiga hari. Pada saat itu Sang Buddha Koṇāgamana, seorang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, telah muncul di dunia ini. kedua Siswa UtamaNya bernama Bhiyyosa dan Uttara, pasangan yang baik. Lihatlah, para bhikkhu! Nama gunung itu telah lenyap, orang-orang itu telah mati, dan Sang Bhagavā itu telah mencapai Nibbāna akhir. [192] Begitu tidak kekalnya segala bentukan … cukuplah untuk terbebaskan darinya.

“[Di waktu lainnya lagi] di masa lampau, para bhikkhu, Gunung Vepulla ini disebut Supassa, dan pada saat itu orang-orang ini disebut Suppiya. Umur kehidupan para Suppiya adalah 20.000 tahun. Mereka sanggup mendaki Gunung Supassa dalam dua hari dan turun dalam dua hari. Pada saat itu Sang Buddha Kassapa, seorang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, telah muncul di dunia ini. kedua Siswa UtamaNya bernama Tissa dan Bhāradvāja, pasangan yang baik. Lihatlah, para bhikkhu! Nama gunung itu telah lenyap, orang-orang itu telah mati, dan Sang Bhagavā itu telah mencapai Nibbāna akhir. Begitu tidak kekalnya segala bentukan … cukuplah untuk terbebaskan darinya.

“Di masa sekarang, para bhikkhu, Gunung Vepulla ini disebut Vepulla, dan pada saat ini orang-orang ini disebut Magadha. Umur kehidupan para Magadha ini singkat, terbatas, cepat berlalu; seorang yang berumur panjang hidup hingga seratus tahun atau sedikit lebih lama. Para Magadha mendaki Gunung Vepulla dalam satu jam dan turun dalam satu jam. Pada saat ini, Aku muncul di dunia ini, seorang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Dua Siswa UtamaKu bernama Sāriputta dan Moggallāna, pasangan yang baik. Akan tiba masanya, para bhikkhu, [193] ketika nama gunung ini lenyap, ketika orang-orang ini mati, dan Aku akan mencapai Nibbāna akhir. Begitu tidak kekalnya segala bentukan, para bhikkhu, begitu tidak stabil, begitu tidak dapat diandalkan. Cukuplah, para bhikkhu, untuk mengalami kejijikan terhadap segala bentukan, cukuplah untuk menjadi bosan terhadapnya, cukuplah untuk terbebaskan darinya.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan hal ini, Yang Sempurna, Sang Guru, lebih lanjut mengatakan sebagai berikut:

“Ini disebut Pācinavaṃsa oleh para Tivara,

Dan Vaṅkaka oleh para Rohitassa,

Supassa oleh orang-orang Suppiya,

Vepula oleh orang-orang Magadha.

“Aduh, segala bentukan adalah tidak kekal

Tunduk pada kemunculan dan kelenyapan.

Setelah muncul, semua itu lenyap:

Penenangannya adalah kebahagiaan.”43

Kassapasaṃyutta

Khotbah Berhubungan bersama Kassapa

1 Puas

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, Kassapa ini puas dengan segala jenis jubah, dan ia memuji kepuasan terhadap segala jenis jubah, dan ia tidak terlibat dalam pencarian salah, dalam apa yang tidak layak, demi memperoleh jubah.44 Jika ia tidak memperoleh jubah ia tidak gelisah, dan jika ia memperoleh jubah ia memakainya tanpa menjadi terikat padanya, tidak menggandrunginya, tidak secara membuta terserap di dalamnya, melihat bahaya di dalamnya, memahami jalan membebaskan diri darinya.45

“Para bhikkhu, Kassapa ini puas dengan segala jenis makanan persembahan … dengan segala jenis tempat tinggal … dengan segala jenis obat-obatan … dan jika ia memperolehnya ia menggunakannya tanpa menjadi terikat padanya, tidak menggandrunginya, tidak secara membuta terserap di dalamnya, melihat bahaya di dalamnya, memahami jalan membebaskan diri darinya.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan puas dengan segala jenis jubah, dan kami akan memuji kepuasan terhadap segala jenis jubah, [195] dan kami tidak akan terlibat dalam pencarian salah, dalam apa yang tidak layak, demi memperoleh jubah. Jika kami tidak memperoleh jubah kami tidak gelisah, dan jika kami memperoleh jubah kami akan memakainya tanpa menjadi terikat padanya, tidak menggandrunginya, tidak secara membuta terserap di dalamnya, melihat bahaya di dalamnya, memahami jalan membebaskan diri darinya.

“Kami akan puas dengan segala jenis makanan persembahan … dengan segala jenis tempat tinggal … dengan segala jenis obat-obatan … dan jika kami memperolehnya kami akan menggunakannya tanpa menjadi terikat padanya, tidak menggandrunginya, tidak secara membuta terserap di dalamnya, melihat bahaya di dalamnya, memahami jalan membebaskan darinya.’ Demikianlah kalian harus berlatih.

“Para bhikkhu, Aku akan menasihati kalian dengan teladan Kassapa atau seseorang yang menyerupai Kassapa.46 Setelah dinasihati, kalian harus berlatih seperti demikian.”47

2 Tidak Takut Melakukan Perbuatan Salah

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Yang Mulia Mahākassapa dan Yang Mulia Sāriputta sedang berdiam di Bārāṇasi di Taman Rusa di Isipatana. Kemudian, pada suatu malam, Yang Mulia Sāriputta keluar dari keheningan dan mendekati Yang Mulia Mahākassapa. Ia saling bertukar sapa dengan Yang Mulia Mahākassapa dan, ketika mereka mengakhiri ramah-tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata kepadanya:

“Sahabat, dikatakan bahwa seseorang yang tidak tekun dan tidak takut melakukan perbuatan salah adalah tidak mampu mencapai pencerahan, tidak mampu mencapai Nibbāna, tidak mampu memperoleh keamanan tertinggi dari belenggu; tetapi seseorang yang tekun [196] dan takut melakukan perbuatan salah adalah mampu mencapai pencerahan, mampu mencapai Nibbāna, mampu memperoleh keamanan tertinggi dari belenggu.48 Dalam cara bagaimanakah ini, sahabat?”

“Di sini, sahabat, seorang bhikkhu tidak membangkitkan semangat dengan berpikir: ‘Jika kondisi buruk yang tidak bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dalam diriku, maka ini akan mengarah pada bahaya bagiku’; juga tidak dengan berpikir: ‘Jika kondisi buruk yang tidak bermanfaat yang telah ada dalam diriku tidak ditinggalkan, maka ini akan mengarah pada bahaya bagiku’; juga tidak dengan berpikir: ‘Jika kondisi bermanfaat yang belum muncul tidak muncul dalam diriku, maka ini akan mengarah pada bahaya bagiku’; juga tidak dengan berpikir: ‘Jika kondisi bermanfaat yang telah ada dalam diriku menjadi lenyap, maka ini akan mengarah pada bahaya bagiku.’ Demikianlah ia tidak tekun.49

“Dan bagaimanakah, sahabat, ia tidak takut melakukan perbuatan salah? Di sini, sahabat, seorang bhikkhu tidak menjadi takut pada pikiran: ‘Jika kondisi buruk yang tidak bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dalam diriku, maka ini akan mengarah pada bahaya bagiku’ … juga tidak dengan berpikir: ‘Jika kondisi bermanfaat yang telah muncul dalam diriku menjadi lenyap, maka ini akan mengarah pada bahaya bagiku.’ Demikianlah ia tidak takut melakukan pelanggaran.

“Dalam cara inilah, sahabat, bahwa seseorang yang tidak tekun dan tidak takut melakukan perbuatan salah tidak mampu mencapai pencerahan, tidak mampu mencapai Nibbāna, tidak mampu memperoleh keamanan tertinggi dari belenggu.

“Dan bagaimanakah, sahabat, seorang yang tekun? Di sini, sahabat, seorang bhikkhu membangkitkan semangat dengan berpikir: ‘Jika kondisi tidak bermanfaat yang jahat yang belum muncul menjadi muncul dalam diriku, maka ini akan mengarah pada bahaya bagiku’ … dan dengan berpikir: ‘Jika kondisi bermanfaat yang telah muncul dalam diriku menjadi lenyap, maka ini akan mengarah pada bahaya bagiku.’ Demikianlah ia tekun.

“Dan bagaimanakah, sahabat, ia takut melakukan perbuatan salah? Di sini, sahabat, seorang bhikkhu menjadi takut pada pikiran: ‘Jika kondisi tidak bermanfaat yang jahat yang belum muncul menjadi muncul dalam diriku, maka ini akan mengarah pada bahaya bagiku’; … dan pada pikiran: ‘Jika kondisi bermanfaat yang telah timbul dalam diriku menjadi lenyap, maka ni akan mengarah pada bahaya bagiku.’ [197] Demikianlah ia takut melakukan pelanggaran.

“Dalam cara inilah, sahabat, bahwa seseorang yang tekun dan takut melakukan perbuatan salah mampu mencapai pencerahan, mampu mencapai Nibbāna, mampu memperoleh keamanan tertinggi dari belenggu.

3 Bagaikan Bulan

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, kalian harus mendekati para keluarga seperti rembulan – [198] menarik mundur badan dan pikiran, selalu bersikap bagaikan pendatang baru, tidak bersikap lancang pada para keluarga.50 Bagaikan seseorang yang melihat ke dalam sebuah sumur tua, jurang, atau tepi sungai yang curam akan menarik mundur badan dan pikirannya, demikian pula, para bhikkhu, kalian seharusnya mendekati keluarga-keluarga.

“Para bhikkhu, Kassapa mendekati para keluarga seperti bulan - menarik mundur badan dan pikiran, selalu bersikap bagaikan pendatang baru, tidak bersikap lancang pada para keluarga. Bagaimanakah menurut kalian, para bhikkhu, bhikkhu yang bagaimanakah yang layak mendekati para keluarga?”

“Yang Mulia, ajaran kami berakar dalam Sang Bhagavā, dituntun oleh Sang Bhagavā, dilindungi oleh Sang Bhagavā. Baik sekali jika Sang Bhagavā sudi menjelaskan makna dari pernyataan ini. Setelah mendengarkan dari Beliau, para bhikkhu akan mengingatnya.”

Kemudian Sang Bhagavā melambaikan tanganNya di udara51 dan berkata: “Para bhikkhu, bagaikan tangan ini tidak terperangkap dalam ruang, tidak tercengkeram, tidak terikat, demikian pula seorang bhikkhu mendekati para keluarga dengan pikirannya tidak terperangkap, tidak tercengkeram dan tidak terikat di tengah-tengah para keluarga, dengan berpikir: ‘Semoga mereka yang menginginkan perolehan mendapatkan perolehan, semoga mereka yang menginginkan jasa memperoleh jasa!’52 Ia gembira dan bahagia atas perolehan orang lain sebagaimana ia atas perolehannya sendiri. Seorang bhikkhu demikian adalah layak mendekati para keluarga.

“Para bhikkhu, ketika Kassapa mendekati para keluarga, pikirannya tidak terperangkap, tidak tercengkeram dan tidak terikat di tengah-tengah para keluarga, dengan berpikir: ‘Semoga mereka yang menginginkan perolehan mendapatkan perolehan, semoga mereka yang menginginkan jasa memperoleh jasa!’ Ia gembira dan bahagia atas perolehan orang lain sebagaimana ia atas perolehannya sendiri. [199]

“Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu, bagaimanakah ajaran Dhamma seorang bhikkhu dikatakan tidak murni, dan bagaimanakah ajaran Dhamma seorang bhikkhu dikatakan murni?”

“Yang Mulia, ajaran kami berakar dalam Sang Bhagavā …”

“Maka dengarkan dan perhatikanlah, para bhikkhu, Aku akan menjelaskan.”

“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Seorang bhikkhu mengajarkan Dhamma kepada orang lain dengan pikiran: ‘Oh, semoga mereka mendengarkan Dhamma dariku! Setelah mendengarkan, semoga mereka berkeyakinan pada Dhamma! Setelah berkeyakinan, semoga mereka menunjukkan keyakinan padaku!’53 Ajaran Dhamma dari bhikkhu yang demikian adalah tidak murni.

“Tetapi seorang bhikkhu yang mengajarkan Dhamma kepada orang lain dengan pikiran: ‘Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Bhagavā, terlihat langsung, segera, mengundang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana. Oh, semoga mereka mendengarkan Dhamma dariku! Setelah mendengarkan, semoga mereka berkeyakinan pada Dhamma! Setelah memahami, semoga mereka berpraktik sesuai Dhamma!’ Demikianlah ia mengajarkan Dhamma kepada orang lain karena kualitas baik Dhamma; ia mengajarkan Dhamma dengan belas kasihan dan simpati, demi keprihatinan lembut.54 Ajaran Dhamma dari bhikkhu demikian adalah murni.

“Para bhikkhu, Kassapa mengajarkan Dhamma kepada orang lain dengan pikiran: ‘Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Bhagavā … Oh, [200] semoga mereka mendengarkan Dhamma dariku! Setelah mendengarkan, semoga mereka berkeyakinan pada Dhamma! Setelah memahami, semoga mereka berpraktik sesuai Dhamma!’ Ia mengajarkan Dhamma kepada orang lain karena kualitas baik Dhamma; ia mengajarkan Dhamma dengan belas kasihan dan simpati, demi keprihatinan lembut.

“Para bhikkhu, Aku akan menasihati kalian dengan teladan Kassapa atau seseorang yang menyerupai Kassapa. Setelah dinasihati, kalian harus berlatih seperti demikian.”

4 Tamu Para Keluarga

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian, bhikkhu yang bagaimanakah yang layak menjadi tamu para keluarga,55 dan bhikkhu yang bagaimanakah yang tidak layak menjadi tamu para keluarga?”

“Yang Mulia, ajaran kami berakar dalam Sang Bhagavā …”

Sang Bhagavā berkata sebagai berikut: “Para bhikkhu, seorang bhikkhu mungkin mendekati para keluarga dengan pikiran: ‘Semoga mereka memberi kepadaku, bukan menahan! Semoga mereka memberiku banyak, bukan sedikit! Semoga mereka memberiku segala yang baik, bukan yang buruk! Semoga mereka memberiku dengan cepat, bukan lambat! Semoga mereka memberiku dengan hormat, bukan dengan tidak hormat!’ Ketika seorang bhikkhu mendekati para keluarga dengan pikiran demikian, jika mereka tidak memberi, maka ia menjadi sakit hati; sehubungan dengan itu ia mengalami kekecewaan dan ketidak-senangan. Jika mereka memberi sedikit bukan banyak … Jika mereka memberi yang buruk bukan yang baik … Jika mereka memberi dengan lambat bukan dengan cepat … Jika mereka memberi dengan tidak hormat bukan dengan hormat, maka ia menjadi sakit hati; [201] sehubungan dengan itu ia mengalami kekecewaan dan ketidak-senangan. Seorang bhikkhu demikian adalah tidak layak menjadi tamu para keluarga.

“Para bhikkhu, seorang bhikkhu mungkin mendekati para keluarga dengan pikiran: ‘Ketika berada di antara para keluarga, bagaimana mungkin aku berpikir: “Semoga mereka memberi kepadaku, bukan menahan! … Semoga mereka memberiku dengan hormat, bukan dengan tidak hormat!”?’ Ketika seorang bhikkhu mendekati para keluarga dengan pikiran demikian, jika mereka tidak memberi … jika mereka memberi dengan tidak hormat bukan dengan hormat, maka ia tidak menjadi sakit hati; sehubungan dengan itu ia tidak mengalami kekecewaan dan ketidak-senangan. Seorang bhikkhu demikian adalah layak menjadi tamu para keluarga.

“Para bhikkhu, Kassapa mendekati para keluarga dengan pikiran demikian … Demikianlah jika mereka tidak memberi … Jika mereka memberi dengan tidak hormat bukan dengan hormat, ia tidak menjadi sakit hati; [202] sehubungan dengan itu ia tidak mengalami kekecewaan dan ketidak-senangan.

“Para bhikkhu, Aku akan menasihati kalian dengan teladan Kassapa atau seseorang yang menyerupai Kassapa. Setelah dinasihati, kalian harus berlatih seperti demikian.”

5 Tua

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Kemudian Yang Mulia Mahākassapa mendekati Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Engkau sudah tua sekarang, Kassapa, dan jubah potongan-kain rami yang telah usang itu tentu membebanimu. Oleh karena itu engkau harus mengenakan jubah yang dipersembahkan oleh para perumah tangga, Kassapa, menerima undangan makan, dan menetap di dekatKu.”56

“Sejak lama, Yang Mulia, aku telah menjadi penghuni hutan dan memuji perbuatan menetap di hutan; aku telah menjadi pemakan makanan yang dipersembahkan dan memuji perbuatan memakan makanan persembahan; aku adalah pemakai jubah potongan-kain dan memuji perbuatan memakai jubah potongan-kain; aku mengenakan jubah tiga potong dan memuji perbuatan mengenakan jubah tiga potong; aku memiliki sedikit keinginan dan memuji sedikitnya keinginan; aku puas dan memuji kepuasan; aku mengasingkan diri dan memuji pengasingan; aku menjauhi pergaulan dan memuji perbuatan menjauhi pergaulan; aku bersemangat dan memuji perbuatan membangkitkan semangat.”57

“Dengan mempertimbangkan apakah, Kassapa, engkau sejak lama menjadi penghuni hutan … dan memuji perbuatan membangkitkan semangat?”

“Mempertimbangkan dua manfaat, Yang Mulia. [203] Untuk diriku aku melihat tempat tinggal yang nyaman dalam kehidupan ini, dan aku berbelas kasihan kepada generasi mendatang, dengan berpikir, ‘Semoga generasi mendatang mengikuti teladanku!”58 Karena ketika mereka mendengar, ‘Siswa Sang Buddha yang tercerahkan sejak lama adalah penghuni hutan dan memuji perbuatan menetap di hutan … bersemangat dan memuji perbuatan membangkitkan semangat,’ kemudian mereka akan mempraktikkan sesuai dengan itu, dan itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan mereka untuk waktu yang lama. Mempertimbangkan dua manfaat ini, Yang Mulia, aku sejak lama telah menjadi penghuni hutan … dan memuji perbuatan membangkitkan semangat.”

“Bagus, bagus, Kassapa! Engkau mempraktikkan demi kesejahteraan dan kebahagiaan banyak makhluk, demi belas kasihan kepada dunia, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan para deva dan manusia. Oleh karena itu, Kassapa, kenakanlah jubah potongan-kain rami yang telah usang, berjalanlah menerima persembahan makanan, dan menetaplah di hutan.”

6 Nasihat (1)

Di Rājagaha di Hutan Bambu. Yang Mulia Mahākassapa mendekati Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Nasihatilah para bhikkhu, Kassapa, berikan mereka sebuah khotbah Dhamma. Apakah Aku [204] yang harus menasihati para bhikkhu, Kassapa, atau engkau. Apakah Aku yang harus memberikan sebuah khotbah Dhamma atau engkau.”59

“Yang Mulia, para bhikkhu saat ini sulit ditegur, dan mereka memiliki kualitas yang membuat mereka sulit ditegur.60 Mereka tidak sabar dan tidak menerima instruksi dengan hormat. Di sini, Yang Mulia, aku melihat seorang bhikkhu bernama Bhaṇḍa, murid Ānanda, dan seorang bhikkhu bernama Abhiñjika, murid Anuruddha, saling bersaing satu sama lain sehubungan dengan pelajaran mereka, dengan mengatakan: ‘Marilah, bhikkhu, siapakah yang dapat berbicara lebih banyak? Siapakah yang dapat berbicara lebih baik? Siapakah yang dapat berbicara lebih lama?’”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada seorang bhikkhu sebagai berikut: “Pergilah, bhikkhu, beritahu Bhikkhu Bhaṇḍa dan Bhikkhu Abhiñjika atas namaKu bahwa Sang Guru memanggil mereka.”

“Baik, Yang Mulia,” bhikkhu itu menjawab, dan ia mendatangi kedua bhikkhu itu dan memberitahu mereka: “Sang Guru memanggil Yang Mulia.”

“Baik, Sahabat,” kedua bhikkhu itu menjawab, dan mereka mendekati Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Sang Bhagavā berkata kepada mereka: “Benarkah, bhikkhu, bahwa kalian saling bersaing satu sama lain sehubungan dengan pelajaran kalian, sebagai siapa yang dapat berbicara lebih banyak, siapa yang dapat berbicara lebih baik, siapa yang dapat berbicara lebih lama?”

“Benar, Yang Mulia.”

“Pernahkah kalian mendengarkan Aku mengajarkan Dhamma sebagai berikut: ‘Mari, para bhikkhu, bersainglah satu sama lain sehubungan dengan pelajaranmu, dan lihat siapa yang dapat berbicara lebih banyak, siapa yang dapat berbicara lebih baik, siapa yang dapat berbicara lebih lama?” [205]

“Tidak, Yang Mulia.”

“Kalau begitu jika kalian tidak pernah mendengarkan Aku mengajarkan Dhamma demikian, apakah yang kalian, manusia tidak tahu diri, ketahui dan lihat, setelah meninggalkan keduniawian dalam Dhamma dan Disiplin yang telah dibabarkan dengan sempurna, kalian saling bersaing satu sama lain sehubungan dengan pelajaran kalian, sebagai siapa yang dapat berbicara lebih banyak, siapa yang dapat berbicara lebih baik, siapa yang dapat berbicara lebih lama?”

Kemudian kedua bhikkhu itu bersujud dengan kepala mereka di kaki Sang Bhagavā dan berkata: “Yang Mulia, kami telah melakukan pelanggaran – kami begitu bodoh, begitu bingung, begitu tidak selayaknya – karena, setelah meninggalkan keduniawian dalam Dhamma dan Disiplin yang telah dibabarkan dengan sempurna, kami saling bersaing satu sama lain sehubungan dengan pelajaran kami, sebagai siapa yang dapat berbicara lebih banyak, siapa yang dapat berbicara lebih baik, siapa yang dapat berbicara lebih lama. Yang Mulia, sudilah Bhagavā memaafkan kami atas pelanggaran kami yang terlihat sebagai pelanggaran demi pengendalian di masa depan.

“Tentu saja, bhikkhu, kalian telah melakukan pelanggaran - begitu bodoh, begitu bingung, begitu tidak selayaknya – karena, setelah meninggalkan keduniawian dalam Dhamma dan Disiplin yang telah dibabarkan dengan sempurna, kalian saling bersaing satu sama lain sehubungan dengan pelajaran kalian … Tetapi karena kalian melihat pelanggaran kalian sebagai pelanggaran dan melakukan perbaikan sesuai dengan Dhamma, maka kami memaafkan kalian sehubungan dengan hal ini. Karena adalah pertumbuhan dalam Disiplin Para Mulia ini ketika seseorang melihat pelanggarannya sebagai pelanggaran, melakukan perbaikan sesuai dengan Dhamma, dan menjalani pengendalian di masa depan.”

7 Nasihat (2)

Di Rājagaha di Hutan Bambu. Yang Mulia Mahākassapa mendekati Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya: ‘Nasihatilah para bhikkhu, Kassapa, berikan mereka sebuah khotbah Dhamma. Apakah Aku yang harus menasihati para bhikkhu, Kassapa, [206] atau engkau. Apakah Aku yang harus memberikan sebuah khotbah Dhamma atau engkau.”

“Yang Mulia, para bhikkhu saat ini sulit ditegur, dan mereka memiliki kualitas yang membuat mereka sulit ditegur. Mereka tidak sabar dan tidak menerima instruksi dengan hormat. Yang Mulia,61 bagi seseorang yang tidak berkeyakinan sehubungan dengan kondisi-kondisi bermanfaat, tidak memiliki rasa malu, tidak takut melakukan perbuatan salah, tidak bersemangat, dan tidak bijaksana, apakah siang atau malam hanya kemunduran yang diharapkan sehubungan dengan kondisi-kondisi bermanfaat, bukan kemajuan. Bagaikan, selama dwimingguan gelap, apakah siang atau malam bulan memudar dalam warna, lingkaran, dan kecerahannya, dalam diameter dan kelilingnya, demikian pula, Yang Mulia, bagi seseorang yang tidak berkeyakinan sehubungan dengan kondisi-kondisi bermanfaat, tidak memiliki rasa malu, tidak takut melakukan pelanggaran, tidak bersemangat, dan tidak bijaksana, apakah siang atau malam hanya kemunduran yang diharapkan sehubungan dengan kondisi-kondisi bermanfaat, bukan kemajuan.

“Seseorang yang tidak berkeyakinan, Yang Mulia: ini adalah kasus kemunduran. Seseorang yang tidak memiliki rasa malu … yang tidak takut melakukan perbuatan salah … yang malas … yang tidak bijaksana … marah … dengki: ini adalah kasus kemunduran. Ketika tidak ada para bhikkhu yang menasihati: ini adalah kasus kemunduran.

“Yang Mulia, bagi seseorang yang berkeyakinan sehubungan dengan kondisi-kondisi bermanfaat, memiliki rasa malu, takut melakukan perbuatan salah, bersemangat, dan bijaksana, apakah siang atau malam hanya kemajuan yang diharapkan sehubungan dengan kondisi-kondisi bermanfaat, bukan kemunduran. Bagaikan, selama dwimingguan terang, apakah siang atau malam bulan berkembang dalam warna, lingkaran, [207] dan kecerahannya, dalam diameter dan kelilingnya, demikian pula, Yang Mulia, bagi seseorang yang berkeyakinan sehubungan dengan kondisi-kondisi bermanfaat, memiliki rasa malu, takut melakukan perbuatan salah, bersemangat, dan bijaksana, apakah siang atau malam hanya kemajuan yang diharapkan sehubungan dengan kondisi-kondisi bermanfaat, bukan kemunduran.

“Seseorang yang berkeyakinan, Yang Mulia: ini adalah kasus ketidak-munduran. Seseorang yang memiliki rasa malu … yang takut melakukan perbuatan salah … yang bersemangat … yang bijaksana … tanpa kemarahan … tanpa kedengkian: ini adalah kasus ketidak-munduran. Ketika ada para bhikkhu yang menasihati: ini adalah kasus ketidak-munduran.”

“Bagus, bagus, Kassapa!”

(Kemudian Sang Buddha mengulangi keseluruhan pernyataan Yang Mulia Mahākassapa.) [208]

8 Nasihat (3)

Di Rājagaha di Hutan Bambu. Yang Mulia Mahākassapa mendekati Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya: ‘Nasihatilah para bhikkhu, Kassapa, berikan mereka sebuah khotbah Dhamma. Apakah Aku yang harus menasihati para bhikkhu, Kassapa, atau engkau. Apakah Aku yang harus memberikan sebuah khotbah Dhamma atau engkau.”

“Yang Mulia, para bhikkhu saat ini sulit ditegur, dan mereka memiliki kualitas yang membuat mereka sulit ditegur. Mereka tidak sabar dan tidak menerima instruksi dengan hormat.”

“Demikianlah, Kassapa, di masa lampau para bhikkhu senior adalah penghuni hutan dan memuji perbuatan menetap di hutan; mereka adalah pemakan makanan persembahan dan memuji perbuatan memakan makanan persembahan; mereka adalah pemakai jubah potongan-kain dan memuji perbuatan mengenakan jubah potongan-kain; mereka adalah pemakai jubah tiga potong dan memuji pemakaian jubah tiga potong; mereka memiliki sedikit keinginan dan memuji sedikitnya keinginan; mereka puas dan memuji kepuasan; jauh dari pergaulan dan memuji perbuatan menjauhi pergaulan; mereka bersemangat dan memuji perbuatan membangkitkan semangat.

“Kemudian, ketika seorang bhikkhu adalah penghuni hutan dan memuji perbuatan menetap di hutan … [209] … ketika ia bersemangat dan memuji perbuatan membangkitkan semangat, para bhikkhu senior akan mengundangnya untuk duduk dan berkata: ‘Marilah, bhikkhu. Siapakah nama bhikkhu ini? Ini adalah bhikkhu yang baik. Bhikkhu ini tekun dalam latihan. Marilah, bhikkhu, ini tempat duduk, silahkan duduk.’ Kemudian para bhikkhu yang baru ditahbiskan akan berpikir: ‘Sepertinya bahwa ketika seorang bhikkhu adalah penghuni hutan dan memuji perbuatan menetap di hutan … ketika ia bersemangat dan memuji perbuatan membangkitkan semangat, para bhikkhu senior akan mengundangnya untuk duduk …’ Mereka akan mempraktikkan sesuai dengan itu, dan itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan mereka untuk waktu yang lama.

“Tetapi sekarang, Kassapa, para bhikkhu senior tidak lagi menetap di hutan dan tidak memuji perbuatan menetap di hutan … [210] … mereka tidak lagi bersemangat dan tidak memuji perbuatan membangkitkan semangat. Sekarang adalah bhikkhu yang terkenal dan termasyhur, seorang yang memperoleh jubah, dana makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan, yang diundang untuk duduk oleh para bhikkhu senior, dengan mengatakan: ‘Marilah, bhikkhu. Siapakah nama bhikkhu ini? Ini adalah bhikkhu yang baik. Bhikkhu ini tekun dalam membina hubungan dengan saudara-saudaranya dalam kehidupan suci. Marilah, bhikkhu, ini tempat duduk, silahkan duduk.’ Kemudian para bhikkhu yang baru ditahbiskan akan berpikir: ‘Sepertinya bahwa ketika seorang bhikkhu menjadi terkenal dan termasyhur, seorang yang memperoleh jubah, dana makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan, maka para bhikkhu senior akan mengundangnya untuk duduk …’ Mereka akan mempraktikkan sesuai dengan itu, dan itu akan menuntun menuju bahaya dan penderitaan mereka untuk waktu yang lama.

“Jika, Kassapa, seseorang yang berkata benar mengatakan: ‘Mereka yang menjalani kehidupan suci telah dirusak oleh pengrusakan dari mereka yang menjalani kehidupan suci, mereka yang menjalani hidup suci telah ditaklukkan oleh penaklukan dari mereka yang menjalani kehidupan suci;62 demikianlah seorang yang berkata benar mengatakan hal ini.”

9 Jhāna dan Pengetahuan Langsung

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, sejauh apa pun Aku menginginkan, dengan terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan pemikiran dan pemeriksaan, dengan sukacita dan kebahagiaan yang timbul dari keterasingan. [211] Kassapa juga, sejauh apa pun ia menginginkan, dengan terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, masuk dan berdiam dalam jhāna pertama.

“Para bhikkhu, sejauh apa pun Aku menginginkan, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan internal dan keterpusatan pikiran, tanpa pemikiran dan pemeriksaan, dan memiliki sukacita dan kebahagiaan yang timbul dari konsentrasi. Kassapa juga, sejauh apa pun ia menginginkan, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua.

“Para bhikkhu, sejauh apa pun Aku menginginkan, dengan meluruhnya sukacita, Aku berdiam dalam keseimbangan, dengan penuh perhatian dan pemahaman murni, Aku mengalami kebahagiaan jasmani; Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga yang dinyatakan oleh para mulia: ‘Ia seimbang, penuh perhatian, seorang yang berdiam dengan penuh kebahagiaan.’ Kassapa juga, sejauh apa pun ia menginginkan, masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga.

“Para bhikkhu, sejauh apa pun Aku menginginkan, dengan melepaskan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan lenyapnya kegembiraan dan ketidak-senangan sebelumnya, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang tidak menyakitkan juga tidak menyenangkan dan termasuk pemurnian perhatian melalui keseimbangan. Kassapa juga, sejauh apa pun ia menginginkan, masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat.

“Para bhikkhu, sejauh apa pun Aku menginginkan, dengan melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa perhatian pada persepsi yang beraneka-ragam, menyadari bahwa ruang adalah tanpa batas, Aku masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Kassapa juga, sejauh apa pun ia menginginkan, masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas.

“Para bhikkhu, sejauh apa pun Aku menginginkan, dengan melampaui landasan ruang tanpa batas, menyadari bahwa kesadaran adalah tanpa batas, Aku masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas. [212] Kassapa juga, sejauh apa pun ia menginginkan, masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas.

“Para bhikkhu, sejauh apa pun Aku menginginkan, dengan melampaui landasan kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa,’ Aku masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Kassapa juga, sejauh apa pun ia menginginkan, masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan.

“Para bhikkhu, sejauh apa pun Aku menginginkan, dengan melampaui landasan kekosongan, Aku masuk dan berdiam dalam landasan bukan-persepsi juga bukan bukan-persepsi. Kassapa juga, sejauh apa pun ia menginginkan, masuk dan berdiam dalam landasan bukan-persepsi juga bukan bukan-persepsi.

“Para bhikkhu, sejauh apa pun Aku menginginkan, dengan melampaui landasan bukan-persepsi juga bukan bukan-persepsi, Aku masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan. Kassapa juga, sejauh apa pun ia menginginkan, masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan.

“Para bhikkhu, sejauh apa pun Aku menginginkan, Aku mengerahkan berbagai kekuatan spiritual: dari satu, Aku menjadi banyak; dari banyak, Aku menjadi satu; Aku muncul dan lenyap; Aku berjalan tanpa rintangan menembus tembok, menembus benteng, menembus gunung seolah-olah menembus ruang kosong; Aku masuk dan keluar dari tanah seolah-olah di air; Aku berjalan di atas air tanpa tenggelam seolah-olah di atas tanah; duduk bersila, Aku melayang di angkasa bagaikan burung; dengan tanganKu Aku menyentuh dan menepuk bulan dan matahari begitu kuat dan perkasa; Aku mengerahkan kemahiran dengan tubuh hingga sejauh alam brahmā. Kassapa juga, sejauh apa pun ia menginginkan, mengerahkan berbagai jenis kekuatan spiritual.

“Para bhikkhu, sejauh apa pun Aku menginginkan, dengan unsur telinga dewa yang murni dan melampaui manusia, Aku mendengarkan kedua jenis suara, alam surga dan alam manusia, suara yang jauh maupun yang dekat. Kassapa juga, sejauh apa pun ia menginginkan, unsur telinga dewa, yang murni dan melampaui manusia, mendengarkan kedua jenis suara. [213]

“Para bhikkhu, sejauh apa pun Aku menginginkan, Aku memahami pikiran makhluk-makhluk dan orang-orang lain, setelah melingkupinya dengan pikiranKu sendiri. Aku memahami pikiran dengan nafsu sebagai pikiran dengan nafsu; pikiran tanpa nafsu sebagai pikiran tanpa nafsu; pikiran dengan kebencian sebagai pikiran dengan kebencian; pikiran tanpa kebencian sebagai pikiran tanpa kebencian; pikiran dengan delusi sebagai pikiran dengan delusi; pikiran tanpa delusi sebagai pikiran tanpa delusi; pikiran mengerut sebagai pikiran mengerut dan pikiran kacau sebagai pikiran kacau; pikiran luhur sebagai pikiran luhur dan pikiran tidak luhur sebagai pikiran tidak luhur; pikiran terlampaui sebagai pikiran terlampaui dan pikiran tidak terlampaui sebagai pikiran tidak terlampaui; pikiran terkonsentrasi sebagai pikiran terkonsentrasi dan pikiran tidak terkonsentrasi sebagai pikiran tidak terkonsentrasi; pikiran terbebaskan sebagai pikiran terbebaskan dan pikiran tidak terbebaskan sebagai pikiran tidak terbebaskan. Kassapa juga, sejauh apa pun ia menginginkan, memahami pikiran makhluk-makhluk dan orang-orang lain, setelah melingkupinya dengan pikirannya sendiri.

“Para bhikkhu, sejauh apa pun Aku menginginkan, Aku mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, banyak kappa penyusutan-dunia, banyak kappa pengembangan-dunia, banyak kappa penyusutan dan pengembangan dunia sebagai berikut: ‘Di sana Aku bernama ini, berasal dari suku ini, berpenampilan seperti ini, makananKu seperti ini, Aku mengalami kesenangan dan kesakitan seperti ini, umur kehidupanKu adalah selama ini; meninggal dunia dari sana, Aku terlahir kembali di tempat lain, dan di sana Aku bernama ini, berasal dari suku ini, berpenampilan seperti ini, makananKu seperti ini, Aku mengalami kesenangan dan kesakitan seperti ini, umur kehidupanKu adalah selama ini; meninggal dunia dari sana, Aku terlahir kembali di sini.’ Demikianlah Aku mengingat banyak kehidupan lampau dengan berbagai cara dan rinciannya. Kassapa juga, sejauh apa pun ia menginginkan, mengingat banyak kehidupan lampau dengan berbagai cara dan rinciannya.

Para bhikkhu, sejauh apa pun Aku menginginkan, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, Aku melihat makhluk-makhluk [214] meninggal dunia dan terlahir kembali, hina dan mulia, berpenampilan baik dan berpenampilan buruk, kaya dan miskin, dan Aku mengetahui bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai dengan kamma mereka, sebagai berikut: ‘Makhluk-makhluk ini yang melakukan perbuatan jahat melalui jasmani, ucapan dan pikiran, yang mencela para mulia, menganut pandangan salah dan melakukan tindakan berdasarkan atas pandangan salah, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, telah terlahir kembali di alam sengsara, alam yang buruk, alam rendah, di neraka; tetapi makhluk-makhluk ini yang melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan dan pikiran, yang tidak mencela para mulia, menganut pandangan benar dan melakukan tindakan berdasarkan atas pandangan benar, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, telah terlahir kembali di alam yang baik, alam surga.’ Demikianlah dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, melihat kematian dan kelahiran makhluk-makhluk, hina dan mulia, berpenampilan baik dan berpenampilan buruk, kaya dan miskin, dan Aku mengetahui bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai dengan kamma mereka. Kassapa juga, sejauh apa pun ia menginginkan, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali, hina dan mulia, berpenampilan baik dan berpenampilan buruk, kaya dan miskin, dan ia mengetahui bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai dengan kamma mereka.

“Para bhikkhu, dengan hancurnya noda-noda, dalam kehidupan ini Aku masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dengan merealisasikannya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung.63 Kassapa juga, dengan hancurnya noda-noda, dalam kehidupan ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dengan merealisasikannya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung.”

10 Tempat Tinggal Bhikkhunī

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Yang Mulia Mahākassapa sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada suatu pagi, Yang Mulia Ānanda merapikan jubah dan, [215] membawa mangkuk dan jubah, ia mendekati Yang Mulia Mahākassapa dan berkata: “Marilah, Yang Mulia Kassapa, kita pergi ke tempat tinggal para bhikkhunī.”64

“Engkau pergilah, sahabat Ānanda, engkau adalah orang sibuk dengan banyak tugas.”65

Untuk ke dua kalinya Yang Mulia Ānanda berkata kepada Yang Mulia Mahākassapa: “Marilah, Yang Mulia Kassapa, kita pergi ke tempat tinggal para bhikkhunī.”

“Engkau pergilah, sahabat Ānanda, engkau adalah orang sibuk dengan banyak tugas.”

Untuk ke tiga kalinya Yang Mulia Ānanda berkata kepada Yang Mulia Mahākassapa: “Marilah, Yang Mulia Kassapa, kita pergi ke tempat tinggal para bhikkhunī.”

Maka, pada pagi hari itu, Yang Mulia Mahākassapa merapikan jubah dan, membawa mangkuk dan jubahnya, pergi ke kediaman para bhikkhunī bersama dengan Yang Mulia Ānanda. Ketika ia tiba ia duduk di tempat yang telah disediakan. Kemudian sejumlah bhikkhunī mendekati Yang Mulia Mahākassapa, memberi hormat kepadanya, dan duduk di satu sisi. Ketika mereka duduk di sana, Yang Mulia Mahākassapa memberikan instruksi, menasihati, menginspirasi, dan menggembirakan para bhikkhunī itu dengan khotbah Dhamma, setelah itu ia bangkit dari duduknya dan pergi.

Kemudian Bhikkhunī Thullatissā, karena tidak senang, mengungkapkan ketidak-senangannya sebagai berikut: “Bagaimana mungkin Guru Mahākassapa berpikir untuk membabarkan Dhamma di depan Guru Ānanda, sang bijaksana dari Videhi?66 – ini bagaikan seorang penjual-jarum [216] yang berpikir untuk dapat menjual jarum kepada seorang pembuat-jarum!”

Pernyataan Bhikkhunī Thullatissā ini terdengar oleh Yang Mulia Mahākassapa dan ia berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Bagaimana ini, Sahabat Ānanda, apakah aku si penjual-jarum dan engkau si pembuat-jarum, atau aku adalah pembuat-jarum dan engkau adalah penjual-jarum?”

“Sabarlah, Yang Mulia Kassapa, perempuan memang dungu.”67

“Tunggu dulu, Sahabat Ānanda! Jangan memberi kesempatan pada Saṅgha untuk memeriksamu lebih jauh.68 Bagaimana menurutmu, Sahabat Ānanda, apakah engkau yang oleh Sang Bhagavā ditampilkan di depan para Bhikkhu Saṅgha, dengan mengatakan: ‘Para bhikkhu, sejauh apa pun Aku menginginkan, dengan terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan pemikiran dan pemeriksaan, dengan sukacita dan kebahagiaan yang timbul dari keterasingan. Ānanda juga, sejauh apa pun ia menginginkan, dengan terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, masuk dan berdiam dalam jhāna pertama.’?”

“Bukan, Yang Mulia.”

“Akulah orangnya, sahabat, yang oleh Sang Bhagavā ditampilkan di depan para Bhikkhu Saṅgha, dengan mengatakan: ‘Para bhikkhu, sejauh apa pun Aku menginginkan … Aku masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Kassapa juga, sejauh apa pun ia menginginkan, dengan terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, masuk dan berdiam dalam jhāna pertama.’

(Tanya-jawab yang sama diulangi untuk pencapaian meditatif lainnya dan enam pengetahuan langsung, seperti dalam sutta sebelumnya.) [217]

“Akulah orangnya, sahabat, yang oleh Sang Bhagavā ditampilkan di depan para Bhikkhu Saṅgha, dengan mengatakan: ‘Para bhikkhu, dengan hancurnya noda-noda, dalam kehidupan ini Aku masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dengan merealisasikannya untuk diriKu sendiri dengan pengetahuan langsung. Kassapa juga, dengan hancurnya noda-noda, dalam kehidupan ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dengan merealisasikannya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung.’

“Sahabat, seseorang mungkin saja berpikir bahwa enam pengetahuan langsung yang kumiliki dapat disembunyikan sebagaimana usaha untuk menyembunyikan seekor gajah setinggi tujuh atau tujuh setengah cubit dengan sehelai daun palem.”69

Tetapi Bhikkhunī Thullatissā jatuh dari kehidupan suci.70

11 Jubah

Pada suatu ketika Yang Mulia Mahākassapa sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Pada saat itu Yang Mulia Ānanda sedang melakukan perjalanan ini Dakkhiṇāgiri bersama dengan sejumlah besar Saṅgha para bhikkhu.71 Pada saat itu tiga puluh bhikkhu – murid Yang Mulia Ānanda – sebagian besar dari mereka adalah para pemuda, telah meninggalkan latihan dan kembali ke kehidupan yang lebih rendah. [218]

Setelah Yang Mulia Ānanda mengembara di Dakkhiṇāgiri selama yang ia inginkan, ia kembali ke Rājagaha, di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Ia mendekati Yang Mulia Mahākassapa, memberi hormat kepadanya, dan duduk di satu sisi, dan Yang Mulia Mahākassapa berkata kepadanya: “Sahabat Ānanda, untuk berapa alasankah Sang Bhagavā menetapkan aturan bahwa para bhikkhu tidak boleh makan di antara para keluarga dalam kelompok yang lebih dari tiga orang?”72

“Sang Bhagavā menetapkan aturan ini untuk tiga alasan, Yang Mulia Kassapa: untuk mengekang orang-orang yang berperilaku buruk dan demi kenyamanan bhikkhu-bhikkhu berperilaku baik, [dengan niat,] ‘Semoga mereka yang berkeinginan buruk, dengan membentuk kelompok, tidak melakukan perbuatan memecah-belah Saṅgha!’; dan karena bersimpati terhadap para keluarga.73 Untuk tiga alasan inilah, Yang Mulia Kassapa, Sang Bhagavā menetapkan aturan ini.”

“Kalau begitu mengapa, Sahabat Ānanda, engkau mengembara bersama para bhikkhu muda ini yang tidak terkendali indria-nya, yang makan berlebihan, dan tidak menekuni keawasan? Seseorang akan menganggap engkau berjalan menginjak-injak tanaman; seseorang akan menganggap engkau mengembara menghancurkan para keluarga. Pengikutmu terpecah, Sahabat Ānanda, para pengikut mudamu bercerai-berai. Tetapi anak muda ini masih tidak mengetahui kapasitasnya!”

“Rambut putih telah tumbuh di kepalaku, Yang Mulia Kassapa. Dapatkan kami terbebaskan dari sebutan anak-muda oleh Yang Mulia Mahākassapa?”74 [219]

“Sahabat Ānanda, adalah karena engkau mengembara bersama para bhikkhu muda ini, yang tidak terkendali indria-nya … Tetapi anak muda ini masih tidak mengetahui kapasitasnya!”

Bhikkhunī Thullananda mendengarkan hal ini:75 “Guru Mahākassapa menegur Guru Ānanda, sang bijaksana dari Videhi, dengan menyebutnya anak-muda.” Kemudian, karena tidak senang akan hal ini, ia mengungkapkan ketidak-senangannya sebagai berikut: “Bagaimana mungkin, Guru Mahakassapa, yang sebelumnya adalah pengikut sekte lain,76 berpikir untuk menegur Guru Ānanda, sang bijaksana dari Videhi, dengan menyebutnya anak-muda?”

Yang Mulia Mahākassapa mendengar Bhikkhunī Thullanandā mengungkapkan pernyataan ini dan berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Sahabat Ānanda, Bhikkhunī Thullanandā pasti membuat pernyataan ini secara kasar, tanpa pertimbangan. Karena sejak aku mencukur rambut dan janggut, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, aku tidak ingat pernah mengakui guru mana pun selain Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna.

“Di masa lalu, sahabat, ketika aku masih menjadi seorang perumah tangga, aku berpikir: ‘Kehidupan rumah tangga adalah penjara, jalan berdebu, meninggalkan keduniawian adalah bagaikan ruang terbuka. Tidaklah mudah bagi seseorang yang tinggal dalam rumah untuk menjalani kehidupan suci yang sempurna, benar-benar sempurna, bagaikan kulit kerang yang digosok. Biarlah aku mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah.’ Beberapa waktu kemudian [220] aku memiliki sebuah jubah luar dari kain potongan-kain;77 kemudian, meniru mereka para Arahant di dunia ini [sebagai teladan], aku mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan pergi dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah.

“Ketika aku pergi meninggalkan kehidupan tanpa rumah, aku sedang berjalan di sepanjang jalan ketika aku melihat Sang Bhagavā sedang duduk di Altar Bahuputta antara Rājagaha dan Nālandā.78 Setelah melihat Beliau, aku berpikir: ‘Jika aku akan bertemu Guru, maka hanya Sang Bhagavā sendirilah yang akan kutemui. Jika aku akan bertemu Yang Sempurna, maka hanya Sang Bhagavā sendirilah yang akan kutemui. Jika aku akan bertemu Yang Tercerahkan Sempurna, maka hanya Sang Bhagavā sendirilah yang akan kutemui.’ Kemudian aku bersujud di sana di kaki Sang Bhagavā dan berkata kepadaNya: ‘Yang Mulia, Sang Bhagavā adalah Guruku, aku adalah siswaNya, Yang Mulia, Sang Bhagavā adalah Guruku, aku adalah siswaNya.’79

“Ketika aku mengatakan hal ini, Sang Bhagavā berkata kepadaku: ‘Kassapa, jika seseorang yang tidak mengetahui dan tidak melihat harus mengatakan kepada seorang siswa yang begitu berpikiran teguh sepertimu: “Aku mengetahui, aku melihat,” maka kepalanya akan pecah. Tetapi dengan mengetahui, Aku katakan, “Aku mengetahui”; dengan melihat, Aku katakan, “Aku melihat.”80

“‘Oleh karena itu, Kassapa, engkau harus berlatih sebagai berikut: “Aku akan membangkitkan rasa malu dan takut melakukan perbuatan salah terhadap para senior, terhadap yang baru ditahbiskan, dan terhadap yang berstatus menengah.” Demikianlah engkau harus berlatih.

“‘Oleh karena itu, Kassapa, engkau harus berlatih sebagai berikut: “Kapanpun aku mendengarkan Dhamma yang berhubungan dengan hal-hal bermanfaat, aku akan mendengarkan dengan sungguh-sungguh, memperhatikannya sebagai hal yang penting, mengarahkan segala pikiran padanya.”81 Demikianlah engkau harus berlatih.

“‘Oleh karena itu, Kassapa, engkau harus berlatih sebagai berikut: “Aku tidak akan pernah melepaskan perhatian yang diarahkan pada tubuh yang berhubungan dengan kegembiraan.” Demikianlah engkau harus berlatih.’82

“Kemudian, setelah memberikan nasihat ini, Sang Bhagavā bangkit dari dudukNya, dan pergi. [221] Selama tujuh hari, sahabat, aku memakan makanan persembahan penduduk sebagai penghutang, tetapi pada hari ke delapan pengetahuan tertinggi muncul.83

“Kemudian, sahabat, Sang Bhagavā turun dari jalan dan pergi ke bawah sebatang pohon.84 Aku melipat empat jubah luarku yang bertambalan dan berkata kepada Beliau: ‘Yang Mulia, sudilah Bhagavā duduk di sini. Hal ini akan membawa kesejahteraan dan kebahagiaanku untukku dalam waktu yang lama.’ Sang Bhagavā duduk di tempat yang telah disediakan dan berkata kepadaku: ‘Jubah luarmu yang bertambalan ini halus, Kassapa.’ – ‘Yang Mulia, sudilah Bhagavā menerima jubah luarku yang bertambalan, demi belas kasihMu.’ – ‘Dan maukah engkau mengenakan jubahKu yang terbuat dari potongan-kain rami dan telah usang ini? – ‘Aku mau, Yang Mulia.’ Demikianlah aku mempersembahkan jubah luarku yang bertambalan kepada Sang Bhagavā dan menerima dariNya jubah potongan-kain rami usang.85

“Jika, sahabat, seorang yang berkata benar dapat mengatakan mengenai siapa pun: ‘Ia adalah putra Sang Bhagavā, lahir dari dadaNya, lahir dari mulutNya, lahir dari Dhamma, diciptakan oleh Dhamma, pewaris Dhamma, penerima jubah rami usang,’ akulah orang yang dimaksudkan oleh seorang yang berkata benar itu.86

“Sahabat, sejauh apa pun aku menginginkan, dengan terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, aku masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan pemikiran dan pemeriksaan, [222] dengan sukacita dan kebahagiaan yang timbul dari keterasingan … (seperti pada §9, hingga: )

“Sahabat, dengan hancurnya noda-noda, dalam kehidupan ini aku masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dengan merealisasikannya untuk diriku dengan pengetahuan langsung.

“Sahabat, seseorang mungkin saja berpikir bahwa enam pengetahuan langsung yang kumiliki dapat disembunyikan sebagaimana usaha untuk menyembunyikan seekor gajah setinggi tujuh atau tujuh setengah cubit dengan sehelai daun palem.”87

Tetapi Bhikkhunī Thullanandā jatuh dari kehidupan suci.

12 Setelah Kematian

Pada suatu ketika Yang Mulia Mahākassapa dan Yang Mulia Sāriputta sedang berdiam di Bārāṇasī di Taman Rusa di Isipatana. Pada suatu malam, Yang Mulia Sāriputta keluar dari keheningan dan mendekati Yang Mulia Mahākassapa. Ia saling bertukar sapa dengan Yang Mulia Mahākassapa dan, setelah mereka mengakhiri ramah-tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata kepadanya:

“Bagaimanakah, Sahabat Kassapa, apakah Tathāgata ada setelah kematian?”88

“Sang Bhagavā, sahabat, tidak menyatakan ini: ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian.’”

“Kalau begitu, bagaimanakah, Sahabat Kassapa, apakah Tathāgata tidak ada setelah kematian?”

“Sang Bhagavā, sahabat, tidak menyatakan ini: ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian.’” [223]

“Kalau begitu, bagaimanakah, Sahabat Kassapa, apakah Tathāgata ada dan juga tidak ada setelah kematian?”

“Sang Bhagavā, sahabat, tidak menyatakan ini: ‘Sang Tathāgata ada dan juga tidak ada setelah kematian.’”

“Kalau begitu, bagaimanakah, Sahabat Kassapa, apakah Tathāgata bukan ada dan juga bukan tidak-ada setelah kematian?”

“Sang Bhagavā, sahabat, tidak menyatakan ini: ‘Sang Tathāgata bukan ada dan juga bukan tidak-ada setelah kematian.’”

“Mengapakah Sang Bhagavā tidak menyatakan ini, sahabat?”

“Karena tidak bermanfaat, tidak ada hubungannya dengan dasar-dasar kehidupan suci, dan tidak menuntun menuju kejijikan, menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Oleh karena itu Sang Bhagavā tidak menyatakan ini.”

“Dan apakah, sahabat, yang telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā?”

“Sang Bhagavā, Sahabat, telah menyatakan: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’”

“Dan mengapakah, sahabat, Sang Bhagavā menyatakan ini?”

“Karena, sahabat, ini bermanfaat, berhubungan dengan dasar-dasar kehidupan suci, dan menuntun menuju kejijikan, menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Oleh karena itu Sang Bhagavā menyatakan ini.”

13 Tiruan Dhamma Sejati

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berada di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian Yang Mulia Mahākassapa mendekati Sang Bhagavā, memberi hormat kepadanya, duduk di satu sisi dan berkata kepadanya: [224]

“Yang Mulia, apakah alasan, apakah penyebab, mengapa sebelumnya terdapat sedikit aturan latihan tetapi banyak bhikkhu mencapai pengetahuan tertinggi, sedangkan sekarang ada lebih banyak aturan latihan namun lebih sedikit bhikkhu yang mencapai pengetahuan tertinggi?”89

“Memang demikian, Kassapa. Ketika makhluk-makhluk merosot dan Dhamma sejati mulai memudar maka terdapat lebih banyak aturan latihan tetapi lebih sedikit bhikkhu yang mencapai pengetahuan tertinggi. Kassapa, Dhamma sejati tidak akan lenyap selama tiruan dari Dhamma sejati tidak muncul. Tetapi ketika tiruan Dhamma sejati muncul di dunia ini, maka Dhamma sejati lenyap.90

“Bagaikan, Kassapa, emas tidak akan lenyap selama tiruan emas tidak muncul di dunia ini, tetapi ketika tiruan emas muncul maka emas sejati lenyap, demikian pula, Dhamma sejati tidak akan lenyap selama tiruan dari Dhamma sejati tidak muncul. Tetapi ketika tiruan Dhamma sejati muncul di dunia ini, maka Dhamma sejati lenyap.

“Bukan karena unsur tanah, Kassapa, yang menyebabkan Dhamma sejati lenyap, juga bukan unsur air, juga bukan unsur panas, juga bukan unsur angin. Adalah orang-orang tidak tahu diri ini yang muncul di sini yang menyebabkan Dhamma sejati lenyap.

“Dhamma sejati tidak lenyap seketika bagaikan kapal tenggelam.91 Terdapat, Kassapa lima faktor perusak92 yang mengarah pada rusaknya dan lenyapnya Dhamma sejati. Apakah lima itu? Di sini para bhikkhu, para bhikkhunī, umat awam laki-laki, umat awam perempuan berdiam tanpa penghormatan dan kesopanan terhadap Sang Guru; mereka berdiam tanpa penghormatan dan kesopanan terhadap Dhamma; mereka berdiam tanpa penghormatan dan kesopanan terhadap Saṅgha; [225] mereka berdiam tanpa penghormatan dan kesopanan terhadap latihan; mereka berdiam tanpa penghormatan dan kesopanan terhadap konsentrasi.93 Ini, Kassapa, adalah lima faktor perusak yang mengarah pada rusaknya dan lenyapnya Dhamma sejati.

“Ada lima faktor, Kassapa, yang mengarah pada kelangsungan Dhamma sejati, pada ketidak-rusakannya dan ketidak-lenyapannya. Apakah lima ini? Di sini para bhikkhu, para bhikkhunī, umat awam laki-laki, umat awam perempuan berdiam dengan penuh penghormatan dan kesopanan terhadap Sang Guru; mereka berdiam dengan penuh penghormatan dan kesopanan terhadap Dhamma; mereka berdiam dengan penuh penghormatan dan kesopanan terhadap Saṅgha; mereka berdiam dengan penuh penghormatan dan kesopanan terhadap latihan; mereka berdiam dengan penuh penghormatan dan kesopanan terhadap konsentrasi. Ini, Kassapa, adalah lima faktor yang mengarah pada kelangsungan Dhamma sejati, pada ketidak-rusakannya dan ketidak-lenyapannya.”

Lābhasakkārasaṃyutta

Khotbah Berhubungan tentang Perolehan dan Kehormatan

I. SUB BAB PERTAMA

(Menakutkan)

1 (1) Menakutkan

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!” [226]

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, sungguh menakutkan perolehan, kehormatan, dan pujian itu, pahit, busuk, menghalangi untuk mencapai keamanan tertinggi dari belenggu.94 Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan meninggalkan perolehan, kehormatan, dan pujian yang telah muncul dan kami tidak akan membiarkan perolehan, kehormatan, dan pujian yang telah muncul itu bertahan menguasai pikiran kami.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”

2 (2) Mata Kail

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, sungguh menakutkan perolehan, kehormatan, dan pujian itu, pahit, busuk, menghalangi untuk mencapai keamanan tertinggi dari belenggu. Misalnya seorang nelayan melemparkan mata kail berumpan ke dalam danau yang dalam, dan seekor ikan yang sedang mencari makanan menelannya. Ikan itu, setelah menelan mata kail si nelayan, akan menemui kemalangan dan bencana, dan si nelayan dapat melakukan apa pun yang ia inginkan atas ikan itu.

“‘Nelayan’, para bhikkhu: ini adalah sebutan untuk Māra Si Jahat. ‘Mata kail dengan umpan’: ini adalah sebutan bagi perolehan, kehormatan, dan pujian. Bhikkhu mana pun yang menyukai dan menikmati perolehan, kehormatan, dan pujian yang telah muncul disebut bhikkhu yang telah menelan mata kail berumpan, yang telah menemui kemalangan dan bencana, dan Si Jahat dapat melakukan apa pun yang ia inginkan atasnya. Sungguh menakutkan, para bhikkhu, perolehan, kehormatan, dan pujian itu, pahit, busuk, menghalangi untuk mencapai keamanan tertinggi dari belenggu. Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan meninggalkan perolehan, kehormatan, dan pujian yang telah muncul dan kami tidak akan membiarkan perolehan, kehormatan, dan pujian yang telah muncul itu bertahan menguasai pikiran kami.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”

3 (3) Kura-kura

Di Sāvatthī. [227] “Para bhikkhu, sungguh menakutkan perolehan, kehormatan, dan pujian itu … Suatu ketika di masa lampau terdapat sebuah keluarga besar kura-kura yang telah lama menetap di suatu danau tertentu.95 Kemudian salah satu kura-kura berkata kepada kura-kura lainnya: ‘Wahai saudaraku, jangan pergi ke wilayah itu.’ Tetapi kura-kura itu pergi ke wilayah itu, dan seorang pemburu menembaknya dengan seruit bertali.96 Kemudian kura-kura itu mendekati kura-kura pertama. Ketika kura-kura pertama melihatnya datang dari jauh, ia berkata kepadanya: ‘Aku harap, saudaraku engkau tidak pergi ke wilayah itu.’ – ‘Aku memang pergi ke wilayah itu, saudaraku.’ – ‘Aku harap engkau tidak ditembak atau diserang, saudaraku.’ – ‘Aku tidak ditembak atau diserang; tetapi tali ini terus-menerus mengikutiku.’ – ‘Sebenarnya, engkau telah ditembak, saudaraku, sebenarnya engkau telah diserang! Ayah dan kakekmu juga menemui kemalangan dan bencana sehubungan dengan tali itu. Pergilah sekarang, saudaraku, engkau bukan lagi salah satu dari kami.’

“‘Pemburu’, para bhikkhu: ini adalah sebutan untuk Māra Si Jahat. ‘Seruit bertali’: ini adalah sebutan untuk perolehan, kehormatan, dan pujian. ‘Tali’: ini adalah sebutan untuk kesenangan dan nafsu. Bhikkhu mana pun yang menyukai dan menikmati perolehan, kehormatan, dan pujian yang telah muncul disebut sebagai bhikkhu yang telah diserang dengan seruit bertali,97 yang telah bertemu dengan kemalangan dan bencana, dan Si Jahat dapat melakukan apa pun yang ia inginkan terhadapnya. Sungguh menakutkan, para bhikkhu, perolehan, kehormatan, dan pujian itu … [228] Demikianlah kalian harus berlatih.”

4 (4) Kambing Berbulu Tebal

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, sungguh menakutkan perolehan, kehormatan, dan pujian itu … Misalnya seekor kambing betina berbulu tebal memasuki sepetak tanah berduri. Ia akan terjerat di sana-sini, terperangkap di sana-sini, terikat di sana sini, dan di sana-sini ia akan menemui kemalangan dan bencana. Demikian pula, para bhikkhu, seorang bhikkhu yang pikirannya digoda dan dikuasai oleh perolehan, kehormatan, dan pujian merapikan jubah di pagi hari dan, dengan membawa mangkuk dan jubahnya, memasuki desa atau kota untuk menerima dana makanan. Ia terjerat di sana-sini, terperangkap di sana-sini, terikat di sana sini, dan di sana-sini ia akan menemui kemalangan dan bencana. Sungguh menakutkan, para bhikkhu, perolehan, kehormatan, dan pujian itu … Demikianlah kalian harus berlatih.”

5 (5) Kumbang Kotoran

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, sungguh menakutkan perolehan, kehormatan, dan pujian itu … Misalnya ada seekor kumbang kotoran, pemakan-kotoran, berisi kotoran, penuh dengan kotoran, dan di depannya terdapat tumpukan besar kotoran. Karena hal ini ia akan memandang rendah kumbang-kumbang lain, dengan pikiran: ‘Aku adalah pemakan-kotoran, berisi kotoran, penuh dengan kotoran, dan di depanku terdapat tumpukan besar kotoran.’ [229] Demikian pula, para bhikkhu, seorang bhikkhu di sini yang pikirannya digoda dan dikuasai oleh perolehan, kehormatan, dan pujian merapikan jubah di pagi hari dan, dengan membawa mangkuk dan jubahnya, memasuki desa atau kota untuk menerima dana makanan. Di sana ia akan makan sebanyak yang ia inginkan, ia akan diundang untuk makan keesokan harinya, dan dana makanan yang ia terima cukup banyak. Ketika ia kembali ke vihara, ia membual di depan para bhikkhu: ‘Aku makan sebanyak yang kuinginkan, aku diundang untuk makan keesokan harinya, dan dana makanan yang kuterima cukup banyak. Aku memperoleh jubah, dana makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan, tetapi para bhikkhu ini memiliki sedikit jasa dan pengaruh, dan mereka tidak memperoleh jubah, dana makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan.’ Demikianlah, karena pikirannya digoda dan dikuasai oleh perolehan, kehormatan, dan pujian, ia memandang rendah orang lain, para bhikkhu yang berperilaku baik. Ini akan mengarah pada kemalangan dan penderitaan pada orang tidak tahu diri itu untuk waktu yang lama. Sungguh menakutkan, para bhikkhu, perolehan, kehormatan, dan pujian itu … Demikianlah kalian harus berlatih.”

6 (6) Halilintar

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, sungguh menakutkan perolehan, kehormatan, dan pujian itu … Siapakah yang akan disambar oleh halilintar, para bhikkhu? Seorang pelajar yang memperoleh perolehan, kehormatan, dan pujian selagi ia belum mencapai tujuannya.98

“‘Halilintar,’ para bhikkhu: ini adalah sebutan untuk perolehan, kehormatan, dan pujian. Sungguh menakutkan, para bhikkhu, perolehan, kehormatan, dan pujian itu … Demikianlah kalian harus berlatih.”

7 (7) Anak Panah Beracun

Di Sāvatthī. [230] “Para bhikkhu, sungguh menakutkan perolehan, kehormatan, dan pujian itu … Siapakah yang akan ditembus oleh anak panah yang dilumuri racun, para bhikkhu? Seorang pelajar yang memperoleh perolehan, kehormatan, dan pujian selagi ia belum mencapai tujuannya.99

“‘Anak panah,’ para bhikkhu: ini adalah sebutan untuk perolehan, kehormatan, dan pujian. Sungguh menakutkan, para bhikkhu, perolehan, kehormatan, dan pujian itu … Demikianlah kalian harus berlatih.”

8 (8) Serigala

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, sungguh menakutkan perolehan, kehormatan, dan pujian itu … Apakah kalian mendengar seekor serigala tua melolong ketika malam berlalu?”

“Ya, Yang Mulia.”

“Serigala tua itu menderita penyakit yang disebut kudisan.100 Ia tidak dapat merasa nyaman apakah ia pergi ke gua, atau ke bawah pohon, atau ke ruang terbuka. Ke mana pun ia berjalan, di mana pun ia berdiri, di mana pun ia duduk, di mana pun ia berbaring, di sana ia menemui kemalangan dan bencana. Demikian pula, para bhikkhu, seorang bhikkhu yang pikirannya digoda dan dikuasai oleh perolehan, kehormatan, dan pujian, tidak merasa nyaman apakah ia berjalan ke gubuk kosong, atau ke bawah pohon, atau ke ruang terbuka. Ke mana pun ia berjalan, di mana pun ia berdiri, di mana pun ia duduk, di mana pun ia berbaring, di sana ia menemui kemalangan dan bencana. [231] Sungguh menakutkan, para bhikkhu, perolehan, kehormatan, dan pujian itu … Demikianlah kalian harus berlatih.”

9 (9) Angin Badai

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, sungguh menakutkan perolehan, kehormatan, dan pujian itu … Para bhikkhu, tinggi di angkasa angin yang disebut badai sedang bertiup.101 Jika seekor burung terbang ke sana, angin badai itu akan menghempaskannya, dan ketika ia terhempas oleh angin badai itu, kakinya bergerak ke satu arah, sayapnya ke arah lain, kepalanya ke arah lain lagi, dan badannya ke arah lain lagi. Demikian pula, para bhikkhu, seorang bhikkhu di sini yang pikirannya digoda dan dikuasai oleh perolehan, kehormatan, dan pujian merapikan jubah di pagi hari dan, dengan membawa mangkuk dan jubahnya, memasuki desa atau kota untuk menerima dana makanan dengan jasmani, ucapan, dan pikiran tidak terkendali, tanpa perhatian murni, dengan indria tidak terkendali. Ia melihat perempuan di sana yang berpakaian minim dan nafsu menguasai pikirannya. Dengan pikirannya dikuasai oleh nafsu ia meninggalkan latihan dan kembali ke kehidupan yang lebih rendah. Beberapa orang mengambil jubahnya, orang lain mengambil mangkuknya, orang lain lagi mengambil alas duduknya, orang lain lagi mengambil kotak jarumnya, bagaikan burung yang dihempaskan oleh angin badai. Sungguh menakutkan, para bhikkhu, perolehan, kehormatan, dan pujian itu … Demikianlah kalian harus berlatih.”

10 (10) Dengan Syair

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, sungguh menakutkan perolehan, kehormatan, dan pujian itu … Para bhikkhu, Aku melihat beberapa orang di sini [232] yang pikirannya digoda dan dikuasai oleh kehormatan; dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam sengsara, di alam yang buruk, di alam rendah, di neraka. Kemudian Aku melihat beberapa orang lainnya di sini yang pikirannya digoda dan dikuasai oleh ketidak-hormatan … terlahir kembali di alam sengsara … Kemudian Aku melihat beberapa orang lainnya lagi di sini yang pikirannya digoda dan dikuasai oleh kehormatan dan juga ketidak-hormatan; dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam sengsara, di alam yang buruk, di alam rendah, di neraka. Sungguh menakutkan, para bhikkhu, perolehan, kehormatan, dan pujian itu … Demikianlah kalian harus berlatih.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan hal ini, Yang Sempurna, Sang Guru, lebih jauh lagi mengatakan:

“Apakah ia menerima kehormatan,

Menerima ketidak-hormatan, atau menerima keduanya,

Konsentrasinya tidak goyah

Ketika ia berdiam dalam kondisi tanpa batas.102

Ketika ia bermeditasi dengan tekun,

Seorang bijaksana berpandangan terang yang berpandangan halus

Gembira dalam hancurnya kemelekatan,

Mereka menyebutnya seorang manusia sempurna yang sesungguhnya.”103

[233]

II. SUB BAB KE DUA

(Mangkuk)

11 (1) Mangkuk Emas

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, sungguh menakutkan perolehan, kehormatan, dan pujian itu … Para bhikkhu, Aku mengetahui seseorang di sini yang pikirannya telah Kulingkupi dengan pikiranKu: ‘Yang Mulia ini tidak akan mengatakan kebohongan dengan sengaja bahkan demi sebuah mangkuk emas yang penuh terisi bubuk perak.’ Namun beberapa saat kemudian Aku melihatnya, dengan pikirannya digoda dan dikuasai oleh perolehan, kehormatan, dan pujian, ia mengatakan kebohongan dengan sengaja. Sungguh menakutkan, para bhikkhu, perolehan, kehormatan, dan pujian itu … Demikianlah kalian harus berlatih.”

12 (2) Mangkuk Perak

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, sungguh menakutkan perolehan, kehormatan, dan pujian itu … Para bhikkhu, Aku mengetahui seseorang di sini yang pikirannya telah Kulingkupi dengan pikiranKu: ‘Yang Mulia ini tidak akan mengatakan kebohongan dengan sengaja bahkan demi sebuah mangkuk perak yang penuh terisi bubuk emas.’ Namun beberapa saat kemudian Aku melihatnya, dengan pikirannya digoda dan dikuasai oleh perolehan, kehormatan, dan pujian, ia mengatakan kebohongan dengan sengaja. Sungguh menakutkan, para bhikkhu, perolehan, kehormatan, dan pujian itu … Demikianlah kalian harus berlatih.”

13 (3) – 20 (10) Suvaṇṇanikkha, dan seterusnya

Di Sāvatthī. [234] “Para bhikkhu, sungguh menakutkan perolehan, kehormatan, dan pujian itu … Para bhikkhu, Aku mengetahui seseorang di sini yang pikirannya telah Kulingkupi dengan pikiranKu: ‘Yang Mulia ini tidak akan mengatakan kebohongan dengan sengaja bahkan demi satu suvaṇṇanikkha … bahkan demi seratus suvaṇṇanikkha … bahkan demi satu siṅginikkha … demi seratus siṅginikkha104… demi tanah yang penuh emas … demi imbalan materi apa pun … demi hidupnya … demi perempuan paling cantik di negeri ini.105 Namun beberapa saat kemudian Aku melihatnya, dengan pikirannya digoda dan dikuasai oleh perolehan, kehormatan, dan pujian, ia mengatakan kebohongan dengan sengaja. Sungguh menakutkan, para bhikkhu, perolehan, kehormatan, dan pujian itu … Demikianlah kalian harus berlatih.”

III. SUB BAB KE TIGA

(Seorang Perempuan)

21 (1) Seorang Perempuan

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, sungguh menakutkan perolehan, kehormatan, dan pujian itu … [235] Para bhikkhu, bahkan, walaupun seorang perempuan, ketika seseorang sedang sendirian bersamanya, tidak akan terus-menerus menguasainya, tetapi perolehan, kehormatan, dan pujian, akan selalu menguasai pikirannya. Sungguh menakutkan, para bhikkhu, perolehan, kehormatan, dan pujian itu … Demikianlah kalian harus berlatih.”

22 (2) Perempuan Paling Cantik di Seluruh Negeri

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, sungguh menakutkan perolehan, kehormatan, dan pujian itu … Para bhikkhu, bahkan, walaupun seorang perempuan paling cantik di seluruh negeri, ketika seseorang sedang sendirian bersamanya, tidak akan terus-menerus menguasainya, tetapi perolehan, kehormatan, dan pujian, akan selalu menguasai pikirannya. Sungguh menakutkan, para bhikkhu, perolehan, kehormatan, dan pujian itu … Demikianlah kalian harus berlatih.”

23 (3) Putra Tunggal

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, sungguh menakutkan perolehan, kehormatan, dan pujian itu … Seorang umat awam perempuan yang berkeyakinan, yang dengan benar mengharapkan putra tunggalnya, yang ia sayangi dan cintai, akan mengharapkannya sebagai berikut: ‘Anakku, engkau harus menjadi seperti Citta si perumah tangga dan Hatthaka dari Āḷavaka’ – karena mereka ini adalah teladan dan kriteria sebagai siswa laki-laki yang adalah para umat awam, yaitu, Citta si perumah tangga dan Hatthaka dari Āḷavaka.106 ‘Tetapi, anakku, jika engkau meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, maka engkau harus menjadi seperti Sāriputta dan Moggallāna’ - karena mereka ini adalah teladan dan kriteria sebagai siswa laki-laki yang adalah para bhikkhu, yaitu, Sāriputta dan Moggallāna. ‘Sementara, anakku, engkau adalah seorang pelajar, seorang yang belum mencapai tujuannya, semoga perolehan, kehormatan, dan pujian tidak mendatangimu!’

“Para bhikkhu, jika [236] perolehan, kehormatan, dan pujian mendatangi seorang bhikkhu selagi ia masih menjadi seorang pelajar, seorang yang belum mencapai tujuan, ini adalah rintangan baginya. Sungguh menakutkan, para bhikkhu, perolehan, kehormatan, dan pujian itu … Demikianlah kalian harus berlatih.”

24 (4) Putri Tunggal

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, sungguh menakutkan perolehan, kehormatan, dan pujian itu … Seorang umat awam perempuan yang berkeyakinan, yang dengan benar mengharapkan putri tunggalnya, yang ia sayangi dan cintai, akan mengharapkannya sebagai berikut: ‘Anakku, engkau harus menjadi seperti Khujjuttarā si umat awam dan Veḷukaṇḍakiyā, ibu Nanda’ – karena mereka ini adalah teladan dan kriteria sebagai siswa perempuan yang adalah para umat awam, yaitu, Khujjuttarā si umat awam dan Veḷukaṇḍakiyā, ibu Nanda.107 ‘Tetapi, anakku, jika engkau meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, maka engkau harus menjadi seperti Bhikkhunī Khemā dan Uppalavaṇṇā’ - karena mereka ini adalah teladan dan kriteria sebagai siswa perempuan yang adalah para bhikkhunī, yaitu, Khemā dan Uppalavaṇṇā. ‘Sementara, anakku, engkau adalah seorang pelajar, seorang yang belum mencapai tujuannya, semoga perolehan, kehormatan, dan pujian tidak mendatangimu!’

“Para bhikkhu, jika perolehan, kehormatan, dan pujian mendatangi seorang bhikkhunī selagi ia adalah seorang pelajar, seorang yang belum mencapai tujuan, ini adalah rintangan baginya. Sungguh menakutkan, para bhikkhu, perolehan, kehormatan, dan pujian itu … Demikianlah kalian harus berlatih.”

25 (5) Petapa dan Brahmana (1)

Di Sāvatthī. [237] “Para bhikkhu, para petapa atau brahmana itu yang tidak memahami sebagaimana adanya kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri dalam hal perolehan, kehormatan, dan pujian.108 Mereka ini tidak Kuanggap sebagai petapa di antara petapa atau brahmana di antara brahmana, dan para mulia ini tidak, dengan merealisasikannya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini masuk dan berdiam dalam tujuan pertapaan atau tujuan kebrahmanaan.

“Tetapi, para bhikkhu, para petapa atau brahmana itu yang memahami sebagaimana adanya kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri dalam hal perolehan, kehormatan, dan pujian: mereka ini Kuanggap sebagai petapa di antara petapa dan brahmana di antara brahmana, dan para mulia ini, dengan merealisasikannya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini masuk dan berdiam dalam tujuan pertapaan dan tujuan kebrahmanaan.”

26 (6) Petapa dan Brahmana (2)

Di Sāvatthī, “Para bhikkhu, para petapa atau brahmana itu yang tidak memahami sebagaimana adanya asal-mula dan lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri dalam hal perolehan, kehormatan, dan pujian: mereka ini tidak Kuanggap sebagai petapa di antara petapa …

“Tetapi, para bhikkhu, para petapa dan brahmana itu yang memahami hal-hal ini: mereka ini Kuanggap sebagai petapa di antara petapa dan brahmana di antara brahmana, dan para mulia ini, dengan merealisasikannya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini masuk dan berdiam dalam tujuan pertapaan dan tujuan kebrahmanaan.”

27 (7) Petapa dan Brahmana (3)

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, para petapa atau brahmana itu yang tidak memahami kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri dalam hal perolehan, kehormatan, dan pujian, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya: mereka ini tidak Kuanggap sebagai petapa di antara petapa …109

“Tetapi, para bhikkhu, para petapa dan brahmana itu yang memahami hal-hal ini: mereka ini Kuanggap sebagai petapa di antara petapa dan brahmana di antara brahmana, dan para mulia ini, dengan merealisasikannya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini masuk dan berdiam dalam tujuan pertapaan dan tujuan kebrahmanaan.”

28 (8) Kulit

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, sungguh menakutkan perolehan, kehormatan, dan pujian itu … [238] Perolehan, kehormatan, dan pujian memotong menembus kulit luar, kemudian menembus kulit dalam, kemudian menembus daging, kemudian menembus urat, kemudian menembus tulang. Setelah menembus tulang, ia langsung ke sumsum. Sungguh menakutkan, para bhikkhu, perolehan, kehormatan, dan pujian itu … Demikianlah kalian harus berlatih.”

29 (9) Tali

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, sungguh menakutkan perolehan, kehormatan, dan pujian itu … Perolehan, kehormatan, dan pujian memotong menembus kulit luar, kemudian menembus kulit dalam, kemudian menembus daging, kemudian menembus urat, kemudian menembus tulang. Setelah menembus tulang, ia langsung ke sumsum. Misalnya, para bhikkhu, seorang kuat mengikat kaki seseorang dengan tali yang terbuat dari ekor kuda yang kuat dan menariknya kuat-kuat. Tali itu akan memotong menembus kulit luar, kemudian menembus kulit dalam, kemudian menembus daging, kemudian menembus urat, kemudian menembus tulang. Setelah menembus tulang, ia langsung ke sumsum. Demikian pula, para bhikkhu, perolehan, kehormatan, dan pujian memotong menembus kulit luar … ia langsung ke sumsum. Sungguh menakutkan, para bhikkhu, perolehan, kehormatan, dan pujian itu … Demikianlah kalian harus berlatih.”

30 (10) Bhikkhu

Di Sāvatthī. [239] “Para bhikkhu, perolehan, kehormatan, dan pujian, Aku katakan, adalah rintangan bahkan bagi seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant, seorang dengan noda-noda dihancurkan.”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Ānanda bertanya kepada Sang Bhagavā: “Mengapa, Yang Mulia, perolehan, kehormatan, dan pujian adalah rintangan bahkan bagi seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant, seorang dengan noda-noda dihancurkan?”

“Aku tidak mengatakan, Ānanda, bahwa perolehan, kehormatan, dan pujian adalah rintangan bagi kebebasan pikirannya yang tidak tergoyahkan. Tetapi Aku mengatakan perolehan, kehormatan, dan pujian itu adalah rintangan bagi [pencapaian] kediaman menyenangkan dalam kehidupan ini yang dicapai oleh seseorang yang berdiam dengan tekun, rajin, dan teguh.110 Sungguh menakutkan, Ānanda, perolehan, kehormatan, dan pujian itu, pahit, busuk, menghalangi untuk mencapai keamanan tertinggi dari belenggu. Oleh karena itu, Ānanda, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan meninggalkan perolehan, kehormatan, dan pujian yang telah muncul dan kami tidak akan membiarkan perolehan, kehormatan, dan pujian yang telah muncul itu bertahan menguasai pikiran kami.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”

IV. SUB BAB KE EMPAT

(Perpecahan dalam Saṅgha)

31 (1) Perpecahan

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, sungguh menakutkan, perolehan, kehormatan, dan pujian itu … [240] Karena pikirannya digoda dan dikuasai oleh perolehan, kehormatan, dan pujian, Devadatta memicu perpecahan dalam Saṅgha. Sungguh menakutkan, para bhikkhu, perolehan, kehormatan, dan pujian itu … Demikianlah kalian harus berlatih.”

32 (2) Akar Bermanfaat

… “Karena pikirannya digoda dan dikuasai oleh perolehan, kehormatan, dan pujian, akar bermanfaat Devadatta terpotong …”111

33 (3) Sifat yang Bermanfaat

… “Karena pikirannya digoda dan dikuasai oleh perolehan, kehormatan, dan pujian, sifat bermanfaat Devadatta terpotong …”

34 (4) Bakat Cerah

… “Karena pikirannya digoda dan dikuasai oleh perolehan, kehormatan, dan pujian, bakat cerah Devadatta terpotong …”

35 (5) Tidak Lama Setelah Ia Pergi

[241] Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Gunung Puncak Hering tidak lama setelah Devadatta pergi. Di sana, dengan merujuk pada Devadatta, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut:112

“Para bhikkhu, perolehan, kehormatan, dan pujian yang diterima Devadatta muncul untuk kejatuhan dan kehancurannya sendiri. Bagaikan sebatang pohon pisang, bambu, atau buluh yang menghasilkan buah akan mengalami kejatuhan dan kehancuran, demikian pula dengan perolehan, kehormatan, dan pujian yang diterima Devadatta. Bagaikan seekor bagal yang hamil akan mengalami kejatuhan dan kehancuran, demikian pula dengan perolehan, kehormatan, dan pujian yang diterima Devadatta. Sungguh menakutkan, para bhikkhu, perolehan, kehormatan, dan pujian itu … Demikianlah kalian harus berlatih.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan ini, Yang Sempurna, Sang Guru, lebih lanjut mengatakan ini:

“Bagaikan buahnya sendiri yang membawa kehancuran

Pada pohon pisang, bambu, dan buluh,

Bagaikan janinnya menghancurkan bagal,

Demikian pula kehormatan menghancurkan orang jahat.” [242]

36 (6) Lima Ratus Kereta

Sewaktu menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Pada saat itu Pangeran Ajātasattu sedang pergi untuk melayani Devatadatta pada pagi dan malam hari dengan lima ratus kereta dan memberikan persembahan makanan yang dibawa kepadanya dalam lima ratus mangkuk. Kemudian sejumlah bhikkhu mendekati Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau duduk di satu sisi, dan melaporkan hal ini kepada Sang Bhagavā. [Sang Bhagavā berkata:]

“Para bhikkhu, jangan iri terhadap perolehan, kehormatan, dan pujian yang diterima Devadatta. Selama Pangeran Ajātasattu melayani Devadatta pada pagi dan malam hari dengan lima ratus kereta dan memberikan persembahan makanan yang dibawa kepadanya dalam lima ratus mangkuk, hanya kemunduran yang diharapkan Devadatta sehubungan dengan kondisi-kondisi bermanfaat, bukan kemajuan.

“Bagaikan seekor anjing liar menjadi semakin liar ketika mereka memercikkan empedu di hidungnya,113 demikian pula, para bhikkhu, selama Pangeran Ajātasattu melayani Devadatta … hanya kemunduran yang diharapkan Devadatta sehubungan dengan kondisi-kondisi bermanfaat, bukan kemajuan. Sungguh menakutkan, para bhikkhu, perolehan, kehormatan, dan pujian itu … Demikianlah kalian harus berlatih.”

37 (7) – 43 (13) Sutta Ibu, dan seterusnya

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, sungguh menakutkan perolehan, kehormatan, dan pujian itu, pahit, busuk, menghalangi untuk mencapai keamanan tertinggi dari belenggu. [243] Para bhikkhu, Aku mengetahui seseorang di sini yang pikirannya telah Kulingkupi dengan pikiranKu: ‘Yang Mulia ini tidak akan mengatakan kebohongan dengan sengaja bahkan demi ibunya … bahkan demi ayahnya … bahkan demi saudara laki-lakinya … saudara perempuannya … putranya … putrinya … istrinya.’114 Namun beberapa saat kemudian Aku melihatnya, dengan pikirannya digoda dan dikuasai oleh perolehan, kehormatan, dan pujian, ia mengatakan kebohongan dengan sengaja. Sungguh menakutkan perolehan, kehormatan, dan pujian itu, pahit, busuk, menghalangi untuk mencapai keamanan tertinggi dari belenggu. Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: [244] ‘Kami akan meninggalkan perolehan, kehormatan, dan pujian yang telah muncul dan kami tidak akan membiarkan perolehan, kehormatan, dan pujian yang telah muncul itu bertahan menguasai pikiran kami.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”

Rāhulasaṃyutta

Khotbah Berhubungan bersama Rāhula

I. SUB BAB PERTAMA

1 (1) Mata, dan seterusnya

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian Yang Mulia Rāhula mendekati Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:115

“Yang Mulia, baik sekali jika Sang Bhagavā mengajarkan Dhamma kepadaku secara singkat, sehingga, setelah mendengarkan Dhamma dari Sang Bhagavā, aku dapat berdiam sendirian, mengasingkan diri, rajin, tekun, dan teguh.”

“Bagaimana menurutmu, Rāhula, apakah mata adalah kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal itu adalah penderitaan atau kebahagiaan?” – “Penderitaan, Yang Mulia.” – [245] “Apakah yang tidak kekal, penderitaan, dan mengalami perubahan itu layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?” – “Tidak, Yang Mulia.”

“Apakah telinga … hidung … lidah … badan … pikiran itu adalah kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal itu adalah penderitaan atau kebahagiaan?” – “Penderitaan, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal, penderitaan, dan mengalami perubahan itu layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?” – “Tidak, Yang Mulia.”

“Melihat demikian, Rāhula, siswa mulia yang terpelajar mengalami kejijikan terhadap mata, kejijikan terhadap telinga, kejijikan terhadap hidung, kejijikan terhadap lidah, kejijikan terhadap badan, kejijikan terhadap pikiran. Dengan mengalami kejijikan, ia menjadi bosan. Melalui kebosanan [batinnya] terbebaskan.116 Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi bagi kondisi makhluk ini.’”

2 (2) Bentuk, dan seterusnya

… “Bagaimana menurutmu, Rāhula, apakah bentuk-bentuk … [246] … suara-suara… bau-bauan … rasa kecapan … objek-objek sentuhan … fenomena pikiran itu adalah kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang Mulia.” …

“Melihat demikian, Rāhula, siswa mulia yang terpelajar mengalami kejijikan terhadap bentuk-bentuk … kejijikan terhadap fenomena pikiran. Dengan mengalami kejijikan, ia menjadi bosan … Ia memahami: ‘…tidak ada lagi bagi kondisi makhluk ini.’”

3 (3) Kesadaran

… “Bagaimana menurutmu, Rāhula, apakah kesadaran-mata … kesadaran-telinga … kesadaran-hidung … kesadaran-lidah … kesadaran-badan … kesadaran-pikiran adalah kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang mulia.” …

“Melihat demikian, Rāhula, siswa mulia yang terpelajar mengalami kejijikan terhadap kesadaran-mata … kejijikan terhadap kesadaran-pikiran. Dengan mengalami kejijikan, ia menjadi bosan … Ia memahami: ‘…tidak ada lagi bagi kondisi makhluk ini.’”

4 (4) Kontak

… “Bagaimana menurutmu, Rāhula, apakah kontak-mata … kontak-telinga … kontak-hidung … kontak-lidah … kontak-badan … kontak-pikiran adalah kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang mulia.” …

“Melihat demikian, Rāhula, siswa mulia yang terpelajar mengalami kejijikan terhadap kontak-mata … kejijikan terhadap kontak-pikiran. Dengan mengalami kejijikan, ia menjadi bosan … [247] Ia memahami: ‘…tidak ada lagi bagi kondisi makhluk ini.’”

5 (5) Perasaan

… “Bagaimana menurutmu, Rāhula, apakah perasaan yang timbul dari kontak-mata … perasaan yang timbul dari kontak-telinga … perasaan yang timbul dari kontak-hidung … perasaan yang timbul dari kontak-lidah … perasaan yang timbul dari kontak-badan … perasaan yang timbul dari kontak-pikiran adalah kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang mulia.” …

“Melihat demikian, Rāhula, siswa mulia yang terpelajar mengalami kejijikan terhadap perasaan yang timbul dari kontak-mata … kejijikan terhadap perasaan yang timbul dari kontak-pikiran. Dengan mengalami kejijikan, ia menjadi bosan … Ia memahami: ‘…tidak ada lagi bagi kondisi makhluk ini.’”

6 (6) Persepsi

… “Bagaimana menurutmu, Rāhula, apakah persepsi bentuk-bentuk … persepsi suara-suara … persepsi-bau-bauan … persepsi rasa kecapan … persepsi objek sentuhan … persepsi fenomena pikiran adalah kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang mulia.” …

“Melihat demikian, Rāhula, siswa mulia yang terpelajar mengalami kejijikan terhadap persepsi bentuk-bentuk … kejijikan terhadap persepsi fenomena-pikiran. Dengan mengalami kejijikan, ia menjadi bosan … Ia memahami: ‘…tidak ada lagi bagi kondisi makhluk ini.’”

7 (7) Kehendak

… “Bagaimana menurutmu, Rāhula, apakah kehendak sehubungan dengan bentuk-bentuk … kehendak sehubungan dengan suara-suara … kehendak sehubungan dengan bau-bauan … kehendak sehubungan dengan rasa kecapan … [248] kehendak sehubungan dengan objek sentuhan … kehendak sehubungan dengan fenomena pikiran adalah kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang mulia.” …

“Melihat demikian, Rāhula, siswa mulia yang terpelajar mengalami kejijikan terhadap kehendak sehubungan dengan bentuk-bentuk … kejijikan terhadap kehendak sehubungan dengan fenomena-pikiran. Dengan mengalami kejijikan, ia menjadi bosan … Ia memahami: ‘…tidak ada lagi bagi kondisi makhluk ini.’”

8 (8) Ketagihan

… “Bagaimana menurutmu, Rāhula, apakah ketagihan pada bentuk-bentuk … ketagihan pada suara-suara … ketagihan pada bau-bauan … ketagihan pada rasa kecapan … ketagihan pada objek sentuhan … ketagihan pada fenomena pikiran adalah kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang mulia.” …

“Melihat demikian, Rāhula, siswa mulia yang terpelajar mengalami kejijikan terhadap ketagihan pada bentuk-bentuk … kejijikan terhadap ketagihan pada fenomena-pikiran. Dengan mengalami kejijikan, ia menjadi bosan … Ia memahami: ‘…tidak ada lagi bagi kondisi makhluk ini.’”

9 (9) Unsur-unsur

… “Bagaimana menurutmu, Rāhula, apakah unsur tanah … unsur air … unsur panas … unsur angin … unsur ruang … unsur kesadaran adalah kekal atau tidak kekal?”117 – “Tidak kekal, Yang Mulia.” …

“Melihat demikian, Rāhula, siswa mulia yang terpelajar mengalami kejijikan terhadap unsur tanah … [249] … kejijikan terhadap unsur air … kejijikan terhadap unsur ruang … kejijikan terhadap unsur kesadaran. Dengan mengalami kejijikan, ia menjadi bosan … Ia memahami: ‘…tidak ada lagi bagi kondisi makhluk ini.’”

10 (10) Kelompok-kelompok

…”Bagaimana menurutmu, Rāhula, apakah bentuk … perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak … kesadaran adalah kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang Mulia.” …

“Melihat demikian, Rāhula, siswa mulia yang terpelajar mengalami kejijikan terhadap bentuk … kejijikan terhadap kesadaran. Dengan mengalami kejijikan, ia menjadi bosan … Ia memahami: ‘…tidak ada lagi bagi kondisi makhluk ini.’”

II. SUB BAB KE DUA

11 (1) – 20 (10) Mata, dan seterusnya

(Sepuluh sutta ini identik dalam segala hal dengan §§1-10, kecuali bahwa dalam sutta-sutta ini Sang Buddha menanyai Rāhula atas inisiatifNya sendiri, tanpa sebelumnya dimohon untuk mengajarkan.) [250-52]

21 (11) Kecenderungan Tersembunyi

Di Sāvatthī. Yang Mulia Rāhula mendekati Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

“Yang Mulia, bagaimanakah seseorang mengetahui, bagaimanakah seseorang melihat sehingga, sehubungan dengan jasmani ini dengan kesadaran dan sehubungan gambaran-gambaran eksternal, pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan tidak lagi muncul di dalam?”118

“Bentuk apa pun, Rāhula, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat – seseorang melihat segala bentuk sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’119

“Perasaan apa pun … Persepsi apa pun … Bentukan kehendak apa pun … kesadaran apa pun , apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat – seseorang melihat segala bentuk sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

“Ketika seseorang mengetahui dan melihat demikian, Rāhula, maka sehubungan dengan jasmani ini dengan kesadaran dan sehubungan dengan seluruh gambaran eksternal, pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi sehubungan terhadap keangkuhan tidak lagi muncul di dalam.” [253]

22 (12) Menyingkirkan

Di Sāvatthī. Yang Mulia Rāhula mendekati Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

“Yang Mulia, bagaimanakah seseorang mengetahui, bagaimanakah seseorang melihat sehingga, sehubungan dengan jasmani dengan kesadaran ini dan sehubungan gambaran-gambaran eksternal, maka pikiran menyingkirkan pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan keangkuhan, telah melampaui pembedaan, dan damai dan terbebaskan dengan baik?”120

“Bentuk apa pun, Rāhula, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat – seseorang melihat segala bentuk sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku,’ ia terbebaskan melalui ketidak-melekatan.

“Perasaan apa pun … Persepsi apa pun … Bentukan kehendak apa pun … kesadaran apa pun , apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat – seseorang melihat segala bentuk sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku,’ ia terbebaskan melalui ketidak-melekatan.

“Ketika seseorang mengetahui dan melihat demikian, Rāhula, maka sehubungan dengan jasmani dengan kesadaran ini dan sehubungan dengan seluruh gambaran eksternal, maka pikiran menyingkirkan pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi sehubungan terhadap keangkuhan, telah melampaui pembedaan, dan damai dan terbebaskan dengan baik.”

[254]

Lakkhaṇasaṃyutta

Khotbah Berhubungan bersama Lakkhaṇa

I. SUB BAB PERTAMA

1 (1) Kerangka Tulang-belulang

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha, di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Pada saat itu Yang Mulia Lakkhaṇa dan Yang Mulia Mahāmoggallāna sedang berdiam di Gunung Puncak Hering.121 Kemudian, pada suatu pagi, Yang Mulia Mahāmoggallāna merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubahnya, ia mendekati Yang Mulia Lakkhaṇa dan berkata kepadanya: “Ayo, Sahabat Lakkhaṇa, kita memasuki Rājagaha untuk menerima dana makanan.”

“Baiklah, sahabat,” Yang Mulia Lakkhaṇa menjawab. Kemudian, ketika ia turun dari Gunung Puncak Hering, Yang Mulia Mahāmoggallāna tersenyum di tempat-tempat tertentu.122 Yang Mulia Lakkhaṇa berkata kepadanya: “Karena alasan apakah, Sahabat Moggallāna, engkau tersenyum?”

“Ini bukan waktunya untuk pertanyaan itu, Sahabat Lakkhaṇa. Tanyakanlah lagi pertanyaan itu kepadaku ketika kita berada di hadapan Sang Bhagavā.” [255]

Kemudian, ketika Yang Mulia Lakkhaṇa dan Yang Mulia Mahāmoggallāna telah menerima dana makanan di Rājagaha dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan mereka mendekati Sang Bhagavā. Setelah memberi hormat kepada Sang Bhagavā, mereka duduk di satu sisi, dan Yang Mulia Lakkhaṇa berkata kepada Yang Mulia Mahāmoggallāna: “Di sini, ketika ia menuruni Gunung Puncak Hering, Yang Mulia Mahāmoggallāna tersenyum di suatu tempat. Karena alasan apakah, Sahabat Moggallāna, engkau tersenyum?”

“Di sini, sahabat, sewaktu menuruni Gunung Puncak Hering, aku melihat suatu kerangka tulang-belulang melayang di udara. Burung-burung nasar, gagak, dan elang, mengejarnya, mematuknya di antara rusuk-rusuknya, menghujamnya, dan mencabik-cabiknya sementara ia berteriak kesakitan.123 Aku berpikir: ‘Sungguh menakjubkan! Sungguh mengagumkan! Bahwa ada makhluk seperti itu; bahwa ada kehidupan dengan bentuk seperti itu!’”124

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, ada para siswa yang memiliki penglihatan, memiliki pengetahuan, dalam hal bahwa siswa itu dapat mengetahui, melihat, dan menyaksikan pemandangan seperti itu. Di masa lalu, para bhikkhu, Aku juga melihat makhluk itu, tetapi Aku tidak mengatakan apa pun tentangnya. Karena jika Aku mengatakannya, orang-orang lain tidak akan memercayainya, dan jika mereka tidak memercayaiKu maka itu akan menuntun pada kemalangan dan penderitaan mereka untuk waktu yang lama.

“Makhluk itu, para bhikkhu, dulunya adalah seorang tukang jagal di Rājagaha ini. Setelah disiksa di neraka selama bertahun-tahun, selama ratusan tahun, selama ribuan tahun, selama ratusan ribu tahun sebagai akibat dari kamma itu, [256] sebagai akibat sisa dari kamma yang sama itu ia mengalami bentuk kehidupan demikian.”125

(Sutta selanjutnya dari sub bab ini mengikuti pola yang sama seperti yang pertama. Seperti halnya dalam teks Pali, demikian pula dalam terjemahan di sini hanya frasa yang berbeda yang ditampilkan.)

2 (2) Potongan Daging

… “Di sini, Sahabat, sewaktu menuruni Gunung Puncak Hering, aku melihat sepotong daging melayang di udara. Burung-burung hering, gagak, dan elang, mengejarnya, mematuknya di antara rusuk-rusuknya, menghujamnya, dan mencabik-cabiknya sementara ia berteriak kesakitan.” …

“Makhluk itu, para bhikkhu, dulunya adalah seorang tukang jagal di Rājagaha ini. …”126

3 (3) Sebongkah Daging

… “Aku melihat sebongkah daging …”

“Makhluk itu, dulunya adalah seorang pemotong ayam di Rājagaha ini. …”

4 (4) Orang Tanpa Kulit

… “Aku melihat orang tanpa kulit …”

“Makhluk itu, dulunya adalah seorang penjagal domba di Rājagaha ini. …” [257]

5 (5) Berbulu Pedang

… “Aku melihat seseorang dengan bulu badan dari pedang-pedang yang melayang di udara. Pedang-pedang itu terus-menerus terangkat dan membacok tubuhnya sementara ia berteriak kesakitan …”

“Makhluk itu, dulunya adalah seorang penjagal babi di Rājagaha ini. …”

6 (6) Berbulu Tombak

… “Aku melihat seseorang dengan bulu badan dari tombak-tombak yang melayang di udara. Tombak-tombak itu terus-menerus terangkat dan menusuk tubuhnya sementara ia berteriak kesakitan …”

“Makhluk itu, dulunya adalah seorang pemburu rusa di Rājagaha ini. …”

7 (7) Berbulu Anak Panah

… “Aku melihat seseorang dengan bulu badan dari anak panah-anak panah yang melayang di udara. Panah-panah itu terus-menerus terangkat dan menusuk tubuhnya sementara ia berteriak kesakitan …”

“Makhluk itu, dulunya adalah seorang penyiksa di Rājagaha ini. …”127

8 (8) Berbulu Jarum (1)128

… “Aku melihat seseorang dengan bulu badan dari jarum-jarum yang melayang di udara. Jarum-jarum itu terus-menerus terangkat dan menusuk tubuhnya sementara ia berteriak kesakitan …”

“Makhluk itu, dulunya adalah seorang pelatih kuda di Rājagaha ini. …”

9 (9) Berbulu Jarum (2)

… “Aku melihat seseorang dengan bulu badan dari jarum-jarum yang melayang di udara. [258] Jarum-jarum masuk dari kepalanya dan keluar dari mulutnya; masuk dari mulutnya dan keluar dari dadanya; masuk dari dadanya dan keluar dari perutnya; masuk dari perutnya dan keluar dari pahanya; masuk dari pahanya dan keluar dari betisnya; masuk dari betisnya dan keluar dari kakinya, sementara ia berteriak kesakitan …”

“Makhluk itu, dulunya adalah seorang yang suka memfitnah di Rājagaha ini. …”129

10 (10) Biji Kemaluan Berbentuk Kendi

…”Aku melihat seorang laki-laki dengan biji kemaluan berbentuk kendi melayang di udara. Ketika ia berjalan, ia harus mengangkat biji kemaluannya di bahunya, dan ketika ia duduk ia menduduki biji kemaluannya. Burung-burung hering, gagak, dan elang, mengejarnya, mematuknya, dan mencabik-cabiknya sementara ia berteriak kesakitan.” …

“Makhluk itu, para bhikkhu, dulunya adalah seorang hakim korup di Rājagaha ini. …”130

[259]

I. SUB BAB KE DUA

11 (1) Dengan Kepala Terbenam

… “Aku melihat seorang laki-laki dengan kepala terbenam di dalam lubang kotoran …”

“Makhluk itu adalah seorang pencabul di Rājagaha ini …”131

12 (2) Pemakan Kotoran

… “Aku melihat seorang laki-laki dengan kepala terbenam di dalam lubang kotoran, memakan kotoran dengan kedua tangannya …”

“Makhluk itu, para bhikkhu, dulunya adalah seorang brahmana yang bersikap bermusuhan di Rājagaha ini. pada masa Pengajaran Buddha Kassapa, ia mengundang Bhikkhu Saṅgha untuk makan. Setelah mengisi mangkuk dengan kotoran, ia berkata kepada para bhikkhu: ‘Tuan-tuan, makanlah sebanyak yang kalian inginkan dari ini dan bawalah sisanya pulang.’ …”132

13 (3) Perempuan Tanpa Kulit

“Aku melihat seorang perempuan tanpa kulit melayang di udara. Burung-burung hering, gagak, dan elang, mengejarnya, mematuknya, dan mencabik-cabiknya sementara ia berteriak kesakitan.” …

“Perempuan itu dulunya adalah seorang pelacur di Rājagaha ini …”133 [260]

14 (4) Perempuan Buruk Rupa

… “Aku melihat seorang perempuan, berbau busuk dan buruk rupa, melayang di udara. Burung-burung hering, gagak, dan elang, mengejarnya, mematuknya, dan mencabik-cabiknya sementara ia berteriak kesakitan.” …

“Perempuan itu dulunya adalah seorang peramal di Rājagaha ini …”134

15 (5) Perempuan Berkeringat

… “Aku melihat seorang perempuan, tubuhnya terpanggang, berkeringat, penuh jelaga, melayang di angkasa, sambil berteriak kesakitan …”135

“Perempuan itu dulunya adalah permaisuri Raja Kaliṅga. Bersifat pencemburu, ia menuangkan arang membara ke atas tubuh salah satu selir raja …”

16 (6) Tubuh Tanpa Kepala

… “Aku melihat tubuh tanpa kepala melayang di udara; mata dan mulutnya terletak di dadanya. Burung-burung hering, gagak, dan elang, mengejarnya, mematuknya, dan mencabik-cabiknya sementara ia berteriak kesakitan.” …

“Makhluk itu dulunya adalah seorang algojo bernama Hārika di Rājagaha ini …”

17 (7) Bhikkhu Jahat

… “Aku melihat seorang bhikkhu melayang di angkasa. Jubah luar, mangkuk, ikat pinggang, [261] dan tubuhnya terbakar, menyala, dan berkobar sementara ia berteriak kesakitan …”

“Bhikkhu itu dulunya adalah seorang bhikkhu jahat pada masa Pengajaran Buddha Kassapa …”136

18 (8) Bhikkhunī Jahat

… “Aku melihat seorang bhikkhunī melayang di angkasa. Jubah luar, mangkuk, ikat pinggang, dan tubuhnya terbakar, menyala, dan berkobar sementara ia berteriak kesakitan …”

“Bhikkhunī itu dulunya adalah seorang bhikkhunī jahat pada masa Pengajaran Buddha Kassapa …”

19 (9) - 21 (11) Sāmaṇerī Jahat, dan seterusnya

… “Di sini, Sahabat, sewaktu menuruni Gunung Puncak Hering, aku melihat seorang sāmaṇerī … seorang sāmaṇera … seorang sāmaṇerī melayang di angkasa. Jubah luar, mangkuk, ikat pinggang, dan tubuhnya terbakar, menyala, dan berkobar sementara ia berteriak kesakitan. Aku berpikir: ‘Sungguh menakjubkan! Sungguh mengagumkan! Bahwa ada makhluk seperti itu; bahwa ada kehidupan dengan bentuk seperti itu!’”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, ada para siswa yang memiliki penglihatan, memiliki pengetahuan, dalam hal bahwa siswa itu dapat mengetahui, melihat, dan menyaksikan pemandangan seperti itu. [262] Di masa lalu, para bhikkhu, Aku juga melihat makhluk itu, tetapi Aku tidak mengatakan apa pun tentangnya. Karena jika Aku mengatakannya, orang-orang lain tidak akan memercayainya, dan jika mereka tidak memercayaiKu maka itu akan menuntun pada kemalangan dan penderitaan mereka untuk waktu yang lama.

“Sāmaṇerī itu dulunya adalah seorang sāmaṇerā jahat pada masa Pengajaran Buddha Kassapa. Setelah disiksa di neraka selama bertahun-tahun, selama ratusan tahun, selama ribuan tahun, selama ratusan ribu tahun sebagai akibat dari kamma itu, sebagai akibat sisa dari kamma yang sama itu ia mengalami bentuk kehidupan demikian.”

Opammasaṃyutta

Khotbah Berhubungan dengan Perumpamaan

1 (1) Puncak Atap

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika … [263] Di sana Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, bagaikan semua kasau dari atap rumah mengarah ke puncak atap dan menyatu di puncak atap, dan semuanya terbongkar ketika puncak atap itu dibongkar, demikian pula semua kondisi tidak bermanfaat adalah berakar pada ketidaktahuan dan menyatu di ketidaktahuan, dan semuanya terbongkar ketika ketidaktahuan dibongkar.137 Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan berlatih dengan tekun.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”

2 Kuku Jari

Di Sāvatthī. Sang Bhagavā mengambil sedikit tanah dengan ujung kuku jari tanganNya dan berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu bagaimanakah menurut kalian, mana yang lebih banyak: sedikit tanah yang Kuambil di ujung kuku jari tanganKu ini atau bumi ini?”

“Yang Mulia, bumi ini lebih banyak. Sedikit tanah yang Bhagavā ambil di ujung kuku jari tangan Beliau adalah tidak berarti. Dibandingkan dengan bumi ini, tidak dapat dihitung, tidak dapat dibandingkan, tidak ada bahkan sebagian kecilnya.”

“Demikian pula, para bhikkhu, makhluk-makhluk yang terlahir kembali di antara manusia adalah sedikit. Tetapi banyak sekali makhluk-makhluk yang terlahir kembali di alam selain alam manusia.138 Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan berlatih dengan tekun.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”

3 Keluarga-keluarga

Di Sāvatthī. [264] “Para bhikkhu, seperti halnya mudah bagi para pencuri untuk menyerbu keluarga-keluarga yang terdiri dari banyak perempuan dan sedikit laki-laki, demikian pula adalah mudah bagi makhluk bukan-manusia menyerang seorang bhikkhu yang tidak mengembangkan dan melatih pembebasan pikiran melalui cinta kasih.139

“Seperti halnya sulit bagi para pencuri untuk menyerbu keluarga-keluarga yang terdiri dari sedikit perempuan dan banyak laki-laki, demikian pula adalah sulit bagi makhluk bukan-manusia menyerang seorang bhikkhu yang mengembangkan dan melatih pembebasan pikiran melalui cinta kasih.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan mengembangkan dan melatih pembebasan pikiran melalui cinta kasih, menjadikannya sebagai kendaraan kami, menjadikannya sebagai landasan kami, menstabilkannya, melatih diri kami di dalamnya, dan menyempurnakannya.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”

4 Mangkuk-mangkuk Makanan

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, jika seseorang memberikan seratus mangkuk makanan140 sebagai dana di pagi hari, seratus mangkuk makanan sebagai dana di siang hari, dan seratus mangkuk makanan sebagai dana di malam hari, dan jika seseorang mengembangkan pikiran cinta kasih bahkan selama waktu yang diperlukan untuk satu tarikan dalam menarik ambing susu sapi, apakah di pagi, siang, atau malam hari, ini adalah lebih bermanfaat daripada yang pertama.141

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan mengembangkan dan melatih pembebasan pikiran melalui cinta kasih, menjadikannya sebagai kendaraan kami, menjadikannya sebagai landasan kami, menstabilkannya, berlatih di dalamnya, dan menyempurnakannya.’ Demikianlah kalian harus berlatih.” [265]

5 Tombak

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, misalnya terdapat sebatang tombak berujung tajam, dan seseorang datang dengan berpikir: ‘Aku akan membengkokkan tombak berujung tajam ini dengan tanganku, memelintirnya, dan memutar-mutarkannya.’142 Bagaimanakah para bhikkhu, mungkinkah orang itu melakukannya?”

“Tidak, Yang Mulia.” – “Karena alasan apakah?” – “Karena tidaklah mudah untuk membengkokkan tombak berujung tajam ini dengan tangan, memelintirnya, dan memutar-mutarkannya. Orang itu hanya akan mengalami kelelahan dan kejengkelan.”

“Demikian pula, para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu mengembangkan dan melatih pembebasan pikiran melalui cinta kasih, menjadikannya sebagai kendaraan, menjadikannya sebagai landasan, menstabilkannya, berlatih di dalamnya, dan menyempurnakannya, jika makhluk bukan manusia berpikir bahwa ia dapat menjatuhkan pikirannya, maka makhluk bukan-manusia itu hanya akan mengalami kelelahan dan kejengkelan.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan mengembangkan dan melatih pembebasan pikiran melalui cinta kasih, menjadikannya sebagai kendaraan kami, menjadikannya sebagai landasan kami, menstabilkannya, berlatih di dalamnya, dan menyempurnakannya.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”

6 Pemanah

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, misalnya terdapat empat orang pemanah berbusur kuat, [266] terlatih, tangkas, berpengalaman, berdiri di empat penjuru.143 Kemudian seseorang datang, berpikir: ‘Aku akan menangkap anak panah yang ditembakkan oleh empat pemanah ini dari empat penjuru sebelum jatuh ke tanah dan kemudian aku akan mengembalikannya.’ Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu, apakah ini cukup untuk mengatakan: ‘Orang itu adalah seorang yang bergerak cepat yang memiliki kecepatan tinggi’?”

“Yang Mulia, bahkan jika ia dapat menangkap anak panah yang ditembakkan oleh satu orang pemanah sebelum menyentuh tanah dan mengembalikannya, itu cukup untuk mengatakan: ‘Orang itu adalah seorang yang bergerak cepat yang memiliki kecepatan tinggi.’ Tidak perlu mengatakan mengenai anak panah-anak panah yang ditembakkan dari empat penjuru!”

“Para bhikkhu, secepat apa pun orang itu, masih lebih cepat matahari dan bulan. Secepat apa pun orang itu, dan secepat apa pun matahari dan bulan, dan secepat apa pun para dewa yang berlari di depan matahari dan bulan, bentukan-bentukan kehidupan144 musnah bahkan lebih cepat dari itu. Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan berlatih dengan tekun.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”

7 Pasak Tambur

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, suatu ketika di masa lampau para penduduk Dasāraha memiliki sebuah tambur yang bernama Pemanggil.145 Ketika Pemanggil pecah, para penduduk Dasāraha menyisipkan pasak tambahan. [267] Akhirnya tiba waktunya bagian atas tambur menjadi hilang dan hanya sejumlah pasak tersisa.

“Demikian pula, para bhikkhu, hal yang sama akan terjadi dengan para bhikkhu di masa depan. Ketika khotbah-khotbah ini yang dibabarkan oleh Sang Tathāgata yang dalam, bermakna dalam, adi-duniawi, berhubungan dengan kekosongan, sedang dibacakan,146 mereka tidak bersemangat mendengarnya, juga tidak menyimaknya, tidak mengarahkan pikiran mereka untuk memahaminya; dan mereka tidak berpikir bahwa ajaran-ajaran itu harus dipelajari dan dikuasai. Tetapi ketika khotbah-khotbah itu yang sekedar syair yang digubah oleh para penyair, dengan kata-kata dan kalimat indah, diciptakan oleh pihak luar, dibabarkan oleh siswa-siswa [mereka],147 sedang dibacakan, mereka akan bersemangat mendengarnya, akan menyimaknya, akan mengarahkan pikiran mereka untuk memahaminya; dan mereka berpikir bahwa ajaran-ajaran itu harus dipelajari dan dikuasai. Demikianlah para bhikkhu, khotbah-khotbah ini yang dibabarkan oleh Sang Tathāgata yang dalam, bermakna dalam, adi-duniawi, berhubungan dengan kekosongan, akan lenyap.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Ketika khotbah-khotbah ini yang dibabarkan oleh Sang Tathāgata yang dalam, bermakna dalam, adi-duniawi, berhubungan dengan kekosongan, sedang dibacakan, maka kami akan bersemangat mendengarnya, akan menyimaknya, akan mengarahkan pikiran kami untuk memahaminya; dan kami akan berpikir bahwa ajaran-ajaran itu harus dipelajari dan dikuasai.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”

8 Balok Kayu

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Vesāli di Hutan Besar di Aula Beratap Lancip. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, sekarang para Licchavi menggunakan balok kayu sebagai alas duduk; [268] mereka rajin dan tekun dalam latihan. Raja Ajātasattu dari Magadha, putra Videhi, tidak dapat menguasai mereka; tidak dapat mencengkeram mereka. Tetapi di masa mendatang para Licchavi akan menjadi lunak, dengan tangan dan kaki yang lembut; mereka akan tidur hingga matahari terbit di atas kasur yang empuk dengan bantal dari bahan wol katun. Kemudian Raja Ajātasattu dari Magadha akan dapat menguasai mereka; kemudian ia akan mencengkeram mereka.

“Para bhikkhu, sekarang para bhikkhu menggunakan balok kayu sebagai alas duduk; mereka rajin dan tekun dalam latihan. Māra Si Jahat tidak dapat menguasai mereka; tidak dapat mencengkeram mereka. Tetapi di masa mendatang para bhikkhu akan menjadi lunak, dengan tangan dan kaki yang lembut; mereka akan tidur hingga matahari terbit di atas kasur yang empuk dengan bantal dari bahan wol katun. Kemudian Māra Si Jahat akan dapat menguasai mereka; ia akan dapat mencengkeram mereka.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Dengan menggunakan balok kayu ini sebagai alas duduk, kami akan berlatih dengan rajin dan tekun dalam berusaha.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”148

9 Gajah Besar

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu seorang bhikkhu yang baru ditahbiskan terlalu sering mendatangi para keluarga. Para bhikkhu lain memberitahunya: “Yang Mulia seharusnya tidak terlalu sering mendatangi para keluarga,” tetapi ketika ia dinasihati oleh mereka ia berkata: “Para bhikkhu senior ini berpikir bahwa mereka boleh mendatangi keluarga, mengapa saya tidak boleh?”

Kemudian sejumlah bhikkhu mendekati Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau; duduk di satu sisi, [269] dan melaporkan persoalan ini kepada Sang Bhagavā. [Sang Bhagavā berkata:]

“Para bhikkhu, suatu ketika di masa lampau terdapat danau besar di sebuah hutan, dengan gajah-gajah besar berdiam di sekitarnya.149 Gajah-gajah itu akan berendam dalam danau dan mencabut tangkai-tangkai teratai dengan belalai mereka, dan, setelah mencucinya bersih-bersih, mengunyahnya, mereka menelannya tanpa lumpurnya. Ini meningkatkan keindahan dan kekuatan mereka, dan karena itu mereka tidak menemui kematian atau penderitaan mematikan.

“Anak-anak mereka yang masih muda, meniru gajah-gajah besar itu, terjun ke danau dan mencabut tangkai-tangkai teratai dengan belalai mereka, tetapi tanpa mencucinya bersih-bersih, tanpa mengunyahnya, mereka akan menelannya bersama dengan lumpurnya. Ini tidak meningkatkan keindahan dan kekuatan mereka, dan karena itu mereka menemui kematian atau penderitaan mematikan.

“Demikian pula, para bhikkhu, di sini para bhikkhu senior merapikan jubah di pagi hari, membawa mangkuk dan jubah, memasuki desa atau kota untuk menerima dana makanan. Di sana mereka membabarkan Dhamma, dan umat-umat awam berkeyakinan terhadap mereka.150 Mereka memanfaatkan perolehan mereka tanpa terikat padanya, tanpa menggandrunginya, tanpa terserap membuta di dalamnya, melihat bahaya di dalamnya dan memahami jalan membebaskan diri darinya. Ini meningkatkan keindahan dan kekuatan mereka, dan karena itu mereka tidak menemui kematian atau penderitaan mematikan.

“Para bhikkhu yang baru ditahbiskan, meniru para bhikkhu senior, merapikan jubah di pagi hari, membawa mangkuk dan jubah, memasuki desa atau kota untuk menerima dana makanan. Di sana mereka membabarkan Dhamma, dan umat-umat awam berkeyakinan terhadap mereka. [270] Mereka memanfaatkan perolehan mereka dengan terikat padanya, menggandrunginya, terserap membuta di dalamnya, tidak melihat bahaya di dalamnya dan tidak memahami jalan membebaskan diri darinya. Ini tidak meningkatkan keindahan dan kekuatan mereka, dan karena itu mereka menemui kematian atau penderitaan mematikan.151

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan menggunakan perolehan kami tanpa terikat padanya, tanpa menggandrunginya, tanpa terserap membuta di dalamnya, dengan melihat bahaya di dalamnya dan memahami jalan membebaskan diri darinya.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”

10 Kucing

Di Sāvatthī. Pada saat itu seorang bhikkhu terlalu akrab bergaul dengan para keluarga. Para bhikkhu lain memberitahunya: “Yang Mulia seharusnya tidak terlalu akrab bergaul dengan para keluarga,” tetapi walaupun ia dinasihati oleh mereka ia tidak berhenti.

Kemudian sejumlah bhikkhu mendekati Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau; duduk di satu sisi, dan melaporkan persoalan ini kepada Sang Bhagavā. [Sang Bhagavā berkata:]

“Para bhikkhu, suatu ketika di masa lampau seekor kucing berdiri di sebuah lorong atau saluran air atau pembuangan sampah152 melihat seekor tikus kecil, berpikir: ‘Ketika tikus kecil ini keluar untuk mencari makan, tepat di sana aku akan menangkap dan memangsanya.’ Kemudian tikus kecil itu keluar mencari makanan, dan kucing itu seketika menangkapnya dan menelannya dengan terburu-buru, tanpa mengunyahnya. Kemudian tikus kecil itu memakan usus dan selaput pembungkus organ dalam si kucing. [271] dan karena itu kucing itu menemui kematian dan penderitaan mematikan.

“Demikian pula, para bhikkhu, di sini beberapa bhikkhu merapikan jubah di pagi hari, membawa mangkuk dan jubah, memasuki desa atau kota untuk menerima dana makanan, dengan pikiran tidak terkendali, tanpa menegakkan perhatian, tidak terkendali indrianya. Ia melihat perempuan di sana yang berpakaian minim dan nafsu menguasai pikirannya. Dengan pikirannya dikuasai nafsu ia menemui kematian atau penderitaan mematikan. Karena inilah, para bhikkhu, kematian dalam Disiplin Sang Mulia: bahwa seseorang meninggalkan latihan dan kembali ke kehidupan yang lebih rendah. Ini adalah penderitaan mematikan: bahwa seseorang melakukan suatu pelanggaran merusak yang memerlukan rehabilitasi.153

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan memasuki desa atau kota untuk menerima dana makanan dengan jasmani, ucapan, dan pikiran terkendali, dengan perhatian ditegakkan, terkendali dalam indria kami.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”

11 Serigala (1)

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, apakah kalian mendengar lolongan serigala tua saat fajar menyingsing?”

“Ya, Yang Mulia.”

“Serigala tua itu menderita penyakit yang disebut kudisan. Namun ia masih bepergian ke mana pun ia menginginkan, berdiri di mana pun ia menginginkan, duduk di mana pun ia menginginkan, [272] berbaring di mana pun ia menginginkan, dan angin sejuk menerpanya. Adalah baik bagi seseorang yang mengaku sebagai pengikut putra Sakya jika ia mengalami bahkan bentuk kehidupan demikian.154

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan berlatih dengan tekun.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”

12 Serigala (2)

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, apakah kalian mendengar lolongan serigala tua saat fajar menyingsing?”

“Ya, Yang Mulia.”

“Mungkin ada sedikit kepuasan dan rasa syukur dalam diri serigala tua itu, tetapi tidak ada kepuasan dan rasa syukur dalam diri seseorang yang mengaku sebagai pengikut putra Sakya.155

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan puas dan bersyukur, dan kami tidak akan mengabaikan bahkan bantuan terkecil yang dilakukan untuk kami.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”

[273]

Bhikkhusaṃyutta

Khotbah Berhubungan dengan Para Bhikkhu

1 Kolita156

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Yang Mulia Mahāmoggallāna berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Teman-teman para bhikkhu!”

“Teman!” para bhikkhu itu menjawab. Yang Mulia Mahāmoggallāna berkata sebagai berikut:

“Di sini, teman-teman, sewaktu aku sedang berada dalam keheningan, sebuah perenungan muncul dalam pikiranku sebagai berikut: ‘“Keheningan mulia, keheningan mulia.” Apakah keheningan mulia itu?’157

“Kemudian, teman-teman, aku berpikir: ‘Di sini, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan internal dan keterpusatan pikiran, tanpa pemikiran dan pemeriksaan, dan memiliki sukacita dan kebahagiaan yang timbul dari konsentrasi. Ini disebut keheningan mulia.’

“Kemudian, teman-teman, dengan meredanya pikiran dan pemeriksaan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāṇa ke dua, yang memiliki … sukacita dan kebahagiaan yang timbul dari konsentrasi. Ketika aku berdiam di dalamnya, persepsi dan perhatian yang disertai dengan pemikiran menerpaku.

“Kemudian, teman-teman, Sang Bhagavā mendatangiku melalui kekuatan spiritual dan berkata sebagai berikut: ‘Moggallāna, Moggallāna, jangan lengah sehubungan dengan keheningan mulia, brahmana. Kokohkan pikiranmu dalam keheningan mulia, pusatkan pikiranmu pada keheningan mulia, konsentrasikan pikiranmu pada keheningan mulia.’ Kemudian, teman-teman, pada kesempatan berikutnya, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, aku masuk dan berdiam dalam jhāṇa ke dua, yang memiliki keyakinan internal dan keterpusatan pikiran, tanpa pemikiran dan pemeriksaan, dan memiliki sukacita dan kebahagiaan yang timbul dari konsentrasi.

“Jika, [274] teman-teman, seseorang yang berkata benar mengatakan mengenai seseorang: ‘Ia adalah seorang siswa yang mencapai keunggulan pengetahuan langsung dengan bantuan Sang Guru,’ adalah aku yang dimaksudkan oleh orang yang berkata benar itu.”158

2. Upatissa159

Di Sāvatthī. Di sana Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Teman-teman para bhikkhu!”

“Teman!” para bhikkhu itu menjawab. Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:

“Di sini, teman-teman, sewaktu aku sedang berada dalam keheningan, sebuah perenungan muncul dalam pikiranku sebagai berikut: ‘Adakah sesuatu di dunia ini yang melalui perubahannya maka kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan muncul dalam diriku?’ Kemudian aku berpikir: ‘Tidak ada di dunia ini yang melalui perubahannya maka kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan muncul dalam diriku.’”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Ānanda berkata kepada Yang Mulia Sāriputta: “Sahabat Sāriputta, bahkan jika Sang Guru sendiri mengalami perubahan, tidakkah kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan muncul dalam dirimu?”

“Sahabat,160 bahkan jika Sang Guru sendiri mengalami perubahan, maka kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan tetap tidak muncul dalam diriku. Namun demikian, aku akan berpikir: ‘Sang Guru, begitu berpengaruh, begitu kuat dan perkasa, telah meninggal dunia. Jika Sang Bhagavā berumur panjang, maka itu adalah demi kesejahteraan dan kebahagiaan banyak makhluk, demi belas kasih terhadap dunia, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan para deva dan manusia.’” [275]

“Pasti karena pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi terhadap keangkuhan telah benar-benar tercabut dari dalam diri Yang Mulia Sāriputta sejak lama161 maka bahkan jika Sang Guru sendiri mengalami perubahan, maka kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan tetap tidak muncul dalam dirinya.”

3 Tempayan

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu Yang Mulia Sāriputta dan Yang Mulia Mahāmoggalāna sedang berdiam di Rājagaha dalam satu tempat tinggal di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Kemudian, pada suatu malam, Yang Mulia Sāriputta keluar dari keheningan dan mendekati Yang Mulia Mahāmoggallāna. Ia saling bertukar sapa dengan Yang Mulia Mahāmoggallāna dan, ketika mereka mengakhiri ramah-tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata kepadanya:

“Sahabat Moggallāna, indriamu tenang, raut wajahmu bersih dan cerah. Apakah Yang Mulia Mahāmoggallāna melewatkan hari dalam kedamaian?”

“aku melewatkan hari dalam kediaman kasar, Sahabat, namun aku berdiskusi Dhamma.”162

“Dengan siapakah Yang Mulia Mahāmoggallāna berdiskusi Dhamma?”

“Aku berdiskusi Dhamma dengan Sang Bhagavā, sahabat.”

“Tetapi Sang Bhagavā berada sangat jauh, sahabat. Beliau sekarang berada di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Apakah Yang Mulia Mahāmoggallāna mendatangi Sang Bhagavā melalui kekuatan spiritual, atau apakah Sang Bhagavā mendatangi Yang Mulia Mahāmoggallāna melalui kekuatan spiritual?” [276]

“Aku tidak mendatangi Sang Bhagavā melalui kekuatan spiritual, sahabat, juga Sang Bhagavā tidak mendatangiku melalui kekuatan spiritual. Melainkan, Sang Bhagavā menjernihkan unsur mata-dewa dan telinga-dewa-Nya untuk berkomunikasi denganku, dan aku menjernihkan unsur mata-dewa dan telinga-dewa-ku untuk berkomunikasi dengan Sang Bhagavā.”163

“Diskusi Dhamma apakah yang Yang Mulia Mahāmoggallāna lakukan dengan Sang Bhagavā?”

“Di sini, sahabat, aku berkata kepada Sang Bhagavā: ‘Yang Mulia, dikatakan, “seseorang membangkitkan semangat, seseorang membangkitkan semangat.” Dalam cara bagaimanakah, Yang Mulia, seseorang membangkitkan semangat itu?’ Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadaku: ‘Di sini, Moggallāna, seorang bhikkhu yang telah membangkitkan semangat berdiam sebagai berikut: “Aku bertekad, walaupun kulitku, uratku, dan tulangku yang tersisa, dan walaupun daging dan darahku mengering dalam tubuhku, aku tidak akan mengendurkan usahaku sebelum aku mencapai apa yang dapat dicapai dengan kekuatan manusia, dengan kegigihan manusia, dengan usaha manusia.”164 Dengan cara demikianlah, Moggallāna, seseorang membangkitkan semangat.’ Demikianlah, sahabat, Diskusi Dhamma yang kulakukan dengan Sang Bhagavā.”

“Sahabat, dibandingkan dengan Yang Mulia Mahāmoggallāna, kami bagaikan beberapa butir pasir dibandingkan dengan Himalaya, raja pegunungan. Karena Yang Mulia Mahāmoggallāna memiliki kekuatan spiritual yang sangat tinggi dan jika ia menginginkan ia dapat hidup selama satu kappa.”165

“Sahabat, dibandingkan dengan Yang Mulia Sāriputta, kami bagaikan beberapa butir garam dibandingkan dengan satu tempayan garam. [277] Karena Yang Mulia Sāriputta sering dipuji, disanjung, dan dihargai dalam berbagai cara oleh Sang Bhagavā:

“‘Seperti halnya Sāriputta yang unggul

Dalam kebijaksanaan, moralitas, dan kedamaian,

Demikian pula seorang bhikkhu yang telah menyeberang

Paling jauh hanya dapat menyamainya.’”

Demikianlah kedua naga mulia ini bergembira dalam apa yang telah dinyatakan dan diucapkan satu sama lain.166

4 Bhikkhu yang Baru Ditahbiskan

Di Sāvatthī. Pada saat itu seorang bhikkhu yang baru ditahbiskan, setelah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, memasuki kediamannya setelah makan dan melewatkan waktunya dengan nyaman dan berdiam diri. Ia tidak membantu para bhikkhu ketika membuat jubah. Kemudian sejumlah bhikkhu mendekati Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan melaporkan persoalan ini kepada Beliau. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada seorang bhikkhu sebagai berikut: “Pergilah, bhikkhu, beritahu bhikkhu itu atas namaKu bahwa Sang Guru memanggilnya.”

“Baik, Yang Mulia,” bhikkhu itu menjawab, dan ia mendatangi bhikkhu tersebut dan memberitahunya: “Sang Guru memanggilmu, sahabat.”

“Baik, sahabat,” bhikkhu itu menjawab, dan ia mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. [278] Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Benarkah, bhikkhu, bahwa setelah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, engkau memasuki kediamanmu setelah makan dan melewatkan waktunya dengan nyaman dan berdiam diri, dan engkau tidak membantu para bhikkhu ketika membuat jubah?”

“Aku melakukan tugas-tugasku sendiri, Yang Mulia.”

Kemudian Sang Bhagavā, setelah dengan pikiranNya sendiri mengetahui refleksi dalam pikiran bhikkhu tersebut, berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut:

“Para bhikkhu, jangan mencari kesalahan bhikkhu ini. Bhikkhu ini adalah seorang yang mencapai sesuai kehendaknya, tanpa kesulitan, empat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan memberikan kediaman yang nyaman dalam kehidupan ini. Dan ia adalah seorang yang, dengan menembus bagi dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi dari kehidupan suci yang dicari oleh orang-orang yang meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan hal ini, Yang Sempurna, Sang Guru, lebih lanjut mengatakan:

“Bukan melalui usaha yang kendur,

Bukan melalui usaha yang lemah,

Nibbāna ini dicapai,

Bebas dari segala penderitaan.

“Bhikkhu muda ini [di sisiKu]

Sungguh adalah orang mulia:

Ia membawa jasmani terakhirnya,

Setelah menaklukkan Māra dan tunggangannya.”167

5 Sujāta

Di Sāvatthī. Yang Mulia Sujāta mendatangi Sang Bhagavā. Dari jauh Sang Bhagavā melihatnya datang dan berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, orang ini indah dalam kedua hal. [279] Ia tampan, berpenampilan menarik, menyenangkan dilihat, memiliki keindahan kulit. Dan ia adalah seorang yang, dengan merealisasikannya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi dari kehidupan suci yang dicari oleh orang-orang yang meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā … [yang] lebih lanjut mengatakan:

“Bhikkhu ini bersinar dengan keindahan luhur,

Memiliki pikiran yang sangat lurus.

Ia terlepas, bebas dari belenggu-belenggu,

Mencapai Nibbāna melalui ketidak-melekatan.

Ia membawa jasmani terakhirnya,

Setelah menaklukkan Māra dan tunggangannya.”

6 Lakuṇṭaka Bhaddiya

Di Sāvatthī. Yang Mulia Lakuṇṭaka Bhaddiya mendatangi Sang Bhagavā.168 Dari jauh Sang Bhagavā melihatnya datang dan berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, apakah kalian melihat bhikkhu yang datang itu, buruk rupa, tidak indah dilihat, cacat bentuknya, direndahkan di antara para bhikkhu?”

“Ya, Yang Mulia.”

“Bhikkhu itu memiliki kekuatan spiritual yang tinggi. Tidaklah mudah menemukan pencapaian yang belum dicapai oleh bhikkhu itu. Dan ia adalah seorang yang, dengan merealisasikannya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi dari kehidupan suci yang dicari oleh orang-orang yang meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā … [yang] lebih lanjut mengatakan:

“Angsa, bangau, dan merak,

Gajah, dan kijang bertutul,

Semuanya takut pada singa

Tidak peduli ukuran tubuh mereka.

“Demikian pula di antara manusia

Yang kecil yang memiliki kebijaksanaan –

Ia sesungguhnya adalah yang besar,

Bukan si dungu dengan bentuk tubuh sempurna.” [280]

7 Visākha

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesāli di Hutan Besar di Aula Beratap Lancip. Pada saat itu Yang Mulia Visākha Pañcāliputta sedang memberikan instruksi, menasihati, menginspirasi, dan menggembirakan para bhikkhu dengan khotbah Dhamma di dalam aula pertemuan, [berbicara] dengan kata-kata yang teratur, jernih, artikulasi yang baik, mengungkapkan makna dengan baik, menyeluruh, terlepas.169

Kemudian, pada malam harinya, Sang Bhagavā keluar dari keheningan dan mendatangi aula pertemuan. Beliau duduk di tempat yang telah disediakan dan berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, siapakah yang telah memberikan instruksi, menasihati, menginspirasi, dan menggembirakan para bhikkhu dengan khotbah Dhamma di dalam aula pertemuan, [berbicara] dengan kata-kata yang teratur, jernih, artikulasi yang baik, mengungkapkan makna dengan baik, menyeluruh, terlepas?”

“Ia adalah Yang Mulia Visākha Pañcāliputta, Yang Mulia.”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Visākha Pañcāliputta sebagai berikut: “Bagus, bagus, Visākha! Bagus sekali engkau menginstruksikan para bhikkhu dengan khotbah Dhamma seperti itu.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā … [yang] lebih lanjut mengatakan:

“Ketika orang bijaksana berada di tengah-tengah orang dungu

Mereka tidak mengenalnya jika ia tidak berbicara,170

Tetapi mereka mengenalnya, ketika ia berbicara,

Menunjukkan kondisi tanpa-kematian.

“Ia harus membicarakan dan menjelaskan Dhamma,

Ia harus menaikkan panji para bijaksana.

Kata-kata yang diucapkan dengan baik adalah panji para bijaksana:

Karena Dhamma adalah panji para bijaksana.” [281]

8 Nanda

Di Sāvatthī. Yang Mulia Nanda, sepupu Sang Buddha dari pihak ibu, mengenakan jubah yang tersetrika rapi, mewarnai matanya, membawa mangkuk kaca, dan mendekati Sang Bhagavā.171 Setelah memberi hormat kepada Sang Bhagavā, ia duduk di satu sisi, dan Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Nanda, tidaklah layak bagimu, seorang yang karena keyakinan telah meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, namun engkau mengenakan jubah yang tersetrika rapi, mewarnai matamu, dan membawa mangkuk kaca. Ini layak bagimu, Nanda, seorang yang karena keyakinan telah meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, bahwa engkau menjadi penghuni hutan, pemakan makanan persembahan, pemakai jubah potongan-kain, dan bahwa engkau berdiam tanpa tertarik pada kenikmatan indria.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā … [yang] lebih lanjut mengatakan:

“Kapankah Aku akan melihat Nanda sebagai seorang penghuni hutan,

Mengenakan jubah dari jahitan potongan-potongan kain,

Bertahan hidup dari sisa-sisa makanan orang asing,172

Tidak tertarik pada kenikmatan indria?”

Kemudian, tidak lama kemudian, Yang Mulia Nanda menjadi seorang penghuni hutan, pemakan makanan persembahan, pemakai jubah potongan-kain, dan ia berdiam tanpa tertarik pada kenikmatan indria.

9 Tissa

Di Sāvatthī. [282] Yang Mulia Tissa, sepupu Sang Bhagavā dari pihak ayah,173 mendekati Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, dan duduk di satu sisi – sedih, berduka, dengan air mata menetes. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Tissa, mengapa engkau duduk di sana, sedih, berduka, dengan air mata menetes?”

“Karena, Yang Mulia, para bhikkhu menyerangku dari segala sisi dengan kata-kata tajam.”174

“Itu, Tissa, adalah karena engkau menasihati orang lain namun tidak bisa menerima dinasihati. Tissa, ini tidaklah layak bagimu, seorang yang karena keyakinan telah meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, bahwa engkau menasihati orang lain namun tidak bisa menerima nasihat sebaliknya. Ini adalah layak bagimu, seorang yang karena keyakinan telah meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, bahwa engkau menasihati orang lain dan menerima nasihat sebaliknya.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan ini, Yang Sempurna, Sang Guru, lebih lanjut mengatakan:

“Mengapa engkau marah? Jangan marah!

Ketidak-marahan adalah baik bagimu, Tissa.

Adalah untuk melenyapkan kemarahan, keangkuhan, dan perbuatan menghina,

Maka kehidupan suci dijalani, O Tissa.”

10 Seorang Bhikkhu Bernama Sesepuh

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Pada saat itu seorang bhikkhu bernama Sesepuh175 adalah seorang yang penyendiri dan memuji kesendirian. Ia memasuki desa untuk menerima dana makanan sendirian, ia kembali sendirian, ia duduk sendirian di tempat tinggalnya, ia melakukan meditasi berjalan sendirian.

Kemudian sejumlah bhikkhu mendekati Sang Bhagavā, [283] memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepadaNya:

“Di sini, Yang Mulia, ada seorang bhikkhu bernama Sesepuh yang adalah penyendiri dan memuji kesendirian.”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada seorang bhikkhu sebagai berikut: “Pergilah, bhikkhu, beritahu Bhikkhu Sesepuh atas namaKu bahwa Sang Guru memanggilnya.”

“Baik, Yang Mulia,” bhikkhu itu menjawab dan ia mendatangi Yang Mulia Sesepuh dan memberitahunya: “Sang Guru memanggilmu, Sahabat Sesepuh.”

“Baik, sahabat,” Yang Mulia Sesepuh menjawab, dan ia mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Benarkah, Sesepuh, bahwa engkau adalah penyendiri dan memuji kesendirian?”

“Benar, Yang Mulia.”

“Tetapi bagaimanakah, Sesepuh, engkau menyendiri dan bagaimana engkau memuji penyendiri?”

“Di sini, Yang Mulia, aku memasuki desa untuk menerima dana makanan sendirian, aku kembali sendirian, aku duduk sendirian, dan aku melakukan meditasi berjalan sendirian.”

“Itu adalah satu cara menyendiri, Sesepuh, Aku tidak membantahnya. Tetapi sehubungan dengan kesendirian dipenuhi secara terperinci, dengarkan dan perhatikanlah, Aku akan menjelaskan.”

“Baik, Yang Mulia.”

“Dan bagaimanakah, Sesepuh, kesendirian itu dipenuhi secara terperinci? Di sini, Sesepuh, apa yang ada di masa lalu telah ditinggalkan, apa yang ada di masa depan telah dilepaskan, dan keinginan dan nafsu pada bentuk-bentuk kehidupan sekarang telah dilenyapkan seluruhnya.176 Demikianlah, Sesepuh, bahwa kesendirian dipenuhi secara terperinci. [284]

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan ini, Yang Sempurna, Sang Guru, lebih lanjut mengatakan:

“Yang bijaksana, maha-penakluk, maha-mengetahui,

Di antara segala sesuatu yang tidak ternoda, dengan segalanya ditinggalkan,

Terbebaskan dalam hancurnya ketagihan:

Aku menyebut orang itu ‘seorang yang menyendiri.’”177

11 Mahākappina

Di Sāvatthī. Yang Mulia Mahākappina mendatangi Sang Bhagavā.178 Dari jauh Sang Bhagavā melihatnya datang dan berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, apakah kalian melihat bhikkhu yang datang itu, berkulit cerah, dengan hidung mancung?”

“Ya, Yang Mulia.”

“Bhikkhu itu memiliki kekuatan spiritual tinggi. Tidaklah mudah untuk menemukan pencapaian yang belum dicapai oleh bhikkhu itu. Dan ia adalah seorang yang, dengan merealisasikannya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi dari kehidupan suci yang dicari oleh orang-orang yang meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan ini, Yang Sempurna, Sang Guru, lebih lanjut mengatakan:

“Khattiya adalah yang terbaik di antara manusia

Dengan menggunakan ukuran kasta,

Tetapi seseorang yang sempurna dalam pengetahuan dan perilaku

Adalah yang terbaik di antara para deva dan manusia.

“Matahari bersinar di siang hari,

Bulan bercahaya di malam hari,

Khattiya bersinar berpakaian baju berlapis baja,

Brahmana yang bermeditasi bersinar.

Tetapi setiap saat, siang dan malam,

Sang Buddha bersinar penuh keagungan.” [285]

12 Sahabat

Di Sāvatthī. Dua bhikkhu yang adalah dua bersahabat, murid Yang Mulia Mahākappina, mendatangi Sang Bhagavā. Dari jauh Sang Bhagavā melihat mereka datang dan berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, apakah kalian melihat kedua bhikkhu bersahabat, murid Kappina yang sedang datang itu?”

“Ya, Yang Mulia.”

“Kedua bhikkhu itu memiliki kekuatan spiritual tinggi. Tidaklah mudah untuk menemukan pencapaian yang belum dicapai oleh kedua bhikkhu itu. Dan mereka adalah orang-orang yang, dengan merealisasikannya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi dari kehidupan suci yang dicari oleh orang-orang yang meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan ini, Yang Sempurna, Sang Guru, lebih lanjut mengatakan:

“[Kedua] bhikkhu bersahabat ini

Telah bersatu sejak waktu yang sangat lama.179

Dhamma sejati telah menyatukan mereka

Dalam Dhamma yang dinyatakan oleh Sang Buddha.

“Mereka telah didisiplinkan dengan baik oleh Kappina

Dalam Dhamma yang dinyatakan oleh Yang Mulia.

Mereka membawa jasmani terakhir mereka,

Setelah menaklukkan Māra dan tunggangannya.”

Buku tentang Penyebab selesai

***14. Dhātusaṃyuta***

Catatan Kaki
  1. Spk: Keragaman unsur: sifat intrinsik yang beraneka ragam dari fenomena, yang diberi nama “unsur-unsur” dalam makna bahwa unsur-unsur itu memiliki sifat intrinsik yang merupakan kekosongan dan ketiadaannya suatu makhluk (nissattaṭṭha-suññataṭṭha-saṅkhātena sabhāvaṭṭhena dhātū ti laddhanāmānaṃ dhammānaṃ nānāsabhāvo dhātunāttaṃ). ↩︎

  2. Spk: Unsur mata adalah sensitivitas-mata (cakkhupasāda), unsur bentuk adalah objek bentuk; kesadaran-mata adalah pikiran yang berdasarkan pada sensitivitas-mata (cakkhupasādavatthukaṃ cittaṃ). Empat unsur lainnya, objeknya, dan kondisi kesadarannya dijelaskan dengan cara serupa, dengan perubahan yang bersesuaian. Unsur pikiran (manodhātu) adalah tiga unsur pikiran [Spk-pṭ: dua unsur pikiran menerima (sampaṭicchana) dan unsur pikiran fungsional [ = citta yang mengarahkan lima pintu]. Unsur fenomena pikiran (dhammadhātu) adalah tiga kelompok unsur –perasaan, (persepsi, dan bentukan-bentukan kehendak) – bentuk halus dan Nibbāna. Unsur kesadaran-pikiran adalah seluruh kesadaran-pikiran [Spk-pṭ: yang terdiri dari tujuh puluh enam jenis].

    Definisi unsur secara formal dan tepat tidak ditemukan dalam Nikāya. Mungkin sumber kanon yang tertua untuk definisi delapan belas unsur adalah Vibh 87-90. Ini hanya terdapat dalam Abhidhamma-bhājaniya, yang menyiratkan bahwa penyusun Vibh menganggap delapan belas unsur ini sebagai kelompok Abhidhamma daripada bagian dari Sutta-sutta. Pembahasan dari sudut pandang komentar terdapat pada Vism 484-90 (Ppn 15:17-43) dan Vibh-a 76-82.

    “Sensitivitas” (pasāda) adalah jenis-jenis fenomena materi, yang terletak pada organ indria kasar, yang menerima jenis objek indria yang bersesuaian. Baik Vibha-a maupun Vism membingkai penjelasannya dengan berdasarkan pada teori Abhidhamma sehubungan dengan proses kognitif, yang, walaupun diucapkan demikian hanya dalam komentar, namun sepertinya menggaris-bawahi pengelompokan citta dalam Abhidhamma Piṭaka. Akan tetapi, skema ini, jelas lebih baru daripada Nikāya, dan usaha Spk untuk mencocokkan kedua sudut pandang ini kadang-kadang sepertinya dibuat-buat.

    Lima jenis kesadaran indria adalah citta yang mengerahkan fungsi yang belum sempurna berupa hanya pengenalan atas objek indria. Dari ketiga unsur pikiran, unsur “fungsional” (kiriya) adalah citta pertama dalam proses ini, yang sekedar mengarahkan pada objek, dan oleh karena itu disebut kesadaran yang mengarahkan lima pintu (pañcadvārāvajjana-citta). Ini diikuti oleh kesadaran indria yang bersesuaian (kesadaran-mata, dan seterusnya), citta yang dihasilkan secara kamma yang merupakan akibat yang bermanfaat ataupun akibat yang tidak bermanfaat; karena itu lima kesadaran indria menjadi sepuluh. Selanjutnya menyusul kesadaran menerima (sampaṭicchana-citta), yang “mengambil” objek untuk diperiksa lebih lanjut; ini adalah suatu “unsur pikiran” dan berupa akibat yang bermanfaat ataupun akibat yang tidak bermanfaat. Selanjutnya muncul kesadaran penyelidikan (santīraṇa-citta), akibat yang bermanfaat atau pun akibat yang tidak bermanfaat yang menyelidiki objek; kemudian kesadaran yang menentukan (votthapana-citta), suatu fungsi yang mendefinisikan objek; dan kemudian muncul serangkaian citta yang disebut javana, yang merupakan baik reaksi yang bermanfaat ataupun yang tidak bermanfaat terhadap objek (atau, dalam kasus Arahant, hanya reaksi “fungsional”). Ini mungkin diikuti dengan kesadaran pencatatan (tadārammaṇa), citta akibat yang mencatat kesan-kesan atas objek pada rangkaian pikiran. Semua citta dimulai dari kesadaran penyelidikan dan seterusnya adalah unsur kesadaran-pikiran, yang terdiri dari tujuh puluh enam jenis. Pada pintu pikiran, proses ini agak berbeda: dimulai dengan kesadaran yang mengarahkan pintu-pikiran (manodvārāvajjana-citta), yang segera diikuti dengan serangkaian javana. Untuk penjelasan secara terperinci, baca CMA 1:8-10, 4:1-23.

    Unsur fenomena pikiran (dhammadhātu) tidak harus sama dengan unsur objek kesadaran-pikiran, seperti yang mungkin disamakan dengan indria-indria lainnya. Bersama dengan objek kesadaran-pikiran termasuk di dalamnya seluruh perasaan, persepsi, dan bentukan-bentukan kehendak yang menyertai kesadaran dalam proses kognisi. Demikianlah unsur ini memiliki porsi subjektif tindakan kognitif yang sama besar dengan porsi objektifnya. Baca terutama CMA, Tabel 7.4. ↩︎

  3. Spk: Kontak-mata, dan seterusnya, berhubungan dengan kesadaran-mata, dan seterusnya. Kontak-pikiran berhubungan dengan javana pertama pada pintu pikiran; oleh karena itu, ketika dikatakan, dengan bergantung pada unsur pikiran maka muncullah kontak pikiran, ini berarti bahwa kontak javana pertama muncul dengan bergantung pada unsur kesadaran-pikiran fungsional, yaitu, citta yang mengarahkan pintu pikiran.

    Mengenai javana, baca CMA 3:9, 4:12-16, dan mengenai citta yang mengarahkan pintu-pikiran, baca CMA 1:10,3:9. ↩︎

  4. Berhubung menurut skema hubungan pengondisian dari Abhidhamma, unsur pikiran dan kontak yang menyertainya adalah saling bergantungan. Spk dipaksa untuk menjelaskan hal ini dengan cara yang tidak memperlawankan sutta-sutta dengan Abhidhamma. Karena itu Spk mengatakan: “unsur kesadaran pikiran fungsional dengan fungsi mengarahkan (yaitu, citta yang mengarahkan pintu pikiran) tidak muncul dengan bergantung pada kontak yang berhubungan dengan javana pertama di pintu pikiran (yang muncul setelahnya). ↩︎

  5. Spk: Persepsi bentuk (rūpasaññā): persepsi yang berhubungan dengan kesadaran-mata. Kehendak sehubungan dengan bentuk (rūpasaṅkappa): kehendak yang berhubungan dengan tiga citta – citta menerima, (menyelidiki dan menentukan). Keinginan pada bentuk (rūpacchanda): keinginan dalam makna menginginkan bentuk. Nafsu pada bentuk (rūpapariḷāha): nafsu (lit. “demam”) dalam makna membakar sehubungan dengan bentuk [Spk-pṭ: karena api nafsu, dan seterusnya berfungsi “membakar” penyokongnya sendiri]. Pencarian bentuk (rūpapariyesanā): mencari untuk mendapatkan bentuk itu, setelah membawa serta teman-teman dan kerabatnya. Nafsu dan pencarian terdapat pada proses javana yang berbeda (sehingga nafsu dapat menjadi kondisi pendahulu bagi pencarian). ↩︎

  6. Tulisan pada Ee harus diubah menjadi: no saṅkappanānattaṃ paṭicca uppajjati saññānānattaṃ; no saññānānattaṃ paṭicca uppajjati dhātunānattaṃ. ↩︎

  7. Teks dalam kurung terdapat pada Ee dan Se, tetapi tanpa bagian yang dihilangkan. Se lebih jauh mengembangkan pola untuk unsur suara, sedangkan Be melanjutkan secara langsung dari rūpadhātuṃ bhikkhave paṭicca uppajjati rūpasaññā hingga dhammadhātuṃ paṭicca uppajjati dhammasaññā dan mengembangkan pola hanya untuk unsur fenomena-pikiran. ↩︎

  8. Usaha ini untuk menggabungkan menjadi satu rangkaian urutan yang berbeda yang dimulai dari kontak dan persepsi menuju beberapa ketidak-sesuaian yang aneh, yang bahkan menjadi lebih aneh di antara penyangkalan dari sutta berikutnya. Di tempat lain kontak dikatakan merupakan kondisi bagi manifestasi kelompok-kelompok unsur perasaan, persepsi, dan bentukan-bentukan kehendak (misalnya, pada 22:82 (III 101, 33 – 102,2), dan baca 35:93 (IV 68,15-16)); namun di sini kontak dan perasaan, dikatakan bergantung pada persepsi dan kehendak. Spk dan Spk-pṭ tidak menunjukkan keberatan atas perbedaan ini juga tidak membenarkannya.

    Pada MN I 111,35 – 112,13 serangkaian fenomena pikiran diuraikan sebagai berikut: kontak -> persepsi -> pemikiran -> proliferasi konseptual -> obsesi oleh persepsi dan gagasan yang muncul dari proliferasi. Teks sering memperlakukan pemikiran (vitakka) sebagai identik dengan kehendak (saṅkappa); proliferasi (papañca) termasuk ketagihan (taṇhā), yang bersinonim dengan keinginan (chanda); dan obsesi (samudācāra) dapat terdiri dari nafsu dan pencarian, dan seterusnya. Maka ini memberikan suatu versi yang lebih meyakinkan kepada kita. Spk sesungguhnya merujuk pada seorang bhikkhu, Uruvelāyavāsī Cūḷatissa Thera, yang mengatakan: “Walaupun Sang Bhagavā menyisipkan kontak dan perasaan di tengah-tengah teks, setelah kembali ke teks (pālim pana parivaṭṭetvā) kita mendapatkan: persepsi, kehendak, keinginan, nafsu, pencarian, dan perolehan sehubungan dengan objek yang disebutkan (bentuk, dan seterusnya), ‘perolehan bentuk’ sebagai objek yang diperoleh bersama dengan ketagihan; kemudian ada kontak sebagai kontak (pikiran) dengan objek yang diperoleh dan perasaan sebagai yang mengalami objek. Dengan cara demikianlah pasangan ini – kontak dengan bentuk dan perasaan - ditemukan.”

    Spk melanjutkan: “Dan di sini, persepsi, kehendak, kontak, perasaan, dan keinginan ditemukan baik dalam proses javana yang sama maupun dalam proses javana yang berbeda, sedangkan nafsu, pencarian, dan perolehan ditemukan hanya dalam proses javana yang berbeda.” ↩︎

  9. Spk: Unsur cahaya (ābhādhātu) adalah sebuah nama bagi jhāna bersama dengan objeknya, yaitu, cahaya (āloka) dan jhāna muncul setelah melakukan pekerjaan persiapan pada *kasiṇa-*cahaya. Unsur keindahan (subhadhātu) adalah jhāna bersama dengan objeknya, yaitu jhāna yang muncul pada landasan kasina keindahan. Yang lainnya sudah jelas. ↩︎

  10. Spk: Unsur cahaya terlihat dengan bergantung pada kegelapan: karena kegelapan dibatasi oleh (dilawan dengan) cahaya, dan cahaya oleh kegelapan. Demikian pula, kebusukan dibatasi oleh (dilawan dengan) keindahan, dan keindahan oleh kebusukan. Dengan bergantung pada bentuk: dengan bergantung pada pencapaian meditatif alam berbentuk. Karena ketika seseorang memiliki pencapaian alam berbentuk maka ia dapat mengatasi bentuk atau mencapai landasan ruang tanpa batas. Dengan bergantung pada lenyapnya (nirodhaṃ paṭicca): dengan bergantung pada ketidak-munculan yang ditekan melalui perenungan (paṭisaṅkhā-appavatti) atas empat kelompok unsur (batin). Karena pencapaian lenyapnya terlihat dengan bergantung pada lenyapnya kelompok-kelompok unsur kehidupan, bukan pada kemunculannya. Dan di sini adalah lenyapnya empat kelompok unsur kehidupan yang harus dipahami sebagai “pencapaian lenyapnya.” ↩︎

  11. Spk: Suatu pencapaian dengan sisa bentukan-bentukan (Saṅkhārāvasesasamāpatti): karena sisa bentukan-bentukan halus. Menurut Vism. 337-38 (Ppn 10:47-54), dalam pencapaian ini persepsi dan faktor-faktor batin lainnya hadir sekedar dalam modus sisa yang halus dan dengan demikian tidak dapat melakukan fungsi menentukan; demikianlah makna yang bertentangan dari nama itu. ↩︎

  12. Spk: Unsur indriawi (kāmadhātu) adalah pikiran indriawi, seluruh fenomena alam indria secara umum, dan secara khusus segala sesuatu yang tidak bermanfaat kecuali unsur permusuhan dan unsur mencelakai, yang disebutkan secara terpisah di sini. Persepsi indriawi muncul dengan bergantung pada unsur indriawi dengan cara mengambilnya sebagai objek atau melalui hubungan (yaitu ketika persepsi indriawi terhubung dengan pikiran indriawi dalam citta yang sama).

    Semua unsur ini yang didefinisikan dalam Vibh 86-87, dikutip oleh Spk. Vibh-a 74 menghubungkan pikiran indriawi dengan indriawi sebagai kekotoran (kilesakāma) dan fenomena alam indria dengan indriawi sebagai objek indria (vatthukāma). Kehendak indriawi muncul dengan bergantung pada persepsi indriawi baik melalui hubungan ataupun dukungan penentuan. (Kondisi hubungan (sampayutta-paccaya) adalah hubungan antara fenomena pikiran yang bersamaan; kondisi dukungan-penentuan (upanissaya-paccaya) adalah hubungan antara sebab dan akibat yang terpisah oleh waktu.) ↩︎

  13. Spk: Unsur permusuhan (byāpādadhātu) adalah pikiran memusuhi atau permusuhan itu sendiri [Spk-pṭ: yaitu, kebencian (dosa)]. Perhatikan bahwa komentar, mengikuti sistematika Abhidhamma dari ajaran Buddha, membedakan antara permusuhan dan pikiran memusuhi. Keduanya adalah faktor batin utama (cetasikā dhammā), yang pertama adalah suatu modus faktor batin tidak bermanfaat kebencian (dosa), dan yang ke dua adalah pemikiran (vitakka) yang berhubungan dengan faktor batin tersebut. Demikian pula dengan mencelakai, dan seterusnya. ↩︎

  14. Spk: Unsur mencelakai (vihiṃsādhātu) adalah pikiran mencelakai dan bahaya itu sendiri. Vibh 86 menjelaskan unsur mencelakai sebagai menyakiti makhluk-makhluk dalam berbagai cara. ↩︎

  15. Spk: Unsur pelepasan (nekkhammadhātu) adalah pikiran melepaskan dan seluruh kondisi bermanfaat kecuali dua unsur lainnya, yang dijelaskan secara terpisah. Persepsi pelepasan muncul dengan bergantung pada unsur pelepasan melalui kondisi-kondisi seperti pendamping yang muncul bersamaan (sahajātapaccaya), dan sebagainya. ↩︎

  16. Spk: Unsur tanpa permusuhan (abyapādadhātu) adalah pikiran-tidak bermusuhan dan ketidak-bermusuhan itu sendiri, yaitu, cinta kasih terhadap makhluk-makhluk. ↩︎

  17. Spk: Unsur tidak mencelakai (avihiṃsādhātu) adalah pikiran tidak mencelakai dan belas kasihan. ↩︎

  18. Spk: Mulai dari sini kata “unsur” berarti kecenderungan (ajjhāsaya). ↩︎

  19. Nama bhikkhu ini dituliskan seperti dalam Ee. Be dan Se menuliskannya hanya sebagai Kaccāna, dan Se mencatat sebuah variasi tulisan, Sandha Kaccāyana. Pada 44:11 disebutkan Sabhiya Kaccāna, juga di Aula Bata di Ñātika, dan keduanya mungkin adalah orang yang sama.

    Spk menjelaskan pertanyaannya dalam dua cara: (i) “Mengapakah pandangan itu muncul dalam diri enam guru (saingan) yang tidak tercerahkan sempurna, ‘Kami adalah Yang Tercerahkan Sempurna’?” (ii) “Mengapakah pandangan itu muncul dalam diri para siswa mereka sehubungan dengan (guru-guru mereka) yang tidak tercerahkan sempurna, ‘Mereka adalah Yang Tercerahkan Sempurna’?” Ee sammāsambuddho ti harus diubah menjadi sammāsambuddhā ti↩︎

  20. Yang berlawanan adalah antara hinādhimuttikā dan kalyāṇādhimuttikā. Spk mengemas adhimuttika dengan ajjhāsayā, “kecenderungan.” ↩︎

  21. Sāriputta, sebagai siswa bhikkhu yang terunggul dalam kebijaksanaan, menarik para bhikkhu yang serupa dengannya yaitu yang berkebijaksanaan tinggi. Semua para siswa lainnya yang disebutkan di bawah menarik para siswa yang memiliki kekhususan serupa. ↩︎

  22. Sutta ini, termasuk syair-syairnya, terdapat pada It 70-71. Syair-syairnya sendiri, kecuali dua pāda pertama, terdapat pada Th 147-48. ↩︎

  23. Saṃsaggā vanatho jāto. Mengenai vanatha, baca I, n.474. Spk: Dari pergaulan – dari ketagihan dan kasih sayang yang berdasarkan pada pergaulan melalui melihat dan mendengar – muncul hutan, hutan kekotoran muncul. Melalui tanpa-pergaulan hutan ditebang: dipotong dengan ke-tiada-an pergaulan, dengan tidak melihat, dengan menghindari berdiri dan duduk di tempat tertutup (dengan lawan jenis). ↩︎

  24. Spk: Mereka yang berpengetahuan salah: mereka yang memiliki peninjauan salah (micchāpaccavekkhaṇena samannāgatā). Mereka yang berpembebasan salah: mereka yang berdiam dalam pembebasan yang tidak membebaskan, yang mereka anggap sebagai pembebasan yang benar. Mereka yang berpengetahuan benar: mereka yang memiliki peninjauan benar. Mereka yang berpembebasan benar: mereka yang memiliki pembebasan yang membebaskan dari Buah.

    Pengetahuan benar dan pembebasan benar melengkapi delapan faktor dari Jalan Mulia Berunsur Delapan. Dikatakan sebagai faktor-faktor Arahant (misalnya, pada MN III 76,8), tetapi pada 55:26 (V 384,1-12) juga dikatakan berasal dari Anāthapiṇḍika, seorang Pemasuk-Arus. Kemasan Spk atas pengetahuan benar sebagai pengetahuan peninjauan benar sulit diterima. Lebih mungkin bahwa ungkapan ini merujuk pada pengetahuan lengkap atas Empat Kebenaran Mulia yang dengannya Kearahattaan dicapai. ↩︎

  25. Spk mengartikan masing-masing unsur melalui karakteristik fisik atau fungsinya: unsur tanah adalah unsur dasar (patiṭṭhādhātu); unsur air, unsur kohesif (ābandhanadhātu); unsur api, unsur yang mematangkan (paripācanadhātu); dan unsur angin, unsur mengembang (vitthambhanadhātu). Untuk penjelasan terperinci menurut metode komentar, baca Vism 374-70 (Ppn 11: 85-117). ↩︎

  26. Spk: Karena menyatu pada Nibbāna (nibbānaṃ āgamma) bahwa ketagihan dan nafsu dilenyapkan dan ditinggalkan, maka Nibbāna adalah jalan membebaskan diri darinya. ↩︎

  27. Spk: Sutta ini mendiskusikan Empat Kebenaran Mulia. Kepuasan (assāda) dalam empat unsur adalah kebenaran asal-mula; bahaya (ādinava) adalah kebenaran penderitaan; jalan membebaskan diri (nissaraṇa) adalah kebenaran lenyapnya; sang jalan yang memahami jalan membebaskan diri ini adalah kebenaran sang jalan. ↩︎

  28. Seluruhnya saya bersama Se dan Ee membaca cetovimutti bukan vimutti seperti dalam Be. Spk: Pengetahuan muncul, “KebebasanKu ini melalui Buah Kearahattaan adalah tidak tergoyahkan.” Ketidak-goyahan ini dapat dipahami melalui sebabnya dan melalui objeknya. Ketidak-tergoyahannya melalui sebab karena kekotoran yang telah dilenyapkan melalui empat jalan tidak mungkin kembali lagi. Tidak tergoyahkan melalui objek karena terjadi dengan mengambil kondisi tidak tergoyahkan, Nibbāna, sebagai objek. ↩︎

  29. Vimariyādikatena cetasā. Spk: rintangan (mariyādā) ada dua: rintangan kekotoran dan rintangan lingkaran kelahiran. Di sini, karena meninggalkan keduanya, dikatakan bahwa mereka berdiam dengan pikiran bebas dari rintangan. ↩︎

  30. Spk: Menyenangkan dalam hal bahwa itu adalah sebuah kondisi bagi perasaan menyenangkan. ↩︎

  31. Terdapat ketidak-simetrisan antara kedua klausa dalam pernyataan ini: yang pertama merangkai empat istilah: uppādo ṭhiti abhinibbatti pātubhāvo, namun lanjutannya menunjukkan hanya tiga, menghilangkan abhinnibbatti. Ini dilakukan secara konsisten di mana saja “pola” ini diterapkan, seperti pada 22:30 dan 35:21-22.

    15. Anamataggasaṃyutta ↩︎

  32. Anamataggo ‘yam bhikkhave saṃsāro. Spk memecah anamattaga menjadi anu amatagga, menjelaskan: “Bahkan jika harus dilacak melalui pengetahuan selama seratus atau seribu tahun, maka tetap dengan awal yang tidak terpikirkan, dengan awal yang tidak diketahui (vassasataṃ vassasahassaṃ ñāṇena anugantvā pi amataggo aviditaggo). Tidaklah mungkin mengetahui awalnya dari sini atau dari sana; artinya adalah bahwa itu adalah tanpa titik awal atau akhir yang membatasi. Saṃsāra adalah peristiwa yang berturut-turut terjadi tanpa terputus dari kelompok-kelompok unsur kehidupan, dan sebagainya (khandhādānaṃ avicchinnappavatta paṭipāṭi).

    Versi BHS untuk Anamatagga adalah anavarāgra (yaitu, pada Mvu I 34,7), “Tanpa batas bawah dan atas.” Untuk berbagai penjelasan, baca CPD, s.v. an-amat’-agga. ↩︎

  33. Spk: Empat samudra raya dibatasi oleh cahaya Gunung Sineru. Karena lereng timur Sineru terbuat dari perak, lereng selatan dari permata, lereng barat dari kristal, dan lereng utara dari emas. Dari lereng timur dan selatan cahaya perak dan permata bersinar, bergabung, melintasi permukaan samudra, dan mencapai hingga ke gunung-gunung yang mengelilingi dunia; dan demikian pula dengan cahaya yang muncul dari lereng-lereng lainnya. Empat samudra raya terletak di antara cahaya-cahaya itu. ↩︎

  34. Kappa. Jelas yang dimaksudkan adalah mahākappa, lamanya waktu yang dibutuhkan oleh alam semesta untuk muncul, berkembang, dan lenyap. Tiap-tiap mahākappa terdiri dari empat asaṅkhyeyyakappa, periode pengembangan, stabil, penyusutan, dan pelenyapan: baca AN II 142,15-28. ↩︎

  35. Kāsikena vatthena. Walaupun ini seringkali dipahami sebagai sutra, Spk menjelaskannya sebagai kain yang sangat lembut yang terbuat dari pintalan benang yang terdiri dari tiga serat kapas. ↩︎

  36. Bersama dengan Be dan Se, membaca ananussaritā va. Anussaritā va dalam Be harus diubah. ↩︎

  37. Perumpamaan ini juga terdapat pada 56:33 ↩︎

  38. Sutta ini, termasuk syair-syairnya, juga terdapat pada It 17-18. ↩︎

  39. Spk: Untuk makhluk-makhluk ini, jumlah kelahiran ketika mereka terlahir sebagai makhluk tanpa tulang belakang adalah lebih besar dari jumlah kelahiran ketika mereka terlahir sebagai makhluk bertulang belakang; karena ketika mereka menjadi makhluk-makhluk seperti cacing, dan sebagainya, mereka tidak memiliki tulang. Tetapi ketika mereka menjadi ikan atau kura-kura, dan sebagainya, tulangnya sangat banyak. Oleh karena itu, dengan mengabaikan waktu ketika mereka tidak bertulang belakang dan waktu ketika mereka memiliki sangat banyak tulang, hanya waktu ketika mereka memiliki tulang berjumlah sedang (samaṭṭhikakālo va) yang diperhitungkan. ↩︎

  40. Kelompok bhikkhu yang sama memberikan kesempatan kepada Sang Buddha untuk mengadakan persembahan jubah kaṭhina pada akhir vassa, masa menetap pada musim hujan; baca Vin I 253-54. Menetap di hutan, dan sebagainya, adalah empat praktik pertapaan (dhutaṅga). Spk: Namun semuanya masih terbelenggu (sabbe sasaṃyojanā): Beberapa adalah para Pemasuk-Arus, beberapa adalah Yang-Kembali-Sekali, beberapa adalah Yang-Tidak-Kembali, tetapi di antara mereka tidak ada kaum duniawi atau Arahant. ↩︎

  41. Mengenai variasi umur kehidupan manusia selama masa para Buddha yang berbeda-beda, baca DN II 3,28 – 4,5. DN III 68-76 menjelaskan bagaimana umur kehidupan akan menurun lebih jauh sebagai akibat dari kemerosotan moral hingga mencapai terendah sepuluh tahun, setelahnya umur akan meningkat hingga 80.000 tahun pada masa Buddha Metteya. ↩︎

  42. Spk mengatakan bahwa teks ini tidak boleh diinterpretasikan menjadi berarti bahwa umur kehidupan perlahan-lahan menurun dari masa Kakusandha langsung menuju masa Koṇāgamana. Melainkan, umur kehidupan setelah Kakusandha parinibbāna terus-menerus menurun hingga mencapai umur minimum yaitu sepuluh tahun, kemudian meningkat hingga tidak terhingga (asaṅkhyeyya), dan kemudian menurun lagi hingga mencapai 30.000 tahun, yang mana saat itu Koṇāgamana muncul di dunia ini. Pola yang sama berlaku untuk kasus-kasus berikutnya, termasuk pada masa Metteya (baca n.263). ↩︎

  43. Juga terdapat pada 6:15 (I, v.609). Baca juga v.21 dan I, n.20.

    16. Kassapasaṃyutta ↩︎

  44. Spk membahas tiga pengelompokan kepuasan (santosa): (i) kepuasan yang sesuai dengan perolehan seseorang (yathālābhasantosa), yaitu, kepuasan sisa atas perolehan apa pun, apakah halus atau kasar; (ii) kepuasan yang sesuai dengan kemampuan seseorang (yathābalasantosa), yaitu, kepuasan sisa atas apa pun yang ia perlukan untuk mempertahankan kesehatannya; dan (iii) kepuasan yang sesuai dengan kelayakan (yathāsāruppasantosa), yaitu, melepaskan segala benda mewah yang diterima dan hanya menyimpan benda-benda kebutuhan yang mendasar dan sederhana. Terjemahan atas kalimat lengkap – dari komentar yang sama atas Sāmaññaphala Sutta (Sv I 206-8) – dapat ditemukan dalam Bodhi, Discourse on the Fruits of Recluseship, pp. 134-37. Berbagai jenis pencarian salah (anesanā) dibahas pada Vism 22-30 (Ppn 1:60-84). ↩︎

  45. Spk: Jika ia tidak memperoleh jubah: jika ia tidak memperoleh jubah ia tidak menjadi gelisah (na paritasati) seperti seorang yang, tidak memperoleh jubah, menjadi takut dan gelisah dan bergaul dengan para bhikkhu yang baik, dengan pikiran “Bagaimanakah agar aku dapat memperoleh jubah?” Melihat bahaya (ādinavadassāvi): bahaya atas pelanggaran dalam pencarian yang salah dan penggunaan ketika sedang terikat padanya. Memahami jalan membebaskan diri (nissaraṇapañña): ia menggunakannya setelah mengetahui jalan membebaskan diri yang disebutkan dalam formula, “Hanya untuk mengusir dingin,” dan seterusnya. (Mengenai formula empat kebutuhan, baca MN I 10,4-20, dengan analisis terperinci pada Vism 30-35; Ppn I:85-97). Kalimat ini (dan kalimat yang sama sehubungan dengan benda kebutuhan lainnya kecuali obat-obatan) terdapat dalam Ariyavaṃsa Sutta dalam penjelasan mengenai bhikkhu petapa yang ideal (AN II 27-29). ↩︎

  46. Kassapena vā hi vo bhikkhave ovadissāmi yo vā pan’ assa Kassapasadiso. Spk menjelaskan bahwa yo … Kassapasadiso seharusnya ditafsirkan sebagai instrumental yang bekerja, sama dengan kassapena: “Beliau menasihati dengan teladan Kassapa ketika Beliau mengatakan, ‘Seperti halnya Mahākassapa puas dengan empat kebutuhan, demikian pula kalian seharusnya.’ Beliau menasihati dengan seseorang yang menyerupai Kassapa ketika Beliau mengatakan, ‘Jika ada siapa pun juga di sini yang menyerupai Kassapa – yaitu, seperti Bhikkhu Mahākassapa – dalam hal merasa puas dengan empat kebutuhan, Kalian juga harus seperti itu.’” ↩︎

  47. Tathattāya paṭipajjitabbaṃ. Spk: (Beliau mengatakan:) “‘Dalam sutta ini mengenai kepuasan, tanggung jawab Yang Tercerahkan Sempurna (bhāra) adalah menjelaskan praktik penghapusan (sallekhācāra), sementara tanggung jawab kita adalah memenuhinya melalui pemenuhan praktik. Marilah kita menerima tanggung jawab yang dipercayakan kepada kita’ – setelah merenungkan demikian, kalian harus berlatih sesuai dengan itu, seperti yang dijelaskan olehKu.” ↩︎

  48. Spk menjelaskan tidak tekun (anātāpi) sebagai tanpa kegigihan yang membakar (ātapati) kekotoran, dan tidak takut melakukan pelanggaran (anottappi) sebagai tanpa rasa takut terhadap munculnya kekotoran dan tidak munculnya kualitas-kualitas bermanfaat. Kedua kata itu diturunkan dari akar yang sama, tap, membakar. Spk menjelaskan anuttara yogakkhema sebagai Kearahattaan, disebut demikian karena aman dari empat belenggu (yoga; baca 45:172). Baca juga I, n.463↩︎

  49. Empat bagian dari perenungan ini bersesuaian dengan empat aspek usaha benar (baca 45:8) atau empat jenis daya upaya benar (baca 49:1-12). ↩︎

  50. Spk: “Bagaikan rembulan, yang melintas di langit, tidak membentuk keakraban, kasih sayang, atau keterikatan dengan siapa pun, juga tidak memunculkan kegemaran, kerinduan, dan obsesi, namun tetap disukai dan menyenangkan bagi banyak makhluk, demikian pula kalian seharusnya tidak membentuk keakraban, dan seterusnya dengan siapa pun; kemudian, dengan melakukan demikian, kalian akan mendekati para keluarga seperti rembulan, disukai dan menyenangkan bagi banyak orang. Lebih jauh lagi, bagaikan bulan yang melenyapkan kegelapan dan memancarkan cahaya, demikian pula kalian akan melenyapkan kegelapan kekotoran dan memancarkan cahaya pengetahuan.”

    Spk menjelaskan apakassa sebagai bentuk absolutif, sama dengan apakassitvā dan dikemas menjadi apanetvā, “setelah menarik mundur.” Seorang bhikkhu menarik mundur jasmaninya ketika ia menetap di hutan (daripada di vihara di desa) dan menarik mundur pikirannya ketika ia menghindari pikiran-pikiran indriawi dan kondisi-kondisi pikiran lainnya yang berbahaya. ↩︎

  51. Spk: Ini adalah frasa yang unik (asambhinnapada) dalam kata-kata Sang Buddha yang dilestarikan dalam Tipiṭaka. Spk-pṭ: Karena tidak ada tempat lain yang mengandung frasa ini, “Sang Bhagavā melambaikan tangannya di udara,” tercatat. ↩︎

  52. Ini adalah pikiran yang bekerja secara mandiri. Bhikkhu itu ingin melihat para bhikkhu menerima persembahan dan para umat awam “membuat jasa” dengan memberikan persembahan kepada mereka. Bhikkhu itu yang gembira atas perolehan orang lain memiliki kualitas kegembiraan akan kepentingan orang lain (muditā); ia tidak menjadi iri hati ketika orang lain terpilih untuk menerima persembahan dan bukan dirinya sendiri. ↩︎

  53. Pasannākāraṃ kareyyuṃ. Idiom ini juga muncul di bawah pada 20:9 (II 269,24,33) dan pada MN III 131,30-31 dan III 144,18-19. Suatu pasannākāraṃ (lit. “suatu bentuk keyakinan”) adalah suatu pemberian yang diberikan sebagai suatu ungkapan penghargaan. Ruang kosong dalam Ee seharusnya ditutup. Spk: “Semoga mereka memberikan benda-benda kebutuhan, jubah dan sebagainya!” ↩︎

  54. Karuññaṃ paṭicca anudayaṃ paṭicca anukampaṃ upādāya. Saya biasanya menerjemahkan karuṇā (yang mana berasal dari kata yang sama dengan kāruññaṃ) dan anukampā sebagai “belas kasihan.” Ini biasanya berhasil karena kedua kata ini jarang muncul bersamaan, namun kalimat sekarang ini adalah suatu pengecualian yang jarang terjadi; karena itu saya menggunakan “keprihatinan lembut” sebagai pengganti sementara untuk anukampā. Spk mengemas anudaya menjadi rakkhaṇabhāva (kondisi perlindungan) dan anukampā menjadi mudicittatā (kebaikan hati yang lembut), dan mengatakan bahwa kedua istilah tersebut adalah bersinonim dengan karuññaṃ. Dalam paragraf berikutnya, di mana pernyataan yang sama ditujukan pada Kassapa, Ee menghilangkan satu baris (pada II, 200,3), jelas suatu kekeliruan: … paresaṃ dhammaṃ deseti; kāruññaṃ paṭicca … ↩︎

  55. Kulūpaka. Spk: Seseorang yang pergi ke rumah-rumah para keluarga. Seperti akan terlihat pada 20:9,10, ini berbahaya bagi para bhikkhu yang tidak cukup kuat batinnya untuk menolak godaan atas pergaulan akrab dengan umat awam. ↩︎

  56. Spk: Jubah Kassapa dikatakan telah usang (nibbasana) karena Sang Bhagavā, setelah mengenakannya, kemudian meninggalkannya. (Baca di bawah 16:11; II 221,15-25)

    Sang Buddha jelas meminta Mahākassapa untuk meninggalkan tiga praktik pertapaan – mengenakan jubah potongan kain, memakan makanan yang hanya diperoleh dari mengumpulkan dana makanan, dan menetap di hutan. Sang Buddha sendiri mengenakan jubah yang dipersembahkan oleh perumah tangga, menerima undangan makan, dan menetap di vihara dalam kota; baca MN II 7-8. Menurut Spk, Sang Buddha tidak sungguh-sungguh meminta Kassapa meninggalkan praktik pertapaannya, tetapi “bagaikan genderang tidak akan berbunyi jika tidak ditabuh, demikian pula orang-orang demikian tidak akan mengaumkan auman singa mereka jika tidak ‘ditabuh’. Demikianlah Beliau berkata kepadanya dengan cara ini dengan maksud untuk membuatnya mengaumkan auman singanya.” ↩︎

  57. Ini adalah auman singa Mahākassapa; baca juga MN I 214,1-17, di mana Mahākassapa menggambarkan bhikkhu ideal dalam istilah-istilah yang sama. Empat hal pertama adalah praktik pertapaan; lima berikutnya, kualitas yang dihasilkan dengan pelaksanaan praktik ini. pada AN I 23,20 Sang Buddha menyatakan Mahākassapa sebagai yang terunggul di antara para siswa bhikkhu yang mendukung praktik pertapaan, yang juga jelas dari 14:15 di atas. ↩︎

  58. Membaca bersama dengan Se: App’ eva nāma pacchimā janatā diṭṭhānugatiṃ āpajjeyya. Be dan Ee menuliskan bentuk jamak āpajjeyyuṃ. Pada KS 2:136 ini diterjemahkan: “Karena tentu saja ini [mereka yang akan datang setelah kita] akan jatuh dalam kesalahan.” Penerjemahnya di sini jelas memahami diṭṭhānugati dapat dipecah menjadi diṭṭhi + anugati, dengan diṭṭhi berarti pandangan salah. Spk dan Spk-pṭ tidak berkomentar, tetapi saya menemukan bahwa lebih masuk akal untuk menganggap bagian pertama dari kata majemuk itu sebagai bentuk kata kerja pasif dittha, “terlihat” dalam makna suatu contoh atau teladan. Interpretasi ini mendapatkan dukungan dari penggunaan idiom pada AN I 126,19-20, 127,22-23; III 108,5-6, 251,8, dan 422,10,19. Baca juga MLDB, n.57. ↩︎

  59. Spk: Beliau mengatakan ini untuk menunjuk Mahākassapa menggantikan posisiNya. Tetapi bukankah Sāriputta dan Mahāmoggallāna ada di sana? Benar, tetapi Beliau berpikir: “Mereka tidak akan hidup lama, tetapi Kassapa akan hidup hingga usia 120 tahun. Setelah Aku parinibbāna ia akan memimpin pembacaan Dhamma dan Vinaya di Gua Sattapaṇṇi, dan ia akan memungkinkan PengajaranKu bertahan hingga 5.000 tahun penuh. Aku akan menunjuknya untuk menggantikan posisiKu; maka para bhikkhu akan menganggap bahwa ia diperlukan.” Walaupun Spk berkomentar demikian, harus diperhatikan bahwa Sang Buddha secara tegas menolak menunjuk seorang penerus secara pribadi; sebaliknya Beliau menginstruksikan Saṅgha bahwa Dhamma dan Vinaya yang akan menjadi wakilnya setelah Beliau parinibbāna (DN II 154, 4-8). ↩︎

  60. Dovacassakaraṇehi dhammehi samannāgatā: untuk daftar dari kualitas-kualitas tersebut, baca MN I 95,18 – 96,16. ↩︎

  61. Berikut ini, sedikit diperluas dan termasuk perumpamaan bulan, juga terdapat pada AN V 123,10 – 124,19, diduga berasal dari Sāriputta. Di sana juga Sang Buddha menyetujui pernyataan sang bhikkhu dan mengulangi seluruhnya. ↩︎

  62. Saya bersama dengan Ee membaca: evaṃ hi taṃ Kassapa sammā vadamāno vadeyya upaddutā brahmacāri brahmacārūpaddavena abhibhavanā brahmacāri brahmacārabhibhavanenā ti. Se berbeda hanya pada tulisan vadanto untuk vadamāno. Akan tetapi, Be menuliskan etarahi taṃ Kassapa sammā vadamāno vadeyya upaddutā brahmacāri abhipatthanenā ti. Saya mencurigai versi ini muncul dengan menggantikan kemasan komentar untuk versi aslinya. Sepertinya dalam Se dan Ee maknanya memerlukan, bentuk kata kerja pasif *abhibhūtā (*atau adhibhūta) pada tempat abhibhavanā yang pertama, walaupun tidak ada edisi tersedia bagi saya untuk tulisan ini. Mengenai bagaimana perolehan dan kehormatan menghancurkan mereka yang menjalani kehidupan suci, baca MN III 116,22 – 117,13.

    Spk (Se): mereka dihancurkan oleh kehancuran dari mereka yang menjalani kehidupan suci, yaitu, keinginan dan nafsu yang berlebihan pada empat barang kebutuhan. Penaklukan adalah kerinduan berlebihan (abhibhavanā ti adhimattapatthanā). Dengan penaklukan dari mereka yang menjalani kehidupan suci: dengan kondisi empat barang kebutuhan yang terdapat dalam kerinduan berlebihan dari mereka yang menjalani kehidupan suci (brahmacārabhibhavanenā ti brahmacārinaṃ adhimattapatthanāsaṇkhātena catupaccayabhāvena). Se memberikan catatan di sini untuk mengemas: Evaṃ sabbattha. Catupaccayābhibhavena iti bhavitabbaṃ. ↩︎

  63. Dalam MLDB cetovimutti paññāvimutti diterjemahkan “kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan,” seolah-olah kedua istilah itu adalah hal terpisah yang digabungkan. Saya sekarang berpikir adalah lebih baik menghilangkan partikel penggabung (yang tidak terdapat dalam Pāli) dan memperlakukan kedua istilah itu sebagai dua sebutan untuk apa yang intinya adalah kondisi yang sama. Spk menjelaskan cetovimutti sebagai konsentrasi buah Kearahattaan (arahattaphalasamādhi), paññāvimutti sebagai kebijaksanaan buah Kearahattaan (arahattaphalapaññā). ↩︎

  64. Dari tidak adanya rujukan pada Sang Bhagavā dalam pendahuluan, maka kemungkinan besar sutta ini terjadi setelah parinibbāna Sang Buddha. Spk mendukung dugaan ini (baca catatan berikutnya), Sebagaimana Ānanda menggunakan bentuk vokatif bhante ketika menyapa Mahākassapa. Sebelum kematian Sang Buddha para bhikkhu saling menyapa satu sama lain dengan sapaan āvuso, “sahabat” (baca DN II 154, 9-15).

    Spk: Ānanda mengajaknya untuk mendatangi tempat tinggal para bhikkhunī untuk menginspirasi mereka dan menjelaskan subjek meditasi, berpikir bahwa mereka akan berkeyakinan pada khotbah dari seorang siswa yang merupakan imbangan Sang Buddha (buddhapaṭibhāga-sāvaka). ↩︎

  65. Spk: Ia tidak terlibat dalam pekerjaan pembangunan, dan sebagainya, tetapi empat kelompok akan mendatangi Bhikkhu Ānanda meratapi kematian Sang Buddha dan ia wajib menghibur mereka (baca 9:5 dan I, n.541). ↩︎

  66. Namanya berarti “Tissa Gemuk.” Spk mengemas vedehimuni menjadi paṇḍitamuni, “petapa bijaksana,” menjelaskan: “Seorang bijaksana yang berusaha dengan pengetahuan – yaitu, ia melakukan segala tugas-tugasnya – oleh karena itu ia disebut Orang Videha (paṇḍito hi ñāṇasaṅkhā-tena vedena āhati … tasmā vedeho ti vuccati). Ia adalah seorang Videha dan seorang bijaksana, karena itulah disebut “sang bijaksana Videha.” Akan tetapi Ap-a 128,12 menawarkan penjelasan yang lebih masuk akal: “Ānanda disebut Videhimuni karena ia adalah seorang bijaksana dan putra dari seorang ibu yang berasal dari negeri Vedeha [=Videha] (Vedeharaṭṭhe jātattā vedehiyā putto).” Baca I, n.233↩︎

  67. Khamatha bhante Kassapa bālo mātugāmo. Saya telah menerjemahkan kalimat ini dengan penuh kesetiaan pada teks, menyadari bahwa beberapa pembaca mungkin menilai terjemahan ini provokatif. Seorang konsultan memberitahu saya, “Engkau baru saja kehilangan setengah dari pembacamu,” dan menyarankan agar saya menghindari datangnya kritik atas terjemahan dengan menerjemahkan bālo mātugāmo sebagai “ia adalah seorang perempuan dungu.” Dalam pikiran saya, ini akan membelokkan makna dari Pāli dalam ketaatan terhadap pandangan jenis kelamin dalam konteks ini. Saya tidak melihat bagaimana kalimat dapat ditafsirkan dalam cara yang lain dari yang telah saya terjemahkan. Saya menyerahkan kepada pembaca untuk memutuskan apakah Ānanda sendiri sesungguhnya dapat mengucapkan pernyataan itu atau apakah itu ditambahkan oleh para penyusun kitab. ↩︎

  68. Spk: Ini adalah apa yang dimaksudkan: “Jangan biarkan Saṅgha berpikir, ‘Ānanda mengendalikan siswa yang adalah imbangan Sang Buddha, tetapi ia tidak mengendalikan bhikkhunī. Mungkinkah ada keakraban atau kasih sayang di antara mereka?’” Ia mengucapkan kalimat berikut (mengenai pencapaian meditatifnya) untuk memperlihatkan bagaimana ia merupakan imbangan Sang Buddha. ↩︎

  69. Spk mengemas sattaratana (tujuh cubit) sebagai sattahatthappamāṇa (ukuran tujuh lengan); satu hattha (lit. “lengan”), dari siku hingga ujung jari, adalah lebih kurang dua kaki. Ini adalah satu dari teks-teks yang jarang dalam Nikāya di mana kata abhiññā digunakan secara kolektif untuk menyebutkan enam pengetahuan lebih tinggi. ↩︎

  70. Spk: Setelah ia menegur siswa yang adalah imbangan Sang Buddha, bahkan selagi Mahākassapa sedang mengaumkan auman singanya tentang enam abhiññā, jubah kuningnya mulai menyakiti kulitnya bagaikan dahan-dahan berduri atau tanaman berduri. Segera setelah ia melepaskannya dan mengenakan jubah putih (umat awam perempuan) ia merasa nyaman. ↩︎

  71. Versi paralel dari sutta ini dari BHS terdapat pada Mvu III 47-67. Spk: Dakkhiṇāgiri adalah sebuah negeri di wilayah selatan perbukitan yang mengelilingi Rājagaha. Setelah parinibbāna Sang Buddha Ānanda pergi ke Sāvatthi untuk memberitahukan kepada khalayak ramai; kemudian ia meninggalkan Rājagaha dan dalam perjalanan itu ia mengunjungi Dakhiṇāgiri. ↩︎

  72. Ini dikatakan dengan merujuk pada Pācittiya 32, baca Vin IV 71-75. ↩︎

  73. Baca Vin II 196, yang menceritakan kisah latar belakang asli atas peraturan ini, yaitu, usaha Devadatta untuk membuat perpecahan dalam Saṅgha (juga pada Vin IV 71). Spk menyinggung ini dalam kemasan atas pernyataan *mā pāpicchā pakkhaṃ nissāya saṇghaṃ bhindeyyuṃ: “*Ditetapkan untuk alasan ini: ‘Karena Devadatta bersama dengan pengikutnya makan setelah memberitahu para keluarga, dengan bergantung pada mereka yang berkeinginan jahat, memecah Saṅgha, maka janganlah menghampiri orang-orang berkeinginan jahat itu – dengan mengumpulkan sekelompok, makan di antara para keluarga setelah memberitahu mereka, dan memperbesar kelompok – memecah Saṅgha dengan bergantung pada kelompok mereka.’”

    Spk sepertinya menginterpretasikan dummaṅkūnaṃ puggalānaṃ niggahāya dan pesalānaṃ bhikkhūnaṃ phāsuvihārāya sebagai sisi pelengkap atas alasan tunggal, suatu pandangan yang disetujui oleh Spk-pṭ: dummaṅkūnaṃ niggaho eva pesalānaṃ phāsuvihāro ti idaṃ ekaṃ aṅgaṃ. Dengan demikian interpretasi “mā pāpicchā …” ini menjadi alasan ke dua, yang berdiri sendiri. Tetapi saya mengikuti Horner (pada B.D 5:275) dan C.Rh.D (pada KS 2:147), yang keduanya menganggap pengendalian atas orang-orang jahat dan kenyamanan bhikkhu-bhikkhu berperilaku baik sebagai dua alasan berbeda, yang mana “ma pāpicchā …” adalah anak kalimat. Ini sepertinya dikuatkan oleh daftar sepuluh alasan untuk menetapkan peraturan latihan (pada Vin III 21, dan seterusnya), di mana kedua faktor ini dihitung sebagai alasan-alasan terpisah. Sedangkan untuk alasan ke tiga, “karena bersimpati kepada para keluarga” (kulānuddayatāya), Spk mengatakan: “Jika Bhikkhu Saṅgha hidup dalam kerukunan dan melaksanakan Uposatha dan Pavārana, orang-orang yang memberikan kupon-makan, dan sebagainya, menjadi ditakdirkan menuju alam surga.” Penjelasan yang lebih masuk akal adalah bahwa para keluarga berkurang bebannya dalam keharusan untuk menyokong terlalu banyak bhikkhu pada satu saat. Dalam versi Mvu (pada III 48) hanya dua alasan yang disebutkan, “perlindungan, keamanan, dan kenyamanan para keluarga” dan “perpecahan kelompok orang-orang jahat.” ↩︎

  74. Kumārakavādā na muccāma. Tradisi komentar menganggap bahwa Ānanda lahir pada hari yang sama dengan Sang Bodhisatta (baca Sv II 425, Ap-a 58, 358, Ja I 63 (Be, tetapi tidak dalam versi Se atau Ee)). Akan tetapi, jika ini benar, maka saat itu ia berumur lebih dari delapan puluh tahun dan karena itu hampir tidak perlu menunjuk pada sedikit rambut putihnya untuk membuktikan bahwa ia tidak lagi muda. Fakta lain yang tercatat menyarankan bahwa Ānanda jauh lebih muda daripada Sang Buddha, mungkin selisih tiga puluh tahun. Mengenai perbedaan pendapat tentang usianya yang diduga oleh aliran-aliran Buddhis awal, baca artikel C. Witanachchi, “Ānanda,” pada Encyclopaedia of Buddhism, Vol. I, fasc. 4, p.529.

    Spk menuliskan dengan cara yang mendukung pandangan tradisional: “Karena engkau mengembara dengan para bhikkhu yang baru ditahbiskan yang tidak memiliki pengendalian indria, engkau mengembara dengan anak-anak muda, maka engkau layak disebut pemuda.” ↩︎

  75. Namanya berarti “Nandā gemuk.” Ia sering disebut dalam Bhikkhunī Vibhaṅga sebagai pembuat keonaran dalam Saṅgha Bhikkhunī; baca misalnya Vin IV 216, 218, 223-24, dan sebagainya. KS 2:148 secara keliru menyebut bhikkhunī ini “Tissā Gemuk,” keliru menganggapnya sebagai bhikkhunī pemarah dalam sutta sebelumnya. ↩︎

  76. Aññatitthiyapubbo samāno. Spk: Karena sang bhikkhu tidak diketahui memiliki guru atau penahbis dalam Pengajaran ini, dan ia mengenakan jubah kuning oleh dirinya sendiri ketika ia meninggalkan keduniawian, karena kedongkolannya ia mengatakannya sebagai mantan anggota sekte lain. Mengenai Ānanda sebagai “Sang bijaksana Videha” baca n.288 di atas. ↩︎

  77. Paṭapilotikānaṃ. Baca n.60 di atas. ↩︎

  78. Spk di sini menceritakan keseluruhan latar belakang biografis Mahākassapa, termasuk beberapa kelahiran lampau, memuncak pada pertemuannya dengan Sang Buddha. Sebagai bacaan, baca Hecker, “Mahākassapa: Father of the Saṅgha,” dalam Nyanaponika dan Hecker, Great Disciples of the Buddha, pp.109-19. ↩︎

  79. Saya menerjemahkan pikiran Kassapa di atas dengan mengikuti Spk, yang menuliskan setiap kalimat sebagai suatu kondisional: “‘Jika aku akan bertemu dengan Sang Guru, adalah hanya Sang Bhagavā yang akan kutemui; tidak akan ada guru lain selain diriNya. Jika aku akan bertemu dengan Yang Sempurna menempuh Sang Jalan – disebut sugata karena Beliau telah sempurna dalam praktik yang benar – adalah hanya Sang Bhagavā ini yang akan kutemui; karena tidak akan ada Yang Sempurna menempuh Sang Jalan yang lain selain diriNya. Jika aku akan bertemu dengan Yang Tercerahkan Sempurna – disebut demikian karena Beliau tersadarkan sepenuhnya pada kebenaran-kebenaran oleh diriNya sendiri – adalah hanya Sang Bhagavā yang akan kutemui; tidak akan ada Yang Tercerahkan Sempurna lainnya selain diriNya.’ Dengan ini ia menunjukkan, ‘Hanya dengan melihatNya, aku tidak ragu bahwa Beliau adalah Sang Guru, ini adalah Yang Sempurna, ini adalah Yang Tercerahkan Sempurna.’”

    Pengulangan pernyataan kesiswaan Kassapa terdapat dalam Be dan Se walaupun tidak dalam Ee. Spk mengkonfirmasi pengulangan ini, menjelaskan bahwa walaupun ucapan itu tercatat dua kali namun kita harus memahami bahwa ucapan itu sesungguhnya diucapkan tiga kali. ↩︎

  80. Spk: Jika seorang siswa begitu berpikiran-tunggal (evaṃ sabbacetasā samannāgato) – begitu berkeyakinan dalam pikiran (pasannacitto) – harus melakukan perbuatan yang begitu rendah hati terhadap guru luar yang, tanpa mengetahui, mengaku mengetahui (yaitu, tercerahkan), maka kepala guru itu akan jatuh dari lehernya bagaikan buah kelapa jatuh dari tangkainya; artinya adalah, kepalanya akan pecah menjadi tujuh keping. Tetapi ketika perbuatan yang begitu rendah hati dilakukan di kaki keemasan Sang Guru, hal itu tidak akan menggetarkan bahkan sehelai bulu badanNya. “oleh karena itu” berikut ini menyiratkan: “Karena mengetahui, Aku mengatakan ‘Aku mengetahui’, oleh karena itu engkau harus berlatih demikian.” ↩︎

  81. Di sini Spk menjelaskan sabbacetasā secara berbeda daripada di atas “memperhatikan dengan pikiran penuh perhatian sepenuhnya (sabbena samannāhāracittena) tanpa memperbolehkan pikiran mengembara walaupun sedikit”. ↩︎

  82. Sātasahagatā ca me kāyagatā sati. Spk: Ini adalah perhatian pada jasmani yang berhubungan dengan kegembiraan melalui jhāna pertama dalam meditasi kejijikan dan perhatian pada pernafasan. Tiga nasihat ini adalah sekaligus menjadi pelepasan keduniawian dan penahbisan sang bhikkhu. ↩︎

  83. Spk (Se): Sāṇo ti sakileso sa-iṇo hutvā. Be (teks dan Spk) membaca saraṇo bukannya sāṇo, yang kurang memuaskan. Kalimat ini juga terdapat pada MN III 127, 7-8, dengan sāṇo.

    Spk: Ada empat cara menggunakan barang-barang kebutuhan: (1) sebagai pencuri (theyyaparibhoga), penggunaan oleh seorang bhikkhu yang tidak bermoral; (ii) sebagai penghutang (iṇaparibhoga), penggunaan tanpa perenungan oleh seorang bhikkhu yang bermoral; (iii) sebagai warisan (dāyajjaparibhoga), penggunaan oleh tujuh pelajar; (iv) sebagai pemilik (sāmiparibhoga), penggunaan oleh seorang Arahant. Demikianlah hanya Arahant yang menggunakan barang-barang kebutuhan sebagai pemilik, tanpa hutang. Sang bhikkhu mengatakan penggunaan barang-barang kebutuhan olehnya ketika ia masih sebagai seorang duniawi sebagai penggunaan seorang penghutang. ↩︎

  84. Spk: Ini terjadi pada hari pertama mereka bertemu. Pencapaian Kearahattaan disebutkan sebelumnya karena urutan pengajaran, tetapi sebenarnya terjadi sesudahnya. Sang Buddha turun dari jalan dengan tujuan untuk menjadikan Kassapa, seorang penghuni hutan, pemakai jubah potongan kain, dan yang makan sekali sehari sejak lahir (menjadi seorang bhikkhu). ↩︎

  85. Spk: Sang Bhagavā ingin bertukar jubah dengan Kassapa karena ingin menunjuk sang bhikkhu menempati posisiNya (theraṃ attano ṭhāne thapetukāmatāya). Ketika Beliau bertanya apakah sang bhikkhu dapat mengenakan jubah potongan kain yang Beliau kenakan, Beliau tidak merujuk pada kekuatan fisiknya melainkan pada pemenuhan praktik (paṭipattipūraṇa). Sang Buddha telah membuat JubahNya dari kain pembungkus mayat seorang budak perempuan bernama Puṇṇā, yang dibuang di tanah pemakaman. Ketika Beliau mengambilnya, membersihkannya dari binatang-binatang yang merayapi kain itu, dan memantapkan diriNya dalam silsilah agung para mulia, bumi berguncang dan bergemuruh dan para deva bersorak. Dalam mempersembahkan jubah, Sang Buddha menyiratkan: “Jubah ini seharusnya dikenakan oleh seorang bhikkhu yang sejak lahir telah menjadi pelaksana praktik pertapaan. Akankah engkau mampu menggunakannya dengan benar?” dan jawaban tegas Kassapa adalah, “Aku akan memenuhi praktik ini.” ketika mereka saling bertukar jubah bumi ini bergemuruh dan berguncang hingga ke batas samudra. ↩︎

  86. Cp. Pujian Sang Buddha terhadap Sāriputta pada MN III 29, 8-13. Spk: Dengan pernyataan ini sang bhikkhu telah membebaskan pelepasan keduniawiannya dari tuduhan Thullanandā. Intinya adalah: “Apakah seorang yang tanpa guru atau penahbis, yang mengenakan sendiri jubah kuning, dan yang meninggalkan sekte lain, mendapatkan kehormatan disambut oleh Sang Buddha, atau menerima penahbisan melalui tiga nasihat, atau bertukar jubah dengan Sang Buddha? Lihat betapa menghinanya ucapan Bhikkhunī Thullanandā!” ↩︎

  87. Seperti pada 16:10↩︎

  88. Spk mengemas “Tathāgata” di sini sebagai satta, makhluk, yang mana Spk-pṭ mengomentari: “Seperti dalam kappa-kappa lampau, dalam kelahiran-kelahiran lampau, seseorang menjelma melalui kamma dan kekotoran, demikian pula seseorang menjelma sekarang (tathā etarahi pi āgato); karena itulah disebut ‘tathāgata.’ Atau dengan kata lain, sesuai dengan kamma yang dilakukan dan diakumulasikan seseorang, demikianlah ia datang, sampai, terlahir kembali dalam bentuk kehidupan individu ini atau itu (tathā taṃ taṃ attabhāvaṃ āgato upagato upapanno).”

    Penjelasan ini sepertinya tidak masuk akal, khususnya ketika teks-teks lain dengan jelas menunjukkan bahwa permasalahan filosofis sehubungan dengan kondisi setelah kematian Sang Tathāgata menekankan pada “Sang Tathāgata, individu dari jenis tertinggi, orang termulia, seorang yang telah mencapai pencapaian tertinggi (tathāgato uttamapuriso paramapuriso paramapattipatto)” (22:86 (III 116,13-14) = 44:2 (IV 380, 14-15)). ↩︎

  89. Pertanyaan yang sama, tetapi dengan jawaban yang berbeda, terdapat pada MN I 444,36 – 445,25. Mungkin keprihatinan Mahākassapa atas kelestarian Dhamma sejati, yang terlihat dalam sutta ini, menandai perannya sebagai pemimpin pada Sidang Buddhis Pertama segera setelah parinibbāna Sang Buddha (dijelaskan pada Vin II 284-85). Di sana kita melihat, dalam reaksi kegirangan bhikkhu tua Subhadda atas laporan tentang kematian Sang Buddha, kekhawatiran pertama atas munculnya Dhamma “palsu”. Mahākassapa menyelenggarakan Sidang Pertama secara seksama untuk memastikan Dhamma dan Disiplin sejati akan bertahan lama dan tidak tersisihkan oleh versi-versi tiruan yang diajarkan oleh para bhikkhu yang tidak bermoral. ↩︎

  90. Spk: Terdapat dua tiruan Dhamma sejati (saddhammapaṭirūpaka): satu yang berhubungan dengan pencapaian (adhigama), yang lain adalah yang berhubungan dengan pembelajaran (pariyatti). Yang pertama adalah sepuluh kerusakan pengetahuan pandangan terang (baca Vism 633-38; Ppn 20:105-28). Yang ke dua terdiri dari naskah-naskah selain sabda-sabda otentik Sang Buddha yang diotorisasi pada tiga Sidang Buddhis, pengecualian pada lima topik pembahasan berikut (kathāvatthu): pembahasan unsur-unsur, pembahasan objek-objek, pembahasan kejijikan, pembahasan landasan-landasan pengetahuan, peti pengetahuan sejati. [Naskah palsu termasuk] Vinaya Rahasia (guḷhavinaya), Vessantara Rahasia, Mahosadha Rahasia, Vaṇṇa Piṭaka, Aṅgulimala Piṭaka, Raṭṭhapāla-gajjita, Āḷavaka-gajjita, dan Vedalla Piṭaka.

    Spk-pṭ: “Vedalla Piṭaka” adalah Vetulla Piṭaka, yang mereka katakan diambil dari alam nāga; yang lain mengatakan itu terdiri dari apa yang diucapkan dalam debat (vādabhāsita). “Selain sabda-sabda otentik Sang Buddha” (abuddhavacana), karena bertentangan dengan kata-kata Sang Buddha; karena Yang Tercerahkan tidak mengucapkan apa pun yang tidak konsisten secara internal (pubbāparaviruddha). Mereka menempatkan anak panah di sana, lenyapnya kekotoran tidak terlihat, karena itu tidak dapat dihindari adalah merupakan kondisi bagi munculnya kekotoran.

    Suatu usaha untuk mengidentifikasikan teks yang ditulis oleh Spk dilakukan dalam karya abad ke empat belas, Nikāyasaṅgraha, dibahas oleh Adikaram, Early History of Buddhism in Ceylon, pp. 99-100. Nikāyasaṅgraha menempatkan masing-masing teks pada aliran non-theravada yang berbeda-beda. Penanggalan belakangan atas karya ini memberikan keraguan akan keabsahannya, dan metode pengidentifikasiannya terlalu rapi untuk dapat meyakinkan. Komentar Spk-pṭ mengenai Vedalla Piṭaka menyarankan bahwa itu mungkin kumpulan sūtra Mahāyāna. Mahāyāna disebut dalam Riwayat Sri Lanka sebagai Vetullavāda (Skt Vaitulyavāda); baca Rahula, History of Buddhism in Ceylon, pp. 87-90. Spk-pṭ jelas menyinggung kepercayaan bahwa Nāgārjuna telah membawa Prajñāpāramitā Sūtra dari alam nāga. Lima jenis “topik pembahasan” (kathāvatthu), diterima oleh Theravada walaupun tidak disahkan sebagai kitab suci, mungkin adalah naskah filosofis yang mencatat pendapat-pendapat para guru terkenal mengenai pokok-pokok penting doktrin. Spk menjelaskan secara lengkap mengenai lenyapnya secara perlahan-lahan Ajaran Sang Buddha sebagai tiga pelenyapan pencapaian, praktik, dan pembelajaran (adhigama-, paṭipatti-, pariyatti-saddhamma). ↩︎

  91. Spk mengemas: ādikenā ti ādānena gahaṇena; opilavatī ti nimujjati. Spk-pṭ: ādānaṃ ādi, ādi eva ādikaṃ. Spk menjelaskan perumpamaan ini sebagai berikut: “Tidak seperti perahu yang menyeberangi air, yang akan tenggelam ketika menampung barang-barang, Dhamma sejati tidak akan hilang jika dipenuhi dengan pembelajaran, dan seterusnya. Karena ketika pembelajaran merosot maka praktik juga merosot, dan ketika praktik merosot maka pencapaian juga merosot. Tetapi ketika pembelajaran menjadi penuh, orang yang kaya akan pembelajaran akan memenuhi praktik, dan pemenuhan praktik itu akan memenuhi pencapaian. Demikianlah ketika pembelajaran, dan seterusnya meningkat, maka PengajaranKu meningkat, bagaikan bulan baru.”

    C.Rh.D mengikuti penjelasan ini, menerjemahkan baris “Lihatlah tenggelamnya sebuah perahu, Kassapa, dengan memenuhinya melampaui kapasitasnya” (KS 2:152). Menurut saya meragukan, akan tetapi, pemahaman Spk atas ādikena sebagai berarti “memegang, mencengkeram.” Di tempat lain ādikena memiliki arti “seketika, tiba-tiba,” berlawanan dengan anupubbena, “perlahan-lahan” (baca MN I 395,4, 479,35; II 213,4; Ja VI 567,6,14). Ini jelas adalah makna yang diperlukan di sini. ↩︎

  92. Pañca okkamaniyā dhammā. Spk mengemas: okkamaniyā ti heṭṭhāgamanīya, “menuntun ke bawah.” Kalimat paralel pada AN III 247 mengulangi empat penyebab pertama namun mengganti yang ke lima dengan “tidak adanya saling hormat dan sopan-santun.” ↩︎

  93. Spk: Seseorang berdiam tanpa penghormatan pada konsentrasi jika ia tidak mencapai delapan pencapaian (aṭṭha samāpattiyo) atau tidak berusaha untuk mencapainya.

    17. Lābhasakkārasaṃyutta ↩︎

  94. Spk: Perolehan (lābha) adalah perolehan empat kebutuhan kehormatan (sakkāra), perolehan (benda-benda kebutuhan) yang berkualitas baik; pujian (siloka), sambutan (vaṇṇaghosa). ↩︎

  95. Pāli tidak membedakan dalam menggunakan dua kata, kumma dan kacchapa, untuk penyu dan kura-kura. Di sini kumma merujuk pada spesies yang hidup di danau, tetapi pada 35:240 kumma kacchapa digabungkan untuk menyebutkan sesuatu yang sepertinya hidup di darat, sedangkan pada 56:47 kacchapa sendiri merujuk pada spesies yang hidup di laut. Spk mengemas mahākummakula dengan mahantaṃ aṭṭhikacchapakula, yang lebih jauh lagi menunjukkan bahkan kedua kata itu dapat dipertukarkan. Saya menerjemahkan kedua kata itu sebagai “penyu” jika lebih menunjukkan makhluk air (di sini dan pada 56:47), “kura-kura” jika merujuk pada makhluk yang hidup di darat. ↩︎

  96. Papatā. Spk menjelaskan ini sebagai sebuah tombak besi yang berbentuk seperti anak panah melengkung, yang tersimpan dalam wadah besi. Ketika membentur target dengan kekuatan tertentu, tombak itu keluar dari wadahnya dan seutas tali mengikuti dengan masih terikat pada tombak itu. ↩︎

  97. Walaupun seluruh tiga edisi membaca giddho papatāya, namun sepertinya kita harus membaca viddho papatāya, yang diusulkan oleh sebuah catatan dalam Be. ↩︎

  98. Dalam seluruh tiga edisi teks sebagaimana adanya tulisan ini tidak dapat dipahami dan kemungkinan cacat. Spk tidak memberikan cukup bantuan untuk merekonstruksi tulisan aslinya, sedangkan Be menambahkan catatan panjang dengan penjelasan berbelit-belit yang dimaksudkan untuk memecahkan kesulitan. Saya lebih suka mengubah kata kerja terakhir dalam Be dan Se (dan SS) dari anupāpuṇātu menjadi anupāpuṇāti sehingga kami membaca: Kaṃ bhikkhave asanivicakkaṃ āgacchatu? Sekkhaṃ appattamānasaṃ lābhasakkārasiloko anupāpuṇāti. Ee tidak menuliskan anupāpuṇāti, dan adalah mungkin anupāpuṇātu memasuki edisi lain karena pengaruh āgacchatu sebelumnya dan kalimat yang bersesuaian pada 17:23, 24.

    Spk menuliskan pertanyaan: “Orang yang manakah yang harus disambar oleh halilintar, menghantam kepalanya dan menggilasnya?” dan mengomentari jawaban: “Sang Bhagavā tidak berkata demikian karena Beliau menginginkan penderitaan bagi makhluk-makhluk, tetapi untuk menunjukkan bahayanya. Karena kilat halilintar, yang menyambar kepala seseorang, akan menghancurkan hanya satu individu, tetapi seseorang yang pikirannya dikuasai oleh perolehan, kehormatan, dan pujian akan mengalami penderitaan tanpa akhir di neraka, dan sebagainya.” Selagi ia belum mencapai tujuannya (appattamānasa): Selagi ia belum mencapai Kearahattaan. ↩︎

  99. Be dan Se membaca: Kaṃ bhikkhave diddhagatena visallena sallena vijjhatu? Tulisan dalam Ee kurang memuaskan. Spk: Diddhagatenā ti gatadiddhena [Spk-pṭ: acchavisayuttā ti vā diddhe gatena]; visallenā ti visamakkhitena; sallenā ti satiyā.

    Konstruksi retoris yang sama dengan sutta sebelumnya. Visallena agak problematis, dan kita boleh menerima saran C.Rh.D visa-sallena, walaupun diddha ( = Skt digdha) telah menyampaikan gagasan beracun. Baca Ja IV 435,26: Saro diddho kalāpaṃ va/Alittaṃ upalimpati. ↩︎

  100. Ukkaṇṭaka (demikian Be dan Se; Ee: ukaṇṇaka). Spk: Ini adalah nama sejenis penyakit, dikatakan muncul pada musim dingin. Bulu badan berguguran dari sekujur tubuh, dan seluruh tubuh, terbuka sepenuhnya, pecah di sana-sini. diterpa angin, luka-luka itu menetes. Bagaikan seseorang, yang digigit oleh seekor anjing gila, berlari berputar-putar dalam lingkaran, demikianlah serigala itu ketika ia mengidap penyakit itu, dan tidak ada tempat aman baginya. ↩︎

  101. Verambhavātā. Spk: Jenis angin yang kuat, terlihat dari ketinggian di mana empat benua tampak sebesar daun teratai. ↩︎

  102. Syair ini dan yang berikutnya terdapat pada Th 1011-12 dan It 74,22-75,3. Di sini saya bersama dengan Be dan Se membaca appamāṇavihārino, bukannya appamādavihārino seperti dalam Ee. Akan tetapi, yang terakhir ditemukan dalam seluruh tiga edisi Th 1011d; tulisan dalam It 74,25 dipecah. Spk mendukung appamāṇa- dengan kemasannya *appamāṇena phalasamādhinā viharantassa; “*ketika ia berdiam dalam konsentrasi buah tanpa batas.” Th-a tidak mengomentari pāda dalam Th 1011, dan komentar dalam It-a tertulis appamāda- dalam Be dan appamāṇa dalam Se. ↩︎

  103. Kita harus membaca pāda b seperti pada Se sukhumadiṭṭhivipassakaṃ bukannya sukhumaṃ diṭṭhivipassakaṃ seperti dalam Be dan Ee. Yang pertama adalah tulisan yang juga terdapat pada Th 1012b dan It 75,1. Spk: itu adalah pandangan halus karena (dicapai) melalui pandangan jalan Kearahattaan, dan ia adalah seorang bijaksana berpandangan terang (vipassaka) karena ia telah sampai di sana setelah membangun pandangan terang demi pencapaian Buah. Gembira dalam hancurnya kemelekatan: Gembira dengan Nibbāna, disebut hancurnya kemelekatan. ↩︎

  104. Suvaṇṇanikkha dan siṇginikkha sepertinya adalah dua jenis keping uang emas yang berbeda, yang ke dua diduga bernilai lebih tinggi daripada yang pertama, atau terbuat dari jenis emas yang lebih baik. Spk mengemas suvaṇṇanikkhassa sebagai ekassa kañcananikkhassa, dan siṅginikkhassa sebagai siṅgisuvaṇṇanikkhassa. ↩︎

  105. Janapadakalyāṇi. Baca di bawah 17:22 dan 47:20, dan perumpamaan yang terkenal pada MN II 33,6-22. ↩︎

  106. Cp. AN I 88,13-89,3. Sutta ini dan yang berikutnya sepertinya mengutip dari AN II 164, 4-22, di mana Sang Buddha menyebutkan “standar dan kriteria” bagi empat kelompok pengikutnya. Citta si perumah tangga adalah siswa awam laki-laki terunggul di antara para pembabar Dhamma; baca Cittasaṃyutta (41:1-10). Hatthaka Āḷavaka adalah yang terunggul di antara mereka yang menenangkan suatu kelompok dengan empat cara kedermawanan; baca AN I 26,5-9 dan AN IV 217-20, dan I, n.604↩︎

  107. Khujjuttarā adalah siswa awam perempuan terunggul di antara mereka yang telah banyak belajar, Velukaṇḍakiyā (atau Uttarā) Nandamātā adalah yang terunggul di antara para meditator; baca AN I 26,19,21. Khemā dan Uppalavaṇṇā, yang disebutkan persis di bawah, berturut-turut adalah bhikkhunī terunggul dalam hal kebijaksanaan dan kekuatan spiritual. Uppalavaṇṇa telah muncul pada 5:5 dan Khemā membabarkan khotbah pada 44:1↩︎

  108. Baca di atas n.249↩︎

  109. Spk: Asal-mulanya (samudaya): bentuk individual dari kehidupan bersama dengan kamma masa lampau, status sebagai seorang putra dari keluarga yang baik, kecantikan kulit, kecakapan dalam berbicara sebagai seorang pembabar, mempertunjukkan kemuliaan pertapaan, memakai jubah, memiliki pengikut, dan sebagainya, disebut sebagai asal-mula perolehan dan kehormatan. Mereka tidak memahami ini melalui kebenaran asal-mula, dan demikian pula dengan lenyapnya dan sang jalan harus dipahami melalui kebenaran lenyapnya dan sang jalan. ↩︎

  110. Spk: Kediaman menyenangkan dalam kehidupan ini (diṭṭhadhammasukhavihārā) adalah kediaman menyenangkan di dalam pencapaian Buah. Karena ketika seorang Arahant Mulia menerima bubur, manisan, dan sebagainya, ia harus berterima kasih kepada mereka yang datang, mengajarkan Dhamma kepada mereka, menjawab pertanyaan, dan lain-lain, dan dengan demikian ia tidak berkesempatan untuk duduk dan berdiam dalam pencapaian Buah.

    Identifikasi Spk atas “kediaman menyenangkan” sebagai pencapaian buah tentu saja terlalu sempit. Istilah itu biasanya berarti jhāna, seperti pada II 278,10-11. ↩︎

  111. Tiga akar bermanfaat adalah ketidak-serakahan, ketidak-bencian, dan tanpa-delusi. Spk menjelaskan ini berarti bahwa akar-akar bermanfaat itu telah terpotong hingga Devadatta tidak mampu mencapai kelahiran kembali di alam surga atau mencapai Sang Jalan dan Buah; bukan berarti bahwa akar-akar bermanfaatnya telah lenyap secara permanen. Dua sutta berikutnya menyebutkan hal yang sama dengan istilah yang berbeda. ↩︎

  112. Sutta ini dan yang berikutnya juga terdapat pada Vin II 187-88 dalam urutan terbalik, tanpa pembabaran tentang perolehan, kehormatan, dan kemasyhuran, dan dengan syair di akhirnya. Baca juga AN II 73. Syair ini = I, v. 597, juga diucapkan sehubungan dengan Devadatta. Pada perumpamaan bagal persis di bawah, Spk mengatakan bahwa mereka mengawinkannya dengan seekor kuda. Jika bagal itu hamil, ketika tiba waktunya melahirkan maka ia tidak mampu melahirkan anaknya. Ia berdiri menghentak-hentakkan kakinya ke tanah. Kemudian mereka mengikat keempat kakinya ke empat tonggak, membelah perutnya, dan mengeluarkan bayi kuda itu. Ia mati di tempat itu juga. ↩︎

  113. Pittaṃ bhindeyyuṃ. PED, s.v. pittaṃ, mengatakan bahwa kalimat ini tidak jelas dan merujuk pada interpretasi alternatif yang diusulkan oleh Morris, JPTS 1893, 4. Terjemahan saya selaras dengan komentar Spk: “Mereka melemparkan (pakhippeyyuṃ) empedu beruang atau empedu ikan di lubang hidungnya.” Spk-pṭ mengemas pakkhipeyyuṃ di sini menjadi osiñceyyuṃ, “mereka memercikkan.” Horner menerjemahkan “seolah-olah mereka melemparkan kandung kemih ke hidung seekor anjing galak” (BD 5:263). ↩︎

  114. Spk: Ketika para penjahat menangkap ibunya di dalam hutan dan mengatakan bahwa mereka akan melepaskannya hanya jika ia mengatakan kebohongan dengan sengaja, bahkan meskipun demikian, ia tetap tidak akan mengatakan kebohongan dengan sengaja. Metode serupa untuk kasus-kasus lainnya.

    18. Rāhulasaṃyutta ↩︎

  115. Rāhula adalah putra Sang Buddha. Ia menjadi seorang sāmaṇera pada usia tujuh tahun, pada kunjungan pertama Sang Buddha ke kota asalNya Kapilavatthu setelah pencerahanNya. Khotbah lainnya yang dibabarkan kepadanya adalah: MN No. 61, 62 dan 147 (yang terakhir = 35:121) dan Sn II, 11 (pp. 58-59). ↩︎

  116. Spk menjelaskan ketiga “cengkeraman” atas “milikku, aku, dan diriku” persis seperti pada n.155. Mengalami kebosanan (virāga) menunjukkan empat jalan, pembebasan (vimutti) adalah empat buah. Spk tidak mengomentari nibbindati, “mengalami kejijikan,” tetapi beberapa komentar secara konsisten mengidentifikasikan kata benda yang bersesuaian nibbidā sebagai pengetahuan pandangan terang kuat (baca n.69 di atas). ↩︎

  117. Pada empat unsur utama dari kelompok unsur bentuk (cattāro mahābhūtā) beberapa sutta kadang-kadang menambahkan unsur ruang (ākāsadhātu) – yang (menurut komentar) mewakili turunan bentuk (upādāya rūpa) - dan unsur kesadaran (viññāṇadhātu), yang mewakili keseluruhan sisi batin kehidupan. Untuk analisis terperinci dari seluruh enam unsur ini, baca MN III 240,17 – 243,10. ↩︎

  118. Spk: Sehubungan dengan jasmani ini dengan kesadaran (imasmiṃ saviññāṇake kāye): ia menunjukkan jasmani sadarnya sendiri. Dan sehubungan gambaran-gambaran eksternal (bahiddhā ca sabbanimittesu): jasmani sadar makhluk lain dan objek-objek mati. Atau, dengan ungkapan pertama ia menunjukkan objek hidupnya sendiri dan objek hidup makhluk lain (bersama dengan Se membaca attano ca parassa ca saviññāṇakam eva); dengan ungkapan ke dua, bentuk eksternal yang tidak terlibat dengan organ-organ indria (bahiddhā anindriyabaddharūpaṃ). (Kata majemuk) ahaṅkāramamaṅkāramānānusayā harus dipecah sebagai berikut: Pembentukan-aku (ahaṅkāra), pembentukan-milikku (mamaṅkāra), dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan (mānānusayā). (Demikianlah teks pada Be dan Se, tetapi jika, yang sepertinya masuk akal, akhiran jamak berasal dari kata majemuk asamāhāra, maka setelah pemecahan kata terakhir seharusnya adalah mānānusayo.)

    “Pembentukan-aku” dianggap sebagai fungsi pandangan salah (pandangan tentang diri), “pembentukan-milikku” sebagai fungsi ketagihan. Akar keangkuhan adalah keangkuhan “aku” (asmimāna), jadi keangkuhan juga bertanggung jawab atas “pembentukan-aku”. ↩︎

  119. Sebelas pengelompokan dari masing-masing lima kelompok unsur kehidupan dianalisis secara terperinci pada Vibh 1-12. ↩︎

  120. Spk: Telah melampaui pembedaan (vidhā samatikkantaṃ): telah sepenuhnya melampaui berbagai jenis keangkuhan yang berbeda; damai (santaṃ): dengan tenangnya kekotoran; dan terbebaskan sempurna (suvimuttaṃ): sepenuhnya terbebaskan dari kekotoran.

    19. Lakkhaṇasaṃyutta ↩︎

  121. Rangkaian sutta-sutta dalam saṃyutta ini juga terdapat pada Vin III 104-8. Spk: Yang Mulia Lakkhaṇa, seorang siswa besar, sebelumnya adalah salah satu dari seribu Petapa Jaṭila yang menerima penahbisan melalui pengucapan “Datanglah, bhikkhu” (baca Vin I 32-34). Ia mencapai Kearahattaan di akhir Khotbah Api (35:28). Karena ia memiliki tubuh mirip-Brahmā yang memiliki tanda-tanda kebesaran (lakkhaṇasampanna), sempurna dalam segala hal, maka ia dipanggil “Lakkhaṇa.” ↩︎

  122. Spk: Alasan Moggallāna tersenyum, seperti disebutkan dalam teks di bawah, adalah bahwa ia melihat sesosok makhluk yang terlahir kembali di alam hantu yang tubuhnya berupa tulang-belulang. Setelah melihat kehidupan dengan bentuk demikian, ia seharusnya berbelas kasihan, mengapa ia tersenyum? Karena ia merenungkan keberhasilannya dalam mencapai kebebasan dari kemungkinan terlahir kembali dalam bentuk demikian dan keberhasilan dalam pengetahuan-Buddha; karena para Buddha mengajarkan hal-hal demikian melalui pengenalan langsung Mereka (paccakkhaṃ katvā) dan telah sepenuhnya menembus unsur fenomena (suppaṭividdhā buddhānaṃ dhammadhātu). ↩︎

  123. Saya mengikuti Be: vitudenti vitacchenti virājenti. Se membaca hanya vitudanti saja, sedangkan Ee membaca vitacchenti vibhajenti. Spk hanya mengomentari vitudenti: “Mereka berlari dan bergerak kesana-kemari, mematuknya lagi dan lagi dengan paruh besi mereka yang setajam bilah pedang.” Menurut Spk, burung-burung hering, dan sebagainya, sebenarnya adalah para yakkha (yakkhagijjhā, yakkhakākā, yakkhakulalā); karena bentuk demikian tidak akan terlihat pada burung-burung hering alami, dan seterusnya. ↩︎

  124. Evarūpo pi nāma satto bhavissati avarūpo pi nāma yakkho bhavissati evarūpo pi nāma attabhāvapaṭilābho bhavissati. Spk: Dalam mengatakan hal ini Moggallāna menunjukkan rasa keterdesakannya dalam Dhamma, yang muncul demi belas kasihnya kepada makhluk-makhluk demikian.

    Ungkapan attabhāvapaṭilābho, yang secara literal berarti “perolehan diri,” digunakan secara idiom untuk menunjukkan bentuk nyata dari identitas individual. Attabhāva kadang-kadang muncul dalam makna yang lebih terbatas yang merujuk pada tubuh jasmani, misalnya pada Ud 54, 17-19. ↩︎

  125. Spk: Sebagai akibat sisa dari kamma yang sama itu (tass’ eva kammassa vipākāvasesena): dari “kamma (yang harus dialami) dalam kehidupan berikutnya” (aparāpariyakamma) itu yang terkumpul dari berbagai kehendak berbeda. Karena kelahiran kembali di alam neraka dihasilkan dari kehendak tertentu, dan ketika akibatnya selesai kelahiran kembali dihasilkan di antara para hantu, dan sebagainya, memiliki objek berupa sisa dari kamma itu atau gambaran kamma itu (baca CMA 5:35-38). Oleh karena itu, karena kelahiran kembali itu terjadi melalui kesesuaian kamma atau kesesuaian objek (kammasabhāgatāya ārammaṇasabhāgatāya vā), maka disebut “akibat sisa dari kamma yang sama itu.” Dikatakan bahwa pada saat ia meninggal dunia dari alam neraka, sekumpulan tulang-belulang sapi tanpa daging menjadi gambaran (yaitu, objek dari proses kesadaran terakhir, yang kemudian menjadi objek dari kesadaran kelahiran kembali). Demikianlah ia menjadi sesosok hantu (berbentuk) tulang-belulang, seolah-olah memperlihatkan kamma tersembunyi itu pada sang bijaksana. ↩︎

  126. Spk: Ia mencari nafkah selama bertahun-tahun sebagai penjagal sapi yang membumbui potongan-potongan daging, mengeringkannya, dan menjual daging kering itu. Ketika ia meninggal dunia dari alam neraka, sepotong daging menjadi gambaran dan ia menjadi sesosok hantu (dalam bentuk sepotong daging). ↩︎

  127. Spk: Ia dulunya adalah seorang algojo yang menjatuhkan banyak hukuman pada penjahat negara dan akhirnya menembak mereka dengan panah. Setelah terlahir kembali di alam neraka, ketika ia terlahir kembali melalui sisa akibat dari kamma itu, kondisi ditusuk oleh anak panah menjadi gambaran dan oleh karena itu ia menjadi hantu berbulu badan panah. ↩︎

  128. Dalam Be dan Se, sutta ini berjudul Sūciloma dan sutta berikutnya adalah Dutiya-sūciloma, sedangkan dalam Ee yang pertama adalah Sūci-sāratthi dan ke dua adalah Sūcako. Dalam Be dan Se, makhluk yang menyedihkan itu dikatakan sebelumnya adalah sūta, dikemas oleh Spk sebagai assadamaka, pelatih kuda, sementara dalam Ee ia dikatakan sebelumnya adalah seorang sūcaka, dikemas oleh Spk sebagai pesuññakāraka, seorang pemfitnah. Saya mengikuti Be dan Se baik dalam hal judul kedua sutta maupun identitas dari makhluk yang tersiksa itu. ↩︎

  129. Spk: Ia adalah orang yang pemfitnah yang memecah belah orang satu sama lain dan menyebabkan mereka hancur dan menderita dengan sindiran-sindirannya. Oleh karena itu, sementara orang-orang terpecah belah olehnya melalui sindirannya (tena sūcetvā manussā bhinnā), untuk merasakan kesakitan karena ditusuk jarum (sūcīhi bhedanadukkhaṃ paccanubhotuṃ), ia menerima kamma itu sebagai gambaran dan menjadi hantu berbulu jarum (sūcilomapetta). (hukuman setimpal yang dibentuk dari kemiripan antara kata Pāli sūci, jarum, dan kata kerja sūceti, menyindir, menunjukkan.) ↩︎

  130. Gāmakūṭa, lit. “menipu desa.” Spk: Ia diam-diam menerima suap dan, memberikan bukti salah dengan keputusan miringnya, mengalihkan kepemilikan orang lain. Karena itulah organ kelaminnya terbuka. Karena ia menjatuhkan biaya yang tidak terbayarkan pada orang lain dengan denda tinggi, alat kelaminnya menjadi beban berat baginya. Dan karena ia tidak lurus (visama) ketika ia seharusnya lurus, alat kelaminnya menjadi tidak seimbang (visama) dan ia harus mendudukinya.

    Yang menarik, Ee (jelas berdasarkan pada SS) di sini membaca dhaṅkā untuk burung gagak menggantikan kāka dalam edisi lainnya. Baca I, v.808d dan I, n.566↩︎

  131. Spk: Setelah mengalami kontak dengan istri orang lain, setelah menikmati kesenangan busuk, kenikmatan indria, ia terlahir kembali dalam situasi di mana, sebagai akibat dari kamma itu, ia mengalami kontak dengan kotoran dan mengalami kesakitan. ↩︎

  132. Saya bersama dengan Se dan SS membaca kata pertama dari kalimat ini sebagai ato, bukannya sebagai kata seru aho seperti dalam Be dan Ee. ↩︎

  133. Spk: Dia mengkhianati suaminya sendiri dan menikmati kontak dengan laki-laki lain. Demikianlah ia jatuh dari kontak yang menyenangkan dan, sebagai akibat dari kamma itu, ia terlahir kembali sebagai perempuan tanpa kulit yang mengalami kontak yang menyakitkan. ↩︎

  134. Maṅgulitthi. Spk mengemas: maṅgulin ti virūpaṃ duddasīkaṃ bībhacchaṃ. Ia menipu orang, menerima wewangian dan bunga-bungaan, mengatakan bahwa mereka bisa menjadi kaya dengan melakukan ritual tertentu. Ia menyebabkan banyak orang menerima pandangan buruk, pandangan salah. Demikianlah ia sendiri menjadi berbau busuk karena menerima wewangian dan bunga, dan buruk rupa karena menyebabkan mereka berpandangan buruk. ↩︎

  135. Spk menjelaskan uppakkaṃ okiliniṃ okirinaṃ sebagai berikut: ia berbaring di atas hamparan arang membara, gemetar dan bergulingan ketika ia dibakar, oleh karena itu ia terpanggang (uppakkā), yaitu, dengan tubuh terbakar oleh api panas. Ia kegerahan (okilinī), dengan tubuh berkeringat; dan penuh jelaga (okirinī), sepenuhnya tertutup jelaga. ↩︎

  136. Spk: Sewaktu menggunakan empat kebutuhan yang diberikan oleh orang-orang yang berkeyakinan, dengan tidak terkendali dalam perilaku jasmani dan ucapan dan cacat dalam hal penghidupan, ia bepergian sesuka hatinya. Metode penjelasan yang sama ini berlaku untuk kasus-kasus berikutnya juga.

    20. Opammasaṃyutta ↩︎

  137. Perumpamaan rumah beratap lancip, banyak terdapat dalam Nikāya, diulang dalam SN pada 22:102 (III 156,3-5), 45:141, 46:7, 48:52. Spk mengemas “tekun” sebagai “terus-menerus menyatu dengan perhatian” (appamattā ti satiyā avippavāse ṭhitā hutvā). ↩︎

  138. Tema ini diperlakukan lebih lengkap pada 56:102-31. Spk mengatakan bahwa para deva termasuk di sini bersama manusia, sehingga pernyataan itu harus dipahami bermakna bahwa sedikit yang terlahir di antara para deva dan manusia. ↩︎

  139. Perumpamaan ini juga terdapat pada Vin II 256,16-18 dan AN IV 278,22-25, tetapi dengan penerapan berbeda. Corehi kumbhatthenakehi adalah lit. “penjahat pencuri-mangkuk.” Spk menjelaskan: Setelah memasuki rumah orang lain, setelah mengamati dengan cahaya lampu, berkeinginan untuk mencuri barang milik orang lain, mereka membuat lampu dalam sebuah botol (ghaṭe) dan masuk. Bahkan hantu-hantu lumpur (paṃsupisācakā) menyerang mereka yang tidak mengembangkan cinta kasih, apalagi makhluk bukan-manusia yang lebih kuat?

    Amanussa, lit. “bukan-manusia” biasanya menunjukkan makhluk jahat atau siluman. ↩︎

  140. Be dan Se: okkhāsataṃ; Ee: ukkhāsataṃ. Spk: = mahāmukha-ukkhalinaṃ sataṃ. Spk-pṭ: = mahāmukhānaṃ mahantakoḷum-bānaṃ sataṃ. Rujukannya adalah mangkuk besar untuk memasak nasi dalam jumlah besar. AN IV 394-96 mengemukakan hal yang sama dengan cara yang agak berbeda, dan menambahkan bahwa mengembangkan persepsi ketidak-kekalan bahkan selama satu jentikan jari adalah lebih bermanfaat daripada mengembangkan pikiran cinta-kasih. ↩︎

  141. Spk: *Gadduhanamattan ti goduhanamattaṃ (*lit. “lamanya waktu untuk memerah susu”), yaitu, lamanya waktu yang diperlukan untuk melakukan satu tarikan pada putting susu sapi. Atau, (*gadduhanamattaṃ =) gandha-ūhanamattaṃ (*lit. “lamanya waktu untuk mencium aroma dupa”), yaitu, lamanya waktu yang diperlukan untuk satu kali mencium sebatang dupa yang dipegang dengan dua jari. Jika, bahkan selama waktu yang sangat singkat itu, seseorang mampu mengembangkan pikiran cinta-kasih, meliputi semua makhluk di alam semesta yang tidak terbatas dengan mengharapkan kesejahteraan mereka, maka ini lebih bermanfaat daripada persembahan itu yang diberikan tiga kali dalam sehari. ↩︎

  142. Spk menjelaskan ketiga kata kerja sebagai berikut: paṭileṇeti, setelah menghantam ujungnya, kemudian menekuknya bagaikan sumbu dari kapas, kemudian memilinnya seolah-olah untaian damar; paṭikoṭṭeti, menghantamnya di bagian tengah dan menekuknya, atau menghantamnya di sisi yang tajam kemudian memilin kedua sisi tajam itu menjadi satu; paṭivaṭṭeti, memutarnya seperti membuat sumbu dari kapas (?), memutar-mutarnya, kemudian menguraikannya, dan memutar-mutarnya lagi. ↩︎

  143. Sutta ini juga muncul dalam pendahuluan Ja No.476, yang membahas tema yang sama. Dalam kisah ini Sang Bodhisatta, dalam kelahirannya sebagai angsa gesit Javanahaṃsa, melakukan ketangkasan menakjubkan seperti dijelaskan di bawah.

    Spk menggambarkan para pemanah itu sebagai berikut: Para pemanah berbusur kuat (daḷhadhammā dhanuggahā): para pemanah dengan busur kuat (daḷhadhanuno issāsā). “Busur kuat” dikatakan setara dengan kekuatan dua ribu. “Kekuatan dua ribu” artinya berat logam, seperti perunggu atau timah, dan sebagainya (yang digunakan untuk membuat mata panah), terikat pada tali ketika busur diangkat (untuk menembak), dari tanah ketika busur digenggam pada pegangannya dan ditarik sepanjang anak panah itu. Terlatih (Se dan Ee: Sikkhitā; Be: Susikkhitā, “terlatih baik”): mereka telah mempelajari seni dalam lingkaran guru mereka selama sepuluh atau dua belas tahun. Tangkas (katahatthā): seseorang yang hanya mempelajari suatu seni tidak dapat disebut tangkas, namun mereka ini tangkas, setelah mencapai penguasaan atasnya. Berpengalaman (katūpāsanā): mereka pernah memperlihatkan seni mereka di lapangan istana, dan sebagainya. ↩︎

  144. Āyusaṅkhāra. Spk: Ini dikatakan sehubungan dengan indria kehidupan fisik (rūpajivitindriya); karena ini binasa bahkan lebih cepat dari itu. Tetapi tidaklah mungkin menggambarkan hancurnya fenomena-fenomena tanpa bentuk (yaitu, kondisi-kondisi batin, karena menurut Abhidhamma, kondisi batin ini hancur enam belas kali lebih cepat daripada fenomena materi). ↩︎

  145. Spk: Orang-orang Dasāraha adalah berkasta khattiya, disebut demikian karena mereka menempati sepuluh bagian dari seratus (satato dasabhāgaṃ gaṇhiṃsu – rujukan tidak jelas). Pemanggil (ānaka) adalah nama tambur, terbuat dari capit kepiting raksasa. Tambur ini menghasilkan suara yang terdengar hingga dua belas yojana di sekelilingnya dan oleh karena itu digunakan untuk memanggil orang-orang untuk berkumpul pada hari-hari festival. ↩︎

  146. Spk: Mendalam (gambhira) melalui teks (pāḷivasena), seperti Sala Sutta (Sn III, 8; Se: Sallekha Sutta = MN No. 8); mendalam maknanya (gambhīrattha), seperti Mahādevalla Sutta (MN No.43); adi-duniawi (lokuttara), yaitu, menunjukkan tujuan adi-duniawi; menjelaskan kekosongan (suññatā-paṭisaṃyutta), menjelaskan hanya fenomena yang hampa dari makhluk pribadi (sattasuññata-dhammamattam eva pakāsakā), seperti Saṅkhittasaṃyutta (?).

    Kalimat ini diulang pada 55:53, dalam mengomentari apa yang oleh Spk dituliskan sebagai contoh teks yang kadang-kadang berbeda dari apa yang dituliskan di sini. baca V, n366↩︎

  147. Spk mengemas sāvakabhāsitā sebagai tesaṃ tesaṃ sāvakehi bhāsitā, merujuk pada orang luar (bāhiraka). Spk-pṭ menjelaskan: “Oleh murid-murid dari mereka yang tidak dikenal sebagai siswa Sang Buddha.” ↩︎

  148. “Balok kayu” adalah kaliṅgara. Spk: dalam masa pertama pengajaran Sang Buddha para bhikkhu berlatih meditasi sejak mereka selesai makan (sebelum siang) hingga jaga pertama malam hari. Mereka akan tidur selama jaga ke dua, dengan merebahkan kepala mereka di atas sepotong balok kayu (kaṭṭhakaṇḍa, sebuah kemasan dari kata kaliṅgara); kemudian mereka akan bangun dini hari dan melanjutkan meditasi berjalan.

    Suasana sutta ini mirip dengan sutta-sutta “takut akan masa depan”, AN III 105-10. ↩︎

  149. Perumpamaan gajah juga terdapat pada Vin II 120, digunakan sehubungan dengan Devadatta. ↩︎

  150. Pasannākāraṃ karonti. Spk: Mereka memberikan empat kebutuhan. Baca n.275↩︎

  151. Baca sutta berikutnya untuk penjelasannya. ↩︎

  152. Sandhisamalasaṅkaṭīre. Spk menjelaskan sandhi sebagai sebuah lorong yang memisahkan dua rumah; samala sebagai suatu saluran pembuangan air dari rumah; dan saṅkatīra sebagai tempat sampah; baca juga Ps III 418,16 (komentar pada MN I 334,27). Pada MLDB p. 433 kata majemuk itu diterjemahkan, “pada tiang pintu atau keranjang sampah atau saluran pembuangan air,” tetapi sepertinya dua yang terakhir seharusnya dibalik. ↩︎

  153. Aññataraṃ saṅkiliṭṭhaṃ āpattiṃ āpajjati yathārūpāya āpattiyā vuṭṭhānaṃ paññāyati. Suatu pelanggaran yang dimotivasi oleh kekotoran (dalam hal ini nafsu) tetapi dari jenis yang dapat ditebus dengan menjalani hukuman yang sesuai (bukan seperti pelanggaran dari kelompok pārājikā, yang tidak dapat ditebus melainkan mengharuskan pengusiran permanen dari Saṅgha). ↩︎

  154. Baca 17:8 dan n.322 di atas. Spk mengidentifikasikan “seseorang” sebagai Devadatta. Saya memahami Sakyaputtiya sebagai sebuah kata sifat yang berarti “mengikuti putra Sakya,” bukan kata benda yang berarti “Putra Sakya.” Putra Sakya adalah Sang Buddha sendiri, yang meninggalkan Suku Sakya (baca 55:7, V 352,18). Dengan demikian seorang samaṇa sakyaputta (baca 28:10 (III 240,3-4) dan 42:10 (IV 325,19-21)) adalah seorang petapa yang mengikuti putra Sakya, yaitu seorang bhikkhu Buddhis. ↩︎

  155. Spk: Ini juga dikatakan dengan merujuk pada perilaku Devadatta. Spk mengisahkan sebuah anekdot mengenai serigala yang telah ditolong oleh seorang petani dari seekor ular piton. Ketika ular itu menangkap petani itu, si serigala, sebagai ungkapan terima kasih, mendatangi sanak-saudara petani itu dan membawa mereka ke tempat kejadian itu, dan karenanya memungkinkan mereka menolong petani tersebut.

    21. Bhikkhusaṃyutta ↩︎

  156. Kolita adalah nama kecil Mahāmoggallāna, Moggallāna berasal dari nama sukunya. Sutta ini hampir serupa dengan 40:2 dan pasti merupakan variasi dari sutta itu, yang memformulasikan istilah keheningan mulia daripada jhāna ke dua. Seperti yang dijelaskan oleh Spk, sutta ini merupakan kilas balik pada seminggu usaha Moggallāna dalam mencapai Kearahattaan. ↩︎

  157. Spk menjelaskan bahwa jhāna ke dua disebut keheningan mulia (ariya tuṇhībhāva) karena di dalamnya pemikiran dan pemeriksaan (vitakka-vicārā) lenyap, dan dengan lenyapnya itu maka ucapan tidak dapat muncul. Pada 41:6 (IV 293,24-26) pemikiran dan pemeriksaan disebut bentukan verbal (vacīsaṅkhāra), faktor-faktor pikiran yang bertanggung jawab atas artikulasi ucapan. Tetapi, Spk menambahkan, ketika Sang Buddha mengatakan “apakah membicarakan Dhamma atau menjalani keheningan mulia” (yaitu, pada MN I 161,32-33), bahkan perhatian pada objek meditasi dapat dianggap sebagai keheningan mulia. ↩︎

  158. Spk: Dikatakan bahwa dengan cara ini, selama tujuh hari, Sang Guru membantu Sang Bhikkhu dalam mengembangkan konsentrasi pada saat-saat ia cenderung mengalami kemunduran (hānabhāgiya) dan dengan demikian menuntunnya menuju “keagungan pengetahuan langsung” (mahābhiññatā), yaitu, pada enam pengetahuan langsung. ↩︎

  159. Upatissa adalah nama kecil Sāriputta. ↩︎

  160. Kita harus membacanya hanya avuso sama dengan Be dan Se, bukannya avuso Sāriputta dalam Ee. ↩︎

  161. Spk: Sejak lama: ia mengatakan hal ini merujuk pada waktu yang telah berlalu sejak Sang Buddha mengajarkan kepada Pengembara Dighanakha tentang “Khotbah tentang Melihat Perasaan” di pintu Gua Babi Hutan. Karena pada hari itulah kekotoran-kekotoran yang melekat dalam lingkaran kehidupan tercabut dari dalam diri Sang Bhikkhu. Baca n. 97 di atas. ↩︎

  162. Spk: Kediaman itu disebut kasar karena objeknya. Karena ia berdiam dengan mengerahkan unsur mata dewa dan telinga dewa, yang menggunakan objek kasar, yaitu landasan bentuk dan landasan suara. ↩︎

  163. Saya menerjemahkan ungkapan Pāli yang ganjil ini dengan sedikit bebas untuk menjelaskan maknanya. Terjemahan saya mengikuti tulisan dalam Spk: “Bhikkhu itu bertanya-tanya, ‘Di manakah Sang Bhagavā berada?’ Setelah memperluas cahaya, melalui mata dewanya ia melihat Sang Buddha berada di kamar harum di Hutan Jeta; kemudian ia mendengar suara Beliau melalui unsur telinga dewa. Sang Guru melakukan hal yang sama, dan demikianlah mereka dapat melihat dan mendengar satu sama lain. ↩︎

  164. Seperti pada 12:22 (II 28,24-28). ↩︎

  165. Baca 51:10 (V 259,18-20). Spk mengemas kappa di sini sebagai āyukappa, artinya umur kehidupan manusia yang setara dengan 120 tahun. Akan tetapi, tidak ada landasan tekstual untuk menganggap kappa dalam kalimat ini sebagai berarti selain daripada kappa kosmis, waktu yang diperlukan bagi alam semesta untuk terbentuk dan hancur. Baca V, n.249↩︎

  166. Kata “nāga” di sini digunakan dalam pengertian Arahant. ↩︎

  167. Jetvā Māraṃ savāhanaṃ. Spk tidak mengomentari “tunggangan”, tetapi komentar lain menjelaskan ini sebagai Gajah Girimekha (Pj II 392,3 hingga Sn 442) atau bala tentara Māra (Mp III 18,26 hingga AN II 15,29). Pada Ja I 72, Māra ditampilkan menunggang gajah Girimekha sebelum menyerang calon Buddha di bawah Pohon Bodhi. ↩︎

  168. Namanya berarti “Bhaddiya Kerdil.” Bagian prosa terdapat pada Ud 76; baca juga Ud 74,20-75,6. Spk menyebutkan bahwa adalah para bhikkhu dari “Kelompok Enam” (chabbhagiyā bhikkhū, para pembuat onar yang sering disebutkan dalam Vinaya Piṭaka) yang telah menertawakannya. Keburukan Bhaddiya, menurut Spk, adalah akibat kamma dari perilakunya dalam kehidupan lampau ketika ia adalah seorang raja yang mengejek dan mengusik orang-orang tua. Walaupun berpenampilan jelek, ia memiliki suara yang merdu, yang berakibat dari kehidupan lampaunya yang lain ketika ia adalah seekor burung tekukur yang mempersembahkan sebutir mangga manis kepada Buddha Vipassī. Sang Buddha menyatakannya sebagai bhikkhu terunggul dalam hal suara merdu (mañjussara; AN I 23,24). Syair-syairnya dalam Th 466-72 tidak termasuk syair-syair di sini. ↩︎

  169. Syair-syairnya terdapat pad Th 209-10. Penggambaran serupa terdapat pada khotbah Sāriputta pada 8:6. Keseluruhan sutta ini terdapat pada AN II 51. ↩︎

  170. Kita harus mengikuti Be (dan Ee pada AN II 51,29) dalam membaca: nābhāsamānaṃ jānanti. Tulisan no bhāsamānaṃ (Ee) Dan na bhāsamānaṃ (Se) memberikan arti yang berlawanan dari yang diharapkan. Versi BHS atas syair pada Uv 29:43-44 mendukung Be: nābhāsamānā jñāyante. ↩︎

  171. Ia adalah putra dari ayah Sang Buddha, Suddhodana dan bibi sekaligus ibu asuhnya, Mahāpajāpati Gotami. Karena itu, walaupun ia juga adalah saudara tiri Sang Buddha dari ayah yang sama, teks merujuknya sebagai mātucchāputta, “sepupu dari pihak ibu.” Kisah tentangnya terdapat pada Ud 21-24 dan, lebih lengkap pada Dhp-a I 115-22; baca BL 1:217-23.

    Spk: Mengapa bhikkhu itu melakukan hal itu? Untuk mengetahui reaksi Sang Guru mengenai tindakannya, dengan berpikir: “Jika Sang Guru mengatakan, ‘Sepupuku sungguh tampan seperti ini’, aku akan berpenampilan seperti ini seumur hidupku. Tetapi jika Beliau menunjukkan kesalahan di sini, aku akan meninggalkannya, mengenai jubah potongan kain, dan menetap di tempat terpencil.” ↩︎

  172. Aññātuñchena yāpentaṃ. Spk: Sisa-sisa makanan yang diperoleh oleh seseorang yang mencari makanan lezat dan mewah di rumah-rumah orang-orang kaya dan berkuasa disebut “sisa-sisa makanan dari orang-orang yang dikenal” (ñātuncha, lit. “sisa makanan yang dikenal”). Tetapi makanan campuran yang diperoleh di pintu rumah-rumah disebut “sisa makanan orang asing” (lit. “sisa makanan tidak dikenal”). ↩︎

  173. Ia adalah pitucchāputta Sang Buddha, putra Bibi Sang Buddha dari pihak ayah, Amitā (DPPN, s.v. Tissa Thera (14)). ↩︎

  174. Spk menjelaskan bahwa sewaktu masih sāmaṇera, ketika para bhikkhu tiba di vihara dari suatu tempat yang jauh untuk menemui Sang Buddha, ia tetap duduk dan tidak melakukan pelayanan apa pun untuk mereka atau memberi hormat kepada mereka. Ini semua adalah karena ia berasal dari Kasta Khattiya dan kesombongannya sebagai sepupu Sang Buddha. Para bhikkhu lain mengerumuninya dan mencelanya dengan tajam karena bersikap tidak sopan. Variasi dari peristiwa ini tercatat pada Dhp-a I 37-39; baca BL I:166-67. ↩︎

  175. Aññataro bhikkhu theranāmako. Spk tidak menjelaskan nama aneh ini atau mengidentifikasikan bhikkhu ini lebih jauh lagi. ↩︎

  176. Spk: Masa lalu dikatakan harus ditinggalkan (pahīnaṃ) dengan meninggalkan keinginan dan nafsu pada lima kelompok unsur kehidupan masa lalu; masa depan harus dilepaskan (paṭinissaṭṭhaṃ) dengan melepaskan keinginan dan nafsu pada lima kelompok unsur kehidupan masa depan. Cp. MN III 188-89, 195-98. Bentuk jamak attabhāva-paṭilabhesu sulit diartikan; mungkin berarti lima kelompok unsur kehidupan yang dimaksudkan satu demi satu, walaupun ini adalah penggunaan ungkapan yang jarang. Baca n. 346↩︎

  177. Tiga pāda pertama terdapat pada Sn 211 dan, dengan variasi, pada Dhp 353. Spk: Penakluk-segalanya (sabbābhibhuṃ): seorang yang telah mengatasi seluruh kelompok-kelompok unsur kehidupan, landasan-landasan indria, dan unsur-unsur, dan tiga jenis kehidupan. Tidak ternoda (anupalittaṃ, atau “terbebas”) di antara segala sesuatu yang melekat (lepa) pada ketagihan dan pandangan. Terbebaskan dalam kehancuran ketagihan (taṇhakkhaye vimuttaṃ): terbebaskan dalam Nibbāna, disebut kehancuran ketagihan melalui kebebasan yang menggunakan ini sebagai objeknya. ↩︎

  178. Ia adalah siswa bhikkhu terunggul di antara mereka yang menasihati para bhikkhu (bhikkhu-ovādaka; AN I 25,13). Syair-syairnya terdapat pada Th 547-56, dan ia dipuji oleh Sang Buddha pada 54:7. Spk: Ia sebelumnya adalah seorang raja yang memerintah kota Kakkuṭavati. Segera setelah ia mendengar tentang Sang Buddha, Dhamma, dan Saṅgha dari sekelompok pedagang ia meninggalkan kerajaannya dan pergi ke Sāvatthī bersama seribu menterinya, dengan niat untuk meninggalkan keduniawian. Ratunya Anojā mengikutinya, disertai dengan istri-istri para menteri, semuanya dengan niat yang sama. Sang Buddha keluar menyambut kedua rombongan itu. Pertama-tama Beliau menahbiskan para laki-laki menjadi bhikkhu dengan penahbisan “Datanglah, bhikkhu”, dan kemudian Beliau menginstruksikan Bhikkhunī Uppalavaṇṇa untuk menahbiskan para perempuan menjadi bhikkhunī. ↩︎

  179. Spk: disebutkan bahwa mereka telah bersahabat dalam lima ratus kehidupan lampau. ↩︎