easter-japanese

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.1 Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di negeri Sakya di Kapilavatthu di Taman Nigrodha.

2. Kemudian, pada suatu pagi, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, memasuki Kapilavatthu untuk menerima dana makanan. Ketika Beliau telah menerima dana makanan di Kapilavatthu dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan Beliau pergi untuk melewatkan hari di kediaman Kāḷakhemaka orang Sakya. Pada saat itu terdapat banyak tempat-tempat peristirahatan dipersiapkan di kediaman Kāḷakhemaka orang Sakya.2 Ketika Sang Bhagavā melihat ini, [110] Beliau berpikir: “Ada banyak tempat-tempat peristirahatan dipersiapkan di kediaman Kāḷakhemaka orang Sakya. Apakah ada banyak bhikkhu menetap di sana?”

Pada saat itu Yang Mulia Ānanda, bersama dengan banyak bhikkhu, sedang sibuk membuat jubah di kediaman Ghāṭā orang Sakya. Kemudian, pada malam harinya, Sang Bhagavā bangkit dari meditasinya dan pergi ke kediaman Ghāṭā orang Sakya. Di sana Beliau duduk di tempat yang telah dipersiapkan dan bertanya kepada Yang Mulia Ānanda.

“Ānanda, terdapat banyak tempat-tempat peristirahatan dipersiapkan di kediaman Kāḷakhemaka orang Sakya. Apakah ada banyak bhikkhu menetap di sana?”3

“Yang Mulia, banyak tempat-tempat peristirahatan dipersiapkan di kediaman Kāḷakhemaka orang Sakya. Ada banyak bhikkhu menetap di sana. Ini adalah waktunya bagi kami untuk membuat jubah, Yang Mulia.”4

3. “Ānanda, seorang bhikkhu tidak bersinar dengan bersenang-senang bersama teman-teman, dengan bergembira bersama teman-teman, dengan menekuni kesenangan bersama teman-teman; dengan bersenang-senang dalam masyarakat, dengan bergembira bersama masyarakat, dengan menekuni kesenangan bersama masyarakat; sesungguhnya, Ānanda, adalah tidak mungkin bahwa seorang bhikkhu yang bersenang-senang bersama teman-teman, yang bergembira bersama teman-teman, yang menekuni kesenangan bersama teman-teman; yang bersenang-senang bersama masyarakat, yang bergembira bersama masyarakat, yang menekuni kesenangan bersama masyarakat, jika ia menghendaki, dapat memperoleh kebahagiaan pelepasan keduniawian, kebahagiaan keterasingan, kebahagiaan kedamaian, kebahagiaan pencerahan, dengan tanpa kesulitan atau kesusahan.5 Tetapi dapat diharapkan bahwa jika seorang bhikkhu menetap sendirian, terasing dari masyarakat, jika ia menghendaki maka ia akan dapat memperoleh kebahagiaan pelepasan keduniawian, kebahagiaan keterasingan, kebahagiaan kedamaian, kebahagiaan pencerahan dengan tanpa kesulitan dan tanpa kesusahan.

4. “Sesungguhnya, Ānanda, tidaklah mungkin bahwa seorang bhikkhu yang bersenang-senang bersama teman-teman, yang bergembira bersama teman-teman, yang menekuni kesenangan bersama teman-teman; yang bersenang-senang bersama masyarakat, yang bergembira bersama masyarakat, yang menekuni kesenangan bersama masyarakat akan dapat masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran yang bersifat sementara dan menyenangkan atau dalam [kebebasan pikiran] yang terus-menerus dan tidak tergoyahkan.6 Tetapi dapat diharapkan bahwa jika seorang bhikkhu menetap sendirian, terasing dari masyarakat, maka ia akan dapat masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran yang bersifat sementara dan menyenangkan atau dalam [kebebasan pikiran] yang terus-menerus dan tidak tergoyahkan. [111]

5. “Aku tidak melihat bahkan satu jenis bentukpun, Ānanda, yang dari perubahannya tidak memunculkan dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan dalam diri seseorang yang menggemarinya dan bersenang di dalamnya.

6. “Akan tetapi, Ānanda, ada kediaman ini yang telah ditemukan oleh Sang Tathāgata: untuk masuk dan berdiam dalam kekosongan secara internal dengan tidak memperhatikan segala gambaran.7 Jika, sewaktu Sang Tathāgata sedang berdiam demikian, Beliau didatangi oleh para bhikkhu atau para bhikkhunī, oleh para umat awam laki-laki atau perempuan, oleh raja-raja atau menteri-menteri, oleh para penganut sekte lain atau murid-murid mereka, maka dengan pikiran yang bersandar pada keterasingan, mengarah dan condong pada keterasingan, menarik diri, bersenang dalam pelepasan keduniawian, dan sama sekali menyingkirkan hal-hal yang menjadi landasan bagi noda-noda, Beliau selalu berbicara kepada mereka dalam suatu cara yang dapat membubarkan mereka.

7. “Oleh karena itu, Ānanda, jika seorang bhikkhu menghendaki: ‘Semoga aku masuk dan berdiam dalam kekosongan secara internal,’ maka ia harus mengokohkan pikirannya secara internal, menenangkannya, memusatkannya, dan mengonsentrasikannya. Dan bagaimanakah ia mengokohkan pikirannya secara internal, menenangkannya, memusatkannya, dan mengonsentrasikannya?

8. “Di sini, Ānanda, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat, yang memiliki bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu mengokohkan pikirannya secara internal, menenangkannya, memusatkannya, dan mengonsentrasikannya. [112]

9. “Kemudian ia memperhatikan kekosongan secara internal.8 Sewaktu ia sedang memperhatikan kekosongan secara internal, pikirannya tidak masuk ke dalam kekosongan secara internal atau memperoleh keyakinan, kekokohan, dan ketetapan. Pada saat itu, ia memahami sebagai berikut: ‘Sewaktu aku memperhatikan kekosongan secara internal, pikiranku tidak masuk ke dalam kekosongan secara internal atau memperoleh keyakinan, kekokohan, dan ketetapan.’ Dengan cara ini ia memiliki kewaspadaan penuh pada hal itu.

“Ia memperhatikan kekosongan secara eksternal … Ia memperhatikan kekosongan secara internal dan secara eksternal … Ia memperhatikan ketanpa-gangguan.9 Sewaktu ia sedang memperhatikan ketanpa-gangguan, pikirannya tidak masuk ke dalam ketanpa-gangguan atau memperoleh keyakinan, kekokohan, dan ketetapan. Pada saat itu, ia memahami sebagai berikut: ‘Sewaktu aku memperhatikan ketanpa-gangguan, pikiranku tidak masuk ke dalam ketanpa-gangguan atau memperoleh keyakinan, kekokohan, dan ketetapan.’ Dengan cara ini ia memiliki kewaspadaan penuh pada hal itu.

10. “Kemudian bhikkhu itu harus mengokohkan pikirannya secara internal, menenangkannya, memusatkannya, dan mengkonsentrasikannya pada gambaran konsentrasi yang sama itu seperti sebelumnya.10 Kemudian ia memperhatikan kekosongan secara internal. Sewaktu ia sedang memperhatikan kekosongan secara internal, pikirannya masuk ke dalam kekosongan secara internal dan memperoleh keyakinan, kekokohan, dan ketetapan. Pada saat itu, ia memahami sebagai berikut: ‘Sewaktu aku memperhatikan kekosongan secara internal, pikiranku masuk ke dalam kekosongan dan memperoleh keyakinan, kekokohan, dan ketetapan.’ Dengan cara ini ia memiliki kewaspadaan penuh pada hal itu.

“Ia memperhatikan kekosongan secara eksternal … Ia memperhatikan kekosongan secara internal dan secara eksternal … Ia memperhatikan ketanpa-gangguan. Sewaktu ia sedang memperhatikan ketanpa-gangguan, pikirannya masuk ke dalam ketanpa-gangguan dan memperoleh keyakinan, kekokohan, dan ketetapan. Pada saat itu, ia memahami sebagai berikut: ‘Sewaktu aku memperhatikan ketanpa-gangguan, pikiranku masuk ke dalam ketanpa-gangguan dan memperoleh keyakinan, kekokohan, dan ketetapan.’ Dengan cara ini ia memiliki kewaspadaan penuh pada hal itu.

11. “Ketika seorang bhikkhu berdiam demikian, jika pikirannya condong untuk berjalan, maka ia berjalan, dengan pikiran: ‘Sewaktu aku sedang berjalan demikian, tidak ada kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan akan menyerangku.’ [113] Dengan cara ini ia memiliki kewaspadaan penuh pada hal itu. Dan ketika seorang bhikkhu berdiam demikian, jika pikirannya condong untuk berdiri, maka ia berdiri … jika pikirannya condong untuk duduk, maka ia duduk … jika pikirannya condong untuk berbaring, maka ia berbaring, dengan pikiran: ‘Sewaktu aku sedang berbaring demikian, tidak ada kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan akan menyerangku.’ Dengan cara ini ia memiliki kewaspadaan penuh pada hal itu.

12. “Ketika seorang bhikkhu berdiam demikian, jika pikirannya condong untuk berbicara, maka ia memutuskan: ‘Pembicaraan demikian adalah rendah, vulgar, kasar, tidak mulia, tidak bermanfaat, dan tidak menuntun menuju kekecewaan, kebosanan, lenyapnya, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, dan Nibbāna, yaitu, pembicaraan tentang para raja, para perampok, para menteri, para prajurit, bahaya-bahaya, peperangan, makanan, minuman, pakaian, tempat tidur, kalung bunga, wangi-wangian, sanak saudara, kendaraan-kendaraan, desa-desa, pemukiman-pemukiman, kota-kota, negeri-negeri, para perempuan, para pahlawan, jalan-jalan, sumur-sumur, orang-orang mati, hal-hal sepele, asal-mula dunia, asal-mula lautan, apakah hal-hal itu adalah demikian atau tidak demikian: pembicaraan demikian tidak akan aku ucapkan.’ Dengan cara ini ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu.

“Tetapi ia memutuskan: ‘Pembicaraan demikian yang membahas tentang penghapusan, yang mendukung kebebasan pikiran, yang menuntun menuju kekecewaan sepenuhnya, kebosanan sepenuhnya, lenyapnya, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, dan Nibbāna, yaitu, pembicaraan tentang keinginan yang sedikit, tentang kepuasan, kesendirian, keterasingan dari masyarakat, pembangkitan kegigihan, moralitas, konsentrasi, kebijaksanaan, kebebasan, pengetahuan dan penglihatan kebebasan: pembicaraan demikian akan aku ucapkan.’ Dengan cara ini ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu.

13. “Ketika seorang bhikkhu berdiam demikian, [114] jika pikirannya condong untuk berpikir, maka ia memutuskan: ‘Pikiran demikian adalah rendah, vulgar, kasar, tidak mulia, tidak bermanfaat, dan tidak menuntun menuju kekecewaan, kebosanan, lenyapnya, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, dan Nibbāna, yaitu, pikiran keinginan indria, pikiran permusuhan, dan pikiran kekejaman: pikiran demikian tidak akan aku pikirkan.’ Dengan cara ini ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu.

“Tetapi ia memutuskan: ‘Pemikiran demikian adalah mulia dan membebaskan, dan menuntun seseorang yang melatihnya menuju pelenyapan penderitaan sepenuhnya, yaitu, pikiran pelepasan keduniawian, pikiran tanpa permusuhan, dan pikiran tanpa-kekejaman: pikiran-pikiran demikian akan aku pikirkan.’ Dengan cara ini ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu.

14. “Ānanda, terdapat lima utas kenikmatan indria ini.11 Apakah lima ini? Bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Suara-suara yang dikenali oleh telinga … bau-bauan yang dikenali oleh hidung … rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Ini adalah lima utas kenikmatan indria.

15. “Di sini seorang bhikkhu harus terus-menerus memeriksa pikirannya sebagai berikut: ‘Apakah ada kegairahan pikiran sehubungan dengan landasan apapun di antara kelima utas kenikmatan indria ini yang muncul padaku?’ Jika, ketika memeriksa pikirannya, bhikkhu itu memahami: ‘Kegairahan pikiran sehubungan dengan landasan apapun di antara kelima utas kenikmatan indria ini memang muncul padaku,’ maka ia memahami: ‘Keinginan dan nafsu terhadap kelima utas kenikmatan indria belum ditinggalkan dari dalam diriku.’ Dengan cara ini ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu. Tetapi jika, ketika memeriksa pikirannya, bhikkhu itu memahami: ‘Tidak ada kegairahan pikiran sehubungan dengan landasan apapun di antara kelima utas kenikmatan indria ini yang muncul padaku,’ maka ia memahami: ‘Keinginan dan nafsu terhadap kelima utas kenikmatan indria telah ditinggalkan dari dalam diriku.’ Dengan cara ini ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu.

16. “Ānanda, terdapat lima kelompok unsur kehidupan ini yang terpengaruh oleh kemelekatan,12 yang sehubungan dengannya seorang bhikkhu harus berdiam dengan merenungkan muncul dan lenyapnya sebagai berikut: ‘Demikianlah bentuk materi, demikianlah munculnya, demikianlah lenyapnya; demikianlah perasaan, demikianlah [115] munculnya, demikian lenyapnya; demikianlah persepsi, demikianlah munculnya, demikianlah lenyapnya; demikianlah bentukan-bentukan, demikianlah munculnya, demikianlah lenyapnya; demikianlah kesadaran, demikianlah munculnya, demikianlah lenyapnya.’

17. “Ketika ia berdiam dengan merenungkan muncul dan lenyapnya kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini, maka keangkuhan ‘aku’ yang berdasarkan pada kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini ditinggalkan dari dalam dirinya. Pada saat itu, bhikkhu itu memahami: ‘Keangkuhan “aku” yang berdasarkan pada kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan ini telah ditinggalkan dari dalam diriku.’ Dengan cara ini ia memiliki kewaspadaan penuh akan hal itu.

18. “Kondisi-kondisi ini adalah seluruhnya bermanfaat dan memiliki hasil bermanfaat; kondisi-kondisi ini mulia, melampaui keduniawian, dan tidak terjangkau oleh Yang Jahat.

19. “Bagaimana menurutmu, Ānanda? Kebaikan apakah yang dilihat oleh seorang siswa sehingga ia ingin berdekatan dengan Sang Guru bahkan jika ia disuruh pergi?”

“Yang Mulia, ajaran kami berakar dalam Sang Bhagavā, dituntun oleh Sang Bhagavā, diputuskan oleh Sang Bhagavā. Baik sekali jika Sang Bhagavā sudi menjelaskan makna dari kata-kata ini. Setelah mendengarkan dari Sang Bhagavā, para bhikkhu akan mengingatnya.”

20. “Ānanda, seorang siswa seharusnya tidak mendekati Sang Guru demi khotbah-khotbah, syair-syair, dan penjelasan-penjelasan. Mengapakah? Sejak lama, Ānanda, engkau telah mempelajari ajaran-ajaran, menghafalkannya, membacanya secara lisan, memeriksanya dengan pikiran, dan menembusnya dengan baik melalui pandangan. Tetapi pembicaraan-pembicaraan demikian yang membahas tentang penghapusan, yang mendukung kebebasan pikiran, dan yang menuntun menuju kekecewaan sepenuhnya, kebosanan sepenuhnya, lenyapnya, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, dan Nibbāna, yaitu, pembicaraan tentang keinginan yang sedikit, tentang kepuasan, kesendirian, keterasingan dari masyarakat, pembangkitan kegigihan, moralitas, konsentrasi, kebijaksanaan, kebebasan, pengetahuan dan penglihatan kebebasan: demi pembicaraan demikian maka seorang siswa seharusnya mendekati Sang Guru bahkan jika ia disuruh pergi.

21. “Karena hal ini, Ānanda, kegagalan seorang guru dapat terjadi, kegagalan seorang murid dapat terjadi, dan kegagalan seorang yang menjalani kehidupan suci dapat terjadi.13

22. “Dan bagaimanakah kegagalan seorang guru terjadi? Di sini seorang guru mendatangi tempat tinggal terasing: hutan, bawah pohon, gunung, jurang, gua di lereng gunung, tanah pekuburan, [116] belantara, ruang terbuka, tumpukan jerami. Sewaktu ia menjalani kehidupan demikian, para brahmana dan perumah-tangga dari kota dan desa mengunjunginya, dan sebagai akibatnya ia menjadi tersesat, menjadi dipenuhi dengan keinginan, menyerah pada ketagihan, dan kembali kepada kemewahan. Guru ini dikatakan sebagai digagalkan oleh kegagalan guru. Ia telah didera oleh kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang jahat yang mengotori, membawa penjelmaan baru, memberikan kesulitan, matang dalam penderitaan, dan mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan. Itu adalah bagaimana kegagalan guru terjadi.

23. “Dan bagaimanakah kegagalan seorang murid terjadi? Seorang murid dari guru itu, meniru keterasingan gurunya, mendatangi tempat tinggal terasing: hutan … tumpukan jerami. Sewaktu ia menjalani kehidupan demikian, para brahmana dan perumah-tangga dari kota dan desa mengunjunginya, dan sebagai akibatnya ia menjadi tersesat, menjadi dipenuhi dengan keinginan, menyerah pada ketagihan, dan kembali kepada kemewahan. Murid ini dikatakan sebagai digagalkan oleh kegagalan murid. Ia telah didera oleh kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang jahat yang mengotori, membawa penjelmaan baru, memberikan kesulitan, matang dalam penderitaan, dan mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan. Itu adalah bagaimana kegagalan murid terjadi.

24. “Dan bagaimanakah kegagalan dari seorang yang menjalani kehidupan suci terjadi? di sini Seorang Tathāgata muncul di dunia, sempurna, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku, mulia, pengenal segala alam, pemimpin yang tanpa bandingan bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, tercerahkan, terberkahi. Beliau mendatangi tempat tinggal terasing: hutan … tumpukan jerami. Sewaktu Beliau menjalani kehidupan terasing demikian, para brahmana dan perumah-tangga dari kota dan desa mengunjunginya, namun Beliau tidak menjadi tersesat, tidak menjadi dipenuhi dengan keinginan, tidak menyerah pada ketagihan, dan tidak kembali kepada kemewahan. [117] Tetapi seorang murid dari guru ini, meniru keterasingan gurunya, mendatangi tempat tinggal terasing: hutan … tumpukan jerami. Sewaktu ia menjalani kehidupan demikian, para brahmana dan perumah-tangga dari kota dan desa mengunjunginya, dan sebagai akibatnya ia menjadi tersesat, menjadi dipenuhi dengan keinginan, menyerah pada ketagihan, dan kembali kepada kemewahan. Orang ini yang menjalani kehidupan suci dikatakan sebagai digagalkan oleh kegagalan dari seorang yang menjalani kehidupan suci. Ia telah didera oleh kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang jahat yang mengotori, membawa penjelmaan baru, memberikan kesulitan, matang dalam penderitaan, dan mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan. Demikianlah terjadinya kegagalan dari seorang yang menjalani kehidupan suci memiliki akibat yang lebih menyakitkan, akibat yang lebih pahit, daripada kegagalan guru atau kegagalan murid, dan hal ini bahkan dapat mengarah menuju kesengsaraan.14

25. “Oleh karena itu, Ānanda, perlakukanlah Aku sebagai teman, bukan sebagai musuh. Itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaanmu untuk waktu yang lama. Dan bagaimanakah para siswa memperlakukan gurunya sebagai musuh, bukan sebagai teman? Di sini, Ānanda, dengan berbelas kasih dan mengusahakan kesejahteraan mereka, Sang Guru mengajarkan Dhamma kepada para siswaNya demi belas kasih: ‘Ini adalah demi kesejahteraan kalian, ini adalah demi kebahagiaan kalian.’ Para siswaNya tidak ingin mendengarkan atau menyimak atau mengarahkan pikiran mereka untuk memahami; mereka melakukan kekeliruan dan berpaling dari Pengajaran Sang Guru. Demikianlah para siswa memperlakukan Sang Guru sebagai musuh, bukan sebagai teman.

26. “Dan bagaimanakah para siswa memperlakukan gurunya sebagai teman, bukan sebagai musuh? Di sini, Ānanda. Di sini, Ānanda, dengan berbelas kasih dan mengusahakan kesejahteraan mereka, Sang Guru mengajarkan Dhamma kepada para siswaNya demi belas kasih: ‘Ini adalah demi kesejahteraan kalian, ini adalah demi kebahagiaan kalian.’ Para siswaNya ingin mendengar dan menyimak dan mengarahkan pikiran mereka untuk memahami; mereka tidak melakukan kekeliruan dan tidak berpaling dari Pengajaran Sang Guru. Demikianlah para siswa memperlakukan Sang Guru sebagai teman, bukan sebagai musuh. [118] Oleh karena itu, Ānanda, perlakukanlah Aku sebagai teman, bukan sebagai musuh. Itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaanmu untuk waktu yang lama.

27. “Aku tidak akan memperlakukan engkau seperti seorang pengrajin tembikar memperlakukan tanah liat kasar yang basah. Berulang-ulang untuk mencegah kalian, Aku akan berbicara kepada kalian, Ānanda. Berulang-ulang untuk menegur kalian, Aku akan berbicara kepada kalian, Ānanda. Inti yang benar akan bertahan [terhadap pengujian].”15

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.


Catatan Kaki
  1. Sutta ini bersama dengan komentar lengkapnya telah diterbitkan dalam terjemahannya oleh Ñm dalam The Greater Discourse on Voidness↩︎

  2. MA: ini adalah sebuah bangunan yang dibangun di Taman Nigrodha oleh Kāḷakhemaka orang Sakya. Tempat-tempat tidur, tempat-tempat duduk, alas-alas tidur, dan alas kaki telah dipersiapkan, dan semuanya itu saling berdekatan sehingga bangunan itu menyerupai kediaman dari sekelompok bhikkhu. ↩︎

  3. MA menjelaskan bahwa ini hanyalah pertanyaan retoris, karena Para Buddha mampu mengetahui apapun yang ingin Mereka ketahui melalui pengetahuan langsung. Sang Buddha menanyakan ini dengan pikiran: “Segera setelah para bhikkhu ini membentuk komunitas dan bergembira dalam perkumpulan, maka mereka akan bertindak tidak selayaknya. Aku akan membabarkan Praktik Agung Kekosongan yang akan menjadi aturan latihan [larangan bersenang dalam perkumpulan].” ↩︎

  4. MA: YM. Ānanda bermaksud mengatakan: “Para bhikkhu menjalani kehidupan seperti ini bukan karena mereka bergembira dalam kesibukan, tetapi karena sedang membuat jubah.” ↩︎

  5. Baca MN 66.20 dan n.678. ↩︎

  6. Yang pertama adalah kebebasan melalui jhāna-jhāna dan pencapaian-pencapaian tanpa materi, dan yang ke dua adalah kebebasan melalui jalan dan buah lokuttara. Baca juga MN 29.6 dan n.348. ↩︎

  7. MA: Sang Buddha memulai paragraf ini untuk mencegah kritik bahwa sementara Beliau menginstruksikan agar para siswaNya hidup dalam keterasingan, Beliau sendiri sering dikelilingi oleh banyak pengikut. “Kekosongan” di sini adalah buah pencapaian kekosongan; baca n.1137. ↩︎

  8. MA menjelaskan kekosongan secara internal sebagai yang berhubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan seseorang, kekosongan secara eksternal sebagai yang berhubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan orang lain. Dengan demikian kekosongan yang dibicarakan di sini pasti adalah kebebasan pikiran sementara yang dicapai melalui perenungan pandangan terang tanpa-diri, seperti yang dijelaskan dalam MN 43.33. Ketika pandangan terang ke dalam tanpa-diri dibawa hingga tingkat sang jalan, dan keluar dalam buah mengalami Nibbāna melalui aspek kekosongannya. ↩︎

  9. MA: Ia memperhatikan suatu pencapaian meditatif tanpa materi yang tanpa gangguan. ↩︎

  10. MA: ini merujuk pada jhāna yang digunakan sebagai landasan bagi pandangan terang. Jika setelah keluar dari jhāna dasar itu, pikirannya tidak masuk ke dalam kekosongan melalui perenungan pandangan terang pada kelompok-kelompok unsur kehidupannya sendiri atau kelompok-kelompok unsur kehidupan orang lain, dan ia juga tidak mencapai pencapaian tanpa materi yang tanpa-gangguan, maka ia harus kembali ke jhāna dasar yang sama yang ia kembangkan sebelumnya dan memperhatikannya lagi dan lagi. ↩︎

  11. Menurut MA, hingga pada titik ini Sang Buddha telah menunjukkan latihan untuk mencapai kedua jalan pertama, yaitu jalan memasuki-arus dan yang-kembali-sekali. Sekarang Beliau membicarakan paragraf yang sekarang ini (§§14-15) untuk menunjukkan pandangan terang yang diperlukan untuk mencapai jalan yang-tidak-kembali, yang memuncak dalam ditinggalkannya keinginan indria. ↩︎

  12. Paragraf ini (§§16-17) menunjukkan pandangan terang yang diperlukan untuk mencapai jalan Kearahattaan, yang memuncak pada ditinggalkannya keangkuhan “aku.” ↩︎

  13. Ācariyūpaddava, antevāsūpaddava, brahmacariyūpaddava. Upaddava juga dapat diterjemahkan sebagai bencana, malapetaka. MA menjelaskan bahwa Sang Buddha membicarakan paragraf ini untuk menunjukkan bahwa dalam kesendirian ketika seseorang tidak memenuhi tujuan selayaknya dari kehidupan menyendiri. “Guru” adalah seorang guru di luar pengajaran Sang Buddha. ↩︎

  14. MA: Meninggalkan keduniawian menuju kehidupan tanpa rumah di luar Pengajaran Sang Buddha memberikan perolehan yang kecil, sehingga seseorang yang jatuh dari sana hanya jatuh dari pencapaian duniawi; ia tidak mengalami penderitaan besar, seperti seseorang yang jatuh dari punggung seekor keledai hanya akan menjadi kotor oleh debu. Tetapi meninggalkan keduniawian dalam Pengajaran Sang Buddha menghasilkan perolehan besar – jalan, buah, dan Nibbāna. Dengan demikian seseorang yang jatuh dari sana akan mengalami penderitaan besar, bagaikan seseorang yang jatuh dari punggung seekor gajah. ↩︎

  15. Perbedaan perumpamaan ini antara cara pengrajin tembikar memperlakukan tanah liat yang basah dan cara ia memperlakukan adonan kendi yang dihasilkan dari tanah liat itu. MA menuliskan: “Setelah menasihati sekali Aku tidak akan berdiam diri; aku akan menasihati dan memberikan instruksi dengan cara berulang-ulang menegur engkau. Bagaikan pengrajin tembikar menguji kendi-kendi, menyingkirkan kendi-kendi yang retak, pecah, atau cacat, dan menyimpan hanya yang lolos ujian, demikianlah Aku akan menasihati dan memberikan instruksi dengan cara berulang-ulang menguji engkau. Mereka di antara kalian yang selamat, telah mencapai jalan dan buah, akan bertahan menghadapi pengujian.” MA menambahkan bahwa kualitas-kualitas mulia duniawi juga termasuk dalam kriteria keselamatan. ↩︎