M ii 91
Kepada Pangeran Bodhi
Di terjemahkan dari pāḷi oleh
Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi
ShortUrl:
Edisi lain:
Pāḷi (vri)
[91]
1.
DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di negeri Bhagga di Suṁsumāragira di Hutan Bhesakaḷā, Taman Rusa.
2.
Pada saat itu sebuah istana bernama Kokanada baru saja dibangun untuk Pangeran Bodhi, dan istana itu belum ditempati oleh petapa atau brahmana atau manusia manapun juga.1
3.
Kemudian Pangeran Bodhi berkata kepada murid brahmana Sañjikāputta sebagai berikut: “Pergilah, Sañjikāputta, temui Sang Bhagavā dan bersujudlah atas namaku dengan kepalamu di kaki Beliau, dan tanyakan apakah Beliau terbebas dari penyakit dan gangguan, dan sehat, kuat dan berdiam dengan nyaman, dengan mengatakan: ‘Yang Mulia, Pangeran Bodhi bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā, dan ia menanyakan apakah Sang Bhagavā terbebas dari penyakit … dan berdiam dengan nyaman.’ Kemudian katakan ini: ‘Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā bersama dengan Sangha para bhikkhu menerima makanan besok dari Pangeran Bodhi.’”
“Baik, Tuan,” Sañjikāputta menjawab, dan ia mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata: “Guru Gotama, Pangeran Bodhi bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā, dan ia menanyakan apakah Sang Bhagavā terbebas dari penyakit … dan berdiam dengan nyaman. Dan ia mengatakan ini: ‘Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā bersama dengan Sangha para bhikkhu menerima makanan besok dari Pangeran Bodhi.’”
4.
Sang Bhagavā menerima dengan berdiam diri. Kemudian, setelah mengetahui bahwa Sang Bhagavā telah menerima, Sañjikāputta bangkit dari duduknya, mendatangi Pangeran Bodhi, dan memberitahukan apa yang telah terjadi [92]
, dengan menambahkan: “Petapa Gotama telah menerima.”
5.
Kemudian, ketika malam telah berlalu, Pangeran Bodhi mempersiapkan berbagai jenis makanan baik di tempat kediamannya, dan ia menutupi Istana Kokanada dengan kain putih hingga ke anak tangga terakhir. Kemudian ia berkata kepada murid brahmana Sañjikāputta sebagai berikut: “Pergilah, Sañjikāputta, temui Sang Bhagavā dan umumkan waktunya telah tiba sebagai berikut: ‘Sudah waktunya, Yang Mulia, makanan telah siap.’”
“Baik, Tuan,” Sañjikāputta menjawab, dan ia mendatangi Sang Bhagavā dan mengumumkan bahwa waktunya telah tiba: “Sudah waktunya, Guru Gotama, makanan telah siap.”
6.
Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarNya, pergi ke kediaman Pangeran Bodhi.
7.
Pada saat itu Pangeran Bodhi sedang berdiri di serambi luar menunggu Sang Bhagavā. Ketika dari kejauhan ia melihat kedatangan Sang Bhagavā, ia keluar untuk menyambut dan bersujud kepada Beliau; dan kemudian, setelah mempersilahkan Sang Bhagavā untuk mendahuluinya, ia berjalan menuju Istana Kokanada. Tetapi Sang Bhagavā berhenti di anak tangga paling bawah. Pangeran Bodhi berkata kepada Beliau: “Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā menginjak kain ini, sudilah Yang Sempurna menginjak kain ini, hal itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaanku untuk waktu yang lama.” Ketika hal ini dikatakan, Sang Bhagavā berdiam diri.2
Untuk ke dua kalinya … Untuk ke tiga kalinya Pangeran Bodhi berkata kepada Beliau: “Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā menginjak kain ini, sudilah Yang Sempurna menginjak kain ini, hal itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaanku untuk waktu yang lama.”
Sang Bhagavā menatap Yang Mulia Ānanda. [93]
Yang Mulia Ānanda berkata kepada Pangeran Bodhi: “Pangeran, singkirkanlah kain ini. Sang Bhagavā tidak akan menginjak sehelai kain; Sang Tathāgata memperhitungkan generasi mendatang.”3
8.
Maka Pangeran Bodhi memerintahkan agar kain itu disingkirkan, dan ia mempersiapkan tempat-tempat duduk di kamar atas Istana Kokanada. Sang Bhagavā dan Sangha para bhikkhu menaiki Istana Kokanada dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan.
9.
Kemudian, dengan tangannya sendiri, Pangeran Bodhi melayani Sangha para bhikkhu yang dipimpin oleh Sang Buddha dengan berbagai jenis makanan baik. Ketika Sang Bhagavā telah selesai makan dan telah menggeser mangkukNya ke samping, Pangeran Bodhi mengambil bangku rendah, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, kami memiliki pikiran sebagai berikut: ‘Kenikmatan tidak dapat diperoleh melalui kenikmatan; kenikmatan harus diperoleh melalui kesakitan.’”4
10.
“Pangeran, sebelum pencerahanKu, sewaktu Aku masih menjadi seorang Bodhisatta yang belum tercerahkan, Aku juga berpikir sebagai berikut: ‘Kenikmatan tidak dapat diperoleh melalui kenikmatan; kenikmatan harus diperoleh melalui kesakitan.’
11-14.
“Belakangan, Pangeran, ketika Aku masih muda, seorang pemuda berambut hitam yang memiliki berkah kemudaan, dalam masa utama kehidupan … (seperti Sutta 26, §§15-17) … dan aku duduk di sana berpikir: ‘Ini akan membantu usaha.’
15-42.
“Saat itu tiga perumpamaan muncul padaku secara spontan, yang belum pernah terdengar sebelumnya … (seperti Sutta 36, §§17-44, tetapi dalam sutta sekarang ini dalam §§18-23 – bersesuaian dengan §§20-25 dari Sutta 36 – kalimat “Tetapi perasaan menyakitkan demikian yang muncul padaKu tidak menyerbu pikiranKu dan tidak menetap di sana” tidak muncul; dan di sutta yang sekarang ini pada §§37, 39 dan 42 – bersesuaian dengan §§39, 41 dan 44 dari Sutta 36 – kalimat “Tetapi perasaan menyenangkan demikian yang muncul padaKu tidak menyerbu pikiranKu dan tidak menetap di sana” tidak muncul) … seperti yang terjadi dalam diri seseorang yang berdiam dengan rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh.
45-53.
“Aku merenungkan: ‘Dhamma ini yang telah Kucapai sungguh mendalam’ … (seperti Sutta 26, §§19-29) [94]
… dan kami berenam bertahan hidup dari apa yang dibawa kembali oleh kedua bhikkhu dari perjalanan mereka menerima dana makanan.
54.
“Kemudian para bhikkhu dari kelompok lima, tidak lama setelah diajari dan diberikan instruksi olehKu, dengan menembusnya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang dicari oleh para anggota keluarga yang meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah.”
55.
Ketika hal ini dikatakan, Pangeran Bodhi berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, ketika seorang bhikkhu menemui Sang Tathāgata untuk mendisiplinkan dirinya, berapa lamakah hingga dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, ia di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci itu yang dicari oleh para anggota keluarga yang meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah?”
“Sehubungan dengan hal itu, Pangeran, Aku akan mengajukan pertanyaan kepadamu sebagai jawaban. Jawablah dengan apa yang menurutmu benar. Bagaimana menurutmu, Pangeran? Apakah engkau mahir dalam seni menggunakan tongkat kendali ketika menunggang seekor gajah?”
“Benar, Yang Mulia.”
56.
“Bagaimana menurutmu, Pangeran? Misalkan seseorang datang ke sini dengan pikiran: ‘Pangeran Bodhi mengetahui seni menggunakan tongkat kendali ketika menunggang seekor gajah; aku akan mempelajari seni itu darinya.’ Jika ia tidak memiliki keyakinan, ia tidak dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang memiliki keyakinan; Jika ia memiliki penyakit, ia tidak dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang bebas dari penyakit; jika ia curang dan penuh muslihat, ia tidak dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang jujur dan tulus; jika ia malas, ia tidak dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang bersemangat; jika ia tidak bijaksana, ia tidak dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang bijaksana. Bagaimana menurutmu, Pangeran? Dapatkah orang itu mempelajari seni menggunakan tongkat kendali ketika menunggang seekor gajah darimu?”
“Yang Mulia, bahkan jika ia memiliki satu saja kekurangan itu, maka ia tidak akan dapat mempelajarinya dariku, apalagi lima kekurangan itu?”
57.
“Bagaimana menurutmu, Pangeran? Misalkan seseorang datang ke sini dengan pikiran: [95]
‘Pangeran Bodhi mengetahui seni menggunakan tongkat kendali ketika menunggang seekor gajah; aku akan mempelajari seni itu darinya.’ Jika ia memiliki keyakinan, ia dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang memiliki keyakinan; Jika ia bebas dari penyakit, ia dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang bebas dari penyakit; jika ia jujur dan tulus, ia dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang jujur dan tulus; jika ia bersemangat, ia dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang bersemangat; jika ia bijaksana, ia dapat mencapai apa yang dapat dicapai oleh seseorang yang bijaksana. Bagaimana menurutmu, Pangeran? Dapatkah orang itu mempelajari darimu seni menggunakan tongkat kendali ketika menunggang seekor gajah?”
“Yang Mulia, bahkan jika ia memiliki satu saja kualitas itu, maka ia akan dapat mempelajarinya dariku, apa lagi lima kualitas itu?”
58.
“Demikian pula, Pangeran, terdapat lima faktor usaha. Apakah lima ini? Di sini seorang bhikkhu memiliki keyakinan, ia berkeyakinan pada pencerahan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā sempurna, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, mulia, pengenal segenap alam, pemimpin tanpa tandingan bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, tercerahkan, terberkahi.’
“Kemudian ia bebas dari penyakit dan kesusahan, memiliki pencernaan yang baik yang tidak terlalu dingin juga tidak terlalu panas melainkan menengah dan mampu menahankan tekanan usaha.
“Kemudian ia jujur dan tulus, dan memperlihatkan dirinya sebagaimana adanya kepada Guru dan teman-temannya dalam kehidupan suci.
“Kemudian ia bersemangat dalam meninggalkan kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat dan dalam mengusahakan kondisi-kondisi yang bermanfaat, mantap, mengerahkan usahanya dengan keteguhan dan tekun dalam melatih kondisi-kondisi yang bermanfaat.
“Kemudian ia bijaksana; ia memiliki kebijaksanaan sehubungan dengan kemunculan dan kelenyapan yang mulia dan menembus dan mengarah pada kehancuran penderitaan sepenuhnya. Ini adalah lima faktor usaha.
59.
“Pangeran, ketika seorang bhikkhu yang memiliki kelima faktor usaha ini menemui Sang Tathāgata untuk mendisiplinkan dirinya, ia mungkin berdiam selama tujuh tahun hingga dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, ia di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci itu yang dicari oleh para anggota keluarga yang meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah. [96]
“Jangankan tujuh tahun, Pangeran. ketika seorang bhikkhu yang memiliki kelima faktor usaha ini menemui Sang Tathāgata untuk mendisiplinkan dirinya, ia mungkin berdiam selama enam tahun … lima tahun … empat tahun … tiga tahun … dua tahun … satu tahun … Jangankan satu tahun, Pangeran, … ia mungkin berdiam selama tujuh bulan … enam bulan … lima bulan … empat bulan … tiga bulan … dua bulan … satu bulan … setengah bulan … Jangankan setengah bulan, Pangeran, … ia mungkin berdiam selama tujuh hari tujuh malam … enam hari enam malam … lima hari lima malam … empat hari empat malam … tiga hari tiga malam … dua hari dua malam … sehari semalam.
“Jangankan sehari semalam, Pangeran. ketika seorang bhikkhu yang memiliki kelima faktor usaha ini menemui Sang Tathāgata untuk mendisiplinkan dirinya, maka dengan diberikan instruksi pada malam hari, ia mungkin mencapai kemuliaan di pagi hari; dengan diberikan instruksi di pagi hari, ia mungkin mencapai kemuliaan di malam hari.”
60.
Ketika hal ini dikatakan, Pangeran Bodhi berkata kepada Sang Bhagavā: “Oh Buddha! Oh Dhamma! Oh, betapa baikya Dhamma telah dinyatakan! Karena seseorang yang diberikan instruksi pada malam hari mungkin mencapai kemuliaan di pagi hari; dan seseorang yang diberikan instruksi di pagi hari mungkin mencapai kemuliaan di malam hari.”
61.
Ketika hal ini dikatakan, murid brahmana Sañjikāputta berkata kepada Pangeran Bodhi: “Tuan Bodhi mengatakan: ‘Oh Buddha! Oh Dhamma! Oh, betapa baikya Dhamma telah dinyatakan!’ Tetapi ia tidak mengatakan: ‘Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu.’”
“Jangan berkata begitu, Sañjikāputta, jangan berkata begitu. Aku mendengar dan mengetahui ini dari mulut ibuku: [97]
Pernah pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Kosambi di Taman Ghosita. Kemudian ibuku, yang sedang hamil, mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Beliau: ‘Yang Mulia, pangeran atau puteri dalam rahimku, yang manapun itu, berlindung pada Sang Bhagavā dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sudilah Sang Bhagavā mengingat [anak ini] sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.’ Juga pernah pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di negeri Bhagga di Suṁsumāragira di Hutan Bhesakaḷā, Taman Rusa. Kemudian perawatku, dengan menggendongku di pinggulnya, mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Beliau: ‘Yang Mulia, Pangeran Bodhi ini berlindung pada Sang Bhagavā dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sudilah Sang Bhagavā mengingatnya sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.’ Sekarang, Sañjikāputta, untuk ke tiga kalinya aku berlindung pada Sang Bhagavā dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sudilah Sang Bhagavā mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”
Pangeran Bodhi adalah putera Raja Udena dari Kosambi, ibunya adalah puteri Raja Caṇḍappajjota dari Avanti. Bagian sutta dari §2 hingga §8 juga terdapat pada Vin Cv Kh 5/ii.127-29, yang melatar-belakangi penetapan peraturan yang disebutkan pada catatan berikutnya. ↩︎
MA menjelaskan bahwa Pangeran Bodhi tidak memiliki anak dan menginginkan seorang anak. Ia mendengar bahwa orang-orang dapat memenuhi keinginan mereka dengan memberikan persembahan khusus kepada Sang Buddha, maka ia menghamparkan kain putih dengan gagasan: “Jika aku akan memiliki anak, maka Sang Buddha akan menginjak kain ini; jika aku tidak akan memiliki anak, maka Beliau tidak akan menginjak kain ini.” Sang Buddha mengetahui hal tersebut sebagai akibat dari kamma masa lampaunya, ia dan istrinya ditakdirkan untuk tidak memiliki anak. Karena itu Beliau tidak menginjak kain tersebut. Belakangan Beliau menetapkan peraturan disiplin yang melarang bhikkhu menginjak kain putih, tetapi kemudian mengubah peraturan itu dengan memperbolehkan bhikkhu menginjak kain putih sebagai berkah kepada perumah-tangga. ↩︎
Pacchimaṁ janataṁ Tathāgato apaloketi. Versi Vin di sini menuliskan anukampati, “memiliki belas kasih,” yang lebih tepat. MA menjelaskan bahwa YM. Ānanda mengatakan ini dengan pikiran: “kelak orang-orang akan menganggap penghormatan kepada para bhikkhu sebagai cara untuk memenuhi keinginan duniawi mereka dan akan mengurangi keyakinan mereka terhadap Sangha jika penghormatan mereka tidak menghasilkan pemenuhan keinginan mereka.” ↩︎
Ini adalah prinsip dasar para Jain, seperti pada MN 14.20. ↩︎