easter-japanese

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Yang Mulia Ānanda sedang menetap di Beluvagāmaka di dekat Vesālī.

2. Pada saat itu perumah-tangga Dasama dari Aṭṭhakanāgara telah tiba di Pāṭaliputta untuk suatu urusan. Kemudian ia mendatangi seorang bhikkhu tertentu di Taman Kukkuta, dan setelah bersujud kepadanya, ia duduk di satu sisi dan bertanya kepadanya: “Di manakah Yang Mulia Ānanda menetap saat ini, Yang Mulia? Aku ingin bertemu dengan Yang Mulia Ānanda.”

“Yang Mulia Ānanda sedang menetap di Beluvagāmaka di dekat Vesālī, perumah-tangga.”

3. Kemudian perumah-tangga Dasama setelah menyelesaikan urusannya di Pāṭaliputta, ia mendatangi Yang Mulia Ānanda di Beluvagāmaka di dekat Vesālī. Setelah bersujud kepadanya, ia duduk di satu sisi dan bertanya kepadanya:

“Yang Mulia Ānanda, adakah satu hal yang telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, di mana jika seorang bhikkhu berdiam dengan rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh, maka pikirannya yang belum terbebaskan menjadi terbebaskan, noda-nodanya yang belum dihancurkan menjadi dihancurkan, dan ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum ia capai sebelumnya?”1

“Ada, perumah-tangga, sesungguhnya ada satu hal demikian yang dinyatakan oleh Sang Bhagavā.” [350]

“Apakah satu hal itu, Yang Mulia Ānanda?”

4. “Di sini, perumah-tangga, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Ia merenungkan dan memahami sebagai berikut: ‘Jhāna pertama ini adalah terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak.2 Tetapi apapun yang terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya.’ Jika ia kokoh dalam hal itu, maka ia mencapai hancurnya noda-noda.3 Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda karena keinginan pada Dhamma itu, kesenangan dalam Dhamma itu,4 maka dengan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang muncul secara spontan [di Alam Murni] dan di sana akan mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali dari alam itu.

“Ini adalah satu hal yang dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, di mana jika seorang bhikkhu berdiam dengan rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh, maka pikirannya yang belum terbebaskan menjadi terbebaskan, noda-nodanya yang belum dihancurkan menjadi dihancurkan, dan ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum ia capai sebelumnya.

5. “Kemudian, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … Ia merenungkan dan memahami sebagai berikut: ‘Jhāna ke dua ini adalah terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak. Tetapi apapun yang terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya.’ Jika ia kokoh dalam hal itu, maka ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda … tanpa pernah kembali dari alam itu.

“Ini juga adalah satu hal yang dinyatakan oleh Sang Bhagavā [351] … di mana jika seorang bhikkhu berdiam dengan rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh … ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum ia capai sebelumnya.

6. “Kemudian, dengan meluruhnya sukacita, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga … Ia merenungkan dan memahami sebagai berikut: ‘Jhāna ke tiga ini adalah terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak. Tetapi apapun yang terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya.’ Jika ia kokoh dalam hal itu, maka ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda … tanpa pernah kembali dari alam itu.

“Ini juga adalah satu hal yang dinyatakan oleh Sang Bhagavā … di mana jika seorang bhikkhu berdiam dengan rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh … ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum ia capai sebelumnya.

7. “Kemudian, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat … Ia merenungkan dan memahami sebagai berikut: ‘Jhāna ke empat ini adalah terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak. Tetapi apapun yang terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya.’ Jika ia kokoh dalam hal itu, maka ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda … tanpa pernah kembali dari alam itu.

“Ini juga adalah satu hal yang dinyatakan oleh Sang Bhagavā … di mana jika seorang bhikkhu berdiam dengan rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh … ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum ia capai sebelumnya.

8. “Kemudian, seorang bhikkhu berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang penuh dengan cinta kasih, demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala arah, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran cinta kasih, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa pertentangan dan tanpa permusuhan. Ia merenungkan dan memahami sebagai berikut: ‘Kebebasan pikiran melalui cinta kasih ini adalah terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak. Tetapi apapun yang terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya.’ Jika ia kokoh dalam hal itu, maka ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda … tanpa pernah kembali dari alam itu.

“Ini juga adalah satu hal yang dinyatakan oleh Sang Bhagavā … di mana jika seorang bhikkhu berdiam dengan rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh … ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum ia capai sebelumnya.

9. “Kemudian, seorang bhikkhu berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang penuh dengan belas kasih … tanpa permusuhan. Ia merenungkan dan memahami sebagai berikut: ‘Kebebasan pikiran melalui belas kasih ini adalah terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak. Tetapi apapun yang terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya.’ Jika ia kokoh dalam hal itu, maka ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda … tanpa pernah kembali dari alam itu.

“Ini juga adalah satu hal yang dinyatakan oleh Sang Bhagavā … di mana jika seorang bhikkhu berdiam dengan rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh … ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum ia capai sebelumnya.

10. “Kemudian, seorang bhikkhu berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang penuh dengan kegembiraan altruistik … tanpa permusuhan. Ia merenungkan dan memahami sebagai berikut: ‘Kebebasan pikiran melalui kegembiraan altruistis ini adalah terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak. Tetapi apapun yang terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya.’ Jika ia kokoh dalam hal itu, maka ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda … tanpa pernah kembali dari alam itu.

“Ini juga adalah satu hal yang dinyatakan oleh Sang Bhagavā … di mana jika seorang bhikkhu berdiam dengan rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh … ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum ia capai sebelumnya.

11. “Kemudian, seorang bhikkhu berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang penuh dengan keseimbangan … tanpa permusuhan. Ia merenungkan dan memahami sebagai berikut: ‘Kebebasan pikiran melalui keseimbangan ini adalah terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak. Tetapi apapun yang terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak adalah tidak kekal, [352] tunduk pada lenyapnya.’ Jika ia kokoh dalam hal itu, maka ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda … tanpa pernah kembali dari alam itu.

“Ini juga adalah satu hal yang dinyatakan oleh Sang Bhagavā … di mana jika seorang bhikkhu berdiam dengan rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh … ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum ia capai sebelumnya.

12. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, menyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Ia merenungkan dan memahami sebagai berikut: ‘Pencapaian landasan ruang tanpa batas ini adalah terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak. Tetapi apapun yang terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya.’ Jika ia kokoh dalam hal itu, maka ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda … tanpa pernah kembali dari alam itu.

“Ini juga adalah satu hal yang dinyatakan oleh Sang Bhagavā … di mana jika seorang bhikkhu berdiam dengan rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh … ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum ia capai sebelumnya.

13. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, menyadari bahwa ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas. Ia merenungkan dan memahami sebagai berikut: ‘Pencapaian landasan kesadaran tanpa batas ini adalah terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak. Tetapi apapun yang terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya.’ Jika ia kokoh dalam hal itu, maka ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda … tanpa pernah kembali dari alam itu.

“Ini juga adalah satu hal yang dinyatakan oleh Sang Bhagavā … di mana jika seorang bhikkhu berdiam dengan rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh … ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum ia capai sebelumnya.

14. “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Ia merenungkan dan memahami sebagai berikut: ‘Pencapaian landasan kekosongan ini adalah terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak. Tetapi apapun yang terkondisi dan dihasilkan melalui kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya.’ Jika ia kokoh dalam hal itu, maka ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda karena keinginan pada Dhamma itu, kesenangan dalam Dhamma itu, maka dengan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah ia menjadi seorang yang muncul secara spontan [di Alam Murni] dan di sana akan mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali dari alam itu.

“Ini juga adalah satu hal yang dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna, di mana jika seorang bhikkhu berdiam dengan rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh, maka pikirannya yang belum terbebaskan menjadi terbebaskan, noda-nodanya yang belum dihancurkan menjadi dihancurkan, dan ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum ia capai sebelumnya.”5

15. Ketika Yang Mulia Ānanda telah selesai berbicara, perumah-tangga Dasama dari Aṭṭhakanāgara berkata kepadanya: “Yang Mulia Ānanda, bagaikan seseorang yang mencari jalan masuk menuju harta karun tersembunyi dan sampai pada sebelas [353] jalan masuk menuju harta karun tersembunyi itu, demikian pula, selagi aku mencari pintu menuju Tanpa-Kematian, aku telah sampai dengan seketika untuk mendengarkan sebelas pintu menuju Tanpa-Kematian.6 Bagaikan seseorang yang membangun rumahnya dengan sebelas pintu dan ketika rumah itu terbakar, ia dapat menyelamatkan diri melalui salah satu dari sebelas pintu itu, demikian pula aku dapat menyelamatkan diri melalui salah satu dari sebelas pintu menuju Tanpa-Kematian ini. Yang Mulia, para penganut sekte lain bahkan akan mencari bayaran untuk guru mereka; mengapa aku tidak memberikan persembahan kepada Yang Mulia Ānanda?”

16. Kemudian perumah-tangga Dasama dari Aṭṭhakanāgara mengumpulkan Sangha para bhikkhu dari Pāṭaliputta dan Vesālī, dan dengan tangannya sendiri ia melayani mereka dengan berbagai jenis makanan baik. Ia mempersembahkan sepasang jubah kepada masing-masing bhikkhu, dan ia mempersembahkan tiga jubah kepada Yang Mulia Ānanda, dan ia membangun sebuah tempat tinggal bernilai lima ratus7 untuk Yang Mulia Ānanda.


Catatan Kaki
  1. SUTTA 52: Semua ungkapan ini adalah gambaran Kearahattaan. ↩︎

  2. Abhisankhataṁ abhisañcetayitaṁ. Kedua kata ini sering digunakan sebagai kata majemuk untuk menunjukkan keterkondisian yang mana kehendak (cetanā) merupakan faktor pengondisi yang paling menonjol. ↩︎

  3. Paragraf ini menjelaskan metode pengembangan “pandangan terang yang didahului oleh ketenangan” (samathapubbangamā vipassanā; baca AN 4:170/ii.157). Setelah mencapai jhāna pertama, si meditator keluar dari sana dan merenungkan kondisi yang dimunculkan oleh kondisi-kondisi, khususnya kehendak. Dengan berdasarkan pada ini, ia menegaskan ketidak-kekalannya, dan kemudian merenungkan jhāna dengan pandangan terang ke dalam ketiga corak ketidak-kekalan, penderitaan, dan bukan-diri. Baca juga MN 64.9-15 untuk suatu pendekatan yang agak berbeda untuk mengembangkan pandangan terang dengan berdasarkan pada jhāna-jhāna. ↩︎

  4. Dhammarāgena dhammanandiyā. MA: kedua kata ini menyiratkan keinginan dan kemelekatan (chandarāga) sehubungan dengan ketenangan dan pandangan terang. Jika ia mampu melenyapkan semua keinginan dan kemelekatan sehubungan dengan ketenangan dan pandangan terang, maka ia menjadi seorang Arahant; jika ia tidak mampu melenyapkannya, ia menjadi seorang yang-tidak-kembali dan terlahir kembali di Alam Murni. ↩︎

  5. Landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi tidak disebutkan karena merupakan faktor yang terlalu halus untuk dijadikan sebagai objek perenungan pandangan terang. ↩︎

  6. Sebelas “pintu menuju Tanpa-Kematian” adalah empat jhāna, empat brahmavihāra, dan tiga pertama pencapaian tanpa materi yang digunakan sebagai landasan untuk pengembangan pandangan terang dan pencapaian Kearahattaan. ↩︎

  7. Ini adalah lima ratus kahāpaṇa yang merupakan mata uang standard pada masa itu. ↩︎