M i 104
Hutan Belantara
Di terjemahkan dari pāḷi oleh
Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi
ShortUrl:
Edisi lain:
Pāḷi (vri)
1.
DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:
2.
“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian khotbah tentang hutan belantara. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Kukatakan.” – “Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:
3.
“Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu menetap di hutan belantara.1 Sewaktu menetap di sana perhatiannya yang belum kokoh tidak menjadi kokoh, pikirannya yang tidak terkonsentrasi tidak menjadi terkonsentrasi, noda-nodanya yang belum dihancurkan juga tidak terhancurkan, ia tidak mencapai keamanan tertinggi dari belenggu, yang belum dicapai sebelumnya; dan juga kebutuhan hidup yang harus diperoleh oleh seseorang yang meninggalkan keduniawian – jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan – sulit diperoleh. Bhikkhu itu [105]
harus mempertimbangkan: ‘Aku menetap di hutan belantara ini. Sewaktu menetap di sini perhatianku yang belum kokoh tidak menjadi kokoh … aku tidak mencapai keamanan tertinggi dari belenggu, yang belum dicapai sebelumnya; dan juga kebutuhan hidup yang harus diperoleh oleh seseorang yang meninggalkan keduniawian … sulit diperoleh.’ Setelah merenungkan demikian bhikkhu itu harus meninggalkan hutan belantara itu pada malam itu juga atau pada hari itu juga; ia seharusnya tidak terus menetap di sana.
4.
“Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu menetap di hutan belantara. Sewaktu menetap di sana perhatiannya yang belum kokoh tidak menjadi kokoh, pikirannya yang tidak terkonsentrasi tidak menjadi terkonsentrasi, noda-nodanya yang belum dihancurkan juga tidak terhancurkan, ia tidak mencapai keamanan tertinggi dari belenggu, yang belum dicapai sebelumnya; namun kebutuhan hidup yang harus diperoleh oleh seseorang yang meninggalkan keduniawian … mudah diperoleh. Bhikkhu itu harus mempertimbangkan: ‘Aku menetap di hutan belantara ini. Sewaktu menetap di sini perhatianku yang belum kokoh tidak menjadi kokoh … aku tidak mencapai keamanan tertinggi dari belenggu, yang belum dicapai sebelumnya; namun kebutuhan hidup yang harus diperoleh oleh seseorang yang meninggalkan keduniawian … mudah diperoleh. Akan tetapi, aku tidak meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah demi jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan. Terlebih lagi, Sewaktu menetap di sini perhatianku yang belum kokoh tidak menjadi kokoh … aku tidak mencapai keamanan tertinggi dari belenggu, yang belum dicapai sebelumnya.’ Setelah merenungkan demikian bhikkhu itu harus pergi dari hutan belantara itu; ia seharusnya tidak terus menetap di sana.
5.
“Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu menetap di hutan belantara. Sewaktu menetap di sana perhatiannya yang belum kokoh menjadi kokoh, pikirannya yang tidak terkonsentrasi menjadi terkonsentrasi, noda-nodanya yang belum dihancurkan menjadi terhancurkan, ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu, yang belum dicapai sebelumnya; namun kebutuhan hidup yang harus diperoleh oleh seseorang yang meninggalkan keduniawian … sulit diperoleh. Bhikkhu itu harus mempertimbangkan: [106]
‘Aku menetap di hutan belantara ini. Sewaktu menetap di sini perhatianku yang belum kokoh menjadi kokoh … aku mencapai keamanan tertinggi dari belenggu, yang belum dicapai sebelumnya; namun kebutuhan hidup yang harus diperoleh oleh seseorang yang meninggalkan keduniawian … sulit diperoleh. Akan tetapi, aku tidak meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah demi jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan. Terlebih lagi, Sewaktu menetap di sini perhatianku yang belum kokoh menjadi kokoh … aku mencapai keamanan tertinggi dari belenggu, yang belum dicapai sebelumnya.’ Bhikkhu itu harus terus menetap di hutan belantara itu; ia seharusnya tidak pergi.
6.
“Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu menetap di hutan belantara. Sewaktu menetap di sana perhatiannya yang belum kokoh menjadi kokoh, pikirannya yang tidak terkonsentrasi menjadi terkonsentrasi, noda-nodanya yang belum dihancurkan menjadi terhancurkan, ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu, yang belum dicapai sebelumnya; dan juga kebutuhan hidup yang harus diperoleh oleh seseorang yang meninggalkan keduniawian – jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan – mudah diperoleh. Bhikkhu itu harus mempertimbangkan: ‘Aku menetap di hutan belantara ini. Sewaktu menetap di sini perhatianku yang belum kokoh menjadi kokoh … aku mencapai keamanan tertinggi dari belenggu, yang belum dicapai sebelumnya; dan juga kebutuhan hidup … mudah diperoleh.’ Bhikkhu itu harus terus menetap di hutan belantara itu seumur hidupnya; ia seharusnya tidak pergi.
7-10.
“Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu hidup dengan bergantung pada sebuah desa tertentu …2
11-14.
“Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu hidup dengan bergantung pada sebuah pemukiman tertentu …
15-18.
“Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu hidup dengan bergantung pada sebuah kota tertentu …
19-22.
“Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu hidup dengan bergantung pada sebuah negeri tertentu …
23.
“Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu hidup dengan bergantung pada seseorang tertentu … (seperti pada §3) … [107]
… Bhikkhu itu harus meninggalkan orang itu tanpa pamit; ia seharusnya tidak terus-menerus mengikutinya.
24.
“Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu hidup dengan bergantung pada seseorang tertentu … (seperti pada §4) … Setelah merenungkan demikian, bhikkhu itu harus meninggalkan orang itu setelah pamit;3 ia seharusnya tidak terus-menerus mengikutinya.
25.
“Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu hidup dengan bergantung pada seseorang tertentu … (seperti pada §5) … Setelah merenungkan demikian, bhikkhu itu harus terus-menerus mengikuti orang itu; ia seharusnya tidak meninggalkannya.
26.
“Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu hidup dengan bergantung pada seseorang tertentu … (seperti pada §6) [108]
… Setelah merenungkan demikian, bhikkhu itu harus terus-menerus mengikuti orang itu seumur hidupnya; ia seharusnya tidak meninggalkannya, bahkan jika diminta untuk pergi.”
Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Pola yang dibangun oleh §§3-6 dapat disebutkan secara sederhana sebagai berikut:
Tidak ada kemajuan dan sulit memperoleh benda-benda kebutuhan = pergi;
Tidak ada kemajuan dan mudah memperoleh benda-benda kebutuhan = pergi;
Ada kemajuan dan sulit memperoleh benda-benda kebutuhan = tinggal;
Ada kemajuan dan mudah memperoleh benda-benda kebutuhan = tinggal; ↩︎
Pola yang sama diterapkan dalam §§7-22 pada desa, pemukiman, kota, dan negeri. ↩︎
PTS, di sini dalam menulis anāpucchā, “tanpa pamit,” sepertinya keliru. BBS dan BBJ menulis āpucchā, “setelah pamit”, sepertinya lebih tepat. Karena orang yang padanya seorang bhikkhu bergantung – diduga seorang guru atau penyokong awam – menyediakan benda-benda kebutuhan yang cukup, sopan-santun diperlukan bahwa seorang bhikkhu pamit darinya sebelum pergi. ↩︎