easter-japanese

[1] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.1 Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Ukkaṭṭhā di Hutan Subhaga di bawah pohon sāla besar. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.”2 – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan sebuah khotbah kepada kalian tentang akar dari segala sesuatu.3 Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Kukatakan.” – “Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

3. “Di sini, para bhikkhu, seorang biasa yang tidak terpelajar,4 yang tidak menghargai para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang tidak menghargai manusia sejati dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, memahami tanah sebagai tanah.5 Setelah memahami tanah sebagai tanah, ia menganggap [dirinya sebagai] tanah, ia menganggap [dirinya] dalam tanah, ia menganggap [dirinya terpisah] dari tanah, ia menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam tanah.6 Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.7

4. “Ia memahami air sebagai air. Setelah memahami air sebagai air, ia menganggap [dirinya sebagai] air, ia menganggap [dirinya] dalam air, ia menganggap [dirinya terpisah] dari air, ia menganggap air sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam air. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

5. “Ia memahami api sebagai api. Setelah memahami api sebagai api, ia menganggap [dirinya sebagai] api, ia menganggap [dirinya] dalam api, ia menganggap [dirinya terpisah] dari api, ia menganggap api sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam api. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

6. “Ia memahami udara sebagai udara. Setelah memahami udara sebagai udara, ia menganggap [dirinya sebagai] udara, ia menganggap [dirinya] dalam udara, ia menganggap [dirinya terpisah] dari udara, ia menganggap udara sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam udara. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan. [2]

7. “Ia memahami makhluk-makhluk sebagai makhluk-makhluk.8 Setelah memahami makhluk-makhluk sebagai makhluk-makhluk, ia membayangkan makhluk-makhluk, ia menganggap [dirinya] dalam makhluk-makhluk, ia menganggap [dirinya terpisah] dari makhluk-makhluk, ia menganggap makhluk-makhluk sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam makhluk-makhluk. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

8. “Ia memahami dewa-dewa sebagai dewa-dewa.9 Setelah memahami dewa-dewa sebagai dewa-dewa, ia membayangkan dewa-dewa, ia menganggap [dirinya] dalam dewa-dewa, ia menganggap [dirinya terpisah] dari dewa-dewa, ia menganggap dewa-dewa sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam dewa-dewa. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

9. “Ia memahami Pajāpati sebagai Pajāpati.10 Setelah memahami Pajāpati sebagai Pajāpati, ia membayangkan Pajāpati, ia menganggap [dirinya] dalam Pajāpati, ia menganggap [dirinya terpisah] dari Pajāpati, ia menganggap Pajāpati sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam Pajāpati. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

10. “Ia memahami Brahmā sebagai Brahmā.11 Setelah memahami Brahmā sebagai Brahmā, ia membayangkan Brahmā, ia menganggap [dirinya] dalam Brahmā, ia menganggap [dirinya terpisah] dari Brahmā, ia menganggap Brahmā sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam Brahmā. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

11. “Ia memahami para dewa dengan Cahaya Gemerlap sebagai para dewa dengan Cahaya Gemerlap.12 Setelah memahami para dewa dengan Cahaya Gemerlap sebagai para dewa dengan Cahaya Gemerlap, ia membayangkan para dewa dengan Cahaya Gemerlap, ia menganggap [dirinya] dalam para dewa dengan Cahaya Gemerlap, ia menganggap [dirinya terpisah] dari para dewa dengan Cahaya Gemerlap, ia menganggap para dewa dengan Cahaya Gemerlap sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam para dewa dengan Cahaya Gemerlap. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

12. “Ia memahami para dewa dengan Keagungan Gemilang sebagai para dewa dengan Keagungan Gemilang.13 Setelah memahami para dewa dengan Keagungan Gemilang sebagai para dewa dengan Keagungan Gemilang, ia membayangkan para dewa dengan Keagungan Gemilang, ia menganggap [dirinya] dalam para dewa dengan Keagungan Gemilang, ia menganggap [dirinya terpisah] dari para dewa dengan Keagungan Gemilang, ia menganggap para dewa dengan Keagungan Gemilang sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam para dewa dengan Keagungan Gemilang. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

13. “Ia memahami para dewa dengan Buah Besar sebagai para dewa dengan Buah Besar.14 Setelah memahami para dewa dengan Buah Besar sebagai para dewa dengan Buah Besar, ia membayangkan para dewa dengan Buah Besar, ia menganggap [dirinya] dalam para dewa dengan Buah Besar, ia menganggap [dirinya terpisah] dari para dewa dengan Buah Besar, ia menganggap para dewa dengan Buah Besar sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam para dewa dengan Buah Besar. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

14. “Ia memahami raja sebagai raja.15 Setelah memahami raja sebagai raja, ia membayangkan raja, ia menganggap [dirinya] dalam raja, ia menganggap [dirinya terpisah] dari raja, ia menganggap raja sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam raja. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

15. “Ia memahami landasan ruang tanpa batas sebagai landasan ruang tanpa batas.16 Setelah memahami landasan ruang tanpa batas sebagai landasan ruang tanpa batas, ia menganggap [dirinya sebagai] landasan ruang tanpa batas, ia menganggap [dirinya] dalam landasan ruang tanpa batas, ia menganggap [dirinya terpisah] dari landasan ruang tanpa batas, ia menganggap landasan ruang tanpa batas sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam landasan ruang tanpa batas. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

16. “Ia memahami landasan kesadaran tanpa batas sebagai landasan kesadaran tanpa batas. Setelah memahami landasan kesadaran tanpa batas sebagai landasan kesadaran tanpa batas, [3] ia menganggap [dirinya sebagai] landasan kesadaran tanpa batas, ia menganggap [dirinya] dalam landasan kesadaran tanpa batas, ia menganggap [dirinya terpisah] dari landasan kesadaran tanpa batas, ia menganggap landasan kesadaran tanpa batas sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam landasan kesadaran tanpa batas. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

17. “Ia memahami landasan kekosongan sebagai landasan kekosongan. Setelah memahami landasan kekosongan sebagai landasan kekosongan, ia menganggap [dirinya sebagai] landasan kekosongan, ia menganggap [dirinya] dalam landasan kekosongan, ia menganggap [dirinya terpisah] dari landasan kekosongan, ia menganggap landasan kekosongan sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam landasan kekosongan. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

18. “Ia memahami landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi sebagai landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Setelah memahami landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi sebagai landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, ia menganggap [dirinya sebagai] landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, ia menganggap [dirinya] dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, ia menganggap [dirinya terpisah] dari landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, ia menganggap landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

19. “Ia memahami yang terlihat sebagai yang terlihat.17 Setelah memahami yang terlihat sebagai yang terlihat, ia menganggap [dirinya sebagai] yang terlihat, ia menganggap [dirinya] dalam yang terlihat, ia menganggap [dirinya terpisah] dari yang terlihat, ia menganggap yang terlihat sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam yang terlihat. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

20. “Ia memahami yang terdengar sebagai yang terdengar. Setelah memahami yang terdengar sebagai yang terdengar, ia menganggap [dirinya sebagai] yang terdengar, ia menganggap [dirinya] dalam yang terdengar, ia menganggap [dirinya terpisah] dari yang terdengar, ia menganggap yang terdengar sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam yang terdengar. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

21. “Ia memahami yang terindra sebagai yang terindra. Setelah memahami yang terindra sebagai yang terindra, ia menganggap [dirinya sebagai] yang terindra, ia menganggap [dirinya] dalam yang terindra, ia menganggap [dirinya terpisah] dari yang terindra, ia menganggap yang terindra sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam yang terindra. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

22. “Ia memahami yang dikenali sebagai yang dikenali. Setelah memahami yang dikenali sebagai yang dikenali, ia menganggap [dirinya sebagai] yang dikenali, ia menganggap [dirinya] dalam yang dikenali, ia menganggap [dirinya terpisah] dari yang dikenali, ia menganggap yang dikenali sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam yang dikenali. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

23. “Ia memahami kesatuan sebagai kesatuan.18 Setelah memahami kesatuan sebagai kesatuan, ia menganggap [dirinya sebagai] kesatuan, ia menganggap [dirinya] dalam kesatuan, ia menganggap [dirinya terpisah] dari kesatuan, ia menganggap kesatuan sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam kesatuan. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

24. “Ia memahami keberagaman sebagai keberagaman. Setelah memahami keberagaman sebagai keberagaman, ia menganggap [dirinya sebagai] keberagaman, ia menganggap [dirinya] dalam keberagaman, ia menganggap [dirinya terpisah] dari keberagaman, ia menganggap keberagaman sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam keberagaman. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

25. “Ia memahami keseluruhan sebagai keseluruhan.19 Setelah memahami keseluruhan sebagai keseluruhan, ia menganggap [dirinya sebagai] keseluruhan, [4] ia menganggap [dirinya] dalam keseluruhan, ia menganggap [dirinya terpisah] dari keseluruhan, ia menganggap keseluruhan sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam keseluruhan. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

26. “Ia memahami Nibbāna sebagai Nibbāna.20 Setelah memahami Nibbāna sebagai Nibbāna, ia menganggap [dirinya sebagai] Nibbāna, ia menganggap [dirinya] dalam Nibbāna, ia menganggap [dirinya terpisah] dari Nibbāna, ia menganggap Nibbāna sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam Nibbāna. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

27. “Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang sedang dalam latihan yang lebih tinggi,21 yang pikirannya masih belum mencapai tujuan, dan yang masih bercita-cita untuk mencapai keamanan tertinggi dari belenggu, secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah.22 Setelah secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah, ia seharusnya tidak menganggap [dirinya sebagai] tanah, ia seharusnya tidak menganggap [dirinya] dalam tanah, ia seharusnya tidak menganggap [dirinya terpisah] dari tanah, ia seharusnya tidak menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ ia seharusnya tidak bersenang dalam tanah. Mengapakah? Agar ia dapat memahaminya sepenuhnya, Aku katakan.23

28-49. “Ia secara langsung mengetahui air sebagai air … Ia secara langsung mengetahui keseluruhan sebagai keseluruhan.

50. “Ia secara langsung mengetahui Nibbāna sebagai Nibbāna. Setelah mengetahui Nibbāna sebagai Nibbāna, ia seharusnya tidak menganggap [dirinya sebagai] Nibbāna, ia seharusnya tidak menganggap [dirinya] dalam Nibbāna, ia seharusnya tidak menganggap [dirinya terpisah] dari Nibbāna, ia seharusnya tidak menganggap Nibbāna sebagai ‘milikku,’ ia seharusnya tidak bersenang dalam Nibbāna. Mengapakah? Agar ia dapat memahaminya sepenuhnya, Aku katakan.

51. “Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant dengan noda-noda telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuannya, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebas melalui pengetahuan akhir,24 ia juga secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah. Setelah secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah, ia tidak menganggap [dirinya sebagai] tanah, ia tidak menganggap [dirinya] dalam tanah, ia tidak menganggap [dirinya terpisah] dari tanah, ia tidak menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ ia tidak bersenang dalam tanah. Mengapakah? Karena ia telah memahami sepenuhnya, Aku katakan.25

52-74. “Ia juga secara langsung mengetahui air sebagai air … Nibbāna sebagai Nibbāna … Mengapakah? Karena ia telah memahami sepenuhnya, Aku katakan.

75. “Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant … sepenuhnya terbebas melalui pengetahuan akhir, [5] ia juga secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah. Setelah secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah, ia tidak menganggap [dirinya sebagai] tanah, ia tidak menganggap [dirinya] dalam tanah, ia tidak menganggap [dirinya terpisah] dari tanah, ia tidak menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ ia tidak bersenang dalam tanah. Mengapakah? Karena ia terbebaskan dari nafsu melalui hancurnya nafsu.26

76-98. “Ia juga secara langsung mengetahui air sebagai air … Nibbāna sebagai Nibbāna … Mengapakah? Karena ia terbebaskan dari nafsu melalui hancurnya nafsu.

99. “Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant … sepenuhnya terbebas melalui pengetahuan akhir, ia juga secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah. Setelah secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah, ia tidak menganggap [dirinya sebagai] tanah, ia tidak menganggap [dirinya] dalam tanah, ia tidak menganggap [dirinya terpisah] dari tanah, ia tidak menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ ia tidak bersenang dalam tanah. Mengapakah? Karena ia terbebaskan dari kebencian melalui hancurnya kebencian.

100-122. “Ia juga secara langsung mengetahui air sebagai air … Nibbāna sebagai Nibbāna … Mengapakah? Karena ia terbebaskan dari kebencian melalui hancurnya kebencian.

123. “Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant … sepenuhnya terbebas melalui pengetahuan akhir, ia juga secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah. Setelah secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah, ia tidak menganggap [dirinya sebagai] tanah, ia tidak menganggap [dirinya] dalam tanah, ia tidak menganggap [dirinya terpisah] dari tanah, ia tidak menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ ia tidak bersenang dalam tanah. Mengapakah? Karena ia terbebaskan dari delusi melalui hancurnya delusi

124-146. “Ia juga secara langsung mengetahui air sebagai air … Nibbāna sebagai Nibbāna … Mengapakah? Karena ia terbebaskan dari delusi melalui hancurnya delusi.

147. “Para bhikkhu, Sang Tathāgata juga,27 yang sempurna dan tercerahkan sepenuhnya, secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah. Setelah secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah, Beliau tidak menganggap [dirinya sebagai] tanah, Beliau tidak menganggap [dirinya] dalam tanah, Beliau tidak menganggap [dirinya terpisah] dari tanah, Beliau tidak menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ Beliau tidak bersenang dalam tanah. [6] Mengapakah? Karena Beliau telah memahami sepenuhnya hingga akhir, Aku katakan.28

148-170. “Beliau juga secara langsung mengetahui air sebagai air … Nibbāna sebagai Nibbāna … Mengapakah? Karena Beliau telah memahami sepenuhnya hingga akhir, Aku katakan.

171. “Para bhikkhu, Sang Tathāgata juga, yang sempurna dan tercerahkan sepenuhnya, secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah. Setelah secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah, Beliau tidak menganggap [dirinya sebagai] tanah, Beliau tidak menganggap [dirinya] dalam tanah, Beliau tidak menganggap [dirinya terpisah] dari tanah, Beliau tidak menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ Beliau tidak bersenang dalam tanah. Mengapakah? Karena Beliau telah memahami bahwa kesenangan adalah akar penderitaan, dan bahwa dengan penjelmaan [sebagai kondisi] maka ada kelahiran, dan bahwa dengan apapun yang terlahir itu, maka ada penuaan dan kematian.29 Oleh karena itu, para bhikkhu, melalui kehancuran, peluruhan, pelenyapan, penghentian, dan pelepasan ketagihan sepenuhnya, Sang Tathāgata telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tertinggi, Aku katakan.30

172-194. “Beliau juga secara langsung mengetahui air sebagai air … Nibbāna sebagai Nibbāna … Mengapakah? Karena Beliau telah memahami bahwa kesenangan adalah akar penderitaan, dan bahwa dengan penjelmaan [sebagai kondisi] maka ada kelahiran, dan bahwa dengan apapun yang terlahir itu, maka ada penuaan dan kematian. Oleh karena itu, para bhikkhu, melalui kehancuran, peluruhan, pelenyapan, penghentian, dan pelepasan ketagihan sepenuhnya, Sang Tathāgata telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tertinggi, Aku katakan.

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Tetapi para bhikkhu itu tidak bergembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.31


Catatan Kaki
  1. Untuk penjelasan lebih lengkap atas Sutta yang sulit dan penting ini, baca Bhikkhu Bodhi, Discourse on the Root of Existence. Karya ini berisikan, selain terjemahan sutta, juga sebuah analisa lengkap atas makna filosofis dan banyak kutipan dari literatur komentar yang sangat membantu yang telah ditambahkan di sana-sini. Terjemahan Ñm atas sutta ini dalam Ms sangat bersifat dugaan; dengan demikian, walaupun saya mempertahankan sebagian besar terminologi dari Ñm, namun secara sintaksis saya telah menggantikan dengan terjemahan saya untuk memberikan makna yang sesuai dengan interpretasi tradisional dan hal itu sepertinya dibenarkan oleh versi Pali Text yang asli. Kalimat-kalimat kunci seperti yang diterjemahkan oleh Ñm akan diberikan dalam catatan. ↩︎

  2. MA menjelaskan bahwa Sang Buddha membabarkan sutta ini untuk menaklukkan keangkuhan yang telah muncul pada lima ratus bhikkhu sehubungan dengan penguasaan pengetahuan dan intelektual atas ajaran Buddha. Para bhikkhu ini dulunya adalah para brahmana yang terpelajar dalam hal literatur Veda, dan ucapan-ucapan tersamar dari Sang Buddha mungkin dimaksudkan untuk menantang pandangan brahmanis yang mungkin masih mereka lekati. ↩︎

  3. Sabbadhammamūlapariyāya. MṬ menjelaskan bahwa kata “semua” (sabba) digunakan di sini dalam pengertian terbatas “segala identitas pribadi” (sakkāyasabba), yaitu, sehubungan dengan segala kondisi atau fenomena (dhammā) yang terdapat dalam kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan (baca MN 28.4). Kondisi-kondisi lokuttara– jalan, buah, dan Nibbāna tidak termasuk. “Akar segala sesuatu” – yaitu, kondisi khusus yang memelihara kelangsungan proses kelahiran berulang - MṬ menjelaskan sebagai ketagihan, keangkuhan, dan pandangan (yang merupakan sumber yang mendasari “anggapan”), dan ini pada gilirannya didasari oleh ketidak-tahuan, disiratkan dalam Sutta dengan frasa “ia belum sepenuhnya memahaminya.” ↩︎

  4. “Orang biasa yang tidak terpelajar” (assutavā puthujjana) adalah kaum duniawi pada umumnya, yang tidak memiliki pembelajaran maupun pencapaian spiritual dalam Dhamma para mulia, dan membiarkan diri mereka dikuasai oleh banyak kekotoran dan pandangan salah. Baca Bodhi, Discourse on the Root of Existence, hal.40-46. ↩︎

  5. Paṭhaviṁ paṭhavito sañjānāti. Walaupun memahami “tanah sebagai tanah” sepertinya menyiratkan melihat objek sebagaimana adanya, tujuan dari meditasi pandangan terang Buddhis, konteksnya menjelaskan bahwa persepsi orang-orang biasa atas “tanah sebagai tanah” telah memasukkan sedikit penyimpangan atas objek, suatu penyimpangan yang akan ditingkatkan menjadi kesalah-pahaman sepenuhnya ketika proses kognitif memasuki tahap “menganggap.” MA menjelaskan bahwa orang biasa menangkap ungkapan konvensional “ini adalah tanah,” dan menerapkannya pada objek, melihatnya melalui suatu “penyimpangan persepsi” (saññāvipallāsa). Istilah “penyimpangan persepsi” adalah ungkapan teknis yang dijelaskan sebagai melihat apa yang tidak-kekal sebagai kekal, apa yang menyakitkan sebagai menyenangkan, apa yang bukan-diri sebagai diri, apa yang menjijikkan sebagai indah (AN 4:49/ii.52). Ñm menuliskan bentuk akhiran ablatif –to dari Pali sebagai menyiratkan turunan dan menerjemahkan frasa itu: “Dari tanah ia mendapatkan kesan tanah.” ↩︎

  6. Kata Pali “menganggap” (maññati), yang berasal dari akar kata man, “berpikir”, sering digunakan dalam sutta-sutta Pali untuk mengartikan pemikiran-pemikiran yang menyimpang – pikiran yang berasal dari karakteristik objek dan suatu pemahaman yang diturunkan bukan dari objek itu sendiri, melainkan dari imajinasi subjektif seseorang. Penyimpangan kognitif yang diusulkan oleh menganggap terdiri dari, secara singkat, pemaksaan dari perspektif egosentris ke dalam pengalaman yang telah sedikit menyimpang oleh persepsi spontan. Menurut komentar, aktivitas menganggap diatur oleh tiga kekotoran, yang muncul dalam berbagai cara manifestasinya – keinginan (taṇha), keangkuhan (māna), dan pandangan (diṭṭhi).

    MA menuliskan teks ini sebagai: “Setelah melihat tanah dengan persepsi menyimpang, orang biasa kemudian menganggapnya – menafsirkan atau menilainya – melalui kecenderungan-kecenderungan berproliferasi yang kasar (papañca) dari ketagihan, keangkuhan, dan pandangan, yang disebut ‘anggapan’ … Ia memahaminya dalam beragam cara yang bertolak-belakang [dengan kenyataan].”

    Empat cara menganggap (maññanā). Sang Buddha menunjukkan bahwa anggapan atas objek apapun dapat terjadi dalam salah satu dari empat cara, diungkapkan oleh teks sebagai empat pola linguistik: akusatif, lokatif, ablatif, dan peruntukan. Makna utama dari pola ini – yang juga tersamar dalam Pali – sepertinya filosofis. Saya menganggap pola itu menunjukkan beragam cara yang mana seorang biasa mencoba memberikan makna positif pada makna keegoan yang ia bayangkan dengan memposisikan, di bawah ambang bayangan, suatu hubungan antara dirinya sebagai subjek kognisi dan fenomena yang dilihat sebagai objek. Menurut empat pola yang diberikan, hubungan ini dapat berupa salah satu dari identifikasi langsung (“ia melihat X”), atau yang mendasari (“ia membayangkan di dalam X”), atau perbedaan atau turunan (“ia membayangkan dari X”), atau hanya sekadar peruntukan (“ia menganggap X sebagai ‘milikku’”).

    Tetapi hati-hati dalam menginterpretasikan frasa-frasa ini. Pali tidak menyediakan objek langsung bagi cara ke dua dan ke tiga, dan ini menyiratkan bahwa proses penganggapan berlangsung dari tingkat yang lebih dalam dan lebih umum daripada yang terlibat dalam pembentukan pandangan diri secara eksplisit, seperti yang dijelaskan misalnya pada MN 2.8 atau MN 44.7. Dengan demikian aktivitas penganggapan sepertinya terdiri dari keseluruhan wilayah kognisi yang diwarnai secara subjektif, dari impuls dan pikiran yang mana makna identitas pribadi masih belum lengkap untuk menjelaskan struktur intelektual yang telah dijelaskan secara lengkap.

    Akan tetapi Ñm, memahami objek anggapan implisit sebagai persepsi itu sendiri, dan karena itu menerjemahkan: “setelah mempersepsikan tanah dari tanah, ia menganggap [itu sebagai] tanah, ia menganggap [itu sebagai] di dalam tanah, ia menganggap [itu terpisah] dari tanah,” dan seterusnya.

    Frasa ke lima, “ia bersenang di dalam X,” secara eksplisit menghubungkan penganggapan dengan keinginan, yang mana di tempat lain dikatakan “bergembira di sana-sini.” Hal ini, lebih jauh lagi, menyiratkan bahaya dalam proses pemikiran kaum duniawi, karena ketagihan dikatakan oleh Sang Buddha sebagai asal-mula penderitaan.

    MA memberikan banyak contoh yang mengilustrasikan segala jenis penganggapan yang berbeda, dan ini jelas menegaskan bahwa objek penganggapan yang dimaksudkan adalah makna egoistis yang keliru. ↩︎

  7. MA menyebutkan bahwa seseorang yang sepenuhnya memahami tanah melakukannya melalui tiga jenis pemahaman penuh: pemahaman penuh atas apa yang diketahui (ñātapariññā) – definisi unsur tanah menurut karakteristik, fungsi, manifestasi khusus, dan penyebab terdekat; pemahaman penuh dengan menyelidiki (tīraṇapariññā) – perenungan unsur tanah melalui karakteristik umum ketidak-kekalan, penderitaan, dan tanpa-diri; dan pemahaman penuh atas pelepasan (pahānapariññā) – meninggalkan keinginan dan nafsu pada unsur tanah melalui jalan tertinggi (Kearahattaan). ↩︎

  8. Bhūtā. MA mengatakan bahwa “makhluk-makhluk” di sini menyiratkan hanya makhluk hidup di bawah alam surga Empat Raja Dewa, alam terendah di antara surga alam-indria; tingkatan makhluk hidup yang lebih tinggi tercakup oleh sebutan-sebutan berikutnya. MA memberikan contoh penerapan ketiga jenis penganggapan dalam situasi ini sebagai berikut: Ketika seseorang menjadi terikat pada makhluk-makhluk sebagai akibat dari penglihatan, pendengaran, dan seterusnya, atau menginginkan kelahiran kembali dalam kelompok makhluk tertentu, ini adalah penganggapan karena ketagihan. Jika ia menilai dirinya sebagai lebih tinggi, sama, atau lebih rendah dari orang lain, ini adalah penganggapan karena keangkuhan. Dan jika ia berpikir, “Makhluk-makhluk adalah kekal, stabil, abadi,” dan seterusnya, ini adalah penganggapan karena pandangan. ↩︎

  9. MA: Yang dimaksudkan adalah para dewa dari enam surga alam-indria, kecuali Māra dan para pengikutnya di alam para dewa yang menguasai ciptaan para dewa lain. Baca penjelasan kosmologi Buddhis pada Pendahuluan, hal.50. ↩︎

  10. Prajāpati, “Raja penciptaan”, adalah nama yang diberikan oleh Veda kepada Indra, Agni, dan sebagainya, sebagai yang tertinggi dalam ketuhanan Veda. Tetapi menurut MA, Pajāpati di sini adalah nama bagi Māra karena ia adalah penguasa “generasi” ini (pajā) yang terdiri dari makhluk-makhluk hidup. ↩︎

  11. Brahmā di sini adalah Mahābrahmā, dewa pertama yang dilahirkan pada awal siklus kosmis dan yang rentang umur kehidupannya sepanjang keseluruhan siklus – para Menteri Brahmā dan pengikut Brahmā – para dewa lain yang posisinya ditentukan melalui pencapaian jhāna pertama – juga termasuk. ↩︎

  12. MA: Dengan menyebutkan hal-hal ini, semua makhluk yang menempati alam jhāna ke dua – para dewa dengan cahaya terbatas dan para dewa dengan cahaya tanpa batas – harus dimasukkan, karena semuanya menempati tingkatan yang sama. ↩︎

  13. MA: Dengan menyebutkan hal-hal ini, semua makhluk yang menempati alam jhāna ke tiga – para dewa dengan keagungan terbatas dan para dewa dengan keagungan tanpa batas – harus dimasukkan. ↩︎

  14. Ini adalah para dewa di alam jhāna ke empat. ↩︎

  15. Abhibhū. MA mengatakan kata ini adalah sebutan bagi alam tanpa-persepsi, disebut demikian karena menaklukkan (abhibhavati) empat kelompok unsur tanpa materi lainnya. Identifikasi ini sepertinya terencana, khususnya karena kata “abhibhū” adalah bentuk tunggal kelaki-lakian. Di tempat lain (MN 49.5) kata ini muncul sebagai bagian dari pangakuan ketuhanan dari Brahmā Baka, namun MA menolak identifikasi Abhibhū sebagai Brahmā di sini sebagai sesuatu yang berlebihan. ↩︎

  16. Ini dan tiga bagian selanjutnya membahas penganggapan sehubungan dengan empat alam tanpa materi – padanan kosmologis dari pencapaian empat meditasi tanpa materi. Dengan §18 pembagian penganggapan melalui alam-alam kehidupan selesai. ↩︎

  17. Dalam hal empat bagian fenomena yang terdiri dari identitas pribadi yang dianggap sebagai objek persepsi yang dikelompokkan dalam empat kelompok dilihat, didengar, dicerap, dan dikenali. Di sini, dicerap (muta) menyiratkan data bau-bauan, rasa kecapan, dan sentuhan, dikenali (viññāta) menyiratkan data introspeksi, pikiran abstrak, dan imajinasi. Objek persepsi “dianggap” ketika dikenali dalam hal “milikku”, “aku,” dan “diri,” atau dalam cara-cara yang menghasilkan keinginan, keangkuhan, dan pandangan. ↩︎

  18. Dalam bagian ini dan berikutnya, fenomena yang terdiri dari identitas pribadi diperlakukan sebagai dua – melalui kesatuan dan keberagaman. Penekanan pada kesatuan (ekatta), MA mengatakan, adalah karakteristik dari seorang yang mencapai jhāna-jhāna, yang mana pikiran muncul dalam modus tunggal pada objek tunggal. Penekanan pada keberagaman (nānatta) berlaku bagi yang belum mencapai yang tidak memiliki pengalaman kesatuan jhāna yang menyeluruh. Penganggapan-penganggapan yang menekankan pada keberagaman terdapat dalam ungkapan dalam filosofi pluralisme, mereka yang menekankan kesatuan dalam filosofi jenis monistis. ↩︎

  19. Dalam bagian ini semua fenomena identitas pribadi dikumpulkan dan ditampilkan sebagai satu. Gagasan totalitas ini dapat membentuk landasan filosofis phanteis atau monistis, tergantung pada hubungan antara diri dan keseluruhan. ↩︎

  20. MA memahami “Nibbāna” di sini merujuk pada lima jenis “Nibbāna tertinggi di sini dan saat ini” yang termasuk dalam enam puluh dua pandangan salah dari Brahmajāla Sutta (DN 1.3.19-25/i.36-38), yaitu, Nibbāna yang diidentifikasikan sebagai kenikmatan sepenuhnya pada kenikmatan indria atau dengan empat jhāna. Dengan menikmati kondisi-kondisi ini, atau merindukannya, ia membayangkannya dengan ketagihan. Karena bangga pada dirinya ketika mencapainya, ia membayangkannya dengan keangkuhan. Menganggap Nibbāna ilusi ini sebagai kekal, dan seterusnya, ia membayangkannya dengan pandangan. ↩︎

  21. Sekha, siswa dalam latihan yang lebih tinggi, adalah seorang yang telah mencapai satu dari tiga bidang kesucian yang lebih rendah – memasuki arus, yang-kembali-sekali, yang-tidak-kembali – tetapi masih harus berlatih lebih jauh lagi untuk mencapai tujuan, Kearahattaan, keamanan tertinggi dari belenggu. MN 53 dikhususkan untuk menjelaskan latihan yang harus dilaksanakan. Arahant kadang-kadang disebut asekha, seorang yang melampaui latihan, dalam pengertian bahwa ia telah menyelesaikan latihan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Ñm menerjemahkan *sekha *sebagai “praktisi” dan asekha sebagai “seorang yang terampil,” yang telah berubah di sini untuk menghindari konotasi “esoteris”. ↩︎

  22. Harus dimengerti bahwa, sementara orang biasa dikatakan memahami masing-masing landasan, seorang yang dalam latihan yang lebih tinggi dikatakan secara langsung mengetahuinya (abhijānāti). MA menjelaskan bahwa ia mengetahuinya dengan pengetahuan luhur, mengetahuinya sesuai sifat sejatinya sebagai tidak kekal, penderitaan, dan tanpa-diri. Ñm menerjemahkan: “Dari tanah ia memiliki pengetahuan langsung atas tanah.” ↩︎

  23. Siswa dalam latihan yang lebih tinggi didorong oleh Sang Buddha untuk menjauhi penganggapan dan kesenangan karena kecondongan pada proses-proses pikiran ini masih menetap dalam dirinya. Dengan pencapaian tingkat memasuki-arus ia melenyapkan belenggu pandangan identitas dan dengan demikian tidak lagi menganggap dengan pandangan salah. Tetapi kekotoran-kekotoran ketagihan dan keangkuhan hanya tercabut melalui jalan Kearahattaan, dan dengan demikian sekha masih rentan pada penganggapan yang karenanya anggapan-anggapan itu dapat muncul. Sementara pengetahuan langsung (abhiññā) adalah wilayah sekha dan Arahant, pemahaman sepenuhnya (pariññā) adalah wilayah Arahant secara eksklusif, karena melibatkan ditinggalkannya sepenuhnya semua kekotoran. ↩︎

  24. Ini adalah penggambaran umum Arahant, diulangi dalam banyak sutta. ↩︎

  25. Ketika ketidak-tahuan telah terhapuskan oleh pencapaian pemahaman penuh, kecederungan terhalus pada ketagihan dan keangkuhan juga tersingkirkan. Demikianlah Arahant tidak lagi terlibat dalam penganggapan dan kesenangan. ↩︎

  26. Bagian ini dan dua berikutnya disebutkan untuk menunjukkan bahwa Arahant tidak menganggap, bukan hanya karena ia telah sepenuhnya memahami objek, tetapi karena ia telah menyingkirkan ketiga akar tidak bermanfaat – nafsu (atau keserakahan), kebencian, dan delusi. Frasa “bebas dari nafsu melalui hancurnya nafsu” digunakan untuk menekankan bahwa Arahant tidak sekedar dalam keadaan tanpa nafsu untuk sementara, melainkan telah menghancurkannya pada tingkat yang paling mendasar. Demikian pula dengan kebencian dan delusi. ↩︎

  27. Mengenai kata ini, gelar Sang Buddha yang paling sering digunakan ketika merujuk diriNya sendiri, baca pendahuluan, hal.21. Komentar memberikan etimologi yang panjang dan terperinci, berusaha untuk memampatkan keseluruhan Dhamma. Bagian itu telah diterjemahkan dalam Bhikkhu Bodhi, Discourse on the All-Embracing Net of Views, hal.331-44. ↩︎

  28. Pariññātantaṁ tathāgatassa. Demikianlah menurut BBS dan SBJ dan MA, walaupun PTS menuliskan hanya pariññātaṁ. MA mengemas: “sepenuhnya memahami kesimpulannya, sepenuhnya memahami batasnya, sepenuhnya memahami tanpa sisa.” Ini menjelaskan bahwa sementara para Buddha dan para siswa Arahant adalah serupa dalam hal meninggalkan segala kekotoran, namun terdapat perbedaan dalam cakupan pemahaman penuh itu: sementara para siswa dapat mencapai Nibbāna setelah memahaminya dengan pandangan terang pada hanya sejumlah bentukan secara terbatas, para Buddha memahami sepenuhnya segala bentukan tanpa kecuali. ↩︎

  29. Kalimat ini memberikan pernyataan yang sangat padat atas formula kemunculan bergantungan (paṭicca samuppāda). Seperti diinterpretasikan oleh MA, “kesenangan” adalah keinginan dari kehidupan lampau yang memunculkan “penderitaan” dari kelima kelompok unsur kehidupan dalam kehidupan sekarang, “makhluk” aspek penentu secara kamma dari kehidupan sekarang yang menghasilkan kelahiran di masa depan, diikuti oleh penuaan dan kematian di masa depan. Paragraf ini menunjukkan penyebab lenyapnya penganggapan Sang Buddha adalah penembusan pada kemunculan bergantungan pada malam pencerahanNya. Penyebutan “kesenangan” (nandī) sebagai akar penderitaan menghubungkan dengan judul sutta; lebih jauh lagi, dengan merujuk pada pernyataan sebelumnya bahwa orang biasa bersenang dalam tanah, dan seterusnya, menujukkan bahwa penderitaan adalah akibat tertinggi dari kesenangan. ↩︎

  30. MA menjelaskan urutan dari gagasan-gagasan ini sebagai berikut: Sang Tathāgata tidak membayangkan tanah dan tidak bersenang dalam tanah karena Beliau telah memahami bahwa kesenangan adalah akar penderitaan. Lebih jauh lagi, dengan memahami kemunculan bergantungan, ia telah sepenuhnya meninggalkan ketagihan yang di sini disebut “kesenangan” dan telah tercerahkan pada Pencerahan sempurna yang tertinggi. Sebagai akibatnya Beliau tidak membayangkan tanah atau bersenang dalam tanah. ↩︎

  31. Para bhikkhu tidak gembira mendengar kata-kata Sang Buddha, jelas karena khotbah itu menggali terlalu dalam pada wilayah yang halus dari keangkuhan mereka, dan mungkin pandangan-pandangan brahmanis mereka yang masih tersisa. Belakangan, MA memberitahukan, ketika keangkuhan mereka telah mereda, Sang Buddha membabarkan Gotamaka Sutta (AN 3:123/i.276) kepada para bhikkhu yang sama ini, yang akhirnya mereka semua mencapai Kearahattaan. ↩︎