D iii 1
Tentang Pāṭikaputta
Sang Pembual
Di terjemahkan dari pāḷi oleh
Maurice Walshe
ShortUrl:
Edisi lain:
Pāḷi (vri)
[1]
1.1.
DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.1 Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di antara penduduk Malla. Anupiya adalah nama kota Malla, dan Sang Bhagavā, setelah merapikan jubah di pagi hari dan membawa jubah dan mangkukNya, pergi ke Anupiya untuk menerima dana makanan. Kemudian Beliau berpikir: ‘Masih terlalu pagi untuk pergi ke Anupiya untuk menerima dana makanan. Bagaimana jika Aku mengunjungi pertapaan2 pengembara Bhaggava-gotta?’ Dan Beliau melakukan hal itu. [2]
1.2.
Dan pengembara Bhaggava-gotta berkata: ‘Mari, Bhagavā, selamat datang, Bhagavā! Akhirnya Sang Bhagavā berkunjung ke sini. Silahkan duduk, Bhagavā, tempat duduk telah dipersiapkan.’ Sang Bhagavā duduk di tempat yang telah dipersiapkan, dan Bhaggava mengambil bangku kecil dan duduk di satu sisi. Kemudian ia berkata: ‘Bhagavā, beberapa hari yang lalu Sunakkhatta orang Licchavi3 mengunjungiku dan berkata: “Bhaggava, aku telah meninggalkan Sang Bhagavā, aku tidak lagi di bawah aturanNya.” Apakah memang demikian, Bhagavā?’ ‘Itu benar, Bhaggava.4
1.3.
‘Beberapa hari yang lalu Sunakkhatta mengunjungiKu, memberi hormat kepadaKu, duduk di satu sisi, dan berkata: “Bhagavā, aku meninggalkan Sang Bhagavā, aku tidak lagi di bawah aturan Sang Bhagavà.” Maka Aku berkata kepadanya: “Sunakkhatta, apakah Aku pernah berkata kepadamu: ‘Mari, Sunakkhatta, tunduklah di bawah peraturanKu’?” “Tidak, Bhagavā.” [3]
“Atau apakah engkau pernah berkata kepadaKu: ‘Bhagavā, aku akan tunduk di bawah peraturanMu’?” “Tidak, Bhagavā.” “Jadi, Sunakkhatta, jika Aku tidak mengatakan hal itu kepadamu dan engkau tidak mengatakan hal itu kepadaKu – engkau orang bodoh, siapakah engkau dan apakah yang sedang engkau tinggalkan? Pertimbangkanlah, orang dungu, seberapa besar kesalahanmu.”
1.4.
‘“Bhagavā, Engkau tidak pernah melakukan keajaiban apapun.”5 “Dan apakah Aku pernah berkata kepadamu: ‘Tunduklah di bawah peraturanKu, Sunakkhatta, dan Aku akan memperlihatkan keajaiban kepadamu’?” “Tidak, Bhagavā.” “Atau apakah engkau pernah berkata kepadaKu: ‘Bhagavā, aku akan tunduk di bawah peraturanMu jika Engkau memperlihatkan keajaiban kepadaku’?” “Tidak, Bhagavā.” “Maka, sepertinya, Sunakkhatta, Aku tidak pernah menjanjikan demikian, dan engkau tidak menuntut syarat demikian. Oleh karena itu, engkau orang bodoh, siapakah engkau dan apakah yang sedang engkau tinggalkan?
“Bagaimana menurutmu, Sunakkhatta? Apakah keajaiban dilakukan atau tidak – apakah tujuan dari Dhamma ajaranKu membimbing siapapun yang mempraktikkannya6 menuju kehancuran penderitaan sepenuhnya?” [4]
“Benar, Bhagavā.” “Jadi, Sunakkhatta, apakah keajaiban dilakukan atau tidak, tujuan dari Dhamma ajaranKu adalah membimbing siapapun yang mempraktikkannya menuju kehancuran penderitaan sepenuhnya. Karena itu apakah gunanya keajaiban-keajaiban itu? Pertimbangkanlah, orang dungu, seberapa besar kesalahanmu.”
1.5.
‘“Bhagavā, Engkau tidak mengajarkan asal-usul segala sesuatu.” “Dan apakah Aku pernah berkata kepadamu: “Tunduklah di bawah peraturanku, Sunakkhatta, dan aku Aku akan mengajarkan asal-usul segala sesuatu’?” “Tidak, Bhagavā.” … Oleh karena itu, engkau orang bodoh, siapakah engkau dan apakah yang engkau tinggalkan? [5]
1.6.
‘”Sunakkhatta, engkau telah memuji Aku di tengah-tengah para Vajji dalam berbagai cara, mengatakan: ‘Sang Bhagavā ini adalah seorang Arahant, Buddha yang telah mencapai penerangan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku, sempurna menempuh Sang Jalan, Pengenal seluruh alam, Penjinak manusia yang harus dijinakkan yang tiada bandingnya, Guru para dewa dan manusia, Sang Buddha, Yang Suci.’ Engkau telah memuji Dhamma dalam berbagai cara, mengatakan: ‘Dhamma telah diajarkan dengan sempurna oleh Sang Bhagavā, terlihat di sini dan saat ini, tanpa batas waktu, mengundang untuk diselidiki, mengarah menuju kemajuan, untuk dipahami oleh para bijaksana untuk dirinya sendiri.’ Engkau telah memuji Sangha dalam berbagai cara, mengatakan: ‘Kumpulan para siswa Sang Bhagavā terlatih dengan baik, terlatih dalam kelurusan, terlatih secara metodis, kumpulan para siswa Sang Bhagavā terlatih dengan baik sekali, yaitu empat pasang makhluk, delapan jenis individu. Kumpulan para siswa Sang Bhagavā ini layak menerima persembahan, layak menerima keramahan, layak menerima pemberian, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.’
‘”Dengan cara-cara ini engkau telah memuji Aku, Dhamma dan Sangha di tengah-tengah para Vajji. Dan Aku mengatakan kepadamu, Aku nyatakan kepadamu, Sunakkhatta, ada orang-orang yang akan berkata: ‘Sunakkhatta orang Licchavi tidak mampu mempertahankan kehidupan suci di bawah Petapa Gotama, dan karena ketidak-mampuannya itu, ia meninggalkan latihan, dan kembali menjalani kehidupan rendah.’7 Itu, Sunakkhatta, adalah apa yang akan mereka katakan.” [6]
Dan, Bhaggava, setelah mendengar kata-kataKu, Sunakkhatta meninggalkan Dhamma dan disiplin ini bagaikan seseorang yang divonis ke neraka.
1.7.
‘Suatu ketika, Bhaggava, Aku sedang menetap di tengah-tengah penduduk Khulu,8 di suatu tempat yang bernama Uttarakā, kota mereka. Di pagi hari, Aku pergi membawa jubah dan mangkuk menuju Uttarakā untuk menerima dana makanan, dengan Sunakkhatta sebagai pelayanKu. Dan ketika itu, petapa telanjang Korakkhatiya si “manusia-anjing”9 sedang mengumpulkan dana makanan dengan cara merangkak di atas tanah, dan mengunyah dan memakan makanannya hanya dengan mulutnya saja. Melihat itu, Sunakkhatta berpikir: “Ini adalah petapa Arahant sejati, yang mengumpulkan dana makanan dengan cara merangkak di atas tanah, dan mengunyah dan memakan makanannya hanya dengan mulutnya saja.” Dan Aku, mengetahui pikirannya dengan pikiranKu, berkata kepadanya: “Engkau orang dungu, apakah engkau mengaku sebagai seorang pengikut Sakya?” “Bhagavā, apakah maksudMu dengan pertanyaan itu?” [7]
“Sunakkhatta, tidakkah engkau, ketika melihat petapa telanjang itu berkeliling mengumpulkan dana makanan dengan cara merangkak, berpikir: ‘Ini adalah petapa Arahant sejati, yang mengumpulkan dana makanan dengan cara merangkak di atas tanah, dan mengunyah dan memakan makanannya hanya dengan mulutnya saja.’?” “Benar, Bhagavā. Apakah Bhagavā iri pada Kearahattaan orang lain?” “Aku tidak iri pada Kearahattaan mereka, engkau orang dungu! Hanya karena dalam dirimu muncul pandangan salah ini. Singkirkanlah pandangan itu agar engkau tidak membuat dirimu celaka dan menderita dalam waktu yang lama! Petapa telanjang Korakkhattiya ini, yang engkau anggap Arahant sejati, akan meninggal dunia dalam tujuh hari karena penyakit pencernaan,10 dan ketika ia mati ia akan muncul kembali di antara para asura Kālakañja, yang adalah asura tingkat terendah.11 Dan setelah ia meninggal dunia ia akan dibuang di tumpukan rumput-bīraṇa di tanah pemakaman. Jika engkau menginginkan, Sunakkhatta, engkau boleh pergi dan bertanya kepadanya apakah ia mengetahui takdirnya. Dan mungkin ia akan memberitahukan kepadamu: ‘Teman Sunakkhatta, aku tahu takdirku. Aku telah terlahir kembali di antara para asura Kālakañja, asura tingkat terendah.’”
1.8.
‘Kemudian Sunakkhatta mendatangi Korakkhattiya dan memberitahukan apa yang Kuramalkan, [8]
menambahkan: “Oleh karena itu, teman Korakkhattiya, berhati-hatilah dengan apa yang engkau makan dan minum, agar kata-kata Petapa Gotama terbukti salah!” Dan Sunakkhatta begitu yakin bahwa kata-kata Sang Tathāgata akan terbukti salah sehingga menghitung hari demi hari hingga tujuh hari. Tetapi di hari ketujuh Korakkhattiya meninggal dunia karena penyakit pencernaan, dan ketika meninggal dunia ia muncul kembali di antara para asura Kālakañja, dan mayatnya dibuang di tumpukan rumput-bīraṇa di tanah pemakaman.
1.9.
‘Dan Sunakkhatta mendengar hal ini, maka ia pergi ke tumpukan rumput-bīraṇa di tanah pemakaman di mana Korakkhattiya terbaring, memukul tubuhnya tiga kali dengan tangannya, dan berkata: “Teman Korakkhattiya, apakah engkau mengetahui takdirmu?” Dan Khorakkhattiya duduk dan mengusap punggungnya dengan tangannya, dan berkata: “Teman Sunakkhatta, aku tahu takdirku. Aku telah terlahir kembali di antara para asura Kālakañja, asura tingkat terendah.” Dan setelah itu, ia terjatuh kembali.
1.10.
‘Kemudian Sunakkhatta mendatangiKu, memberi hormat kepadaKu, dan duduk di satu sisi. Dan Aku berkata kepadanya: “Jadi, Sunakkhatta, bagaimana menurutmu? Apakah yang Kukatakan kepadamu tentang Korakkhattiya si ‘manusia-anjing’ benar atau tidak?” “Terjadi seperti yang Engkau katakan, Bhagavā, dan bukan sebaliknya.” [9]
“Jadi, bagaimana menurutmu, Sunakkhatta? Apakah suatu keajaiban telah diperlihatkan atau tidak?” “Tentu saja, Bhagavā, karena hal ini, suatu keajaiban telah diperlihatkan, dan bukan sebaliknya.” “Jadi, engkau orang bodoh, apakah engkau masih mengatakan kepadaKu, setelah Aku memperlihatkan keajaiban demikian: ‘Bhagavā, Engkau tidak melakukan keajaiban apapun’? Pertimbangkanlah, orang dungu, seberapa besar kesalahanmu.” Dan, Bhaggava, setelah mendengar kata-kataKu, Sunakkhatta meninggalkan Dhamma dan disiplin ini bagaikan seseorang yang divonis ke neraka.
1.11.
‘Suatu ketika, Bhaggava, Aku sedang menetap di Vesālī, di Aula Beratap Lancip di Hutan Besar. Dan pada waktu itu seorang petapa telanjang yang menetap di Vesālī bernama Kaḷāramuṭthaka12 yang menikmati banyak pendapatan dan kemashyuran di ibukota para Vajji. Ia melaksanakan tujuh aturan latihan: “Seumur hidup aku akan menjadi pertapa telanjang dan tidak akan mengenakan pakaian apapun; seumur hidup aku akan menjalani kehidupan suci dan menghindari hubungan seksual; seumur hidup aku akan bertahan dengan minuman keras dan daging, menghindari nasi yang dimasak dan susu asam; seumur hidup aku tidak akan pernah pergi lebih jauh dari Altar Udena di timur Vesālī, Kuil Gotamaka di selatan, Kuil Sattamba [10]
di barat, dan Kuil Bahuputta di utara.”13 Dan adalah karena ia melaksanakan tujuh aturan latihan ini maka ia menikmati banyak pendapatan dan kemasyhuran di ibukota para Vajji.
1.12.
‘Kemudian Sunakkhatta mengunjungi Kaḷāramuṭṭhaka dan mengajukan pertanyaan yang tidak dapat ia jawab, karena ia tidak dapat menjawab, ia menjadi terganggu, gusar, marah. Tetapi Sunakkhatta berpikir: “Aku mungkin telah menyinggung perasaan petapa Arahant sejati ini. Aku tidak ingin mengalami kemalangan dan penderitaan dalam waktu yang lama!”
1.13.
‘Kemudian Sunakkhatta mendatangiKu, memberi hormat kepadaKu, dan duduk di satu sisi. Aku berkata kepadanya: “Engkau orang dungu, apakah engkau mengaku sebagai seorang pengikut Sakya?” “Bhagavā, apakah maksudMu dengan pertanyaan itu?” “Sunakkhatta, tidakkah engkau mengunjungi Kaḷāramuṭṭhaka dan mengajukan pertanyaan yang tidak dapat ia jawab, karena ia tidak dapat menjawab, ia menjadi terganggu, gusar, marah? Dan tidakkah engkau berpikir: “Aku mungkin telah menyinggung perasaan petapa Arahant sejati ini. Aku tidak ingin mengalami kemalangan dan penderitaan dalam waktu yang lama’?” “Benar, Bhagavā. Apakah Bhagavā iri pada Kearahattaan orang lain?” [11]
“Aku tidak iri pada Kearahattaan mereka, engkau orang dungu! Hanya karena dalam dirimu muncul pandangan salah ini. Singkirkanlah pandangan itu agar engkau tidak membuat dirimu celaka dan menderita dalam waktu yang lama! Petapa telanjang Kaḷāramuṭṭhaka ini, yang engkau anggap Arahant sejati, tidak lama lagi akan hidup mengenakan pakaian dan menikah, bertahan hidup dengan nasi yang dimasak dan susu asam. Ia akan pergi lebih jauh dari semua kuil di Vesālī, dan akan meninggal dunia setelah kehilangan seluruh reputasinya.” Dan semua itu memang benar terjadi.
1.14.
‘Kemudian Sunakkhatta, setelah mendengar apa yang telah terjadi, mendatangiKu … dan Aku berkata: “Jadi, Sunakkhatta, bagaimana menurutmu? Apakah yang Kukatakan kepadamu tentang Kaḷāramuṭṭhaka benar terjadi atau tidak? … apakah keajaiban telah dilakukan atau tidak?” … [12]
Dan setelah mendengar kata-kataKu, Sunakkhatta meninggalkan Dhamma dan disiplin ini bagaikan seseorang yang divonis ke neraka.
1.15.
‘Suatu ketika, Bhaggava, Aku sedang menetap di Vesālī, di Aula Beratap lancip di Hutan Besar. Dan pada waktu itu seorang petapa telanjang menetap di Vesālī bernama Pāṭikaputta, yang menikmati banyak pendapatan dan kemashyuran di ibukota para Vajji. Dan ia mengatakan pernyataan ini dalam suatu pertemuan di Vesàlī: “Petapa Gotama mengaku sebagai seorang bijaksana, dan aku mengakui hal yang sama. Adalah benar bahwa seorang bijaksana harus memperlihatkannya dengan melakukan keajaiban. Jika Petapa Gotama sudi datang setengah jalan untuk bertemu denganku, aku akan melakukan hal yang sama. Kemudian kami berdua akan melakukan keajaiban, dan jika Petapa Gotama melakukan satu keajaiban, aku akan melakukan dua. Jika Beliau melakukan dua, aku akan melakukan [13]
empat. Dan jika Beliau melakukan empat, aku akan melakukan delapan. Berapapun banyaknya keajaiban yang Petapa Gotama lakukan, aku akan melakukan dua kali lebih banyak!”
1.16.
‘Kemudian Sunakkhatta mendatangiKu, memberi hormat kepadaKu, duduk di satu sisi, dan mengatakan kepadaKu apa yang dikatakan oleh Pāṭikaputta. Aku berkata: “Sunakkhata, petapa telanjang Pāṭīkaputta itu tidak akan mampu bertemu muka denganKu jika ia tidak menarik kembali kata-katanya, melepaskan pikiran itu, dan meninggalkan pandangan itu. Dan jika ia berpikir sebaliknya, kepalanya akan pecah berkeping-keping.”14
1.17.
‘“Bhagavā, harap Bhagava berhati-hati terhadap apa yang Beliau katakan, harap Yang Sempurna menempuh Sang Jalan berhati-hati terhadap apa yang Beliau katakan!” [14]
“Apa maksudmu mengatakan hal itu kepadaKu?” “Bhagavā, Sang Bhagavā mengucapkan pernyataan pasti tentang kedatangan Pāṭikaputta. Tetapi ia mungkin saja datang dengan bentuk yang berubah, dan dengan demikian kata-kata Sang Bhagavā terbukti salah!”
1.18.
‘“Tetapi Sunakkhatta, akankah Sang Tathāgata membuat pernyataan yang membingungkan?” “Bhagavā, apakah Bhagavā mengetahui dengan pikiranNya sendiri tentang apa yang akan terjadi dengan Pāṭikaputta? Atau dewa telah memberitahukan kepada Tathāgata?” “Sunakkhatta, Aku mengetahuinya dengan pikiranKu sendiri, dan Aku juga telah diberitahu oleh dewa. [15]
Karena Ajita, Jenderal Licchavi, meninggal dunia beberapa hari yang lalu dan telah terlahir kembali di alam Tiga-Puluh-Tiga Dewa. Ia mengunjungiKu dan memberitahukan kepadaKu: ‘Bhagavā, Pāṭikaputta si petapa telanjang adalah pembohong yang tidak tahu malu! Ia menyatakan di ibukota Vajji: “Ajita, jenderal Licchavi, telah terlahir kembali di neraka!” Namun aku tidak terlahir kembali di neraka, melainkan di alam Tiga-Puluh-Tiga Dewa. Ia adalah seorang pembohong yang tidak tahu malu …’ Demikianlah, Sunakkhatta, Aku mengetahui dengan pikiranKu sendiri, tetapi Aku juga telah diberitahu oleh dewa. Dan sekarang, Sunakkhatta, Aku akan pergi ke Vesālī untuk menerima dana makanan. Saat kembali nanti, setelah makan, Aku akan pergi untuk beristirahat siang di Taman Pāṭikaputta. Engkau boleh mengatakan apapun yang engkau inginkan kepadanya.” [16]
1.19.
‘Kemudian, setelah merapikan jubah, Aku mengambil jubah dan mangkukKu dan pergi ke Vesālī untuk menerima dana makanan. Saat kembali Aku pergi ke Taman Pāṭikaputta untuk beristirahat siang. Sementara itu Sunakkhatta bergegas pergi ke Vesālī dan menyatakan kepada para Licchavi yang terkemuka: “Teman-teman, Sang Bhagavā telah pergi ke Vesālī untuk menerima dana makanan, dan setelah itu Beliau akan pergi ke Taman Pāṭikaputta untuk beristirahat siang. Marilah, teman-teman, marilah! Dua petapa besar akan melakukan keajaiban!” Dan semua Licchavi terkemuka itu berpikir: “Dua petapa besar akan melakukan keajaiban! Marilah kita pergi ke sana!” dan ia juga mendatangi para Brahmana terkenal dan kaya, dan para petapa dan Brahmana dari berbagai aliran, dan memberitahukan hal yang sama, dan mereka juga berpikir: “Mari kita ke sana!” [17]
Dan demikianlah semua orang datang ke Taman Pāṭikaputta, ratusan dan ribuan dari mereka.
1.20.
‘Dan Pāṭikaputta mendengar bahwa semua orang ini telah datang ke tamannya, dan bahwa Petapa Gotama telah pergi ke sana untuk beristirahat siang. Dan mendengar berita itu ia gemetar ketakutan, dan merinding. Dan dengan gemetar ketakutan dan merinding, ia pergi menuju perkemahan Tinduka tempat kediaman para pengembara.15 Ketika kerumunan itu mendengar bahwa ia telah pergi ke perkemahan Tinduka, mereka mengutus seseorang untuk menemui Pāṭikaputta dan mengatakan: “Teman Pāṭikaputta, marilah! Semua orang telah datang ke tamanmu, dan Petapa Gotama telah pergi ke sana untuk beristirahat siang. Karena engkau telah menyatakan dalam suatu pertemuan di Vesālī: “Petapa Gotama mengaku sebagai seorang bijaksana, dan aku mengakui hal yang sama … (seperti paragraf 15). [18]
Berapapun banyaknya keajaiban yang Petapa Gotama lakukan, aku akan melakukan dua kali lebih banyak!” Karena itu marilah datang setengah perjalanan: Petapa Gotama telah menempuh setengah perjalanan untuk bertemu denganmu, dan sedang duduk dalam istirahat siangNya di taman Yang Mulia.”
1.21.
‘Utusan itu pergi dan menyampaikan pesan itu, dan mendengar hal itu Pāṭikaputta berkata: “Aku datang, teman, [19]
aku datang!” Tetapi, bagaimanapun ia menggeliat, ia tidak dapat bangkit dari duduknya. Kemudian utusan itu berkata: “Ada apa denganmu, teman Pāṭikaputta? Apakah pantatmu menempel di tempat duduk, atau tempat duduk itu menempel di pantatmu? Engkau terus mengatakan: ‘Aku datang, teman, aku datang!’, tetapi engkau hanya menggeliat dan tidak bangkit dari dudukmu.” Dan bahkan setelah mendengar kata-kata ini, Pāṭikaputta masih terus menggeliat tanpa bisa bangkit.
1.22.
‘Dan ketika utusan itu menyadari bahwa Pāṭikaputta tidak mampu bangkit, ia kembali ke kerumunan dan melaporkan situasi tersebut. Dan kemudian Aku berkata kepada mereka: “Pāṭikaputta si petapa telanjang tidak mampu bertemu muka denganKu jika ia tidak menarik kembali kata-katanya, melepaskan pikirannya, dan meninggalkan pandangan itu. Dan jika ia berpikir sebaliknya, kepalanya akan pecah berkeping-keping.”’
[Akhir dari bagian pembacaan pertama]
2.1.
‘Kemudian, Bhaggava, salah satu menteri Licchavi bangkit dari duduknya dan berkata: “Baiklah, teman-teman, tunggulah sebentar hingga aku [20]
mencoba untuk membawa Pāṭikaputta ke sini.” Maka ia pergi ke perkemahan Tinduka dan berkata kepada Pàñikaputta: “Marilah Pāṭikaputta, sebaiknya engkau datang. Semua orang ini telah datang ke tamanmu dan Petapa Gotama telah pergi ke sana untuk beristirahat siang. Jika engkau datang, kami akan menjadikan engkau pemenang dan membiarkan Petapa Gotama kalah.”
2.2.
‘Dan Pāṭikaputta berkata: “Aku datang, teman, aku datang”, Tetapi, bagaimanapun ia menggeliat, ia [21]
tidak dapat bangkit dari duduknya …
2.3.
‘Maka menteri itu kembali ke kerumunan dan melaporkan situasi tersebut. Kemudian Aku berkata: “Pāṭkaputta tidak mampu bertemu muka denganKu … Bahkan jika para Licchavi yang baik berpikir: ‘Mari kita mengikatnya dengan tali kulit dan berusaha menariknya dengan sepasang sapi!’ ia akan memutuskan tali. Ia tidak mampu bertemu muka denganKu …” [22]
2.4.
‘Kemudian Jāliya, seorang murid petapa bermangkuk-kayu,16 bangkit dari duduknya … pergi ke perkemahan Tinduka dan berkata kepada Pāṭikaputta: “Marilah Pāṭikaputta, … jika engkau datang, kami akan menjadikan engkau pemenang dan membiarkan Petapa Gotama kalah.” [23]
2.5.
‘Dan Pāṭikaputta berkata: “Aku datang, teman, aku datang”, Tetapi, bagaimanapun ia menggeliat, ia tidak dapat bangkit dari duduknya …
2.6.
‘Kemudian, ketika Jāliya menyadari situasinya, ia berkata: “Pāṭikaputta, suatu ketika seekor singa, raja binatang buas, berpikir: ‘Bagaimana jika aku bersarang di dekat suatu hutan. Kemudian aku akan keluar di malam hari, menguap, mengamati empat penjuru, mengaumkan auman singa tiga kali, dan kemudian mengejar binatang pemakan rumput. Aku dapat memilih yang terbaik dari kelompok itu sebagai mangsaku dan, setelah memakan makanan lezat dari daging lembut, kemudian kembali ke sarangku.’ Dan ia melakukan hal itu. [24]
2.7.
‘“Kemudian ada seekor serigala yang menjadi gemuk dari sisa yang ditinggalkan oleh singa tersebut, dan ia sombong dan kuat. Dan ia berpikir: “Apakah bedanya antara aku dan singa itu, raja binatang buas? Bagaimana jika aku bersarang di dekat hutan …’ Demikianlah ia bersarang di sana dan keluar di malam hari, ia mengamati empat penjuru, dan kemudian berpikir: ‘Sekarang aku akan mengaumkan auman singa tiga kali’, - dan ia menggonggong sesuai jenisnya, gonggongan serigala. Tetapi apakah gonggongan serigala yang malang sama dengan auman singa? Demikian pula, Pāṭikaputta, engkau hidup dengan bergantung pada pencapaian Yang Sempurna menempuh Sang Jalan dan makan dari sisa-sisa Yang Sempurna menempuh Sang Jalan, membayangkan engkau dapat berdampingan dengan Sang Tathāgata, Arahant dan Buddha yang telah mencapai penerangan sempurna. Tetapi apakah Pāṭikaputta yang malang sama dengan Sang Tathāgata?”
2.8.
‘Kemudian, karena bahkan dengan perumpamaan ini masih tidak mampu memaksa Pāṭikaputta bangkit dari duduknya, Jāliya mengucapkan syair ini: [25]
“Berpikir bahwa dirinya adalah seekor singa, si serigala berkata: ‘Aku adalah raja binatang buas’, dan mencoba untuk mengaumkan Auman singa, namun hanya gonggongan yang dihasilkan. Singa adalah singa dan serigala tetap serigala.
Demikian pula, Pāṭikaputta, engkau hidup dengan bergantung pada pencapaian Yang Sempurna menempuh Sang Jalan …”
2.9.
‘Dan, karena bahkan dengan perumpamaan ini masih tidak mampu memaksa Pāṭikaputta bangkit dari duduknya, Jāliya mengucapkan syair ini:
“Mengikuti jejak yang lain, dan makan Dari sisa-sisa, sifat serigalanya ia lupakan, Berpikir: ‘aku adalah macan’, mencoba mengaum Auman dahsyat, tetapi hanya gonggongan yang keluar Singa adalah singa dan serigala tetap serigala.
Demikian pula, Pāṭikaputta, engkau hidup dengan bergantung pada pencapaian Yang Sempurna menempuh Sang Jalan …”
2.10.
‘Dan, karena bahkan dengan [26]
perumpamaan ini masih tidak mampu memaksa Pāṭikaputta bangkit dari duduknya, Jāliya mengucapkan syair ini:
“Dengan rakus memakan kodok dan tikus di tempat penumbukan padi, Dan mayat-mayat yang dibuang di tanah pemakaman Dalam kesunyian hutan, sang serigala berpikir: ‘Aku adalah raja binatang buas’,dan mencoba mengaum Auman dahsyat, tetapi hanya gonggongan yang keluar Singa adalah singa dan serigala tetap serigala.
Demikian pula, Pātikaputta, engkau hidup dengan bergantung pada pencapaian Yang Sempurna menempuh Sang Jalan dan makan dari sisa-sisa Yang Sempurna menempuh Sang Jalan, membayangkan engkau dapat berdampingan dengan Sang Tathāgata, Arahant dan Buddha yang telah mencapai Penerangan Sempurna. Tetapi apakah Pāṭikaputta yang malang sama dengan Sang Tathāgata?”
2.11.
‘Kemudian, karena bahkan dengan perumpamaan ini masih tidak mampu memaksa Pāṭikaputta bangkit dari duduknya, Jāliya kembali ke kerumunan dan melaporkan situasinya.
2.12.
Kemudian Aku berkata: “Pāṭikaputta tidak mampu bertemu muka denganKu jika ia tidak menarik kembali kata-katanya, melepaskan pikirannya, dan meninggalkan pandangan itu … Bahkan jika para Licchavi yang baik berpikir: ‘Mari kita mengikatnya dengan tali kulit dan berusaha menariknya dengan sepasang sapi’; [27]
ia akan memutuskan tali. Ia tidak mampu bertemu muka denganKu …. Jika ia berpikir sebaliknya, kepalanya akan pecah berkeping-keping.”
2.13.
‘Kemudian, Bhaggava, Aku menasihati, menginspirasi, memicu semangat dan menggembirakan kerumunan itu dengan khotbah Dhamma. Dan setelah membebaskan kelompok itu dari belenggu besar,17 dengan demikian menyelamatkan delapan puluh empat ribu makhluk dari jalan berbahaya, Aku memasuki unsur-api18 dan terbang ke angkasa hingga setinggi tujuh pohon palem, dan memancarkan cahaya setinggi tujuh pohon palem lagi sehingga bersinar dan menebarkan keharuman, kemudian Aku muncul kembali di Aula Beratap Lancip di Hutan Besar.19
‘Dan di sana, Sunakkhatta mendatangiKu, memberi hormat dan duduk di satu sisi. Aku berkata: “Bagaimana menurutmu, Sunakkhatta? Apakah yang kukatakan kepadamu tentang Pāṭikaputta benar atau tidak?” “Benar, Bhagavā.” “Dan apakah keajaiban sudah dilakukan, atau tidak?” “Sudah, Bhagavā.” “Jadi, engkau orang dungu, apakah engkau masih mengatakan, setelah Aku melakukan [28]
keajaiban demikian: ‘Bhagavā, Engkau tidak melakukan keajaiban apapun? Pertimbangkanlah, orang dungu, seberapa besar kesalahanmu. Dan, Bhaggava, setelah mendengar kata-kataKu, Sunakkhatta meninggalkan Dhamma dan disiplin ini bagaikan seseorang yang divonis ke neraka.
2.14.
‘Bhaggavā, Aku mengetahui asal-usul pertama dari segala sesuatu,20 Aku bukan hanya mengetahui hal itu, tetapi apakah yang lebih dari itu dalam hal nilai.21 Dan Aku tidak terpengaruh oleh apa yang Aku tahu, dan bukan karena pengaruhnya Aku mengetahui untuk diriKu sendiri pemadaman itu,22 yang dengan merealisasikannya Sang Tathāgata tidak mungkin jatuh ke jalan berbahaya.23 Ada, Bhaggava, beberapa petapa dan Brahmana yang menyatakan ajaran mereka bahwa segala sesuatu adalah ciptaan para dewa,24 atau Brahmā. Aku mendatangi mereka dan berkata: “Tuan-tuan, benarkah bahwa kalian menyatakan bahwa segala sesuatu adalah ciptaan dewa, atau Brahmā?” “Benar”, mereka menjawab. Kemudian Aku bertanya: “Kalau begitu, bagaimanakah Tuan-tuan menyatakan bagaimana munculnya ini?” Tetapi mereka tidak mampu menjawab, dan sebaliknya mereka bertanya kepadaKu. Dan Aku menjawab:
2.15-17.
‘“Akan tiba saatnya, teman-teman, cepat atau lambat setelah kurun waktu yang lama, ketika alam ini mengerut … Makhluk-makhluk terlahir di alam Brahmā Abhassara dan berdiam di sana selama waktu yang sangat lama. Ketika alam ini mengembang, salah satu makhluk jatuh dari sana dan muncul di sebuah istana Brahmā yang kosong. Ia merindukan teman, makhluk-makhluk lain muncul, dan ia dan mereka percaya bahwa ia menciptakan mereka (Sutta 1, paragraf 2.2-6). [29-30]
Itu, Tuan-tuan, adalah bagaimana segala sesuatu terjadi sebagaimana yang kalian ajarkan bahwa segala sesuatu adalah ciptaan dewa, atau Brahmā.” Dan mereka berkata: “Kami telah mendengar hal ini, Yang Mulia Gotama, seperti yang Engkau jelaskan.” Tetapi Aku mengetahui asal-usul pertama dari segala sesuatu … dan bukan karena pengaruh oleh apa yang Aku tahu maka Aku mengetahui pemadaman itu yang dengan merealisasikannya Sang Tathāgata tidak mungkin jatuh ke jalan berbahaya.
2.18.
‘Ada beberapa petapa dan Brahmana yang menyatakan bahwa asal-usul segala sesuatu adalah karena kekotoran oleh kenikmatan. Aku mendatangi mereka dan bertanya apakah itu adalah pandangan mereka. “Benar”, mereka menjawab. [31]
Aku bertanya bagaimanakah asal-usul itu, dan ketika mereka tidak mampu menjawab, Aku berkata: “Ada, teman-teman, para dewa tertentu yang disebut Dikotori oleh Kenikmatan. Mereka menghabiskan banyak waktu dengan bersenang-senang … perhatian mereka merosot, dan mereka terjatuh (Sutta 1, paragraf 2.7-9). Itu, [32]
Tuan-tuan, itu adalah apa yang kalian ajarkan bahwa asal-usul segala sesuatu adalah karena kekotoran oleh kenikmatan.” Dan mereka berkata: “Kami telah mendengar hal ini, Yang Mulia Gotama, seperti yang Engkau jelaskan.”
2.19.
‘Ada beberapa petapa dan Brahmana yang menyatakan bahwa asal-usul segala sesuatu adalah karena kekotoran pikiran. Aku mendatangi mereka dan bertanya apakah itu adalah pandangan mereka. “Benar”, mereka menjawab. Aku bertanya bagaimanakah asal-usul itu, dan ketika mereka tidak mampu menjawab, Aku berkata: “Ada, teman-teman, para dewa tertentu yang disebut Berpikiran Kotor. Mereka menghabiskan banyak waktu dengan saling iri satu sama lain … pikiran mereka menjadi kotor, dan mereka terjatuh (Sutta 1, paragraf 2.
10-13). [33]
Itu, Tuan-tuan, adalah apa yang kalian ajarkan bahwa asal-usul segala sesuatu adalah karena kekotoran pikiran.” Dan mereka berkata: “Kami telah mendengar hal ini, Yang Mulia Gotama, seperti yang Engkau jelaskan.”
2.20.
‘Ada, Bhaggava, beberapa petapa dan Brahmana yang menyatakan bahwa asal-usul segala sesuatu adalah terjadi secara kebetulan. Aku mendatangi mereka dan bertanya apakah itu adalah pandangan mereka. “Benar”, mereka menjawab. Aku bertanya bagaimanakah asal-usul itu, dan ketika mereka tidak mampu menjawab, Aku berkata: “Ada, teman-teman, para dewa tertentu yang disebut Tanpa Persepsi. Ketika mendadak suatu persepsi muncul dalam diri mereka, para dewa itu jatuh dari alam itu … tidak mengingat apa-apa (Sutta 1, paragraf 2.
31) mereka berpikir: ‘Sekarang dari tidak ada aku telah menjadi ada.’ [34]
Itu, Tuan-tuan, adalah apa yang kalian ajarkan bahwa asal-usul segala sesuatu adalah terjadi secara kebetulan.” Dan mereka berkata: “Kami telah mendengar hal ini, Yang Mulia Gotama, seperti yang Engkau jelaskan.” Tetapi Aku mengetahui asal-usul pertama dari segala sesuatu, dan Aku bukan hanya mengetahui hal itu, tetapi apakah yang lebih dari itu dalam hal nilai. Aku tidak terpengaruh oleh apa yang Aku tahu, dan bukan karena pengaruhnya Aku mengetahui untuk diriKu sendiri pemadaman itu, yang dengan merealisasikannya Sang Tathāgata tidak mungkin jatuh ke jalan berbahaya.
2.21.
‘Dan Aku, Bhaggava, yang mengajarkan ini dan menyatakan ini dituduh secara salah, sia-sia, bohong dan keliru oleh beberapa petapa dan Brahmana yang mengatakan: “Petapa Gotama berada di jalan yang salah,25 dan demikian pula para bhikkhu siswaNya. Beliau menyatakan bahwa siapa saja yang telah mencapai tingkat kebebasan yang disebut ‘indah’26 melihat segala sesuatu menjijikkan.” Tetapi Aku tidak mengatakan hal ini. Apa yang Kukatakan adalah bahwa ketika seseorang telah mencapai tingkat kebebasan yang disebut ‘Indah’, ia mengetahui bahwa itu adalah indah.’
‘Memang, Bhagavā merekalah yang berada di jalan yang salah yang menuduh Bhagavā dan para bhikkhu salah. Aku sangat gembira dengan Bhagavā [35]
sehingga aku berpikir bahwa Bhagavā mampu mengajarkan aku bagaimana mencapai dan berdiam di dalam kebebasan yang disebut “Indah”.’
‘Sulit bagimu, Bhaggava, yang menganut pandangan yang berbeda, yang memiliki kecenderungan berbeda dan tunduk pada pengaruh-pengaruh berbeda, mengikuti disiplin yang berbeda dan memiliki guru yang berbeda, untuk mencapai dan berdiam dalam kebebasan yang disebut ‘indah’. Engkau harus berusaha keras, menempatkan kepercayaanmu kepadaKu, Bhaggava.’
‘Bhagavā, bahkan jika adalah sulit bagiku untuk mencapai dan berdiam dalam kebebasan yang disebut ‘Indah’, aku tetap menempatkan kepercayaanku kepadaMu.’27
Demikianlah Sang Bhagavā berbicara, dan Bhaggava si pengembara senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Dengan Sutta ini, kelompok ketiga dan terakhir dari Nikāya ini dimulai. Mengherankan bahwa kelompok ini diberi nama yang berasal dari naskah yang paling tidak menarik dari keseluruhan Nikāya, tetapi ini mungkin bukan masalah besar selain karena masalah ingatan. Tetapi Sutta ini memang salah-nama, karena ‘lawan’nya (Jika orang yang dimaksud yang meragukan itu bukanlah Sunakkhatta yang malang!) sebenarnya merujuk pada Pāṭikaputta atau ‘Putra Pāṭika’, dan nama aslinya sendiri tidak tercatat. Mungkin Pāṭikasutta adalah bentuk singkatan karena pengulangan suku kata dari *Pāṭikaputtasutta. ↩︎
Ārāma: secara harafiah ‘kenikmatan’, karena itulah disebut taman-rekreasi. Biasanya taman-taman demikian dipersembahkan kepada Sang Buddha, atau kepada ‘para petapa dan Brahmana lain’. Karena itu dalam makna modern disebut ‘kompleks kuil, kompleks-vihara’. ↩︎
Pertama disebutkan dalam DN 6.5. Namanya, sangat tidak sesuai, berarti ‘terlahir di bawah bintang keberuntungan’. ↩︎
Nama aslinya adalah Channa, tetapi Sang Buddha memanggil dengan nama keluarganya (cf. n.179). Sukunya sepertinya adalah pengrajin tembikar ↩︎
Cf. DN 11.5, di mana pertunjukan ‘keajaiban’ dicela oleh Sang Buddha (seperti halnya di sini, walaupun kelanjutan naskah ini bertentangan dengan kata-kata Sang Guru). Mengenai pentingnya penanggalan pada Sutta ini, kata-kata bijaksana dari RD adalah (p. 3): ‘Atas topik ini kami tidak berhak menentukan bahwa Pāṭika Suttanta adalah sesudah atau sebelum Kevaddha … Para peyunting mungkin mentolerir pandangan apapun yang berlawanan yang tidak mereka umumkan.’ Mereka yang mementingkan kriteria kronologis harus mengingat hal ini. ↩︎
Takkara: ‘pelaku demikian’. ↩︎
Hīnāy’āvatto. ↩︎
Nama ini membingungkan. RD mengartikan ‘Bumu’. Saya mengikuti DA. ↩︎
Seorang petapa-anjing seperti Seniya dalam MN 57, yang diberitahu oleh Sang Buddha bahwa jika ia meneruskan praktik itu ia akan terlahir kembali di neraka atau di ‘tengah-tengah anjing’. ↩︎
Alasakena. RD mengartikan ‘epilepsi’, yang sepertinya tidak ada bukti yang mendukung. Sub-komentar dan kamus Buddhadatta menyarankan ‘penyakit pencernaan’, yang bukannya tidak beralasan. ↩︎
Baca n.512. Kālakañja, dijelaskan sebagai ‘mengerikan dilihat’, disebutkan dalam DN 20.12. ↩︎
Bentuk dari nama ini meragukan. RD mengartikan Kandaramasuka. Sekali lagi, saya mengikuti DA. ↩︎
Untuk ini, baca DN 16.3.2 dan catatan kaki di sana. ↩︎
Baca DN 3.1.20 dan n.150 di sana. ↩︎
Rumah bagi para pengembara yang dipersembahkan di dekat pepohonan Tinduka. ↩︎
Cf. DN 6.15 dan DN 7, darimana namanya berasal. ↩︎
DA sepertinya menyiratkan bahwa Beliau mengantarkan semuanya menuju Kearahattaan: untuk lebih merendah, seseorang mungkin boleh menyimpulkan ‘Membuka Mata-Dhamma’ (baca n.140). ↩︎
Tejo-dhātuṁ samāpajjitvā: RD menterjemahkan ‘memasuki jhāna melalui metode api’ tanpa komentar, dan DA, tidak mengatakan apa-apa. Mungkinkah ini keajaiban khas yang tidak perlu yang disisipkan belakangan? ↩︎
Semua ini mengesampingkan pernyataan bahwa Sang Buddha tidak menyukai keajaiban. Tetapi baca n.736. ↩︎
Aggañña. Baca DN 27 untuk penjelasan lengkap atas topik ‘asal-usul’ – tentu saja bukan dalam pengertian penyebab awal mutlak, yang bagi Buddhisme adalah tidak penting. ↩︎
Atau ‘melampaui’ – bahkan hingga Kemahatahuan, menurut DA, tidak persis benar. ↩︎
Nibbuti: istilah yang berhubungan dengan Nibbāna, walaupun sesungguhnya dari akar yang berbeda. ↩︎
Anaya: ‘salah arah’, yaitu, menuju penderitaan atau kesulitan. ↩︎
Issara (Skt. Isvara) ‘Dewa sebagai pencipta dan penguasa’, sekarang sering disebut Tuhan dalam Kristen. ↩︎
Viparīto: ’berbalik, berubah’. ↩︎
Cf. DN 15.35. ↩︎
RD mengatakan: ‘Buddhaghosa menilai bahwa ini hanyalah sekedar penghargaan simpatik. Tetapi kita tidak mengetahui apapun mengenai sejarah orang ini.’ Namun, DA menambahkan bahwa kata-kata Sang Buddha meninggalkan kesan dalam dirinya di masa depan’. Mungkinkah reaksi meragukan yang diperlihatkan oleh Bhaggava adalah cara tersembunyi DA dalam mengungkapkan keragu-raguan akan Sutta ini? Bukan hanya dalam bagian utama yang tidak penting dan kontradiktif, walaupun agak lucu, tetapi menyimpulkan, pertama dengan apendiks (2.14ff.) tentang asal-usul dari segala sesuatu yang dirangkaikan secara aneh, tidak diragukan sebagai jawaban kepada Sunakkhatta pada 1.5 (yang cukup terjawab di sana), dan kemudian (2.21) dengan apendiks atas apendiks itu yang bahkan lebih tidak relevan lagi. Ciri mengherankan lainnya adalah bahwa ini mungkin adalah Sutta satu-satunya dalam Kanon yang berisikan hampir seluruhnya narasi (bukannya khotbah) yang dibabarkan oleh Sang Buddha tentang pihak ketiga (dan, karena itu, suatu karakter yang tidak jelas bukanlah tanggung jawabNya). ↩︎