easter-japanese

[290] 1.1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.1 Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di antara penduduk Kuru. Di sana terdapat sebuah pemukiman-pasar yang disebut Kammāsadhamma.2 Dan di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: ‘Para bhikkhu!’ ‘Bhagavā’, mereka menjawab, dan Sang Bhagavā berkata:

‘Ada, para bhikkhu, satu jalan3 ini untuk memurnikan makhluk-makhluk, untuk mengatasi dukacita dan kesusahan, untuk melenyapkan kesakitan dan kesedihan,4 untuk memperoleh jalan benar,5 untuk mencapai Nibbāna: - yaitu, empat landasan perhatian.6

‘Apakah empat ini? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu7 berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani8, tekun, dengan kesadaran jernih dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan kerinduan dan kegelisahan terhadap dunia;9 ia berdiam merenungkan perasaan sebagai perasaan10 …; ia berdiam merenungkan pikiran sebagai pikiran;11 ia berdiam merenungkan objek-pikiran sebagai objek-pikiran,12 tekun, dengan kesadaran jernih dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan kerinduan dan kegelisahan dunia.’ [291]

2. ‘Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani? Di sini seorang bhikkhu, setelah pergi ke hutan, atau ke bawah pohon, atau ke tempat sunyi,13 duduk bersila, menegakkan tubuhnya, setelah menegakkan perhatian di depannya.14 Dengan penuh perhatian ia menarik nafas, dengan penuh perhatian ia mengembuskan nafas.15 Menarik nafas panjang, ia mengetahui bahwa ia menarik nafas panjang,16 dan mengembuskan nafas panjang, ia mengetahui bahwa ia mengembuskan nafas panjang. Menarik nafas pendek, ia mengetahui bahwa ia menarik nafas pendek, dan mengembuskan nafas pendek, ia mengetahui bahwa ia mengembuskan nafas pendek. Ia melatih dirinya, dengan berpikir: “Aku akan menarik nafas, menyadari seluruh jasmani.”17 Ia melatih dirinya, dengan berpikir: “Aku akan mengembuskan nafas, menyadari seluruh jasmani.” Ia melatih dirinya, dengan berpikir: “Aku akan menarik nafas, dengan menenangkan seluruh proses jasmani.”18 Ia melatih dirinya, dengan berpikir: “Aku akan mengembuskan nafas, dengan menenangkan seluruh proses jasmani.” Bagaikan seorang akrobatik terampil atau pembantunya, ketika melakukan putaran panjang, tahu bahwa ia melakukan putaran panjang, atau ketika melakukan putaran pendek, tahu bahwa ia melakukan putaran pendek, demikian pula seorang bhikkhu, dalam menarik nafas panjang, tahu bahwa ia menarik nafas panjang … dan demikianlah ia melatih dirinya, dengan berpikir: “Aku akan mengembuskan nafas, dengan menenangkan seluruh jasmani.”’ [292]

‘Demikianlah ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal,19 merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal, merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal dan eksternal. Ia berdiam merenungkan munculnya fenomena20 di dalam jasmani. Ia berdiam merenungkan lenyapnya fenomena21 di dalam jasmani. Ia berdiam merenungkan muncul dan lenyapnya fenomena di dalam jasmani. Atau, penuh perhatian bahwa “ada jasmani” muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan kesadaran.22 Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Dan itu, para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.’

3. ‘Kemudian, seorang bhikkhu, ketika sedang berjalan, mengetahui bahwa ia sedang berjalan, ketika sedang berdiri, mengetahui bahwa ia sedang berdiri, ketika sedang duduk, mengetahui bahwa ia sedang duduk, ketika sedang berbaring, mengetahui bahwa ia sedang berbaring. Dalam cara bagaimanapun jasmaninya diposisikan, ia mengetahuinya sebagaimana adanya.

‘Demikianlah ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, secara eksternal, dan secara internal maupun eksternal … Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Dan itu, para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.’

4. ‘Kemudian, seorang bhikkhu, ketika berjalan maju atau mundur, sadar jernih atas apa yang sedang ia lakukan,23 ketika melihat ke depan atau ke belakang ia sadar jernih atas apa yang sedang ia lakukan, ketika menunduk dan menegakkan badan ia sadar jernih atas apa yang sedang ia lakukan, ketika membawa jubah dalam dan luarnya dan mangkuknya ia sadar atas apa yang sedang ia lakukan, ketika makan, minum, mengunyah dan menelan ia sadar jernih atas apa yang sedang ia lakukan, dalam buang air atau kecil ia sadar jernih atas apa yang sedang ia lakukan, ketika berjalan, berdiri, duduk, jatuh tertidur dan terjaga dari tidur, ketika berbicara atau berdiam diri, ia sadar jernih atas apa yang sedang ia lakukan. [293]

‘Demikianlah ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, secara eksternal, dan secara internal maupun eksternal … Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Dan itu, para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.’

5. ‘Kemudian, seorang bhikkhu memeriksa24 jasmani ini dari telapak kaki ke atas dan dari kulit kepala ke bawah, terbungkus oleh kulit dan dipenuhi kotoran: “Di dalam jasmani ini terdapat rambut-kepala, bulu-badan, kuku, gigi, kulit,25 daging, urat, tulang, sumsum, ginjal, jantung, hati, sekat rongga dada, limpa, paru-paru, selaput pengikat organ dalam, usus, isi perut, tinja, empedu, dahak, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, minyak, ludah, ingus, cairan sendi, air kencing.”26 Bagaikan ada sebuah karung, yang terbuka di kedua ujungnya, penuh dengan berbagai jenis biji-bijian seperti beras-gunung, padi, kacang hijau,27 kacang merah, wijen, beras merah, dan seorang yang berpenglihatan baik membuka karung itu dan memeriksanya, dapat mengatakan: “Ini adalah beras-gunung, padi, kacang hijau, kacang merah, wijen, beras tanpa sekam”, demikian pula seorang bhikkhu memeriksa jasmani ini: “Di dalam jasmani ini terdapat rambut kepala … [294] air kencing.”

‘Demikianlah ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, secara eksternal, dan secara internal maupun eksternal … Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Dan itu, para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.’

‘Kemudian, seorang bhikkhu memeriksa jasmani ini, bagaimanapun posisinya, dalam hal unsur-unsur: “Terdapat dalam jasmani ini, unsur-tanah, unsur-air, unsur-api, unsur-angin.”28 Bagaikan seorang tukang daging yang terampil atau pembantunya, setelah menyembelih seekor sapi,29 duduk di persimpangan jalan dengan daging yang telah dibagi dalam beberapa bagian, demikianlah seorang bhikkhu memeriksa jasmani ini … dalam hal unsur-unsur: “Terdapat dalam jasmani ini, unsur-tanah, unsur-air, unsur-api, unsur-angin.”

‘Demikianlah ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal … [295] Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Dan itu, para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.’

7. ‘Kemudian, seorang bhikkhu, seolah-olah ia melihat mayat yang dibuang di tanah pemakaman, 30 satu, dua atau tiga hari setelah meninggal dunia, membengkak, berubah warna, membandingkan jasmani ini dengan mayat itu, berpikir: “Jasmani ini memiliki sifat yang sama, jasmani ini akan menjadi seperti mayat itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu.”

‘Demikianlah ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, secara eksternal, dan secara internal maupun eksternal. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Dan itu, para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.’

8. ‘Kemudian, seorang bhikkhu, seolah-olah ia melihat mayat di tanah pemakaman, dibuang, dimakan oleh burung gagak, elang atau hering, oleh anjing atau serigala, atau berbagai binatang lainnya, membandingkan jasmani ini dengan mayat itu, berpikir: “Jasmani ini memiliki sifat yang sama. Jasmani ini akan menjadi seperti mayat itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu.” [296]

9. ‘Kemudian, seorang bhikkhu, seolah-olah ia melihat mayat di tanah pemakaman, dibuang, kerangka tulang-belulang dengan daging dan darah, dirangkai oleh urat, … kerangka tulang-belulang tanpa daging berlumuran darah, dirangkai oleh urat, … kerangka tulang-belulang yang tanpa daging dan darah, dirangkai oleh urat, … tulang-belulang yang tersambung secara acak, berserakan di segala penjuru, tulang-lengan di sini, tulang-kaki di sana, tulang-kering di sini, tulang-paha di sana, tulang-panggul di sini, [297] tulang-punggung di sini, tulang tengkorak di sana, membandingkan jasmani ini dengan mayat itu …

10. ‘Kemudian, seorang bhikkhu, seolah-olah ia melihat mayat di tanah pemakaman, dibuang, tulangnya memutih, terlihat seperti kulit-kerang …, tulang-belulangnya menumpuk, setelah setahun …, tulang-belulangnya hancur menjadi bubuk, membandingkan jasmani ini dengan mayat itu, berpikir: “Jasmani ini memiliki sifat yang sama, jasmani ini akan menjadi seperti mayat itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu.”

‘Demikianlah ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal, berdiam merenungkan jasmani [298] sebagai jasmani secara internal dan eksternal. Ia berdiam merenungkan munculnya fenomena dalam jasmani, merenungkan lenyapnya fenomena dalam jasmani, ia berdiam merenungkan muncul dan lenyapnya fenomena dalam jasmani. Atau, penuh perhatian bahwa “ada jasmani” muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan kesadaran. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Dan itu, para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.’

11. ‘Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan perasaan sebagai perasaan?31 Di sini, seorang bhikkhu yang sedang merasakan perasaan menyenangkan mengetahui bahwa ia sedang merasakan perasaan menyenangkan;32 merasakan perasaan menyakitkan, ia mengetahui bahwa ia sedang merasakan perasaan menyakitkan;33 merasakan perasaan yang bukan menyenangkan juga bukan menyakitkan ia mengetahui bahwa ia sedang merasakan perasaan yang bukan menyenangkan juga bukan menyakitkan;34 merasakan perasaan indria yang menyenangkan ia mengetahui bahwa ia sedang merasakan perasaan indria yang menyenangkan;35 merasakan perasaan non-indria yang menyenangkan ia mengetahui bahwa ia merasakan perasaan non-indria yang menyenangkan;36 merasakan perasaan indria yang menyakitkan …; merasakan perasaan non-indria yang menyakitkan …; merasakan perasaan indria yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan …; merasakan perasaan non-indria yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan ia mengetahui bahwa ia sedang merasakan perasaan non-indria yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan.’

‘Demikianlah ia berdiam merenungkan perasaan sebagai perasaan secara internal. Ia merenungkan perasaan sebagai perasaan secara eksternal37 … Ia berdiam merenungkan munculnya fenomena dalam perasaan, lenyapnya fenomena serta muncul dan lenyapnya fenomena dalam perasaan. [299] Atau, penuh perhatian bahwa “ada perasaan” muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan kesadaran. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Dan itu, para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan perasaan sebagai perasaan.’

12. ‘Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu berrdiam merenungkan pikiran sebagai pikiran?38 Di sini, seorang bhikkhu mengetahui pikiran penuh nafsu sebagai penuh nafsu, pikiran yang bebas dari nafsu sebagai pikiran yang bebas dari nafsu; pikiran membenci sebagai pikiran membenci, pikiran yang bebas dari kebencian sebagai pikiran yang bebas dari kebencian; pikiran yang terdelusi sebagai pikiran yang terdelusi, pikiran yang tidak terdelusi sebagai pikiran yang tidak terdelusi; pikiran mengerut sebagai pikiran mengerut,39 pikiran kacau sebagai pikiran kacau,40 pikiran terkembang sebagai pikiran terkembang, 41pikiran yang tidak terkembang sebagai pikiran yang tidak terkembang;42 pikiran yang terlampaui sebagai pikiran terlampaui,43 pikiran tidak terlampaui sebagai pikiran tidak terlampaui;44 pikiran terkonsentrasi sebagai pikiran terkonsentrasi,45 pikiran tidak terkonsentrasi sebagai pikiran tidak terkonsentrasi;46 pikiran terbebas sebagai pikiran terbebas,47 pikiran tidak terbebas sebagai pikiran tidak terbebas.’

‘Demikianlah ia berdiam merenungkan pikiran sebagai pikiran secara internal. Ia merenungkan pikiran sebagai pikiran secara eksternal48 … Ia berdiam merenungkan munculnya fenomena dalam pikiran … Atau, penuh perhatian bahwa “ada pikiran” muncul dalam dirinya [300] hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan kesadaran. Dan ia berdiam terlepas, tidak menggenggam pada apapun di dunia ini. Dan itu, para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan pikiran sebagai pikiran.’

13. ‘Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran?’49

‘Di sini, seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran sehubungan dengan lima rintangan. Bagaimanakah ia melakukannya? Di sini, para bhikkhu, jika keinginan-indria50 hadir dalam dirinya, seorang bhikkhu mengetahui bahwa keinginan-indria hadir. Jika keinginan-indria tidak ada dalam dirinya, seorang bhikkhu mengetahui bahwa keinginan-indria tidak ada. Dan ia mengetahui bagaimana keinginan-indria yang belum muncul itu muncul, dan ia mengetahui bagaimana menyingkirkan keinginan-indria yang telah muncul, dan ia mengetahui bagaimana ketidak-munculan di masa depan atas keinginan-indria yang telah disingkirkan.51

‘Jika kebencian52 hadir dalam dirinya, seorang bhikkhu mengetahui bahwa kebencian hadir … Dan ia mengetahui bagaimana ketidak-munculan di masa depan atas kebencian yang telah disingkirkan.

‘Jika ketumpulan dan kelambanan53 hadir dalam dirinya, seorang bhikkhu mengetahui bahwa ketumpulan dan kelambanan hadir … Dan ia mengetahui bagaimana ketidak-munculan di masa depan atas ketumpulan dan kelambanan yang telah disingkirkan.

‘Jika kekhawatiran dan kegelisahan54 hadir dalam dirinya, seorang [301] bhikkhu mengetahui bahwa kekhawatiran dan kegelisahan hadir … Dan ia mengetahui bagaimana ketidak-munculan di masa depan atas kekhawatiran dan kegelisahan yang telah disingkirkan.

‘Jika keragu-raguan55 hadir dalam dirinya, seorang bhikkhu mengetahui bahwa keragu-raguan hadir. Jika keragu-raguan tidak ada dalam dirinya, ia mengetahui bahwa keragu-raguan tidak ada. Dan ia mengetahui bagaimana keragu-raguan yang belum muncul itu muncul, dan ia mengetahui bagaimana menyingkirkan keragu-raguan yang telah muncul, dan ia mengetahui bagaimana ketidak-munculan di masa depan atas keragu-raguan yang telah disingkirkan.

‘Demikianlah ia berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran secara internal … Ia berdiam merenungkan munculnya fenomena dalam objek-objek pikiran56 … Atau, penuh perhatian bahwa “ada objek-objek pikiran” muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan kesadaran. Dan ia berdiam terlepas, tidak menggenggam pada apapun di dunia ini. Dan itu, para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran sehubungan dengan lima rintangan.’

14. ‘Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sehubungan dengan lima kelompok unsur kemelekatan.57 Bagaimanakah ia melakukannya? Di sini, seorang bhikkhu berpikir: “Demikianlah bentuk,58 demikianlah munculnya bentuk, demikianlah lenyapnya bentuk; demikianlah perasaan, demikianlah munculnya perasaan, demikianlah lenyapnya perasaan; demikianlah persepsi,59 demikianlah munculnya persepsi, demikianlah lenyapnya persepsi; demikianlah bentukan-bentukan pikiran,60 [302] demikianlah munculnya bentukan-bentukan pikiran, demikianlah lenyapnya bentukan-bentukan pikiran; demikianlah kesadaran,61 demikianlah munculnya kesadaran, demikianlah lenyapnya kesadaran.’

‘Demikianlah ia berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran secara internal … Dan ia berdiam terlepas, tidak menggenggam pada apapun di dunia ini. Dan itu, para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran sehubungan dengan lima kelompok unsur kemelekatan.’

15. ‘Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sehubungan dengan enam landasan-indria internal dan eksternal.62 Bagaimanakah ia melakukannya? Di sini seorang bhikkhu mengetahui mata, mengetahui objek-objek penglihatan,63 dan ia mengetahui belenggu apapun yang muncul dengan bergantung pada kedua hal ini.64 Dan ia mengetahui bagaimana belenggu yang belum muncul itu muncul, dan ia mengetahui bagaimana melepaskan belenggu yang telah muncul, dan ia mengetahui bagaimana ketidak-munculan di masa depan atas belenggu yang telah dilepaskan itu. Ia mengetahui telinga dan suara-suara … Ia mengetahui hidung dan bau-bauan … Ia mengetahui badan65 dan objek-objek sentuhan … Ia mengetahui pikiran dan mengetahui objek-objek pikiran, dan ia mengetahui [303] belenggu apapun yang muncul bergantung pada kedua hal ini. Dan ia mengetahui bagaimana belenggu yang belum muncul itu muncul, dan ia mengetahui bagaimana melepaskan belenggu yang telah muncul, dan ia mengetahui bagaimana ketidak-munculan di masa depan atas belenggu yang telah dilepaskan itu.

‘Demikianlah ia berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran secara internal … Dan ia berdiam terlepas, tidak menggenggam pada apapun di dunia ini. Dan itu, para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran sehubungan dengan enam landasan indria internal dan eksternal.’

16. ‘Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sehubungan dengan tujuh faktor penerangan sempurna.66 Bagaimanakah ia melakukannya? Di sini, para bhikkhu, jika faktor penerangan sempurna perhatian hadir dalam dirinya, seorang bhikkhu mengetahui kehadirannya. Jika faktor penerangan sempurna perhatian tidak hadir dalam dirinya, ia mengetahui ketidak-hadirannya. Dan ia mengetahui bagaimana faktor penerangan sempurna perhatian yang belum muncul itu muncul, dan ia mengetahui bagaimana kesempurnaan dari pengembangan faktor penerangan sempurna perhatian itu muncul. Jika faktor penerangan sempurna penyelidikan-kondisi-kondisi67 hadir dalam dirinya … Jika faktor penerangan sempurna kegigihan68 hadir dalam dirinya … Jika faktor penerangan sempurna kegembiraan69 hadir dalam dirinya … [304] Jika faktor penerangan sempurna ketenangan70 hadir dalam dirinya … Jika faktor penerangan sempurna konsentrasi hadir dalam dirinya … jika faktor penerangan sempurna keseimbangan hadir dalam dirinya, seorang bhikkhu mengetahui kehadirannya. Jika faktor penerangan sempurna keseimbangan tidak hadir dalam dirinya, ia mengetahui ketidak-hadirannya. Dan ia mengetahui bagaimana faktor penerangan sempurna keseimbangan yang belum muncul itu muncul, dan ia mengetahui bagaimana kesempurnaan dari pengembangan faktor penerangan sempurna keseimbangan itu muncul.

‘Demikianlah ia berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran secara internal … Dan ia berdiam terlepas, tidak menggenggam pada apapun di dunia ini. Dan itu, para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran sehubungan dengan tujuh faktor penerangan sempurna.’

17. ‘Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sehubungan dengan Empat Kebenaran Mulia. Bagaimanakah ia melakukannya? Di sini, seorang bhikkhu mengetahui sebagaimana adanya: “Ini adalah penderitaan”; ia mengetahui sebagaimana adanya: “Ini adalah asal-mula penderitaan”; ia mengetahui sebagaimana adanya: “Ini adalah lenyapnya penderitaan”; ia mengetahui sebagaimana adanya: “Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.”

18. 71’Dan apakah, para bhikkhu, Kebenaran Mulia Penderitaan? Kelahiran adalah penderitaan, penuaan adalah penderitaan, kematian adalah penderitaan, dukacita adalah penderitaan, ratapan adalah penderitaan, kesakitan adalah penderitaan, kesedihan dan kesusahan adalah penderitaan. Berkumpul dengan yang tidak dicintai adalah penderitaan, berpisah dari yang dicintai adalah penderitaan, tidak mendapatkan apa yang diinginkan adalah penderitaan. Singkatnya, lima kelompok unsur kemelekatan72 adalah penderitaan.

‘Dan apakah, para bhikkhu, kelahiran? Makhluk apapun juga, kelompok makhluk apapun juga, ada kelahiran, penjelmaan, kedatangan, kemunculan kelompok-kelompok unsur, mendapatkan enam landasan.73 Itu, para bhikkhu, adalah yang disebut kelahiran.

‘Dan apakah penuaan? Makhluk apa pun juga, kelompok makhluk apapun juga, mengalami penuaan, jompo, gigi tanggal, rambut memutih, kulit keriput, mengerut seiring usia, indria-indria melemah, itu, para bhikkhu, disebut penuaan.

‘Dan apakah kematian? Makhluk apa pun juga, kelompok makhluk apapun juga, ada mengalami kematian, musnah, terputus, lenyap, meninggal dunia, sekarat, berakhir, terputusnya kelompok-kelompok unsur, lepasnya jasmani, itu, para bhikkhu, disebut kematian.

‘Dan apakah dukacita? Ketika, karena kemalangan apapun juga, [306] seseorang terpengaruh oleh sesuatu yang bersifat menyakitkan, berduka, berkabung, bersusah hati, kesedihan, kesengsaraan, itu, para bhikkhu, disebut dukacita.

‘Dan apakah ratapan? Ketika, karena kemalangan apapun juga, seseorang terpengaruh oleh sesuatu yang bersifat menyakitkan dan menjadi menangis, mengeluh, meraung karena sedih, meratap, itu, para bhikkhu, disebut ratapan.

‘Dan apakah kesakitan? Perasaan sakit apapun pada jasmani, perasaan tidak menyenangkan pada jasmani, perasaan sakit atau tidak menyenangkan yang muncul dari kontak jasmani, itu, para bhikkhu, disebut kesakitan.

‘Dan apakah kesedihan?74 Perasaan sakit apapun pada pikiran, perasaan tidak menyenangkan pada pikiran, perasaan sakit atau tidak menyenangkan yang muncul dari kontak pikiran, itu, para bhikkhu, disebut kesedihan.

‘Dan apakah kesusahan? Ketika, karena kemalangan apapun juga, [306] seseorang terpengaruh oleh sesuatu yang bersifat menyakitkan, bersusah hati, kesusahan besar, didera oleh kesusahan, oleh kesusahan besar, itu, para bhikkhu, disebut kesusahan.75

‘Dan apakah, para bhikkhu, berkumpul dengan yang tidak dicintai? Di sini, siapapun yang tidak diinginkan, tidak disukai, objek-penglihatan, bau-bauan, rasa kecapan, objek sentuhan atau objek pikiran yang tidak menyenangkan, atau siapapun yang bertemu dengan orang yang mengharapkan kemalangannya, orang yang mengharapkan kecelakaannya, ketidak-nyamanannya, ketidak-amanannya, yang dengannya mereka berkumpul, bergaul, berhubungan, bergabung, itu, para bhikkhu, disebut berkumpul dengan yang tidak dicintai.

‘Dan apakah, para bhikkhu, berpisah dengan yang dicintai? Di sini, siapapun yang diinginkan, disukai, objek-penglihatan, bau-bauan, rasa kecapan, objek sentuhan atau objek pikiran yang menyenangkan, atau siapapun yang bertemu dengan orang yang mengharapkan kesejahteraannya, orang yang mengharapkan kebaikannya, kenyamanannya, keamanannya, ibu atau ayah atau saudara laki-laki atau perempuan atau sanak saudara atau sahabat atau kerabat sedarah, dan kemudian direnggut dari kebersamaan, pergaulan, hubungan, gabungan demikian, itu, para bhikkhu, disebut berpisah dari yang dicintai. [307]

‘Dan apakah tidak mendapatkan apa yang diinginkan? Dalam diri makhluk-makhluk yang mengalami kelahiran, para bhikkhu, keinginan ini muncul: “Oh, sendainya kita tidak mengalami kelahiran, seandainya kita tidak dilahirkan!” Tetapi hal ini tidak mungkin dicapai hanya dengan menginginkan. Ini adalah tidak mendapatkan apa yang diinginkan. Dalam diri makhluk-makhluk yang mengalami penuaan, penyakit,76 dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan dan kesusahan muncul keinginan ini: “Oh, seandainya kita tidak mengalami penuaan, …, kesusahan, seandainya kita tidak bertemu dengan hal-hal ini!” Tetapi hal-hal ini tidak mungkin dicapai hanya dengan menginginkan. Ini adalah tidak mendapatkan apa yang diinginkan.

‘Dan bagaimanakah, para bhikkhu, singkatnya, lima kelompok unsur kemelekatan adalah penderitaan? Yaitu sebagai berikut: kelompok unsur kemelekatan bentuk, kelompok unsur kemelekatan perasaan, kelompok unsur kemelekatan persepsi, kelompok unsur kemelekatan bentukan-bentukan pikiran, kelompok unsur kemelekatan kesadaran.77 Ini adalah, singkatnya, lima kelompok unsur kemelekatan adalah penderitaan. Dan itu, para bhikkhu, disebut Kebenaran Mulia Penderitaan. [308]

19. ‘Dan apakah, para bhikkhu, Kebenaran Mulia Asal-mula Penderitaan? Yaitu, ketagihan78 yang memunculkan kelahiran,79 yang bergabung dengan kesenangan dan nafsu, mencari kenikmatan baru di sana-sini: dengan kata lain ketagihan akan kenikmatan-indria, ketagihan akan penjelmaan, dan ketagihan akan tanpa-penjelmaan.80

‘Dan di manakah ketagihan ini muncul dan mengokohkan dirinya? Di manapun di dunia ini terdapat hal-hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, di sana ketagihan ini muncul dan mengokohkan dirinya.

‘Dan apakah di dunia ini hal-hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati? Mata di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, telinga …, hidung …, lidah …, badan …, pikiran di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, dan di sana ketagihan ini muncul dan mengokohkan dirinya. Pemandangan-pemandangan, suara-suara, bau-bauan, rasa-kecapan, objek-objek sentuhan, objek-objek pikiran di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, dan di sana ketagihan ini muncul dan mengokohkan dirinya.

‘Kesadaran-mata, kesadaran-telinga, kesadaran-hidung, kesadaran-lidah, kesadaran-badan, kesadaran-pikiran di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, dan di sana ketagihan ini muncul dan mengokohkan dirinya.

‘Kontak-mata,81 kontak-telinga, kontak-hidung, [309] kontak-lidah, kontak-badan, kontak-pikiran di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, dan di sana ketagihan ini muncul dan mengokohkan dirinya.

‘Perasaan yang muncul dari kontak-mata, kontak-telinga, kontak-hidung, kontak-lidah, kontak-badan, kontak-pikiran di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, dan di sana ketagihan ini muncul dan mengokohkan dirinya.

‘Persepsi penglihatan, suara-suara, bau-bauan, rasa-kecapan, objek-objek sentuhan, objek-objek pikiran di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, dan di sana ketagihan ini muncul dan mengokohkan dirinya.

‘Kehendak sehubungan dengan penglihatan, suara-suara, bau-bauan, rasa-kecapan, objek-objek sentuhan, objek-objek pikiran di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, dan di sana ketagihan ini muncul dan mengokohkan dirinya.

‘Keinginan akan pemandangan-pemandangan, suara-suara, bau-bauan, rasa-kecapan, objek-objek sentuhan, objek-objek pikiran di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, dan di sana ketagihan ini muncul dan mengokohkan dirinya.

‘Pemikiran82 yang tertuju pada pemandangan-pemandangan, suara-suara, bau-bauan, rasa-kecapan, objek-objek sentuhan, objek-objek pikiran di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, dan di sana ketagihan ini muncul dan mengokohkan dirinya.

‘Pertimbangan83 yang tertuju pada pemandangan-pemandangan, suara-suara, bau-bauan, rasa-kecapan, objek-objek sentuhan, objek-objek pikiran di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, dan di sana keinginan ini muncul dan mengokohkan dirinya. Dan itu, para bhikkhu, disebut Kebenaran Mulia Asal-mula Penderitaan.

20. ‘Dan apakah, para bhikkhu, Kebenaran Mulia Lenyapnya Penderitaan? Yaitu peluruhan total dan padamnya ketagihan ini, melepaskan dan meninggalkan, kebebasan darinya, terlepas darinya.84 Dan bagaimanakah ketagihan ini ditinggalkan, bagaimanakah lenyapnya ini terjadi?

‘Di manapun di dunia ini terdapat hal-hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, di sana lenyapnya ini terjadi. Dan apakah di dunia ini hal-hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati?

‘Mata di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, telinga …, hidung …, lidah …, badan …, pikiran di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, dan di sanalah ketagihan ditinggalkan, di sanalah lenyapnya terjadi.

‘Kesadaran-mata, kesadaran-telinga, kesadaran-hidung, kesadaran-lidah, kesadaran-badan, kesadaran-pikiran di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, dan di sanalah ketagihan ditinggalkan, di sanalah lenyapnya terjadi.

‘Pemandangan-pemandangan, suara-suara, bau-bauan, rasa-kecapan, objek-objek sentuhan, objek-objek pikiran di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, dan di sanalah ketagihan ditinggalkan, di sanalah lenyapnya terjadi.

Kontak-mata, kontak-telinga, kontak-hidung, kontak-lidah, kontak-badan, kontak-pikiran …; [311] Persepsi penglihatan, suara-suara, bau-bauan, rasa-kecapan, objek-objek sentuhan, objek-objek pikiran …; kehendak sehubungan dengan penglihatan, suara-suara, bau-bauan, rasa-kecapan, objek-objek sentuhan, objek-objek pikiran …; Keinginan akan pemandangan-pemandangan, suara-suara, bau-bauan, rasa-kecapan, objek-objek sentuhan, objek-objek pikiran …; pemikiran yang tertuju pada pemandangan-pemandangan, suara-suara, bau-bauan, rasa-kecapan, objek-objek sentuhan, objek-objek pikiran …; pertimbangan yang tertuju pada pemandangan-pemandangan, suara-suara, bau-bauan, rasa-kecapan, objek-objek sentuhan, dan objek-objek pikiran di dunia ini adalah hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati, dan di sanalah ketagihan ditinggalkan, di sanalah lenyapnya terjadi. Dan itu, para bhikkhu, disebut Kebenaran Mulia Lenyapnya Penderitaan.

21. ‘Dan apakah, para bhikkhu, Kebenaran Mulia Jalan Praktik Menuju Lenyapnya Penderitaan? Yaitu, Jalan Mulia Berunsur Delapan, yaitu: Pandangan Benar, Pemikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Usaha Benar, Perhatian Benar, Konsentrasi Benar.

‘Dan apakah, para bhikkhu, Pandangan Benar?85 [312] yaitu, para bhikkhu, pengetahuan tentang penderitaan, pengetahuan tentang asal-mula penderitaan, pengetahuan tentang lenyapnya penderitaan, dan pengetahuan tentang jalan praktik menuju lenyapnya penderitaan. Ini disebut Pandangan Benar.

‘Dan apakah, para bhikkhu, Pemikiran Benar?86 Pemikiran meninggalkan keduniawian, pemikiran ketidak-bencian, pemikiran ketidak-kejaman. Ini, para bhikkhu, disebut Pemikiran Benar.

‘Dan apakah, para bhikkhu, Ucapan Benar? Menghindari berbohong, menghindari fitnah, menghindari ucapan kasar, menghindari kata-kata yang tidak berguna. Ini disebut Ucapan Benar.

‘Dan apakah, para bhikkhu, Perbuatan Benar? Menghindari pembunuhan, Menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari melakukan hubungan seksual yang salah. Ini disebut Perbuatan Benar.

‘Dan apakah, para bhikkhu, Penghidupan Benar? Di sini, para bhikkhu, seorang Siswa Ariya, setelah meninggalkan penghidupan salah, mempertahankan hidupnya dengan penghidupan benar.

‘Dan apakah, para bhikkhu, Usaha Benar? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu membangkitkan kehendak, mengerahkan daya upaya, menggerakkan usaha, mengerahkan pikirannya dan berusaha untuk mencegah munculnya kondisi pikiran tidak bermanfaat yang belum muncul. Ia membangkitkan kehendak … dan berusaha untuk mengatasi kondisi pikiran tidak bermanfaat yang telah muncul. Ia membangkitkan kehendak … dan berusaha untuk memunculkan kondisi pikiran bermanfaat yang belum muncul. Ia membangkitkan kehendak, mengerahkan daya upaya, menggerakkan usaha, mengerahkan pikirannya [313] dan berusaha untuk mempertahankan kondisi pikiran bermanfaat yang telah muncul, tidak membiarkannya memudar, menumbuhkan lebih besar, hingga sempurna dalam pengembangan. Ini disebut Usaha Benar.

‘Dan apakah, para bhikkhu, Perhatian Benar? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani, tekun, sadar jernih dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan segala kerinduan dan kegelisahan terhadap dunia; ia berdiam merenungkan perasaan sebagai perasaan …; ia berdiam merenungkan pikiran sebagai pikiran …; ia berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran, tekun, sadar jernih dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan segala kerinduan dan kegelisahan terhadap dunia. Ini disebut Perhatian Benar.

‘Dan apakah, para bhikkhu, Konsentrasi Benar? Di sini, seorang bhikkhu, terlepas dari keinginan-indria, terlepas dari kondisi pikiran tidak bermanfaat, memasuki dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan pemikiran dan pertimbangan yang muncul dari keterlepasan, dipenuhi dengan kegembiraan dan kebahagiaan. Dan dengan melenyapkan pemikiran dan pertimbangan, dengan mencapai ketenangan dan keterpusatan pikiran, ia memasuki dan berdiam dalam jhāna kedua, yang tanpa pemikiran dan pertimbangan, yang muncul dari konsentrasi, dipenuhi dengan kegembiraan dan kebahagiaan. Dan dengan meluruhnya kegembiraan, dengan tetap tidak terganggu, penuh perhatian dan sadar jernih, ia mengalami dalam dirinya apa yang dikatakan oleh Para Mulia: “Bahagialah ia yang berdiam dalam keseimbangan dan perhatian”, ia memasuki jhāna ketiga. Dan, setelah meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan lenyapnya kegembiraan dan kesedihan sebelumnya, ia memasuki dan berdiam dalam jhāna keempat, yang melampaui kenikmatan dan kesakitan, dan dimurnikan oleh keseimbangan dan perhatian. Ini disebut Konsentrasi Benar. Dan itu, para bhikkhu, disebut jalan praktik menuju lenyapnya penderitaan.

‘Demikianlah ia berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran secara internal, [314] merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran secara eksternal, berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran secara internal dan eksternal. Ia berdiam merenungkan munculnya fenomena dalam objek-objek pikiran, merenungkan lenyapnya fenomena dalam objek-objek pikiran, ia berdiam merenungkan muncul dan lenyapnya fenomena dalam objek-objek pikiran. Atau, penuh perhatian bahwa “ada objek-objek pikiran” muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan kesadaran. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Dan itu, para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran sehubungan dengan Empat Kebenaran Mulia.’

22. ‘Siapapun, para bhikkhu, yang mempraktikkan Empat Landasan Perhatian ini selama tujuh tahun dapat mengharapkan satu dari dua hasil ini: apakah Kearahattaan dalam kehidupan ini atau, jika masih ada beberapa kekotoran tersisa, mencapai kondisi Yang-Tidak-Kembali. Jangankan tujuh tahun – siapapun yang mempraktikkannya selama enam tahun …, lima tahun …, empat tahun …, tiga tahun …, dua tahun …, satu tahun dapat mengharapkan satu dari dua hasil …; jangankan satu tahun - siapapun yang mempraktikkannya selama tujuh bulan …, enam bulan …, lima bulan …, empat bulan …, tiga bulan …, dua bulan …, [315] satu bulan …, setengah bulan dapat mengharapkan satu dari dua hasil …; jangankan setengah bulan - Siapapun, yang mempraktikkan Empat Landasan Perhatian ini selama tujuh hari dapat mengharapkan satu dari dua hasil ini: apakah Kearahattaan dalam kehidupan ini atau, jika masih ada beberapa kekotoran tersisa, mencapai kondisi Yang-Tidak-Kembali.

‘Dikatakan: “Ada, para bhikkhu, satu jalan ini untuk memurnikan makhluk-makhluk, untuk mengatasi dukacita dan kesusahan, untuk melenyapkan kesakitan dan kesedihan, untuk memperoleh jalan yang benar untuk mencapai Nibbāna: - yaitu, empat landasan perhatian”, dan untuk alasan inilah hal tersebut dikatakan.’

Demikianlah khotbah Sang Bhagavā dan para bhikkhu senang dan gembira mendengar kata-kata Beliau.


Catatan Kaki
  1. Ini secara umurm dianggap sebagai Sutta paling penting dari keseluruhan Kanon Pali. Muncul persis sama dalam MN 10 dengan judul Satipaṭṭhāna Sutta, dengan menghilangkan paragraf 18-21. Naskah ini (atau yang dari MN 10) telah berkali-kali diterjemahkan secara terpisah, antara lain oleh Soma Thera dengan judul The Way of Mindfulness (2nd ed. Colombo 1949, 3rd ed. BPS, 1967). Buku penting The Heart of Buddhist Meditation oleh Nyāṇaponika Mahāthera (Colombo 1954, London 1973 dan setelahnya) intinya adalah berasal dari Sutta ini dan mengandung terjemahan, bukan saja dari Sutta ini tetapi juga dari naskah-naskah yang berhubungan dari Kanon Pali dan dari sumber-sumber Mahāyāna (khususnya Ṥikṣāsamuccaya oleh Sāntideva). Penjelasan penulis dalam Pendahuluan (p.14) juga harus diperhatikan bahwa: ‘Di antara aliran-aliran Mahāyāna di timur jauh, terutama adalah Ch’an dari China dan Zen dari Jepang yang paling mendekati pada inti dari Satipaṭṭhāna. Meskipun demikian, perbedaan dalam metode, tujuan dan konsep filosofis dasar, hubungan dengan Satipaṭṭhāna adalah dekat dan kuat, dan sangat disesalkan bahwa hubungan ini tidak ditekankan atau bahkan diperhatikan.’ Bagaimanapun juga, harus disebutkan bahwa sejak kata-kata itu dituliskan, kenyataan mulai muncul bahwa Zen memiliki banyak kesamaan dengan Theravada secara umum, dan metode Satipaṭṭhāna khususnya – agak mengejutkan beberapa pihak yang sangat menekankan ‘keunikan’ Zen. Pengaturan judul dalam sutta ini bersesuaian erat dengan yang digunakan oleh Bhikkhu Ñāṇamoli pada MN 10. ↩︎

  2. Atau Kammāsadhamma. Untuk penjelasan atas konstruksi ini, baca DN 15, n.319 ↩︎

  3. Ekāyano maggo: Kadang-kadang diterjemahkan ‘jalan tunggal’ atau ‘jalan satu-satunya’ dengan, kadang kala, sedikit makna konotatif terunggul. DA sebenarnya mengusulkan beberapa kemungkinan, dengan demikian menunjukkan bahwa para komentator masa lalu tidak sepenuhnya yakin atas makna yang tepat. Ekāyana dapat diterjemahkan secara harfiah ‘satu kepergian’, yang membingungkan. Ñāṇamoli mengartikan ‘jalan yang menuju hanya ke satu arah’. Bagaimanapun juga jangan dibingungkan oleh istilah yang ditemukan dalam Buddhisme Sanskrit ekayāna ‘satu kendaraan’ atau ‘karir’. ↩︎

  4. Domanassa: dalam konteks ini biasanya diterjemahkan ‘kesedihan’, tetapi cf. DN 21, n.609. ↩︎

  5. Ñāya: ‘mengarahkan, menuntun’ (kadang-kadang = ‘logika’). Di sini = ‘jalan benar’. ↩︎

  6. Satipaṭṭhānā. Ini mungkin merupakan kata gabungan dari sati + upaṭṭhāna (secara harfiah ‘meletakkan di dekat’), seperti dalam versi Sanskrit (Smṛty-upasthāna Sūtra). ‘Landasan’, meskipun digunakan oleh Nyānaponika dan lain-lainnya, sesungguhnya adalah terjemahan pengganti. Bagaimanapun juga, apapun asal-usul katanya, makna yang tersirat cukup jelas dari instruksi-instruksi yang terdapat di dalamnya.

    Sati (Skt. smṛti) aslinya berarti ‘ingatan’ (dan masih demikian, namun jarang, dalam Pali). Arti ‘perhatian’ oleh RD adalah gagasan cemerlang yang hampir digunakan secara universal (walaupun kadang-kadang dijumpai ‘ingatan’ atau ‘renungan’). Penggunaan ‘pengendalian-diri’ oleh A.K. Warder dalam bukunya Indian Buddhism sangat disesalkan. Mungkin harus disebutkan bahwa pada Buddhisme Sanskrit kata smrti jelas berbeda dengan smrti dalam Hindu ‘tradisi lisan’. ↩︎

  7. Bhikkhu: Namun di sini, menurut DA, berlaku bagi siapapun yang melakukan praktik ini ↩︎

  8. Kāye kāyānupassī viharati: secara harfiah ‘merenungkan jasmani dalam jasmani’, dan dengan pengulangan yang serupa untuk tiga ‘landasan’ lainnya. ‘Mengapakah kata “jasmani” digunakan dua kali dalam frasa: “Merenungkan jasmani dalam jasmani”? untuk menentukan objeknya dan mengisolasinya.’ (DA). Ñāṇamoli mengatakan: ‘Ini berarti agar tidak bingung, pada saat meditasi, antara jasmani dengan perasaan, pikiran, dan sebagainya. Jasmani direnungkan hanya sebagai jasmani, perasaan sebagai perasaan, dan sebagainya.’ ↩︎

  9. Saya telah berusaha untuk menghindari terjemahan biasa ‘ketamakan dan kesedihan’ untuk memberikan makna sebenarnya. Topik ini dikembangkan sepenuhnya dalam paragraf 19. ↩︎

  10. Vedanā adalah perasaan (jasmani atau batin) dalam makna dasarnya ‘sensasi’, menyenangkan, menyakitkan atau netral. Patut disesalkan bahwa Warder (seperti pada n.629) telah memilih ‘emosi’ untuk kata ini, yang bukan maknanya yang benar. ↩︎

  11. Citta: ‘pikiran’ atau, secara metafora, ‘hati’. Baca paragraf 12. ↩︎

  12. Dhamma (jamak): satu dari makna standar dari istilah ini (baca BDic). ↩︎

  13. Atau ‘ruang kosong’. ↩︎

  14. Yaitu, pada nafas di depannya, sesuai DA. Nyāṇaponika mengatakan: ‘menjaga … perhatiannya waspada’. Para pembaca Some saying of the Buddha oleh F.L. Woodward harus memperhatikan bahwa tidak ada dasar untuk catatan kaki ‘Berkonsentrasi antara kedua alis’. ↩︎

  15. Ini mungkin adalah makna dari assasati, passasati, walaupun mungkin istilah ini seharusnya dibalik. Catatan kaki Ñāṇamoli: ‘Latihan yang dijelaskan adalah dalam pengamatan pikiran bukan dalam pengembangan jasmani atau pengendalian nafas seperti dalam Hatha-yoga’ mungkin perlu untuk mengingatkan. ↩︎

  16. Secara harfiah ‘Ia mengetahui: “Aku menarik nafas panjang”’, dan seterusnya. Pali selalu menggunakan kalimat langsung dalam kasus-kasus demikian. ↩︎

  17. Ini seharusnya berarti ‘seluruh tubuh nafas’ (cf n.337). “Mengenali, melihat dengan jelas awal, tengah dan akhir dari seluruh tubuh nafas dalam …”’ (DA, terjemahan Soma Thera). ↩︎

  18. Kāya-sankhāra. Proses penenangan ini akan mengarah menuju pengembangan jhāna, tetapi ini bukanlah tujuan utama di sini. ↩︎

  19. Secara internal berarti ‘jasmani diri sendiri’ dan secara eksternal berarti ‘jasmani orang lain’. ↩︎

  20. Samudaya-dhammā. Samudaya adalah, mungkin penting, kata yang digunakan untuk ‘asal-mula’ penderitaan dalam Kebenaran Mulia Ke Dua. Kesadaran atas bagaimana fenomena (jasmani, dan sebagainya) dimaksudkan. Ñāṇamoli mengartikan ‘merenungkan jasmani dalam faktor-faktor yang memunculkannya’. ↩︎

  21. Vaya-dhammā: cf. n.457. Ñāṇamoli mengartikan ‘merenungkan jasmani dalam faktor-faktor yang melenyapkannya’. ↩︎

  22. Hanya mempertahankan pikiran dalam pikiran tanpa berspekulasi, pikiran-mengembara, dan sebagainya. ↩︎

  23. Sampajàna-kārī hoti: ‘Berbuat dengan kesadaran jernih’ (Horner). Terjemahan RD ‘pengendalian-diri’ untuk *sampajañña (*dikutip, bahkan lebih aneh lagi, untuk sati oleh Warder (n.629), tidak berlaku di sini. ↩︎

  24. Paccavekkhati. bentuk kata kerja yang sama digunakan dalam paccavekkhaṇa-ñāṇa ‘pengetahuan peninjauan’: baca n.213. ↩︎

  25. Lima pertama ini digunakan sebagai meditasi standar bagi para sāmaṇera↩︎

  26. Dengan tambahan ‘otak’, 32 bagian tubuh ini termasuk dalam subjek meditasi: cf. VM 8.42ff. ↩︎

  27. Phaseolus Mungo. ↩︎

  28. Cf. n.70. ↩︎

  29. Gambaran yang tidak menyenangkan, dilebih-lebihkan untuk para pembaca masa kini yang mempertimbangkan aspek higienis! Ini menunjukkan bahwa tidak ada ‘sapi suci’ pada masa Sang Buddha. ↩︎

  30. ‘Pekuburan’, disukai oleh beberapa penerjemah, memberikan kesan yang sama sekali salah: ini adalah tempat pembuangan mayat yang telah membusuk – tempat yang baik untuk meditasi jenis ini. ↩︎

  31. Cf. n.633, juga, untuk pengulangan, n.631. ↩︎

  32. Sukhaṁ vedanaṁ: ini dapat berupa jasmani atau batin. ↩︎

  33. Dukkhaṁ vedanaṁ: ini juga dapat berupa jasmani atau batin. ↩︎

  34. Adukkhamasukhaṁ vedanaṁ: ini hanya batin. Dalam semua kasus, seseorang hanya menyadari bahwa suatuperasaan hadir. ↩︎

  35. Sāmisaṁ sukham vedanaṁ. Sāmisa = sa-āmisa: secara harfiah ‘dengan daging’, mendekati makna ‘jasmaniah’. ↩︎

  36. Nirāmisaṁ sukhaṁ vedanaṁ: ‘bukan jasmaniah’ atau ‘spiritual’ (sebuah kata yang ingin dihindari oleh umat Buddha karena memungkinkan untuk terjadi kesalah-pahaman). Dalam MN 137 sāmisa dan nirāmisa merujuk pada kehidupan ‘rumah tangga’ dan pada meninggalkan keduniawian berturut-turut. ↩︎

  37. Ia menyimpulkan, atau mengetahui melalui telepati, perasaan makhluk lain, dan kemudian merenungkan perasaannya sendiri dan makhluk lain bergantian. ↩︎

  38. Citta: juga diterjemahkan ‘pikiran’ atau ‘kesadaran’. Dari kalimat-kalimat selanjutnya jelas bahwa dimaksudkan adalah berbagai kondisi pikiran. Sedangkan perasaan, seseorang hanya sekedar menyadari apakah kondisi-kondisi pikiran tertentu hadir atau tidak. ↩︎

  39. Sankhittaṁ cittaṁ: (dari kata kerja sakhipati: cf. sankhittena ‘secara singkat’): pikiran yang ’mengerut’ atau ‘menyusut’ karena ketumpulan-dan-kelambanan (paragaraf 13) atau yang sejenisnya. ↩︎

  40. Vikhittaṁ cittaṁ: pikiran yang kacau karena kekhawatiran-dan-kegelisahan (paragraf 13). ↩︎

  41. Mahaggataṁ: ‘tumbuh besar’ melalui jhāna yang rendah atau yang lebih tinggi. ↩︎

  42. ‘Tidak tumbuh besar’, tidak terkembang oleh jhāna-jhāna. ↩︎

  43. Sa-uttaraṁ: ‘ada (kondisi-kondisi pikiran lain) yang melampauinya’, sinonim dengan pikiran ‘yang tidak terkembang’. ↩︎

  44. An-uttaraṁ: ‘tidak ada pikiran lain yang melampauinya’, sepertinya merujuk pada kesadaran luhur, tetapi oleh DA dirujuk pada kondisi-kondisi duniawi, oleh karena itu bersinonim dengan pikiran ‘yang terkembang’. Dalam pandangan pengulangan pada dua kasus terakhir, seseorang mungkin bertanya-tanya apakah penjelasan komentarial itu benar atau tidak. Tetapi baca n.670. ↩︎

  45. Samāhitaṁ: telah mencapai samādhi, yaitu penyerapan jhāna. ↩︎

  46. Belum mencapai penyerapan yang dimaksud, demikianlah seperti pada nn.665-6. ↩︎

  47. Vimuttaṁ. Ini disebutkan oleh DA untuk menjelaskan pikiran yang untuk sementara ‘bebas’ baik melalui pandangan terang maupun melalui jhāna, yang menekan kekotoran-kekotoran. Tentu saja keduanya bukan pembebasan permanen. ‘Tidak ada kebebasan melalui pemotongan, ketenangan-akhir (paṭi-passadhi) dan jalan membebaskan diri akhir (nissaraṇa): dengan kata lain, kita membahas alam duniawi bagi mereka yang masih pemula dalam meditasi. ↩︎

  48. Seperti dalam n.660. ↩︎

  49. Dhammā (cf. n.635). Pertanyaan ini kadang-kadang ditanya sehubungan dengan hubungan dari empat landasan perhatian dengan skema lima kelompok unsur (khandha). Inti yang dijelaskan oleh DA di sini adalah: perenungan jasmani sehubungan dengan kelompok unsur jasmani atau bentuk (rūpakkhandha); perenungan perasaan sehubungan dengan kelompok unsur perasaan (vedanākkhandha); perenungan pikiran sehubungan dengan kelompok unsur kesadaran (viññāṇa-kkhandha); dan perenungan objek-objek pikiran sehubungan dengan kelompok unsur persepsi dan bentukan-bentukan pikiran (saññā-, sankhāra-kkhandha). ↩︎

  50. Kāma-cchanda. Istilah yang berbeda dari pernyataan pertama dalam paragraf 12, yang merujuk pada pikiran yang bernafsu (sarāgaṁ cittaṁ), tetapi ada sedikit perbedaan dalam makna. Keduanya merujuk pada keinginan-indria secara umum, termasuk namun tidak terbatas pada keinginan-seksual. Menurut DA, ini muncul dari refleksi keliru atas objek-objek yang menyenangkan bagi indria. Dalam paragraf 12, latihan hanya untuk memperhatikan adanya kondisi pikiran demikian, jika ada. Di sini ia pergi lebih jauh lagi, dan menyelidiki bagaimana kondisi demikian muncul, dan bagaimana ia dapat melepaskannya, dan sebagainya. ↩︎

  51. DA memberikan enam metode untuk melepaskan diri dari kenikmatan-indria: (1) ‘Perenungan benar’ atas objek yang tidak menyenangkan (asubha); (2) Mengembangkan jhāna, yang dengannya rintangan ditekan; (3) Menjaga indria-indria; (4) Makan secukupnya; (5) Dukungan ‘teman-teman baik’ (kalyāṇa-mittatā); (6) Percakapan yang membantu (sappāyakathā). ↩︎

  52. Vyāpāda. ↩︎

  53. Thīna-midha. Penangkal utama dari masalah ini adalah ‘persepsi cahaya’. ↩︎

  54. Uddhacca-kukkucca. ↩︎

  55. Vicikicchā. Ini termasuk keragu-raguan terhadap Buddha, Dhamma dan Sangha, dan juga ketidak-mampuan dalam membedakan apa yang baik dan apa yang tidak baik, dan sebagainya (cf. DN 1.2.24), yaitu, skeptis dan kebimbangan. ↩︎

  56. Faktor-faktor yang mendukung munculnya rintangan-rintangan dan pelenyapannya. Mengenai rintangan-rintangan ini, baca The Five Mental Hindrances, oleh Nyāṇaponika Thera, Wheel Publ., BPS 1961. ↩︎

  57. Pañc’upādāna-kkhandhà: ‘5 aspek yang disimpulkan oleh Sang Buddha dari seluruh fenomena keberadaan jasmani dan batin, dan yang oleh si dungu dianggap sebagai Ego, atau diri, yaitu: (1) Kelompok jasmani (rūpa-kkhandha) [di sini disebut ‘Bentuk’], (2) Perasaan (vedanā), (3) Persepsi (saññā), (4) * *Bentukan-pikiran (sankhāra), (5) Kesadaran (viññāṇa-kkhandha)’ (BDic). ↩︎

  58. Rūpa: cf. n.337. Secara singkat didefinisikan dalam SN 22.56 sebagai ‘Empat Unsur Utama [cf. n.70] dan jasmani bergantung pada empat ini’. ↩︎

  59. Saññā. Didefinisikan dalam SN 22.79 sebagai ‘membedakan sesuatu dari tanda-tandanya’ ↩︎

  60. Sankhāra-kkhandha. Istilah sankhāra memiliki berbagai makna dan banyak terjemahan (cf. n.529). Di sini, yang dimaksud adalah kelompok bentukan-bentukan pikiran. Secara konvensional berjumlah lima puluh, mencakup berbagai faktor termasuk apa yang kita sebut emosi (yaitu reaksi kamma, bermanfaat atau tidak bermanfaat). Yang paling penting adalah kehendak (cetanā), landasan bagi kamma. ↩︎

  61. Viññāṇa: yang dikelompokkan menurut masing-masing dari enam indria, pikiran sebagai yang keenam. ↩︎

  62. Untuk penjelasan lengkap, baca BDic pada bagian āyatana. Terdiri dari, seperti terlihat pada kalimat-kalimat selanjutnya, landasan-indria (yaitu, mata, pikiran) dan objeknya (objek-objek penglihatan, objek-objek pikiran). ↩︎

  63. Rūpe (bentuk jamak dari rūpa dalam pengertian khusus di sini): ‘bentuk-bentuk terlihat, objek-objek penglihatan’. ↩︎

  64. Sepuluh belenggu dijelaskan, yang sedikit berbeda dari apa yang dijelaskan sehubungan dengan pencapaian tingkat Memasuki-Arus, dan lain-lain, seperti yang terdapat dalam Abhidhamma. Yaitu: Sensualitas, kekesalan (paṭigha), keangkuhan (māna), pandangan (salah) (diṭṭhi), keragu-raguan (vicikicchā), keinginan akan penjelmaan (bhavarāga), kemelekatan pada upacara dan ritual (sīlabbata-parāmāsa), kecemburuan (issa), kekikiran (macchariya) dan ketidaktahuan. ↩︎

  65. Di sini ‘badan’ adalah kāya dalam pengertian khusus ‘organ-badan’, yaitu dalam landasan kontak sentuhan. Baca BDic untuk penjelasan lebih lanjut. ↩︎

  66. Dijelaskan secara terperinci dalam, misalnya MN 118. ↩︎

  67. Dhamma-vicaya: kadang-kadang diartikan ‘penyelidikan Dhamma’, tetapi makna yang lebih tepat adalah ‘penyelidikan atas fenomena jasmani dan batin’. ↩︎

  68. Viriya: Ini berhubungan dengan Usaha Benar dalam Jalan Mulia Berunsur Delapan. ↩︎

  69. Pīti: istilah yang diterjemahkan dalam berbagai variasi. Baca n.81. ↩︎

  70. Passaddhi. ↩︎

  71. Paragraf 18-21 tidak paralel dengan versi MN 10. ↩︎

  72. Cf. n.680. ↩︎

  73. Ayatanānaṁ paṭilābho. Menurut formula asal-mula yang bergantungan, enam landasan indria ini bergantung pada batin-dan-jasmani. ↩︎

  74. Domanassa. Baca n.627. ↩︎

  75. Upāyāsa: biasanya diterjemahkan ’keputus-asaan’, yang tidak selaras dengan yang didefinisikan di sini atau dalam PED. ‘Keputus-asaan’ berarti kehilangan harapan, yang tidak disebutkan di sini. ↩︎

  76. Vyādhi: Dihilangkan dalam sebagian besar MSS mengenai definisi di awal paragraf ini, walaupun penyakit adalah jelas merupakan penyebab penderitaan, dan muncul dalam konteks lain, penghilangan ini mungkin tidak disengaja, mungkin mencerminkan kesalahan dalam tradisi pembaca Dīgha (para bhāṇaka), seperti yang tidak diragukan bertanggung jawab dalam penghilangan enam landasan indria dalam DN 15. Baca n.323 di sana. ↩︎

  77. Cf. n.680. ↩︎

  78. Taṇhā. ↩︎

  79. Ponobhavikā: secara harfiah ‘menyebabkan lagi – menjelma’. ↩︎

  80. Vibhava-taṇhā: Vibhava berarti (1) ‘kekuatan, keberhasilan, kekayaan’, dan beberapa penerjemah secara keliru mengartikan di sini; (2) ‘tidak menjelma’, yaitu pemadaman. Tidak diragukan, ini adalah maknanya di sini. Namun vibhava yang dimaksudkan di sini bukanlah ‘pelenyapan’ yang lebih tinggi Nibbāna, tetapi ‘pemadaman’ jasmani pada saat kematian (cf. ‘keinginan untuk mati’ versi Freud). ↩︎

  81. Cakkhu-samphassa: melakukan kontak mata dengan objek (-penglihatan). ↩︎

  82. Vitakka: cf. n.611. ↩︎

  83. Vicāra: cf. n.611. ↩︎

  84. Yang menarik, ini diserahkan kepada komentar untuk menunjukkan bahwa makna positif dari ini adalah Nibbāna. ↩︎

  85. Sammā-diṭṭhi. Ini, atau ‘Melihat dengan Benar’ adalah terjemahan harfiah (‘Penglihatan Benar’ adalah terjemahan yang tidak bijaksana, karena dapat menyebabkan kesalah-pahaman!). Diṭṭhi di sini adalah berbentuk tunggal, dan berarti ‘melihat segala sesuatu sebagaimana adanya’, sedangkan ‘pandangan-pandangan’ dalam bentuk jamak adalah selalu keliru. Harus diperhatikan bahwa jika tidak diawali sammā, maka diṭṭhi berarti ‘opini spekulatif’, dan sejenisnya, yang tidak berdasarkan pada ‘melihat segala sesuatu sebagaimana adanya’. Lawan dari sammā-diṭṭhi adalah micchā-diṭṭhi, suatu istilah yang umumnya ditujukan pada pandangan-pandangan merusak (cf. n.245). Sammā-diṭṭhi dan seterusnya kadang-kadang diterjemahkan sebagai ‘Pandangan Sempurna’, dan seterusnya, tetapi ini hanya merujuk pada jalan adi-duniawi seperti dijelaskan dalam MN 117. ↩︎

  86. Sammā-sankappa: berbagai variasi terjemahan ‘aspirasi benar, motif benar’, dan lain-lain. ↩︎