easter-japanese

1

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di antara para penduduk Sakya di Kapilavatthu di Taman Pohon Banyan.2 Kemudian Mahāpajāpatī Gotamī mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, berdiri di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

“Bhante, baik sekali jika para perempuan dapat memperoleh pelepasan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata.”3

“Cukup, Gotamī! Jangan mendukung pelepasan keduniawian bagi para perempuan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata.”

Untuk ke dua kalinya … untuk ke tiga kalinya Mahāpajāpatī Gotamī berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, baik sekali jika para perempuan dapat memperoleh pelepasan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata.”

“Cukup, Gotamī! Jangan mendukung pelepasan keduniawian bagi para perempuan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata.”4

Kemudian Mahāpajāpatī Gotamī, dengan berpikir: “Sang Bhagavā tidak memperbolehkan pelepasan keduniawian bagi para perempuan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah,” menjadi nelangsa dan bersedih, menangis dengan wajah basah oleh air mata. Kemudian ia bersujud kepada Sang Bhagavā, mengelilingi Beliau dengan sisi kanannya menghadap Beliau, dan pergi.

Setelah menetap di Kapilavatthu selama yang Beliau kehendaki, Sang Bhagavā pergi melakukan perjalanan menuju Vesālī. Sambil mengembara dalam perjalanan itu, Beliau akhirnya tiba di Vesālī, di mana Beliau menetap di aula beratap lancip di Hutan Besar.

Kemudian Mahāpajāpatī Gotamī mencukur rambutnya, mengenakan jubah kuning, dan bersama dengan sejumlah perempuan Sakya,5 [275] melakukan perjalanan menuju Vesālī. Akhirnya, ia tiba di Vesālī dan [mendatangi] aula beratap lancip di Hutan Besar. Kemudian, dengan kaki membengkak dan tubuh terselimuti debu, nelangsa dan bersedih, menangis dengan wajah basah oleh air mata, ia berdiri di luar gerbang. Yang Mulia Ānanda melihatnya berdiri di sana dalam kondisi demikian dan berkata kepadanya:

“Gotamī, mengapakah engkau berdiri di luar gerbang dengan kaki membengkak dan tubuh terselimuti debu, nelangsa dan bersedih, menangis dengan wajah basah oleh air mata?”

“Aku melakukan ini, Bhante Ānanda, karena Sang Bhagavā tidak memperbolehkan pelepasan keduniawian bagi para perempuan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah.”

“Baiklah, Gotamī, engkau tunggulah di sini [sebentar] 6 sementara aku memohon pada Sang Bhagavā untuk memperbolehkan pelepasan keduniawian bagi para perempuan.”

Kemudian Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau: “Bhante, Mahāpajāpatī Gotamī sedang berdiri di luar gerbang dengan kaki membengkak dan tubuh terselimuti debu, nelangsa dan bersedih, menangis dengan wajah basah oleh air mata, karena Sang Bhagavā tidak memperbolehkan pelepasan keduniawian bagi para perempuan. Bhante, baik sekali jika para perempuan dapat memperoleh pelepasan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata.”

“Cukup, Ānanda! Jangan mendukung pelepasan keduniawian bagi para perempuan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata.”

Untuk ke dua kalinya … untuk ke tiga kalinya Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, baik sekali jika para perempuan dapat memperoleh pelepasan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata.”

“Cukup, Ānanda! Jangan mendukung pelepasan keduniawian bagi para perempuan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata.” [276]

Kemudian Yang Mulia Ānanda berpikir: “Sang Bhagavā tidak memperbolehkan pelepasan keduniawian bagi para perempuan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah. Biarlah aku memohon pada Sang Bhagavā agar memperbolehkan pelepasan keduniawian bagi para perempuan dengan cara lain.”

Kemudian Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, jika seorang perempuan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Bhagavā, mungkinkah baginya untuk merealisasikan buah memasuki-arus, buah yang-kembali-sekali, buah yang-tidak-kembali, dan buah Kearahattaan?”

“Mungkin saja, Ānanda.”

“Jika, Bhante, adalah mungkin bagi seorang perempuan untuk merealisasikan buah memasuki-arus, buah yang-kembali-sekali, buah yang-tidak-kembali, dan buah Kearahattaan, [dan dengan mempertimbangkan bahwa] Mahāpajāpatī Gotamī telah sangat membantu bagi Sang Bhagavā – telah menjadi bibiNya, menjadi ibu susu bagiNya, dan menjadi ibu angkat yang mengasuhNya dengan susu dari dadanya ketika ibu kandungNya meninggal dunia - baik sekali jika para perempuan dapat memperoleh pelepasan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata.”

“Jika, Ānanda, Mahāpajāpatī Gotamī menerima delapan aturan penghormatan,7 biarlah itu menjadi penahbisan penuh baginya.8

(1) “Seorang bhikkhunī yang telah ditahbiskan selama seratus tahun harus memberi hormat kepada seorang bhikkhu yang ditahbiskan pada hari itu, harus bangkit untuknya, memberikan salam hormat kepadanya, dan bersikap sopan terhadapnya. Aturan ini harus dihormati, dihargai, dijunjung, dan dimuliakan, dan tidak boleh dilanggar seumur hidupnya.9

(2) “Seorang bhikkhunī tidak boleh memasuki masa keberdiaman musim hujan di tempat di mana tidak ada bhikkhu.10 Aturan ini juga harus dihormati, dihargai, dijunjung, dan dimuliakan, dan tidak boleh dilanggar seumur hidupnya.

(3) “Setiap setengah bulan seorang bhikkhunī harus menanyakan dua hal dari Saṅgha para bhikkhu: tentang [hari] uposatha, dan tentang kunjungan untuk memberikan nasihat.11 [277] Aturan ini juga harus dihormati, dihargai, dijunjung, dan dimuliakan, dan tidak boleh dilanggar seumur hidupnya.

(4) “Ketika seorang bhikkhunī telah melaksanakan masa keberdiaman musim hujan, ia harus mengundang koreksi dari kedua Saṅgha sehubungan dengan tiga hal: sehubungan dengan apa yang dilihat, didengar, atau dicurigai.12 Aturan ini juga harus dihormati, dihargai, dijunjung, dan dimuliakan, dan tidak boleh dilanggar seumur hidupnya.

(5) “Seorang bhikkhunī yang telah melakukan pelanggaran berat harus menjalani periode hukuman selama setengah bulan di hadapan kedua Saṅgha.13 Aturan ini juga harus dihormati, dihargai, dijunjung, dan dimuliakan, dan tidak boleh dilanggar seumur hidupnya.

(6) “Seorang yang telah menjalani masa percobaan yang telah menyelesaikan masa dua tahun latihan dalam enam aturan boleh memohon penahbisan penuh dari kedua Saṅgha.14 Aturan ini juga harus dihormati, dihargai, dijunjung, dan dimuliakan, dan tidak boleh dilanggar seumur hidupnya.

(7) “Seorang bhikkhunī tidak boleh dengan alasan apa pun menghina atau mencaci seorang bhikkhu. Aturan ini juga harus dihormati, dihargai, dijunjung, dan dimuliakan, dan tidak boleh dilanggar seumur hidupnya.

(8) “Mulai hari ini dan seterusnya, Ānanda, para bhikkhunī dilarang menasihati para bhikkhu, tetapi para bhikkhu tidak dilarang untuk menasihati para bhikkhunī. Aturan ini juga harus dihormati, dihargai, dijunjung, dan dimuliakan, dan tidak boleh dilanggar seumur hidupnya.

“Jika, Ānanda, Mahāpajāpatī Gotamī menerima delapan aturan penghormatan ini, biarlah itu menjadi penahbisan penuh baginya.”15

Kemudian Yang Mulia Ānanda, setelah mempelajari kedelapan aturan penghormatan ini dari Sang Bhagavā, mendatangi Mahāpajāpatī Gotamī dan berkata kepadanya: “Jika, Gotamī, engkau menerima delapan aturan penghormatan ini, maka itu akan menjadi penahbisan penuh bagimu:

(1) “Seorang bhikkhunī yang telah ditahbiskan selama seratus tahun harus memberi hormat kepada seorang bhikkhu yang ditahbiskan pada hari itu, harus bangkit untuknya, memberikan salam hormat kepadanya, dan bersikap sopan terhadapnya. Aturan ini harus dihormati, dihargai, dijunjung, dan dimuliakan, dan tidak boleh dilanggar seumur hidupnya …

(8) “Mulai hari ini dan seterusnya, para bhikkhunī dilarang menasihati para bhikkhu, [278] tetapi para bhikkhu tidak dilarang untuk menasihati para bhikkhunī. Prinsip ini juga harus dihormati, dihargai, dijunjung, dan dimuliakan, dan tidak boleh dilanggar seumur hidupnya.

“Jika, Gotamī, engkau menerima delapan aturan penghormatan ini, maka itu akan menjadi penahbisan penuh bagimu.”

“Bhante Ānanda, jika seorang perempuan atau laki-laki – muda, berpenampilan muda, dan menyukai perhiasan, dengan kepala dicuci – memperoleh kalung bunga dari teratai biru, melati, atau bakung,16 ia akan menerimanya dengan kedua tangannya dan meletakkannya di atas kepalanya. Dengan cara yang sama, aku menerima kedelapan aturan penghormatan ini untuk tidak dilanggar seumur hidup.”

Kemudian Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata: “Bhante, Mahāpajāpatī Gotamī telah menerima kedelapan aturan penghormatan ini untuk tidak dilanggar seumur hidup.”

“Jika, Ānanda, para perempuan tidak memperoleh pelepasan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, maka kehidupan spiritual ini akan bertahan lama; Dhamma sejati akan berdiri kokoh selama seribu tahun. Akan tetapi, Ānanda, para perempuan telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah dalam Dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, maka sekarang kehidupan spiritual tidak akan bertahan lama; Dhamma sejati hanya akan bertahan lima ratus tahun.17

“Seperti halnya, Ānanda, para perampok yang sedang mencari mangsa18 akan dengan mudah menyerang keluarga-keluarga itu yang memiliki banyak perempuan dan sedikit laki-laki, demikian pula dalam Dhamma dan disiplin mana pun para perempuan memperoleh pelepasan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, maka kehidupan spiritual tidak bertahan lama.

“Seperti halnya, Ānanda, sebidang lahan padi gunung telah masak, [279] jika penyakit pemutihan menyerangnya,19 maka lahan padi itu tidak bertahan lama, demikian pula dalam Dhamma dan disiplin mana pun para perempuan memperoleh pelepasan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, maka kehidupan spiritual tidak bertahan lama.

“Seperti halnya, Ānanda, sebidang lahan tebu telah masak, jika penyakit karat menyerangnya,20 maka lahan tebu itu tidak bertahan lama, demikian pula dalam Dhamma dan disiplin mana pun para perempuan memperoleh pelepasan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, maka kehidupan spiritual tidak bertahan lama.

“Seperti halnya, Ānanda, seorang laki-laki dapat membangun sebuah tanggul di sekeliling waduk sebagai pencegahan agar air tidak meluap, demikian pula, sebagai pencegahan Aku telah menetapkan kedelapan aturan penghormatan ini untuk para bhikkhunī agar tidak dilanggar seumur hidup.”21


Catatan Kaki
  1. Sutta ini, kisah kanonis tentang berdirinya Saṅgha Bhikkhunī, telah menjadi subjek penyelidikan yang luas di kalangan para terpelajar. Narasi ini juga terdapat pada Vin II 253-56. Beberapa penelitian belakangan atas sutta ini, dari perspektif kritis, terdapat pada Mohr dan Tsedroen 2010*.* Yang secara khusus mengandung pelajaran adalah Ute Hüsken*, “The Eight Garudhamma,”* dan Anālayo, “Women’s Renunciation in Early Buddhism: The Four Assemblies and the Foundation of the Order of Nuns,” yang membahas problem kronologis pada pp.86-90. ↩︎

  2. Kronologinya tidak jelas bagi saya. Mp mengatakan bahwa pada waktu sutta ini dimulai Sang Buddha sedang menetap di antara penduduk Sakya pada kunjungan pertamaNya ke Kapilavatthu (paṭhamagamanena gantvā viharati). Namun, karena Mahāpajāpati Gotamī hanya bisa meninggalkan keduniawian setelah kematian suaminya, Suddhodana, ayah Sang Buddha, dan tampaknya tidak mungkin bahwa Suddhodana meninggal dunia pada kunjungan pertama Sang Buddha ke Kapilavatthu, yang terjadi segera setelah pencerahanNya, fakta ini nyaris tidak dapat dipercaya. Hal ini juga mengarah pada anakronisme [penempatan kejadian pada waktu yang salah, penj.]. Cuḷavagga mengatakan bahwa Ānanda dan orang-orang penting Sakya lainnya menjadi bhikkhu setelah kunjungan pertama Sang Buddha ke Kapilavatthu (Vin II 182-83). Ānanda menjadi pelayan tetap Sang Buddha dua puluh tahun setelah pencerahanNya, ketika Sang Buddha berusia lima puluh lima, dan melayani Sang Buddha dalam kapasitas ini selama dua puluh lima tahun, hingga akhir hidup Sang Guru (Th 1041-43). Akan tetapi, dalam sutta ini, Ānanda digambarkan sebagai pelayan Sang Buddha sebelum berdirinya Saṅgha Bhikkhunī. Apakah kejadian ini terjadi tidak lama setelah kunjungan pertama Sang Buddha ke Kapilavatthu, atau bahkan lima atau sepuluh tahun kemudian, tetap saja masih terlalu awal bagi Ānanda untuk melayani Sang Buddha sebagai pelayanNya. Dengan demikian, jika Ānanda bukan pelayan tetap Sang Buddha pada waktu itu, tampaknya terdapat pertentangan antara situasi yang digambarkan dalam sutta dan masa yang mungkin ketika para perempuan pertama kali diperbolehkan untuk menerima penahbisan. ↩︎

  3. Saya merangkum urutan kejadian dari Mp. Ketika Sang Buddha kembali ke Kapilavatthu, Beliau memberikan pelepasan keduniawian kepada Nanda dan Rāhula dan memecahkan konflik antara penduduk Sakya dan tetangga mereka, penduduk Koliya (kerabat Sang Buddha dari pihak ibu). Setelah itu, 250 pemuda dari masing-masing pihak meninggalkan kehidupan rumah tangga di bawah Sang Buddha. Tidak lama kemudian, mereka mulai merindukan istri-istri mereka. Sang Buddha membawa mereka ke danau Kuṇāla, di mana Beliau mengajarkan Kuṇāla Jātaka kepada mereka tentang muslihat dan kepalsuan perempuan. Setelah mendengar ini, kelima ratus pemuda itu mencapai tingkat memasuki-arus dan tidak lama kemudian menjadi para Arahant. Istri-istri mereka mengirimkan pesan kepada mereka memohon agar mereka kembali pulang ke rumah, tetapi mereka menjawab bahwa mereka sekarang tidak mampu lagi menjalani kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu para perempuan itu mendatangi Mahāpajāpatī Gotami dan memintanya agar memohon pada Sang Buddha, anak angkatnya, untuk memperbolehkan para perempuan untuk meninggalkan keduniawian. Mahāpajāpatī Gotami membawa mereka mendatangi Sang Buddha, dan mengajukan permohonan ini. ↩︎

  4. Mp: “Mengapakah Beliau menolaknya? Bukankah semua Buddha juga memiliki empat kelompok? Ini benar, namun Beliau menolaknya dengan pikiran bahwa jika para perempuan diperbolehkan meninggalkan keduniawian hanya setelah mereka berusaha berulang-ulang, maka mereka akan menjaga penahbisan mereka itu dan menghormatinya, dengan mengingat betapa sulitnya memperoleh pelepasan keduniawian.” ↩︎

  5. Mereka adalah kelima ratus perempuan Sakya yang suaminya telah meninggalkan keduniawian dan mencapai Kearahattaan. Dalam sebuah komunikasi pribadi, Pruitt menulis: “Tidak ada petunjuk berapa lama waktu telah berlalu antara keberangkatan Sang Buddha dan apa yang terjadi di sini. Dalam Thī-a 3, [komentator] Dhammapāla berkata, ‘Beliau menahbiskan pemuda Nanda dan pemuda Rāhula dan kemudian Beliau kembali lagi ke Rājagaha. Pada kesempatan berikutnya, ketika Sang Guru sedang menetap di Aula Kuṭāgāra di Vesālī, Raja Suddhodana yang agung mencapai pemadaman akhir [nibbāna], setelah mencapai Kearahattaan selagi ia masih [berkuasa] di bawah payung putih. Keinginan untuk meninggalkan keduniawian muncul pada Mahā-Pajāpatī’ (Pruitt 1998: 6-7). Ini juga dikisahkan pada Thī-a 141 (Pruitt 1998: 181). Raja Suddhodana adalah satu-satunya umat awam yang saya ketahui yang menjadi seorang Arahant dan tetap menjadi umat awam, yang berarti bahwa ia tidak dapat hidup selama lebih dari tujuh hari setelah menjadi seorang Arahant.” ↩︎

  6. Be menuliskan muhuttaṃ, yang tidak terdapat pada Ce ataupun Ee. ↩︎

  7. Aṭṭha garudhamme. Kata garudhamma bermakna ganda. Kata garu biasanya berarti “berat, penting, serius,” seperti contohnya pada ungkapan garukā āpatti, sebuah pelanggaran berat atau besar. Tetapi garuṃ karoti, lit. “menganggap penting,” berarti “menghormati,” dan garukata, “terhormat.” Dengan demikian garudhamma dapat berarti “aturan berat, serius” atau “aturan yang harus dihormati, aturan penghormatan.” Mp mendukung interpretasi ke dua: “Garudhamma adalah aturan-aturan yang harus diperlakukan dengan hormat oleh para bhikkhunī yang menerimanya.” Penerjemah Vinaya ke dalam bahasa China juga condong pada interpretasi ini. Dengan demikian dalam paragraf yang bersesuaian dalam Vinaya Sarvāstivāda (pada T XXIII 345b29-c33) aturan-aturan itu dirujuk sebagai 八敬法, “delapan aturan penghormatan.” Vinaya Mūlasarvāstivāda (misalnya pada T XXIV 350c29) menyebutnya 八尊敬法, “delapan aturan penghargaan dan penghormatan.” Tetapi Vinaya Dharmaguptaka (pada T XXII 923a27 dan di tempat lainnya) menyebutnya 八盡形壽不可過法, “delapan aturan yang tidak boleh dilanggar seumur hidup,” yang bersesuaian dengan Pāli yāvajīvaṃ anatikkamanīyo. Dan Vinaya Mahīśasaka (pada T XXII 185c19) juga demikian menyebutnya 八不可越法, “delapan prinsip yang tidak boleh dilanggar.” ↩︎

  8. Cukup menarik bagaimana topik diskusi bergeser hampir tidak kentara dari pelepasan keduniawian (pabbajjāi) bagi para perempuan menjadi penahbisan penuh mereka (upasampadā). Pelepasan keduniawian hanya merujuk pada mereka meninggalkan kehidupan rumah tangga, sedangkan penahbisan penuh adalah tindakan resmi bergabung dalam Saṅgha. ↩︎

  9. Mahāpajāpatī kelak memohon pada Sang Buddha agar memperbolehkan para bhikkhu dan bhikkhunī untuk saling memberi hormat satu sama lain (dan menunjukkan isyarat hormat lainnya) dengan berdasarkan senioritas, tanpa perbedaan jenis kelamin. Sang Buddha menolak dan menetapkan aturan: “Para bhikkhu tidak boleh memberi hormat kepada perempuan, berdiri untuk mereka, memberi salam hormat kepada mereka, atau bersikap hormat kepada mereka. Siapa pun yang melakukannya berarti melakukan pelanggaran perbuatan-salah” (na bhikkhave mātugāmassa abhivādanaṃ paccuṭṭhānaṃ añjalikammaṃ sāmīcikammaṃ kātabbaṃ; yo kareyya āpatti dukkatassa). Peristiwa ini tercatat pada Vin II 257-58. ↩︎

  10. Ini merujuk pada tiga bulan masa keberdiaman tetap selama musim hujan. ↩︎

  11. Demikianlah pada hari uposatha seorang bhikkhu ditunjuk untuk mengemban tugas memberikan nasihat (ovāda) kepada para bhikkhunī. Baca Thānissaro 2007b: 446-47. ↩︎

  12. “Undangan” (pavāraṇā) adalah suatu upacara yang diadakan pada hari terakhir masa keberdiaman musim hujan yang mana semua anggota Saṅgha dalam urutan senioritas meminta yang lainnya untuk menunjukkan pelanggaran yang mungkin telah mereka lakukan, apakah yang dilihat, didengar, atau dicurigai. Masing-masing bhikkhu menyampaikan undangan kepada para bhikkhu lainnya. Akan tetapi, dengan peraturan ini, para bhikkhunī wajib untuk mengundang koreksi dari kedua Saṅgha para bhikkhu dan para bhikkhunī. Baca Thānissaro 2007b: 447-48. ↩︎

  13. Periode hukuman (mānatta) dijatuhkan atas kesalahan monastik pelanggaran saṅghādisesa. Selama masa ini, bhikkhu yang melanggar harus menjalani hukuman selama masa enam hari; setiap hari ia juga harus memberitahukan pelanggarannya kepada semua teman-temannya para bhikkhu, sebuah pengalaman yang memalukan, akan tetapi, dalam kasus para bhikkhunī, masa hukuman berlangsung selama dua minggu dan harus dijalankan sehubungan dengan kedua Saṅgha para bhikkhu dan para bhikkhunī. Untuk penjelasan terperinci, baca Thānissaro 2007b: 358-73. Dalam aturan ini, kata garudhamma memiliki makna berbeda dari penggunaannya sehubungan dengan delapan aturan sebagai satu kelompok. Di sini, Mp mengemasnya sebagai garukaṃ saṅghādisesāpattiṃ, yaitu, pelanggaran pada aturan saṅghādisesa. Hüskin (dalam Mohr dan Tsedroen 2010, p.144) menggabungkan kedua makna kata itu dan dengan demikian melihat ketidak-konsistenan di sini walaupun sebenarnya tidak ada. ↩︎

  14. Seorang yang menjalani masa percobaan (sikkhamānā) adalah seorang perempuan yang menjadi kandidat untuk menerima penahbisan penuh yang telah meninggalkan keduniawian. Untuk melengkapi persyaratan untuk penahbisan, ia wajib menjalani dua tahun latihan khusus sehubungan dengan enam aturan (cha dhammā). Enam aturan ini – dijelaskan dalam Vin IV 319,24-29 sehubungan dengan Bhikkhunī Pācittiya 63 – termasuk menjalankan tanpa pelanggaran aturan-aturan menghindari membunuh makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari aktivitas seksual, menghindari berbohong, menghindari makan di waktu yang salah (antara tengah hari hingga fajar keesokan harinya). Pelanggaran atas aturan-aturan ini menuntut dikembalikannya si kandidat ke awal dari dua tahun masa latihannya. ↩︎

  15. Dalam bagian Vibhaṅga dari Vinaya Piṭaka, aturan-aturan Bhikkhunī Pātimokkha ditunjukkan telah ditetapkan sebagai respon atas kejadian-kejadian perilaku salah oleh bhikkhunī tertentu (atau sekelompok bhikkhunī). Beberapa di antara aturan-aturan ini sudah termasuk di antara garudhamma. Dengan demikian garudhamma 2,3,4, dan 7 bersesuaian dengan Bhikkhunī Pācittiya 56, 59, 57, dan 52. Garudhamma 6 memiliki padanan dalam Bhikkhunī Pācittiya 63 dan 64. Fakta bahwa kisah latar belakang dari aturan-aturan ini yang menunjukkan asal-mula pada hal berbeda dalam sejarah awal Saṅgha Bhikkhunī melontarkan keragu-raguan pada kebenaran sejarah atas kisah sekarang ini, yang menunjukkan bahwa delapan garudhamma ditetapkan pada saat awal Saṅgha Bhikkhunī. Jika delapan garudhamma ini ditetapkan pada saat berdirinya Saṅgha Bhikkhunī, maka aturan-aturan itu telah berlaku dan Sang Buddha tidak perlu menetapkan aturan yang melarang perilaku yang tidak menyenangkan yang sama itu. Beliau cukup merujuk pada peraturan yang telah ada. Fakta bahwa Beliau menetapkan aturan-aturan baru dengan demikian bertentangan dengan tesis bahwa delapan garudhamma ditetapkan pada masa awal dimulainya Saṅgha Bhikkhunī. ↩︎

  16. Untuk atimuttaka, DOP mengartikan “sejenis semak belukar (mungkin Ougeinia oojeinensis); bunganya.” Daripada menggunakan kata Pāli atau latin yang tidak jelas, saya dengan bebas menerjemahkan nama bunga ini sebagai “bakung.” ↩︎

  17. Dengan asumsi kebenaran sejarah atas paragraf ini, jika Sang Buddha ingin mencegah penahbisan perempuan, tampaknya Beliau kemungkinan besar akan menunjukkan bahaya ini pada Ānanda di awal pembicaraan mereka. Maka Ānanda kemudian akan menghentikan usahanya dan para perempuan tidak akan menerima hak untuk ditahbiskan. ↩︎

  18. Corehi kumbhatthenakehi. Lit., “Para penjahat yang melakukan pencurian kendi.” Mp: “Mereka menggunakan lampu dengan sebuah kendi dan dengan cahayanya mereka mencari benda-benda berharga di rumah-rumah orang lain.” ↩︎

  19. Setaṭṭhikā rogajāti nipatati. Mp: “Sejenis serangga menusuk tangkainya dan memasuki bagian tengah batangnya. Ketika tangkai itu tertusuk, getahnya keluar dan tidak dapat mencapai pucuk tanaman padi.” ↩︎

  20. Mañjiṭṭhikā rogajāti nipatati. Mp: “Kemerahan internal pada tebu.” ↩︎

  21. Mp (Ce): “Dengan ini Beliau menunjukkan sebagai berikut: ‘Ketika sebuah tanggul tidak didirikan di sekeliling waduk besar, maka air mana pun yang ada di sana jika tanggul telah dibangun terlebih dulu tidak akan ada di sana karena tidak adanya tanggul. Demikian pula, prinsip-prinsip penghormatan ini telah ditetapkan terlebih dulu, sebelum kejadiannya terjadi, untuk tujuan mencegah pelanggaran. Jika aturan-aturan itu tidak ditetapkan, maka, karena para perempuan telah meninggalkan keduniawian, maka Dhamma sejati akan bertahan selama lima ratus tahun. Tetapi karena aturan-aturan itu telah ditetapkan terlebih dulu, maka Dhamma sejati akan berlanjut selama lima ratus tahun berikutnya dan dengan demikian bertahan selama seribu tahun yang disebutkan di awal.’ Dan ungkapan ‘seribu tahun’ ini dikatakan dengan merujuk pada para Arahant yang telah mencapai pengetahuan analitis (paṭisambhidāpabhedappattakhīṇāsavānaṃ vasen’eva vuttaṃ). Setelah ini, untuk seribu tahun berikutnya, akan muncul para Arahant pandangan terang kering; selama seribu tahun berikutnya lagi, yang-tidak-kembali; selama seribu tahun berikutnya lagi, yang-kembali-sekali; dan selama seribu tahun berikutnya lagi, para pemasuk-arus. Demikianlah Dhamma sejati penembusan (paṭivedhasaddhamo) akan bertahan selama lima ribu tahun. Dhamma pembelajaran (pariyattidhammo) juga akan bertahan selama ini. Karena tanpa adanya pembelajaran, maka tidak ada penembusan, dan selagi ada pembelajaran, maka ada penembusan.” Dari penjelasan di atas, kita dapat melihat bahwa menurut komentar, diperbolehkannya para perempuan untuk meninggalkan keduniawian tidak memperpendek umur Dhamma; ini adalah karena Sang Buddha telah menetapkan delapan aturan penghormatan yang berfungsi sebagai tanggul. ↩︎