easter-japanese

(1) “Para bhikkhu, ketika dedaunan pohon koral pāricchattaka milik para deva Tāvatiṃsa telah menguning,1 para deva Tāvatiṃsa bergembira, [dengan berpikir]: ‘Dedaunan pohon koral pāricchattaka sekarang telah menguning. Sekarang tidak lama lagi dedaunan itu akan berguguran.’

(2) “Ketika dedaunan pohon koral pāricchattaka milik para deva Tāvatiṃsa telah berguguran, para deva Tāvatiṃsa bergembira, [dengan berpikir]: ‘dedaunan pohon koral pāricchattaka telah berguguran. Sekarang tidak lama lagi awal kemunculan bunga akan terjadi.’2

(3) “Ketika awal kemunculan bunga pada pohon koral pāricchattaka milik para deva Tāvatiṃsa telah terjadi, para deva Tāvatiṃsa bergembira, [dengan berpikir]: ‘Awal kemunculan bunga pohon koral pāricchattaka telah terjadi. Sekarang tidak lama lagi tunas bunga akan tumbuh.’3

(4) “Ketika tunas bunga pada pohon koral pāricchattaka milik para deva Tāvatiṃsa telah tumbuh, para deva Tāvatiṃsa bergembira, [dengan berpikir]: ‘Tunas bunga pada pohon koral pāricchattaka telah tumbuh. Sekarang tidak lama lagi kuncupnya akan muncul.’4

(5) “Ketika kuncup bunga pada pohon koral pāricchattaka milik para deva Tāvatiṃsa telah muncul, para deva Tāvatiṃsa bergembira, [dengan berpikir]: ‘Kuncup bunga pada pohon koral pāricchattaka telah muncul. Sekarang tidak lama lagi [118] kuncupnya akan membuka.’5

(6) “Ketika kuncup bunga pada pohon koral pāricchattaka milik para deva Tāvatiṃsa telah membuka, para deva Tāvatiṃsa bergembira, [dengan berpikir]: ‘Kuncup bunga pada pohon koral pāricchattaka telah membuka. Sekarang tidak lama lagi bunganya akan mekar sempurna.’6

(7) “Ketika bunga pada pohon koral pāricchattaka milik para deva Tāvatiṃsa telah mekar sempurna, para deva Tāvatiṃsa bergembira, dan mereka menghabiskan empat bulan surgawi di bawah pohon koral pāricchattaka menikmati kelima objek kenikmatan indria. Ketika pohon koral pāricchattaka telah mekar sempurna, sinar memancar hingga sejauh lima puluh yojana sekeliling dan aromanya tertiup angin hingga sejauh seratus yojana. Ini adalah keagungan pohon koral pāricchattaka.

(1) “Demikian pula, para bhikkhu, ketika seorang siswa mulia berniat untuk meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, pada saat itu ia adalah seorang yang dedaunannya telah menguning, seperti pada pohon koral pāricchattaka milik para deva Tāvatiṃsa.7

(2) “Ketika seorang siswa mulia telah mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, pada saat itu ia adalah seorang yang dedaunannya telah berguguran, seperti pada pohon koral pāricchattaka milik para deva Tāvatiṃsa.

(3) “Ketika, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang siswa mulia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … pada saat itu awal kemunculan bunganya telah terjadi, seperti pada pohon koral pāricchattaka milik para deva Tāvatiṃsa.

(4) “Ketika, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, seorang siswa mulia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … pada saat itu tunas bunganya telah tumbuh, seperti pada pohon koral pāricchattaka milik para deva Tāvatiṃsa.

(5) “Ketika, [119] dengan memudarnya sukacita, seorang siswa mulia … masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga … pada saat itu kuncup bunganya telah muncul, seperti pada pohon koral pāricchattaka milik para deva Tāvatiṃsa.

(6) “Ketika, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya atas kegembiraan dan kesedihan, seorang siswa mulia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat … pada saat itu kuncup bunganya telah membuka, seperti pada pohon koral pāricchattaka milik para deva Tāvatiṃsa.

(7) “Ketika, dengan hancurnya noda-noda, seorang siswa mulia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya, pada saat itu ia telah mekar sempurna, seperti pada pohon koral pāricchattaka milik para deva Tāvatiṃsa.

“Pada saat itu, para bhikkhu, para deva yang berdiam di bumi bersorak: ‘Yang Mulia ini, murid dari Yang Mulia itu, telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah dari desa atau pemukiman itu, dan sekarang, dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.’ Setelah mendengar seruan para deva yang berdiam di bumi, para deva [yang dipimpin oleh] empat raja deva bersorak … setelah mendengar seruan para deva [yang dipimpin oleh] empat raja deva, para deva Tāvatiṃsa … para deva Yāma … para deva Tusita … para deva yang bersenang dalam penciptaan … para deva yang menguasai ciptaan para deva lain … para deva kumpulan Brahmā bersorak: ‘Yang Mulia ini … telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.’ Demikianlah [120] pada seketika itu, pada sekejap itu, pada detik itu, seruan itu menyebar hingga sejauh alam brahma.8 Ini adalah keagungan spiritual dari seorang bhikkhu yang noda-nodanya telah dihancurkan.”


Catatan Kaki
  1. DPPN menjelaskan bahwa pāricchattaka adalah sebatang pohon yang tumbuh di taman Nandana di alam surga Tāvatiṃsa. Kelilingnya seratus liga dan di bawahnya terletak tempat duduk batu milik Sakka. Pāricchattaka dikatakan sebagai satu dari tujuh pohon yang bertahan sepanjang kappa. (Saya berterima kasih kepada Dr. Julie Plummer dari Departemen Biologi Tumbuhan, University of Western Australia, yang telah memberikan istilah-istilah botani yang tepat untuk berbagai tahapan perkembangan bunga yang dirujuk dalam sutta ini.) ↩︎

  2. Na cirass’eva dāni jālakajāto bhavissati. Mp: “Peristiwa ketika pohon menumbuhkan jejaring dedaunan dan bunga, yang muncul bersamaan.” ↩︎

  3. Na cirass’eva dāni khārakajāto bhavissati. Mp: “Peristiwa ketika pohon memiliki jejaring dedaunan dan bunga-bungaan yang terbagi dan tumbuh secara terpisah.” ↩︎

  4. Ce dan Be: kuḍumalakajāto; Be: kuṭumalakajāto. Mp: “Kuncupnya mulai tumbuh.” ↩︎

  5. Ce dan Ee: kokāsakajāto; Be: korakajāto, Mp: “Pohon itu mendapatkan bunga yang belum mekar, dengan mulut yang masih tertutup dan perut yang besar.” ↩︎

  6. Ce: sabbapāliphullo; Be dan Ee: sabbaphāliphullo. Mp: “Pohon itu memiliki bunga-bunga yang telah mekar sempurna dalam segala hal.” ↩︎

  7. Perumpamaan ini tidak hanya membandingkan siswa mulia dengan pohon koral dalam tiap-tiap tahapan tetapi juga menggunakan nama-nama tahapan untuk menggambarkan perkembangan siswa mulia itu. Ia adalah “siswa mulia yang [berada pada tingkat ini dan itu] seperti pohon koral pāricchattaka milik para deva Tāvatiṃsa.” Ee menghilangkan va setelah devānaṃ, walaupun mengakui bahwa ini adalah variasi tulisan. ↩︎

  8. Dengan cara serupa, seruan para dewata, yang naik menembus alam-alam surga, juga terjadi pada akhir khotbah pertama Sang Buddha. Baca SN 56:11, V 423,17-24,4. ↩︎