A iv 13
Ketidak-kekalan
Di terjemahkan dari pāḷi oleh
Bhikkhu Bodhi
ShortUrl:
“Para bhikkhu, ada tujuh jenis orang ini yang layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Apakah tujuh ini?
(1) “Di sini, para bhikkhu, seseorang berdiam dengan merenungkan ketidak-kekalan dalam segala fenomena terkondisi, mempersepsikan ketidak-kekalan, mengalami ketidak-kekalan, secara konstan, terus-menerus, dan tanpa terputus berfokus padanya dengan pikiran, memahaminya dengan kebijaksanaan. Dengan hancurnya noda-noda, ia telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Ini adalah orang jenis pertama yang layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.
(2) “Kemudian, seseorang berdiam dengan merenungkan ketidak-kekalan dalam segala fenomena terkondisi, mempersepsikan ketidak-kekalan, mengalami ketidak-kekalan, secara konstan, terus-menerus, dan tanpa terputus berfokus padanya dengan pikiran, memahaminya dengan kebijaksanaan. Baginya padamnya noda-noda dan berakhirnya kehidupan terjadi bersamaan.1 Ini adalah orang jenis ke dua yang layak menerima pemberian …
(3) “Kemudian, seseorang berdiam dengan merenungkan ketidak-kekalan dalam segala fenomena terkondisi, mempersepsikan ketidak-kekalan, mengalami ketidak-kekalan, secara konstan, terus-menerus, dan tanpa terputus berfokus padanya dengan pikiran, memahaminya dengan kebijaksanaan. Dengan [14]
kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna pada masa antara.2 Ini adalah orang jenis ke tiga yang layak menerima pemberian …
(4) “… Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna ketika mendarat.3 Ini adalah orang jenis ke empat yang layak menerima pemberian …
(5) “… Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna tanpa berusaha.4 Ini adalah orang jenis ke lima yang layak menerima pemberian …
(6) “… Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, ia menjadi seorang yang mencapai nibbāna dengan berusaha. Ini adalah orang jenis ke enam yang layak menerima pemberian …
(7) “Kemudian, para bhikkhu, seseorang berdiam dengan merenungkan ketidak-kekalan dalam segala fenomena terkondisi, mempersepsikan ketidak-kekalan, mengalami ketidak-kekalan, secara konstan, terus-menerus, dan tanpa terputus berfokus padanya dengan pikiran, memahaminya dengan kebijaksanaan. Dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, ia menjadi seorang yang mengarah ke atas, menuju alam Akaniṭṭha.5 Ini adalah orang jenis ke tujuh yang layak menerima pemberian …
“Ini, para bhikkhu, adalah ketujuh jenis orang itu yang layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.”
Pada Pp 13 (Be §16) orang ini disebut seorang samasīsī, lit. “seorang sama-kepala.” Mp menjelaskan bahwa ada empat jenis samasīsī. (1) Seorang yang sedang sakit dan mencapai hancurnya noda-noda pada saat yang sama ketika ia sembuh dari penyakitnya disebut seorang “sama-kepala penyakit” (rogasamasīsī). (2) Seorang yang didera oleh perasaan menyakitkan yang hebat dan mencapai hancurnya noda-noda pada saat yang sama ketika ia mengatasi kesakitan itu disebut seorang “sama-kepala perasaan” (vedanāsamasīsī). (3) Seseorang yang sedang berlatih pandangan terang dalam postur tertentu dan mencapai hancurnya noda-noda pada saat yang sama ketika ia mengubah posturnya disebut seorang “sama-kepala postur” (iriyāpathasamasīsī). (4) Dan seorang yang mencapai hancurnya noda-noda pada saat yang sama ketika hidupnya berakhir disebut seorang “sama-kepala kehidupan” (jīvitasamasīsī). Dalam sutta ini, yang dimaksudkan adalah “sama-kepala kehidupan.” ↩︎
Antarāparinibbāyī. Lit.,”seorang yang mencapai nibbāna dalam masa antara (atau selama perjalanan).” Pp 16 (Be §36) mendefinisikan orang ini sebagai seorang yang melenyapkan lima belenggu yang lebih rendah, terlahir kembali secara spontan, dan kemudian, apakah segera setelah terlahir kembali atau (paling lambat) sebelum mencapai pertengahan kehidupannya, menghasilkan jalan untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih tinggi. Dengan cara serupa, Mp mendefinisikan jenis orang ini sebagai seorang yang terlahir kembali di salah satu alam murni (suddhāvāsesu) dan kemudian mencapai Kearahattaan apakah pada saat kelahiran kembali, atau segera setelahnya, atau sebelum mencapai pertengahan kehidupannya. Terlepas dari definisi-definisi resmi ini, saya percaya terdapat suatu bukti tekstual bahwa nama jenis ini seharusnya dipahami dalam makna literal bahwa ia mencapai hancurnya noda-noda pada masa antara atau selama perjalanan (antarā), yaitu, antara kedua kehidupan, dan kemudian mencapai nibbāna akhir tanpa terlahir kembali sama sekali. Baca 4:131 dan Jilid 2 p.340-341, catatan 212. Saya memberikan argumen lebih jauh untuk interpretasi ini di bawah dalam catatan 82 pada p.445. ↩︎
Upahaccaparinibbāyī. Baik Pp 17 (Be §37) maupun Mp mendefinisikan jenis ini sebagai seorang yang melenyapkan kelima belenggu yang lebih rendah, terlahir kembali secara spontan (di alam murni), dan kemudian mencapai Kearahattaan setelah melewati setengah umur kehidupannya atau, paling lambat pada saat kematian. Sekali lagi, seperti pendapat saya sehubungan dengan 7:55, terdapat kesan pada Nikāya-nikāya bahwa jenis ini adalah seorang yang mencapai hancurnya noda-noda hampir seketika setelah terlahir kembali di alam murni. Baca p.445, catatan 83. ↩︎
Perbedaan antara (5) dan (6) mungkin ditentukan khususnya atas dasar banyaknya usaha yang harus mereka kerahkan untuk memenangkan tujuan. Pp 17 (Be §§38-39) hanya mengatakan bahwa seseorang menghasilkan sang jalan tanpa usaha dan yang lainnya sebagai hasil dari usaha. Bagaimana pun juga, tentang interpretasi komentar atas kedua jenis ini, bukan jenis yang terpisah dari yang-tidak-kembali, melainkan dua modus bagaimana kedua jenis pertama (antarāparinibbāyī dan upahaccaparinibbāyī) mencapai nibbāna. Penjelasan demikian mengurangi jenis berbeda dari yang-tidak-kembali menjadi tiga. Hal ini mengesampingkan urutan dan ciri saling meniadakan dari kelima jenis, yang disiratkan melalui kelima pengelompokan dan secara tegas disiratkan dalam perumpamaan 7:55. ↩︎
Baca Jilid 2 p.340, catatan 211. ↩︎