easter-japanese

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Nādika di aula bata. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: [304] “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, perenungan pada kematian, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak pada tanpa-kematian, dengan tanpa-kematian sebagai kesempurnaannya.1 Tetapi apakah kalian, para bhikkhu, mengembangkan perenungan pada kematian?”

(1) Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, aku mengembangkan perenungan pada kematian.”

“Tetapi bagaimanakah, bhikkhu, engkau mengembangkan perenungan pada kematian?”

“Di sini, Bhante, aku berpikir sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama sehari semalam sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā.2 Dan aku berhasil sejauh itu!’3 Adalah dengan cara ini aku mengembangkan perenungan pada kematian.”

(2) Seorang bhikkhu lainnya berkata kepada Sang Bhagavā: “Aku juga, Bhante, mengembangkan perenungan pada kematian.”

“Tetapi bagaimanakah, bhikkhu, engkau mengembangkan perenungan pada kematian?”

“Di sini, Bhante, aku berpikir sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama sehari sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’ Adalah dengan cara ini aku mengembangkan perenungan pada kematian.”

(3) Seorang bhikkhu lainnya lagi berkata kepada Sang Bhagavā: “Aku juga, Bhante, mengembangkan perenungan pada kematian.”

“Tetapi bagaimanakah, bhikkhu, engkau mengembangkan perenungan pada kematian?”

“Di sini, Bhante, aku berpikir sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk satu kali makan4 sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’ Adalah dengan cara ini aku mengembangkan perenungan pada kematian.”

(4) Seorang bhikkhu lainnya lagi berkata kepada Sang Bhagavā: “Aku juga, Bhante, mengembangkan perenungan pada kematian.”

“Tetapi bagaimanakah, bhikkhu, engkau mengembangkan perenungan pada kematian?”

“Di sini, Bhante, aku berpikir sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk mengunyah dan menelan empat atau lima suapan makanan, sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. [305] Dan aku berhasil sejauh itu!’ Adalah dengan cara ini aku mengembangkan perenungan pada kematian.”

(5) Seorang bhikkhu lainnya lagi berkata kepada Sang Bhagavā: “Aku juga, Bhante, mengembangkan perenungan pada kematian.”

“Tetapi bagaimanakah, bhikkhu, engkau mengembangkan perenungan pada kematian?”

“Di sini, Bhante, aku berpikir sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk mengunyah dan menelan satu suapan makanan, sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’ Adalah dengan cara ini aku mengembangkan perenungan pada kematian.”

(6) Seorang bhikkhu lainnya lagi berkata kepada Sang Bhagavā: “Aku juga, Bhante, mengembangkan perenungan pada kematian.”

“Tetapi bagaimanakah, bhikkhu, engkau mengembangkan perenungan pada kematian?”

“Di sini, Bhante, aku berpikir sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk mengembuskan napas setelah menarik napas, atau untuk menarik napas setelah mengembuskan napas, sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’ Adalah dengan cara ini aku mengembangkan perenungan pada kematian.”

Ketika hal ini dikatakan, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu itu:

“Para bhikkhu, (1) bhikkhu yang mengembangkan perenungan pada kematian sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama sehari semalam sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’; dan (2) bhikkhu yang mengembangkan perenungan pada kematian sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama sehari sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’; dan (3) bhikkhu yang mengembangkan perenungan pada kematian sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk satu kali makan sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’; dan (4) bhikkhu yang mengembangkan perenungan pada kematian sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk mengunyah dan menelan empat atau lima suapan makanan, sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’: [306] mereka ini disebut para bhikkhu yang berdiam dengan lengah. Mereka mengembangkan perenungan pada kematian dengan lambat demi hancurnya noda-noda.

“Tetapi (5) bhikkhu yang mengembangkan perenungan pada kematian sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk mengunyah dan menelan satu suapan makanan, sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’; dan (6) bhikkhu yang mengembangkan perenungan pada kematian sebagai berikut: ‘Semoga aku dapat hidup selama waktu yang diperlukan untuk mengembuskan napas setelah menarik napas, atau untuk menarik napas setelah mengembuskan napas, sehingga aku dapat menekuni ajaran Sang Bhagavā. Dan aku berhasil sejauh itu!’: mereka ini disebut para bhikkhu yang berdiam dengan waspada. Mereka mengembangkan perenungan pada kematian dengan giat demi hancurnya noda-noda.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus melatih diri kalian sebagai berikut: ‘Kami akan berdiam dengan waspada. Kami akan mengembangkan perenungan pada kematian dengan giat demi hancurnya noda-noda.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”


Catatan Kaki
  1. Menarik untuk mengetahui bahwa perenungan pada kematian memuncak pada tanpa-kematian. ↩︎

  2. Mp menjelaskan bahwa seruan pembuka, aho vata, sebagai pernyataan kerinduan yang tidak dapat berubah (patthanatthe nipāto). Brahmāli menolak interpretasi Mp dan menganggap kalimat ini sebagai pernyataan fakta yang tegas, yang ia terjemahkan: “Sesungguhnya, aku dapat hidup hanya sehari semalam; aku harus menekuni ajaran Sang Bhagavā.” Paralel China, EĀ 40.8 (T I 741c26-742b2), sepakat dengan Mp. Demikianlah bhikkhu pertama berkata (pada T I 742a2-3): “Ketika aku merenungkan kematian, aku ingin terus hidup selama tujuh hari [dan] merenungkan tujuh faktor pencerahan. Ini akan sangat bermanfaat [bagiku] sehubungan dengan ajaran Sang Tathāgata [dan] setelah kematian Aku tidak akan menyesal” (思惟死想時。意欲存七日。思惟七覺意。於如來 法中多所饒益。死後無恨). ↩︎

  3. Bahuṃ vata me kataṃ assa. Mp: “Aku dapat berhasil dalam tugasku sehubungan dengan ajaran” (sāsane mama kiccaṃ bahu kataṃ assa). Mp-ṭ: “Aku akan berhasil dalam tugasku sebagai seorang bhikkhu, yang akan bermanfaat bagiku.” ↩︎

  4. Mp-ṭ: “Satu kali makan: satu kali makan mampu mempertahankannya selama satu hari.” Maksud dari kata Pāli tadantaraṃ … yadantaraṃ bukanlah bahwa ia ingin hidup cukup lama untuk makan satu kali, melainkan bahwa, menyadari ketidak-pastian datangnya kematian, ia ingin hidup selama waktu yang dibutuhkan untuk satu kali makan sehingga ia dapat mempraktikkan Dhamma. Dengan kata lain, jika memerlukan waktu dua puluh menit untuk satu kali makan, maka ini adalah lama waktu yang ia harapkan untuk tetap hidup. ↩︎