easter-japanese

Yang Mulia Upavāṇa mendatangi Yang Mulia Sāriputta … dan berkata kepadanya:

(1) “Teman Sāriputta, apakah seseorang menjadi pembuat-akhir melalui pengetahuan?”1

“Tidak demikian, teman.”

(2) “Kalau begitu, apakah seseorang menjadi pembuat-akhir melalui perilaku?”

“Tidak demikian, teman.”

(3) “Kalau begitu, apakah seseorang menjadi pembuat-akhir melalui pengetahuan dan perilaku?”

“Tidak demikian, teman.”

(4) “Kalau begitu, apakah seseorang menjadi pembuat-akhir selain melalui pengetahuan dan perilaku?”

“Tidak demikian, teman.”

“Ketika engkau ditanya: ‘Teman Sāriputta, apakah seseorang menjadi pembuat-akhir melalui pengetahuan?’ engkau berkata: ‘Tidak demikian, teman.’ Ketika engkau ditanya: ‘Kalau begitu, apakah seseorang menjadi pembuat-akhir melalui perilaku? … melalui pengetahuan dan perilaku? … selain melalui pengetahuan dan perilaku?’ [dalam setiap pertanyaan] engkau berkata: ‘Tidak demikian, teman.’ Kalau begitu dengan cara bagaimanakah seseorang menjadi pembuat-akhir?”

(1) “Jika, teman, seseorang menjadi pembuat-akhir melalui pengetahuan, maka bahkan seorang yang masih memiliki kemelekatan dapat menjadi seorang pembuat-akhir. (2) Jika seseorang menjadi pembuat-akhir melalui perilaku, maka bahkan seorang yang masih memiliki kemelekatan dapat menjadi seorang pembuat-akhir. (3) Jika seseorang menjadi pembuat-akhir melalui pengetahuan dan perilaku, maka bahkan seorang yang masih memiliki kemelekatan dapat menjadi seorang pembuat-akhir. (4) Jika seseorang menjadi pembuat-akhir selain melalui pengetahuan dan perilaku, maka seorang kaum duniawi dapat menjadi pembuat-akhir; karena kaum duniawi miskin akan pengetahuan dan perilaku.

“Teman, seseorang yang kurang dalam hal perilaku tidak mengetahui dan tidak melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Seseorang yang sempurna dalam perilaku [164] mengetahui dan melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Dengan mengetahui dan melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, maka ia menjadi seorang pembuat-akhir.”2


Catatan Kaki
  1. Percakapan ini, menurut Mp, merujuk pada penghentian saṃsāra, keseluruhan lingkaran penderitaan (vaṭṭadukkhassa antakaro hoti, sakalaṃ vaṭṭadukkhaṃ paricchinnaṃ parivaṭumaṃ katvā tiṭṭhati). ↩︎

  2. Caraṇasampanno yathābhūtaṃ jānāti passati. Yathābhūtaṃ jānaṃ passaṃ antakaro hoti. Ini berbeda dengan pernyataan sebelumnya (bahwa seseorang tidak dapat menjadi pembuat akhir melalui pengetahuan dan perilaku) dalam penekanan atas mengetahui dan melihat (serta perilaku) sebagai fungsi aktif daripada kepemilikan subjektif yang bernuansa kemelekatan. ↩︎