easter-japanese

Pada suatu ketika Yang Mulia Ānanda sedang menetap di Kosambī di Taman Ghosita. Kemudian seorang bhikkhunī tertentu memanggil seorang laki-laki sebagai berikut: ‘Pergilah, Sahabat, datangilah Guru Ānanda dan bersujudlah atas namaku dengan kepalamu di kakinya. Kemudian katakan: ‘Bhante, seorang bhikkhunī sedang sakit, menderita, sakit keras. Ia bersujud kepada Guru Ānanda dengan kepalanya di kaki Guru Ānanda.’ Kemudian katakan: ‘Baik sekali, Bhante, jika, demi belas kasihan, Guru Ānanda sudi mengunjungi bhikkhunī itu di kediaman para bhikkhunī.’”

“Baik, Nyonya Mulia,” orang itu menjawab. Kemudian ia mendatangi Yang Mulia Ānanda, [145] bersujud kepadanya, duduk di satu sisi, dan menyampaikan pesannya. Yang Mulia Ānanda menyanggupi dengan berdiam diri.

Kemudian Yang Mulia Ānanda merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahnya, dan pergi ke kediaman para bhikkhunī. Ketika bhikkhunī itu dari jauh melihat kedatangan Yang Mulia Ānanda, ia menutup tubuhnya dari kepala dan berbaring di atas tempat tidurnya.1 Kemudian Yang Mulia Ānanda mendatangi bhikkhunī itu, duduk di tempat yang telah disediakan, dan berkata kepadanya:

“Saudari, tubuh ini berasal-mula dari makanan; dengan bergantung pada makanan, maka makanan harus ditinggalkan. Tubuh ini berasal mula dari ketagihan; dengan bergantung pada ketagihan, maka ketagihan harus ditinggalkan. Tubuh ini berasal-mula dari keangkuhan, dengan bergantung pada keangkuhan, maka keangkuhan harus ditinggalkan. Tubuh ini berasal-mula dari hubungan seksual, tetapi sehubungan dengan hubungan seksual Sang Bhagavā telah menyatakan pembongkaran jembatan.2

(1) “Ketika dikatakan: ‘Tubuh ini, Saudari, berasal-mula dari makanan; dengan bergantung pada makanan, maka makanan harus ditinggalkan,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan? Di sini, Saudari, dengan merefleksikan secara seksama, seorang bhikkhu mengkonsumsi makanan bukan demi kesenangan juga bukan demi kemabukan juga bukan demi penampilan baik dan kemenarikan fisik, melainkan hanya demi menyokong dan memelihara tubuh ini, untuk menghindari bahaya, dan untuk membantu kehidupan spiritual, dengan pertimbangan: ‘Dengan demikian aku akan mengakhiri perasaan lama dan tidak memunculkan perasaan baru, dan aku akan menjadi sehat dan tanpa cela dan berdiam dengan nyaman.’ Beberapa waktu kemudian, dengan bergantung pada makanan, ia meninggalkan makanan.3 Ketika dikatakan: ‘‘Tubuh ini, Saudari, berasal-mula dari makanan; bergantung pada makanan, maka makanan harus ditinggalkan,’ adalah karena hal ini maka pernyataan itu dikatakan.

(2) “Ketika dikatakan: ‘Tubuh ini berasal mula dari ketagihan; dengan bergantung pada ketagihan, maka ketagihan harus ditinggalkan,’ karena alasan [146] apakah hal ini dikatakan? Di sini, Saudari, seorang bhikkhu mendengar: ‘Bhikkhu itu, dengan hancurnya noda-noda, telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.’ Ia berpikir: ‘Kapankah aku, dengan hancurnya noda-noda, merealisasikan untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, berdiam di dalamnya?’ Beberapa waktu kemudian, dengan bergantung pada ketagihan, ia meninggalkan ketagihan. Ketika dikatakan: ‘Tubuh ini berasal mula dari ketagihan; dengan bergantung pada ketagihan, maka ketagihan harus ditinggalkan,’ adalah karena hal ini maka pernyataan itu dikatakan.

(3) “Ketika dikatakan: ‘Tubuh ini berasal-mula dari keangkuhan, dengan bergantung pada keangkuhan, maka keangkuhan harus ditinggalkan.’ Sehubungan dengan apakah ini dikatakan? Di sini, Saudari, seorang bhikkhu mendengar: ‘Bhikkhu itu, dengan hancurnya noda-noda, telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.’ Ia berpikir: ‘Yang Mulia itu, dengan hancurnya noda-noda, telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Aku juga dapat melakukannya!’ Beberapa waktu kemudian, dengan bergantung pada keangkuhan, ia meninggalkan keangkuhan. Ketika dikatakan: ‘Tubuh ini berasal mula dari keangkuhan; dengan bergantung pada keangkuhan, maka keangkuhan harus ditinggalkan,’ adalah karena hal ini maka pernyataan itu dikatakan.

(4) “Tubuh ini, Saudari, berasal-mula dari hubungan seksual, tetapi sehubungan dengan hubungan seksual Sang Bhagavā telah menyatakan pembongkaran jembatan.”4

Kemudian bhikkhunī itu bangkit dari tempat tidurnya, merapikan jubah atasnya di satu bahunya, dan setelah bersujud dengan kepalanya di kaki Yang Mulia Ānanda, ia berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Bhante, aku telah melakukan pelanggaran karena aku telah bersikap secara begitu dungu, bodoh, dan tidak terampil seperti yang telah kulakukan. Bhante, sudilah Guru Ānanda menerima pelanggaranku yang terlihat demikian demi pengendalian di masa depan.”

“Tentu saja, Saudari, engkau telah melakukan pelanggaran karena engkau telah bersikap secara begitu dungu, bodoh, dan tidak terampil seperti yang telah engkau lakukan. Tetapi karena engkau melihat pelanggaranmu sebagai pelanggaran dan melakukan perbaikan sesuai Dhamma, maka kami menerimanya. Karena adalah kemajuan dalam disiplin Yang Mulia bahwa seseorang melihat pelanggarannya sebagai pelanggaran, memperbaikinya sesuai Dhamma, dan melakukan pengendalian di masa depan.” [147]


Catatan Kaki
  1. Mengherankan bahwa Ānanda pergi sendirian mengunjungi kediaman bhikkhunī itu. Hampir selalu ketika seorang bhikkhu pergi mengunjungi seorang umat awam, bahkan laki-laki, maka ia mengajak seorang bhikkhu lain bersamanya. Dalam paralel China dari sutta ini, SĀ 564 (T II 148a13-148c10), ketika Ānanda mendekat, bhikkhunī itu melihatnya dari jauh dan memperlihatkan tubuhnya. Ketika Ānanda melihatnya terbuka, ia mengendalikan organ-organ indrianya dan berbalik. Bhikkhunī itu kemudian merasa malu dan mengenakan jubahnya. Ia menawarkan tempat duduk kepada Ānanda, bersujud kepadanya, dan duduk di satu sisi. Terlepas dari perbedaan situasi ini, khotbah Ānanda dalam versi China nyaris sama persis dengan versi Pāli. ↩︎

  2. Setughāto vutto bhagavatā. Mp: “Pembongkaran jembatan (setughātaṃ): pembongkaran keadaan dan pembongkaran kondisinya (padaghātaṃ paccayaghātaṃ).” Ungkapan ini juga terdapat pada 3:74. baca Jilid 1 p.549, catatan 497. ↩︎

  3. Mp: “Berdasarkan pada makanan-makanan yang dimakan pada masa sekarang, dengan menggunakannya secara hati-hati, maka ia meninggalkan makanan yang terdapat dalam kamma masa lampau; tetapi ketagihan pada makanan-makanan yang dimakan pada masa sekarang harus ditinggalkan.” ↩︎

  4. Versi China membaca: “Saudari, dengan tidak menikmatinya, seseorang meninggalkan dan mematahkan keinginan seksual indriawi, jembatan penghubung (和合橋梁).” Tampaknya bahwa setughāto adalah suatu idiom yang bermakna bahwa segala hubungan dengan kondisi tertentu harus dihancurkan. Mp mengatakan bahwa ketika Ānanda mencapai akhir khotbahnya, nafsu bhikkhunī tersebut padanya telah lenyap. ↩︎